Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 170138 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadhif Wiratara Wibowo
"Latar belakang: Diabetes Melitus hingga saat ini masih menjadi masalah global, termasuk di Indonesia. DM mampu menyebabkan komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular, yang salah satunya adalah diabetik nefropati. Berbagai faktor dapat mempengaruhi perkembangan penyakit dari diabetes melitus menjadi diabetik nefropati, salah satunya adalah lingkungan tempat tinggal. Masyarakat yang tinggal di kampung kota memiliki keterbatasan untuk mengakses fasilitas kesehatan serta memiliki kesadaran yang rendah atas akibat dari penyakit kronis. Diduga, terdapat peningkatan risiko hiperglikemia yang berhubungan dengan diabetik nefropati. Oleh karena itu, kami melakukan studi yang bertujuan untuk mempelajari hubungan antara hiperglikemia dan penanda fungsi ginjal pada subjek dewasa yang tinggal di Kampung Kota Jakarta-Tangerang.
Metode: Studi ini menggunakan data sekunder dengan desain cross-sectional pada subjek di atas umur 30 tahun di 4 wilayah Kampung Kota Jakarta-Tangerang tahun 2019-2020. Lalu, subjek disesuaikan dengan kriteria inklusi dan eksklusi untuk selanjutnya dinilai kadar gula darah menggunakan gula darah puasa (GDP) dan HbA1c, serta penanda fungsi ginjal dengan eGFR (estimated glomerular filtration rate).
Hasil: Dari 220 subjek dewasa, 15 subjek (6,8%) berdasarkan gula darah puasa (GDP≥126 mg/dL) dan 26 subjek (11,8%) berdasarkan HbA1c (HbA1c ≥6,5%) digolongkan sebagai hiperglikemia. Sebanyak 12 subjek (5,5%) mengalami penurunan fungsi ginjal. Hasil uji statistik menjelaskan adanya hubungan bermakna antara GDP dan eGFR (p =0,005, OR= 8,955 , 95% CI=2,333 – 34,372). Namun, tidak terdapat hubungan bermakna antara HbA1c dan eGFR (p=0,156, OR=0, 156, 95% CI=0,677 – 10,621).
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara hiperglikemia yang ditentukan berdasarkan kadar glukosa darah puasa, tetapi tidak pada HbA1c, dengan penanda fungsi ginjal pada subjek dewasa yang tinggal di kawasan kampung kota.

Introduction: Diabetes Mellitus is still a global problem, including in Indonesia. DM can cause microvascular and macrovascular complications, one of which is diabetic nephropathy. Various factors can affect the development of the disease from diabetes mellitus to diabetic nephropathy, one of which is the living environment. People living in urban kampung have limited access to health facilities and have low awareness of the consequences of chronic diseases. Presumably, there is an increased risk of hyperglycaemia associated with diabetic nephropathy. Therefore, we conducted a study aimed at studying the association between hyperglycaemia and markers of renal function in adult subjects living in Urban Kampung Jakarta-Tangerang.
Method: This study used secondary data with a cross-sectional design on subjects over the age of 30 years in the urban kampung area of Jakarta and Tangerang in 2019-2020. Then, subjects were selected using predetermined inclusion and exclusion criteria. Eligible subjects were further assessed for blood sugar levels using fasting blood sugar (FPG) and HbA1c, as well as kidney function markers eGFR (estimated glomerular filtration rate).
Result: : From 220 subjects whose data were obtained, 15 subjects (6.8%) based on fasting blood sugar (GDP≥126 mg/dL) and 26 subjects (11.8%) based on HbA1c (HbA1c ≥6.5%) were classified as hyperglycaemia. A total of 12 subjects (5.5%) had decreased kidney function. The results of the statistical test explained that there was a significant association between FPG and eGFR (p = 0.005, OR = 8.955, 95% CI = 2.333 – 34.372). However, there was no significant association between HbA1c and eGFR (p=0.156, OR=0.156, 95% CI=0.677 – 10.621).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Gautama
"Latar belakang: Kadar vitamin D dalam tubuh yang optimal berkisar antara 20 ng/mL hingga 100 ng/mL. Penelitian terdahulu menunjukkan tidak optimalnya kadar vitamin D dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Pada masyarakat urban kampung di Indonesia, terdapat risiko lingkungan berupa gorong-gorong yang gelap dan ventilasi yang tidak memadai. Hal ini membuat masyarakat urban kampung rentan terhadap defisiensi vitamin D yang kemudian bisa menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk meneliti korelasi antara kadar vitamin D dan penanda fungsi ginjal pada subjek dewasa di kawasan urban kampung Jakarta dan Tangerang.
