Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 197752 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ramzy Sayuda Patria Hani Putra
"Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang diimplementasikan sebagai daerah otonom khusus. Otonomi Khusus yang diberikan didasari oleh adanya ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Undang-Undang Otsus Papua). Lebih lanjut, salah satu mekanisme kewenangan yang diberikan adalah dalam penentuan pengisian jabatan anggota DPRP, kewenangan tersebut menetapkan frasa “diangkat” orang asli Papua sebagai anggota DPRP, dengan tujuan untuk melindungi hak-hak asli masyarakat Papua dan agar dipastikannya masyarakat asli Papua dapat ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan provinsi Papua. Namun frasa tersebut dirasa memberikan dampak hilangnya hak konstitusional berupa kedudukan yang sama dalam pemerintahan, Oleh karena itu untuk mengetahui Kedudukan DPRP dalam NKRI diperlukan analisis terkait Putusan MK Nomor 4/PUU-XVIII/2020 terhadap Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Otsus Papua melalui Metode Penelitian Yuridis Normatif. Berdasarkan analisis dari putusan tersebut kedudukan Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dalam NKRI telah sesuai dengan tujuan negara yaitu mensejahterakan rakyat dengan penyesuaian terhadap adat istiadat dan kebiasaan masing-masing wilayahnya. Akan tetapi pemerintah masih dirasa perlu untuk melakukan perumusan perundang perundangan yang merumuskan secara jelas kriteria orang asli papua yang “diangkat” sesuai dengan karakteristik sosial ekonomi serta karakteristik budaya masyarakat

Papua Province is one of the provinces in Indonesia which is implemented as a special autonomous region. The Special Autonomy granted is based on the provisions of Law Number 21 of 2001 concerning Special Autonomy for the Papua Province (Law on Special Autonomy for Papua). Furthermore, one of the mechanisms of authority given is in determining the filling of positions for members of the DPRP, this authority stipulates the phrase "appointed" native Papuans as members of the DPRP, with the aim of protecting the indigenous rights of the Papuan people and ensuring that indigenous Papuans can participate. in the administration of the Papuan provincial government. However, this phrase is felt to have an impact on the loss of constitutional rights in the form of an equal position in the government. Therefore, to find out the position of the DPRP in the Republic of Indonesia, an analysis is needed regarding the Constitutional Court Decision Number 4/PUU-XVIII/2020 against Article 6 paragraph (2) of the Special Autonomy Law for Papua. through Normative Juridical Research Methods.Based on the analysis of the decision, the legal position of the Papuan People's Representative Council (DPRP) in the Unitary State of the Republic of Indonesia is in accordance with the state's goal, namely the welfare of the people by adjusting to the customs and habits of each region. However, the government still feels the need to formulate legislation that clearly formulates the criteria for indigenous Papuans who are "appointed" in accordance with the socio-economic characteristics and cultural characteristics of the community."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggarani Utami Dewi
"Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang berkedudukan di daerah oleh pemerintah daerah mengalami perdebatan khususnya mengenai legalitas penyidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat di masa lalu oleh komisi ini. Tesis ini akan menjawab permasalahan mengenai implementasi KKR dalam era non transisional serta pengaturan mengenai pembentukan dan implementasi KKR yang berkedudukan di daerah. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan fokus pada studi kepustakaan, wawancara dengan para ahli, dan studi perbandingan pada KKR era non transisional di tujuh negara, yakni Korea Selatan, Brazil, Thailand, Maroko, Kanada, Amerika Serikat, dan Australia. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa enam dari tujuh negara tersebut membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk mengungkapkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat yang terjadi lebih dari lima tahun yang lalu, dan hanya Thailand yang membentuk KKR dalam dua bulan setelah berakhirnya konflik. Dari enam negara tersebut, seluruhnya telah mengeluarkan berbagai kebijakan reparasi, kompensasi, ataupun ganti rugi bagi korban sebelum dibentuknya KKR. Brazil, Kanada, dan Australia telah lama mencabut kebijakan yang diduga melanggar HAM. Seluruh negara selain Maroko telah memiliki peraturan yang melindungi privasi dan kerahasiaan warga negara pada saat KKR dibentuk. Pengungkapan kebenaran oleh KKR pada ketujuh negara tersebut difokuskan agar tercapai rekonsiliasi nasional. Di Indonesia, KKR Aceh dibentuk oleh Pemerintah Aceh sebagai mandat dari Perjanjian Helsinki dan Pasal 230 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh melalui Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Namun karena dibentuk dengan qanun yang setingkat dengan Peraturan Daerah, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh mengalami berbagai hambatan dalam proses penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM seperti kesulitan dalam mengakses dokumen pemerintah atau memanggil pejabat pemerintah untuk dimintai keterangannya. Berbeda dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Korea Selatan dan Kanada, yakni meskipun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ada yang berkedudukan di daerah namun pembentukannya dilakukan oleh pemerintah pusat. Propinsi Papua saat ini juga sedang menyiapkan naskah pendukung penerbitan Peraturan Presiden tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua. Dalam rancangannya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua akan mengungkapkan kebenaran mengenai peristiwa konflik yang melibatkan negara sejak integrasi Irian Jaya. Oleh karena pemerintah daerah telah menginisiasi pembentukan KKR di daerah, maka seharusnya pemerintah pusat dapat mempercepat penyusunan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai panduan pemerintah daerah dalam menyusun peraturan mengenai KKR di wilayahnya.