Metode: Studi ini dilakukan dengan cara potong lintang pada subjek dewasa di kawasan urban kampung Jakarta dan Tangerang pada tahun 2019-2020. Subjek penelitian kemudian disesuaikan dengan kriteria eksklusi dan inklusi dan dilakukan pengambilan darah untuk pengukuran kadar vitamin D serta penanda fungsi ginjal.
Hasil: Pada 161 subjek dewasa di urban kampung Jakarta dan Tangerang diperoleh nilai median kadar vitamin D sebesar 24,46 ng/mL (10,04 – 52,55 ng/mL), kadar kreatinin serum sebesar 0,7 mg/dL (0,5 – 6,7 mg/dL), kadar ureum sebesar 20,6 mg/dL (11,9 – 50,5 mg/dL), dan median nilai eGFR berdasarkan rumus CKD-EPI sebesar 97,854 ml/min/1,73m2 (5,52 – 121,92 ml/min/1,73 m2). Hasil analisis menggunakan uji Spearman menunjukkan tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin dengan kadar ureum, kreatinin, maupun nilai eGFR.
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin D dan penanda fungsi ginjal baik dengan eGFR, kadar kreatinin serum, maupun kadar ureum pada masyarakat yang tinggal di kawasan urban kampung Jakarta dan Tangerang.

Introduction: Optimal vitamin D serum level ranged from 20 ng/mL to 100 ng/mL. Previous studies showed that suboptimal vitamin D serum levels might influence the kidney. Individuals who live in urban kampung, have the environmental risk factors of dark alleyways and inadequate ventilations. These increase the risk of subjects in developing vitamin D deficiency and later may decrease the kidney function. Therefore, this study is conducted to identify the correlation between serum level of vitamin D and kidney function markers in adults that live in the urban kampung area around Jakarta and Tangerang.
Method: This cross-sectional study is conducted to adults in urban kampung areas around Jakarta and Tangerang in 2019-2020. We recruited participants using predetermined exclusion and inclusion criteria. Afterward, blood sample were drawn from the participants to quantify the vitamin D serum level and kidney function markers.
Result: From 161 adult subjects in urban kampung around Jakarta and Tangerang, the vitamin D serum level median is 24,46 (10,04 – 52,55) ng/mL, the serum creatinine median is 0,7 (0,5 – 6,7) mg/dL, the urea serum level median is 20,6 (11,9 – 50,5) mg/dL, and the median of eGFR score, using CKD-EPI equation, is 97,854 (5,52 – 121,92) ml/min/1,73 m2. Analysis using Spearman shows that there is no correlation between vitamin D serum level with urea serum level, serum creatinine, and eGFR score. Conclusion : There are no correlation between vitamin D serum level and kidney function markers in individuals who live in urban kampung area around Jakarta and Tangerang.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Gautama
"Latar belakang: Masyarakat kawasan urban kampung di Indonesia memiliki risiko lingkungan berupa gorong-gorong yang gelap dan ventilasi yang tidak adekuat. Hal ini menjadi risiko kadar vitamin D yang tidak optimal (serum 25OHD <20 ng/mL dan >100 ng/mL). Kadar vitamin D yang tidak optimal juga bisa menjadi risiko penurunan fungsi ginjal. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara kadar vitamin D dan penanda fungsi ginjal pada masyarakat kawasan urban kampung Jakarta dan Tangerang.
Metode: Studi potong lintang pada subjek dewasa kawasan urban kampung Jakarta dan Tangerang di tahun 2019-2020. Kemudian dilakukan penyesuaian dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Lalu, dilakukan pengambilan darah untuk pengukuran kadar vitamin D juga nilai penanda fungsi ginjal.
Hasil: Pada 161 subjek dewasa di urban kampung Jakarta dan Tangerang diperoleh nilai median kadar vitamin D 24,46 ng/mL (10,04 – 52,55 ng/mL), kadar kreatinin serum 0,7 mg/dL (0,5 – 6,7 mg/dL), kadar ureum 20,6 mg/dL (11,9 – 50,5 mg/dL), dan nilai eGFR (CKD-EPI) 97,854 ml/min/1,73m2 (5,52 – 121,92 ml/min/1,73 m2). Hasil analisis menggunakan uji Spearman menunjukkan tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin dengan kadar ureum, kreatinin, dan nilai eGFR.
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin D dan penanda fungsi ginjal baik dengan eGFR, kadar kreatinin serum, maupun kadar ureum pada masyarakat yang tinggal di kawasan urban kampung Jakarta dan Tangerang.

Background: Individuals who live in urban kampung have the environmental risk factors of dark alleyways and inadequate ventilations. These increase the risk of subjects in developing vitamin D deficiency and later may decrease the kidney function. Therefore, this study is performed to identify the correlation between vitamin D serum levels and kidney function markers in adults of urban kampung area around Jakarta and Tangerang.
Methods: Cross-sectional study performed in adults of urban kampung areas around Jakarta and Tangerang in 2019-2020. We recruited participants using predetermined inclusion and exclusion criteria. Afterward, blood sample were drawn to quantify vitamin D serum level and kidney function markers of the subjects.
Results: From 161 adult subjects in urban kampung around Jakarta and Tangerang, the vitamin D serum level median is 24,46 (10,04 – 52,55) ng/mL, the serum creatinine median is 0,7 (0,5 – 6,7) mg/dL, the urea serum level median is 20,6 (11,9 – 50,5) mg/dL, and the median of eGFR score (CKD-EPI), is 97,854 (5,52 – 121,92) ml/min/1,73 m2. Analysis using Spearman shows that there is no correlation between vitamin D serum level with urea serum level, serum creatinine, and eGFR score.
Conclusion: There are no correlation between vitamin D serum level and kidney function markers in individuals who live in urban kampung area around Jakarta and Tangerang.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Haekal Prastomo
"Introduction
The emerging of chronic kidney disease (CKD) as one of the dominant causes for death and suffering over the past two decades has been concerning. Additionally, increase oxidative stress in urban area and its association with other chronic diseases raising a notion of increase in chronic disease in area with low socio-economic status, namely, urban kampung. Due to that, this research was carried out to find the association between plasma MDA and factors related to decrease renal function in adult urban kampung population.
Method
This is cross-sectional research that used secondary data from participant with age ranging from 30-60 years and living in four area in Jakarta-Tangerang. Participants’ MDA level was measured as an indicator for oxidative stress. Kidney markers including eGFR, urea, and creatinine were also measured.
Results
From 153 participants, high level of oxidative stress was not found and all within normal capacity (0.1−2.9 µmol/L). Overall kidney function using eGFR showed 58.8% normal condition and function and 41.2% with decreased kidney function. Only 1.3% had increased creatinine levels (>1.3 mg/dL), while 51% of participants had increased urea level (>20 mg/dL).
Conclusion
No association between high plasma MDA and decreased kidney marker was found in adult participant of urban kampung area in Jakarta-Tangerang.

Latar Belakang
Meningkatnya angka penyakit ginjal kronik sebagai salah satu penyebab kematian dan penderitaan pasien sangat menghawatirkan. Peningkatan stress oksidatif di wilayah urban dan hubungannya dengan banyak penyakit kronis menyebabkan dugaan peningkatan penyakit kronik di wilayah dengan sosio-ekonomik yang rendah seperti di kampung urban. Oleh karena itu penelitian ini dilaksanakan untuk mencari tahu adanya hubungan asosiatif antara hasil plasma MDA sebagai indikator stress oksidatif dengan penurunan fungsi ginjal.
Metode
Metode penelitian merupakan penelitian potong lintang (cross-sectional) dengan data sekunder yang berasal dari partisipan berumur 30-60 tahun di 4 wilayah kampung kota Jakarta-Tangerang. Partisipan dinilai menggunakan Plasma MDA sebagai indikator stress oksidatif dan penanda fungsi ginjal yaitu eGFR, urea, dan creatinin.
Hasil
Dari 153 partisipan, tidak ditemukan tingkat oksidatif tinggi dan semua berada pada batas normal (0.1−2.5 µmol/L). Hasil kondisi ginjal partisipan menggunakan eGFR terdiri dari 58.8% kondisi ginjal normal dan 41.2% mengalami penurunan funsi ginjal. Hanya 1.3% mengalami kenaikan nilai creatinine (>1.3 mg/dL) dan lebih dari 51% partisipan mengalami kenaikan nilai ureum (>20 mg/dL).
Kesimpulan
Hubungan Asosiatif antara tinggi plasma MDA dan penanda penurunan fungsi ginjal tidak ditemukan pada partisipan dewasa yang tinggal di daerah kampung urban
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.M. Suryadi Tjekyan
"Penyakit DM tipe 2 menyerang usia dewasa diatas 40 tahun dengan komplikasi yang serius. Tujuan penelitian ini adalah meneliti apakah konsumsi kopi dapat menurunkan resiko kejadian diabetes tipe 2. Desain penelitian menggunakan studi kasus kontrol dengan DM tipe 2 sebagai kelompok kasus dan kontrol non DM tipe 2 dengan sampel sebanyak 482 tiap kelompok.
Hasil penelitian kelompok non diabetes tipe 2 lebih banyak minum kopi murni dengan odd ratio = 0.75 dapat disimpulkan kopi murni merupakan faktor proteksi diabetes tipe 2 dan bermakna 􀁣2=4.61, p=0.036, Takaran 1-3 sendok makan dibandingkan dengan kelompok yang tidak minum kopi didapatkan odd ratio=0.65, p=0.001036.
Secara keseluruhan lamanya minum kopi didapatkan odd ratio rerata = 0.863 dan spearman korelasi bermakna pada p < 0.01.Secara keseluruhan didapatkan odd ratio = 0.758 antara jumlah kopi yang diminum perhari dengan kejadian diabetes tipe 2, disimpulkan jumlah kopi yang diminum berperan menurunkan angka kejadian diabetes tipe 2. dengan korelasi spearman =- 0.121. Dari hasil analisa logistik regresi didapatkan seluruh kekentalan campuran kopi merupakan faktor protektif dari kejadian diabetes tipe 2. dan takaran 3 sendok tanpa gula mempunyai faktor protektif yang sangat tinggi.

The Risk of Type 2 Diabetic among Coffee Drinker in Palembang Municipality Year of 2006-2007. Prevalence of Type 2 Diabetic approximately 4.7%, and expose people age of 40 year above with serious complications. The objectived of the research was to find out the association between cofee consumption dan the risk of type 2 diabetic.
Method : The design of the research was case control study with type 2 diabetic as cases group and non diabetic type 2 as control group with matching of the aged group with sample size 482 for each group.
Result: Pure coffee consumption of 1- 3 tea spoon the odd ratio was 0.65. and for group less than 1 year the odd ratio =0.49, 1-2 years the odd ratio = 0.55, 3-5 years the odd ratio = 0.13, 6-10 years odd ratio=0.42, 11- 20 the odd ratio =0.60 and more than 20 years the odd ratio=0.29 and it could concluded the risk of type 2 diabtetic inversely associated with duration of coffee consumption. The overall odd ratio of coffee consumption frequencies was 0.758 with spearman correlation = -0.121,or more frequently coffe consumsption the lowest risk of type 2 diabetic. By regresion analysis it was found out the overall coffee viscosities was protected factors for the risk of type 2 diabtetic especially mixed 3 spoon coffee with out sugar had high protected index.
"
Palembang: Medical Faculty Sriwijaya University, 2007
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Drajad Priyono
"Latar Belakang : Ultrasonografi dua dimensi sampai saat ini masih digunakan untuk mendeteksi penyakit ginjal kronik , namun hasil yang didapat sering tidak memuaskan terutama pada penderita penyakit ginjal diabetik karena hasil yang didapatkan seringkali normal. Pemeriksaan ultrasonografi color doppler dengan renal resistive index(RI) banyak digunakan sebagai alat diagnostik dan prognostik bebagai kondisi vaskuler ginjal baik pada transplantasi maupun pada penyakit ginjal kronik, namun manfaat pemeriksaan RI pada penyakit ginjal diabetik masih belum jelas.
Tujuan : Mengetahui korelasi Renal Resistive Index dengan e GFR (CKD-EPI) pada penderita penyakit ginjal diabetik.
Metode Penelitian : Studi Potong Lintang dengan subjek penelitia pasien PGD stadium 1-5, dilakukan di RSCM pada Bulan Januari-Februari 2015. Jumlah subjek sebanyak 34 orang. Dilakukan Pemeriksaan USG 2 Dimensi dan USG doppler dan pemeriksaan eGFR (CKDEPI). Analisa statistik dengan Spearman?s correlation.
Hasil : Rerata Usia subjek penelitian 55,8 tahun, Rerata RI pada stadium 1 adalah 0,65, stadium 2 ,0,64, stadium 3 rerata RI adalah 0,72, stadium 4 adalah 0,78 dan stadium 5, rerata RI 0,8. Korelasi antara RI dan e GFR (CKD-EPI) pada penderita penyakit ginjal diabetik adalah r=-0,84 dengan p=0.000, R2 =0,714.
Simpulan : Terdapat korelasi negatif yang kuat antara Renal resistive index dengan eGFR(CKD-EPI) pada penyakit ginjal diabetik.

Background : Two dimension ultrasonografi is still be used to detect chronic kidney disease but the result is not satisfying because the image shows normal on early phase of diabetic kidney disease. Doppler ultrasound with using renal resistive index (RI) Doppler ultrasound with renal resistive index (RI) used as diagnostic and prognostic tool in every vasculer condition of kidney in transplantation or chronic kidney disease, but the advantages of RI in diabetic kidney disease still unclear.
Objective : To Determine correlation between renal resistive index (RI) and e GFR (CKDEPI) in diabetic kidney disease.
Methods : A cross sectional Study, All patients with diabetic kidney disease stage 1-5 (n=34). Patients were examined using doppler ultrasound to look for renal resistive index and e GFR using CKD-EPI method, from January to February 2015 in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. Statistically analyzed by Spearman's Correlation.
Results : The mean Age of the patients was 55,8 yr. The mean RI in stage 1 was 0,65, stage 2 was 0,64, stage 3 was 0,72, stage 4 was 0,78 and stage 5 was 0,8. The correlation between RI and e GFR (CKD-EPI) in diabetic kidney disease, r= -0,84 with p=0,000, R2=0,714.
Conclusion :There is a strong negative correlation between RI and e GFR (CKD-EPI) in diabetic kidney disease.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Affandi
"Diabetes melitus merupakan penyakit kronik dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Salah satu komplikasi yang ditakuti adalah kaki diabetik. Berdasarkan data di RSCM pada tahun 2011 sebanyak 1,3% dari pasien kaki diabetik harus menjalani amputasi. Borkosky dkk (2013) menunjukkan tingginya insidens re-amputasi pada pasien kaki diabetik sebesar 19,8%. Amputasi berulang membutuhkan biaya pengobatan yang tidak murah, selain itu dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui faktor-faktor risiko terjadinya re-amputasi pada pasien kaki diabetik.
Penelitian ini adalah deskriptif analitik, didapatkan adanya kecenderungan penurunan jumlah kasus amputasi kaki diabetik di RSCM dari tahun 2009-2015. Level amputasi terbanyak yang dilakukan pada pasien kaki diabetik adalah amputasi minor pada level Ray. Trauma, neuropati perifer, nilai ABI ≤0,9, dan kadar HbA1c ≥7% merupakan faktor risiko terjadinya re-amputasi pada pasien kaki diabetik. trauma merupakan faktor risiko terbesar terjadinya reamputasi pada pasien kaki diabetik (p=0,000; OR 73,842; 95%CI 19,236-283,457). Jika semua faktor risiko tersebut dimiliki oleh pasien maka risiko kumulatif untuk dilakukan re-amputasi sebesar 100%.

Diabetic mellitus is one of chronic diseases with high morbidity and mortality. One of complications of diabetic mellitus is foot diabetic. Based on data in Cipto Mangunkusumo General hospital, in 2011, prevalence of amputation for foot diabetic patients was 1,3%. Borkosky et al (2013) showed high incidence of reamputation among foot diabetic patients 19,8%. Re-amputation is highly cost and can increase morbidity and mortality in diabetic patients. Thus research needs to be done to find out risk factors of re-amputation among foot diabetic patients.
This research showed that foot diabetic amputation cases in RSCM had been decreased from 2009-2015. The most common amputation level was Ray amputation. Foot trauma, peripheral neuropathy, ABI score ≤0,9 and HbA1c level ≥7% are risk factors for re-amputation in foot diabetic patients. Foot trauma was the biggest risk factor for re-amputation in foot diabetic patients (p=0,000; OR 73,842; 95% CI 19,236-283,457). The cummulative risk factor for re-amputation for those who have all the risk factors is 100%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Fadli
"Pendahuluan: Neuropati diabetik merupakan komplikasi diabetes yang paling sering ditemukan dalam praktik sehari-hari. Gejala terutama dikeluhkan rasa nyeri atau baal pada kedua tungkai. Penyakit arteri perifer (PAP) juga merupakan komplikasi diabetes dengan manifestasi nyeri pada tungkai. Adanya neuropati dan PAP akan mempengaruhi gejala satu sama lain sehingga umumnya pasien akan datang dalam keadaan yang lebih berat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran klinis dan hasil pemeriksaan elektrodiagnostik neuropati diabetik dengan atau tanpa PAP.
Metode: Studi ini bersifat deskriptif dengan metode potong lintang pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan neuropati berdasarakan Toronto clinical neuropathy score (TCNS). Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan elektrofisiologi (Kecepatan hantar saraf (KHS) dan sympathetic skin response (SSR)) untuk membuktikan adanya neuropati serta pemeriksaan ankle brachial index (ABI) dan toe brachial index (TBI) untuk mendiagnosis adanya PAP.
Hasil: Sebanyak 46 subjek penelitian yang terdiri dari 22 laki-laki dan 24 perempuan. Rerata usia subjek penelitian adalah 63,09 (±9,98) tahun dengan rerata lama menderita diabetes 13,57 (±10,43) tahun. Kebanyakan pasien memiliki kontrol glikemik yang kurang baik dengan median HbA1C of 7,35 (min-max: 5,6-12,2). Didapatkan sebanyak 22 orang terdiagnosis PAP berdasarkan pemeriksaan TBI. Berdasarkan analisis bivariat didapatkan kemaknaan secara statistik antara adanya keluhan nyeri, rasa kram, lokasi nyeri, klaudikasio intermiten serta riwayat penyakit jantung koroner dengan adanya PAP (masing-masing p < 0,05).
Kesimpulan: Adanya keluhan nyeri, rasa kram, lokasi nyeri, klaudikasio intermiten, serta riwayat penyakit jantung koroner dapat menunjukkan adanya kemungkinan PAP pada pasien neuropati diabetik.
Kata kunci: neuropati diabetik, penyakit arteri perifer, kecepatan hantar saraf, respon kulit simpatetik

Background: Diabetic neuropathy (DN) is a common complication of diabetes. Symptoms can be tingling, pain or numbness in the leg.(1) Peripheral arterial disease (PAD) is also a complication of diabetes which can cause pain in the leg. The presence of DN and PAD affect each other, resulting in worse patient condition. The aim of this study to evaluate clinical characteristics and electrodiagnostic findings in diabetic neuropathy with and without PAD.
Method: a descriptive cross-sectional study in type 2 diabetes mellitus patient with neuropathy based on Toronto clinical neuropathy score (TCNS). Patients were evaluated with electrodiagnostic study (nerve conduction study (NCS) and sympathetic skin response (SSR)) to confirm neuropathy and also ankle brachial index (ABI) and toe brachial index (TBI) to evaluate PAD.
Results: a total of 46 subjects consisted of 22 male and 24 females include in this study. The mean age of the study population was 63,09 years (±9,98). The mean duration of diabetes in the study population was 13,57 years (±10,43). Most of the patients had poorly controlled diabetes with a median HbA1C of 7,35 (min-max: 5,6-12,2). Ten patients have PAD based on TBI examination. From bivariate analysis, there is statistically significant association between pain, cramp, pain location, intermittent claudication, and history of coronary arterial disease with the presence of PAD (p < 0,05).
Kesimpulan: The presence of pain, cramp, pain location, intermittent claudication, and history of coronary arterial disease can predict the presence of PAD in DN patients.
Keywords: diabetic neuropathy, peripheral arterial disease, nerve conduction study, sympathetic skin response"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik Rizkian Asir
"Latar belakang: Diabetes melitus merupakan faktor risiko penting terjadinya
aterosklerosis, aterosklerosis merupakan penyakit sistemik yang bisa terjadi di seluruh
pembuluh darah baik pada mikrovaskular maupun makrovaskular. Adanya bukti
iskemia akibat stenosis yang disebabkan aterosklerosis pada salah satu pembuluh darah,
mengharuskan kita lebih waspada akan adanya proses aterosklerosis di tempat lain.
NPD di kaki terjadi akibat komplikasi diabetes pada mikrovaskular yang akhirnya
mengakibatkan kerusakan pada persarafan di kaki. Maka perlu mewaspadai proses
ateroslerosis di tempat lain, baik pada pembuluh arteri makro maupun mikrovaskular di
kaki. Pemeriksaan non invasif untuk melihat adanya ganguan makrovaskular di kaki
menggunakan ABI dan TBI sedangkan untuk gangguan mikrovaskular dengan TcPO2.
Penelitian ini dilakukan untuk dapat menilai hubungan derajat neuropati perifer diabetik
yang dinilai dengan TCSS dengan proses ateroskerosis dipembuluh darah kaki, baik
yang makrovaskular dengan ABI dan TBI maupun mikrovaskular TcPo2 pada pasien
DM tipe 2.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada pasien DM tipe 2 dengan NPD
dengan nilai TCSS >5 di Poliklinik Pelayanan Jantung Terpadu, poliklinik Endokrin
dan Metabolik dan Poliklinik Ilmu Penyakit Dalam Umum RSCM. Data diperoleh dari
wawancara, rekam medik, pemeriksaan ABI, TBI dan TcPO2. Variabel penelitian
berupa derajat neuropati perifer, ABI, TBI dan TcPO2. Analisis bivariat terhadap
masing-masing variable dengan menggunakan uji Spearman.
Hasil: Sebanyak 36 subjek yang memenuhi kriteria pemilihan diikutkan dalam
penelitian, rerata usia 62 tahun dengan 20 (55,6%) di antaranya perempuan dan median
lama diabetes 12 tahun. Berdasarkan analisa bivariat dengan uji spearman penelitian ini
mendapatkan korelasi negatif yang bermakna secara statistik dengan koefisien korelasi
sedang antara derajat neuropati perifer diabetik yang dinilai dengan TCSS dengan ABI
(r = -0,475, p = 0,003) dan TBI (r = -0,421, p = 0,010). Dan pada pemeriksaan TcPO2
juga di dapatkan korelasi negatif yang bermakna secara statistik dengan koefisien
korelasi sedang ( r = -0,399, p = 0,016)
Simpulan : Terdapat korelasi negatif yang bermaksa secara statistik antara derajat
neuropati perifer diabetik dengan ABI, TBI dan TcPO2.

Background: Diabetes mellitus is important risk factor of atherosclerosis.
Atherosclerosis is systemic disease that can occur in all blood vessels both
microvascular and macrovascular. There is evidence of ischemia due to stenosis caused
by atherosclerosis in one blood vessel, which requires us to be more aware with the
process of atherosclerosis in other places. Diabetic peripheral neuropathy (DPN) in the
lower extremity results from complications of diabetes in the microvascular which can
damage nerve in the lower extremity. Then it is necessary to be aware of the process of
aterosclerosis elsewhere, both in the macro and microvascular arteries in the lower
extremity. Non-invasive examination to look macrovascular disorders in the lower
extremity are using ankle brachial index (ABI) and toe brachial index (TBI) while for
microvascular disorders with TcPO2. This study was conducted to assess the
association of the degree of diabetic peripheral neuropathy assessed by toronto clinical
scoring system (TCSS) with the process of atherosclerosis in the blood vessels of the
lower extremity, both macrovascular with ABI and TBI as well as microvascular TcPo2
in Patients with type 2 diabetes mellitus (DM)
Methods: Cross-sectional study was carried out in patients with type 2 DM with DPN
with TCSS values> 5 in the Integrated Cardiac Polyclinic, Endocrine and Metabolic
Polyclinic, and Internal Medicine Polyclinics at RSCM. The Data were obtained from
interviews, medical records, ABI, TBI and TcPO2 examinations. The research variables
are the degree of peripheral neuropathy, ABI, TBI and TcPO2. Bivariate analysis of
each variable was used the Spearman test.
Results: Total of 36 subjects who met the selection criteria were included in the study,
the average age was 62 years with 20 (55.6%) of whom were women and the median
duration of diabetes was 12 years. Based on bivariate analysis with the Spearman test,
this study found a statistically significant negative correlation with moderate correlation
coefficient between the degree of diabetic peripheral neuropathy assessed by TCSS with
ABI (r = -0.475, p = 0.003) and TBI (r = -0.421, p = 0.010) . The TcPO2 examination
also found a statistically significant negative correlation with moderate correlation
coefficient (r = -0.399, p = 0.016)
Conclusion : There is a statistically significant negative correlation between the degree of diabetic peripheral neuropathy with ABI, TBI and TcPO2 examinations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jimmy Candra Putra
"Latar belakang: Pada 2012, angka insiden tahuna kaki diabetes yang mengalami ulkus dan gangren diperkirakan sekitar 2%-5% dari populasi umum. Sekitar 15% pasien dengan kaki diabetes dapat mengalami amputasi pada ekstremitas bawah. Kaki diabetes adalah masalah kesehatan yang sangat sulit untuk mengalami penyembuhan. Hal ini semakin diperparah dengan kondisi infeksi yang berat dan mengganggu proses regenerasi jaringan, sehingga harus dilakukan amputasi untuk mencegah penyebaran infeksi. Infeksi yang tidak terkontrol dengan baik dapat menghambat seluruh fase penyembuhan luka.
Metode: Studi Potong Lintang, subjek penelitian adalah pasien luka kaki diabetes yang berobat ke IGD dan poliklinik RSCM selama bulan Agustus-Desember 2019. Analisis statistik dengan uji hipotesis korelatif antara perubahan nilai penanda infeksi dan perubahan luas luka. Jika sebaran data normal menggunakan uji Pearson dan jika sebaran data tidak normal menggunakan uji Spearman. Pengujian dilakukan dengan menggunakan piranti lunak SPSS version 20 for Windows.
Hasil : Selama periode Agustus 2019 sampai Desember 2019 terdapat 30 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Terdapat 14 subjek (46,77%) laki-laki dan 16 subjek (53,3%) perempuan. Dari diagnosis, terdapat 20 subjek (66,3%) ulkus pedis dan sebanyak 10 subjek (33,3%) gangren pedis. Dari penelitian ini didapatkan rata-rata dan standar deviasi dari perubahan nilai ABI 0,9080 ± 0,09998, perubahan jumlah leukosit sebesar 4899.87±4512.048, perubahan nilai LED 1.8333±1.14721, perubahan nilai CRP 2.6500±1.70228, perubahan luas luka 10.2727±6.51246, dan albumin 2.9487±.39207. Dari analisis korelatif, antara perubahan jumlah leukosit dengan perubahan luas luka (p=0,058, r=0,350), perubahan nilai LED dengan perubahan luas luka (p=0,034, r=0,388), dan perubahan nilai CRP dengan perubahan luas luka (p=0,008, r=0,477)
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara perubahan nilai LED, nilai CRP dengan perubahan luas luka serta memiliki korelasi yang sedang. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara perubahan jumlah leukosit dengan perubahan luas luka serta memiliki korelasi sedang.

Background: In 2012, the annual incidence rate of diabetic foot ulcers and gangrene is estimated to be around 2% -5% of the general population. About 15% of patients with diabetic foot can have an amputation in the lower limb. Diabetic foot is a health problem that is very difficult to experience healing. This is further exacerbated by severe infection conditions and disrupt the process of tissue regeneration, so amputation must be done to prevent the spread of infection. Infection that is not well controlled can inhibit the entire phase of wound healing.
Methods: A cross-sectional study, research subjects were diabetic foot ulcers patients who went to the emergency room and the CMGH polyclinic during August-December 2019. Statistical analysis with a correlative hypothesis test between changes in infection markers and changes in wound area. If the data distribution is normal use the Pearson test and if the data distribution is not normal use the Spearman test. The test was carried out using SPSS version 20 for Windows software.
Results: During the period August 2019 to December 2019, there were 30 subjects met the inclusion and exclusion criteria. There were 14 subjects (46.77%) male and 16 subjects (53.3%) female. From the diagnosis, there were 20 subjects (66.3%) pedis ulcers and 10 subjects (33.3%) diabetic gangrene. From this study, the average and standard deviation of changes in ABI values 0.9080 ± 0.09998, changes in the number of leukocytes amounted to 4899.87 ± 4512.048, changes in ESR values 1.8333 ± 1.14721, changes in CRP values 2.6500 ± 1.70228, changes in wound area 10.2727 ± 6,51246, and albumin 2.9487 ± .39207. From the correlative analysis, between changes in leukocyte counts with changes in wound area (p = 0.058, r = 0.350), changes in ESR values with changes in wound area (p = 0.034, r = 0.388), and changes in CRP values with changes in wound area (p = 0.008, r = 0.477)
Conclusion: There is a significant relationship between changes in ESR values, CRP values with changes in wound area and have a moderate correlation. There is no significant relationship between changes in the number of leukocytes with changes in wound area and has a moderate correlation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>