The establishment of Truth and Reconciliation Commission (TRC) in regions by the regional government has experienced debate, especially regarding the legalitiy of investigating incidents indicate of gross human rights violations in the past. This thesis will analyst two issues regarding the implementation of TRCs in the non transitional era and establishment and implementation of TRCs in regional. The research used qualitative methods with focus on literature studies, interviews with experts, and comparative studies on seven countries (South Korea, Brazil, Thailand, Morocco, Canada, the United States, and Australia). The results of this study concluded that six of the seven countries formed a TRC to expose gross human rights violations that occurred more than five years before, and only Thailan formed a TRC within two months after the end of conflict. Of the six countries, all of them had issued various reparation, compensation or compensation policies for victims prior to the establishment of the TRC. Brazil, Canada and Australia have long since repealed policies that allegedly violated human rights. All countries other than Morocco already had regulations protecting the privacy and confidentiality of citizens when the TRC was formed. Revealing the truth by the TRC in the seven countries was focused on achieving national reconciliation. In Indonesia, the Aceh TRC was formed by the Government of Aceh as a mandate from the Helsinki Agreement and Article 230 of Law Number 11 of 2006 concerning the Governance of Aceh through Qanun Number 17 of 2013 concerning the Aceh Truth and Reconciliation Commission. However, because it was formed under a qanun that was at the same level as a regional regulation, the Aceh Truth and Reconciliation Commission experienced various obstacles in the process of investigating incidents of human rights violations such as difficulties in accessing government documents or summoning government officials for questioning. It is different from the Truth and Reconciliation Commissions in South Korea and Canada, that is, although there are Truth and Reconciliation Commissions based in the regions, their formation is carried out by the central government. The Province of Papua is also currently preparing a text supporting the issuance of a Presidential Regulation on the Truth and Reconciliation Commission in Papua. In its design, the Papua Truth and Reconciliation Commission will reveal the truth about the conflict events involving the state since the integration of Irian Jaya. Because the regional governments have initiated the formation of TRCs in the regions, the central government should be able to accelerate the drafting of the Truth and Reconciliation Commission Bill as a guide for local governments in drafting regulations regarding TRCs in their regions."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukarya
"Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk meneliti kendala-kendala yang merintangi proses implementasi UU No. 34 Tahun 1999. Untuk menunjang penelitian ini digunakan alat analisis yang berasal dari beberapa teori sebagai berikut: Teori Kewenangan dari Grindle dan Rodinelli; Teori Keuangan Daerah dan Teori Kelembagaan model Rodinelli dan Cheema; serta Teori Civil Society yang diulas Wuthnow.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa berdasarltan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat dan berkepentingan. Selain itu, dilakukan juga studi kepustakaan sebagai informasi pendukung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hal kewenangan Pemerintah Pusat tidak mau melepaskan kewenangannya kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara tuntas, di samping itu juga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tidak mentransfer kewenangan kepada Pemerintah Kabupaten dan Kotamadya, dan berindikasi kepada Kecamatan dan Kelurahan. Adapun kelembagaan lebih cenderung gemuk dan Iamban. Sedangkan dalarn aspek keuangan, status Jakarta sebagai ibu kota Negara tidak mendapatkan alokasi dana di dalam APBN.
Terdapat lima kendala yang menghambat pelaksanaan UU No. 34 Tabun 1999, yakni: Pertama Adanya tarik menarik kewenangan antara Pemerintah Pusat, dalam hal ini Setneg, dengan Pemprov DKI Jakarta. Kedua, budaya politik, di mana produk undang-undang tersebut terkesan sebagai hadiah dari pusat, sementara daerah 'hanya" sebagai pelaksana teknis saja. Ketiga, lemahnya kepastian hukum. Keempat, Keikutsertaan masyarakat dalam partisipasi politik, lebih cenderung ke arah mobilisasi politik, artinya bahwa keikutsertaan masyarakat dalam proses politik, lebih mendukung suatu kebijakan yang telah digariskan oleh pemimpinnya. Kelima Kurangnya sosialisasi UU No. 34 Tahun 1999, menyebabkan masyarakat tidak dapat merespon dalam setiap penyimpangan hukum. Teori-teori yang digunakan, seperti tersebut di was, sesuai dengan temuan Iapangan. Dengan demikian, implikasi teoritis atas penelitian ini adalah berupa penegasan (confirmation).

This research aims to examine obstacles that burden the implementation of Law Number 34 year 1999. To support the research, some tools of analysis are used which are generated from several theories such as theory of authority from Grindle and Rondinelli, theory of local budget and theory of institutional from Rondinelli and Cheema, and theory of civil society discussed by Wuthnow.
Method that is used in the research is qualitative research method, which tries to interpret the meaning of a phenomenon based on facts. To collect data, interview is applied to related person in charge in proper institution. Besides that, literature study is also applied as supporting information.
The result of the research shows that, central government does not want to share its authority to the provincial government of DKI Jakarta. The provincial government of DKI Jakarta also does not share its authority to the government of Regency and City and also to lower level of government in the province. In institutional aspects, it tends to be large and slow. Meanwhile, in financial aspect, the status of Jakarta as a capital city does not relate to state budget allocation.
There are five obstacles that burden the implementation of Law Number 34 year 1999. First is clash of authority between central government State Secretariat and provincial government of DKI Jakarta. Second, political culture that the law tends to he a gift from central government and the local government is only the technical executor. Fourth, law enforcement is weak. Fifth, lack of socialization of the law causes public cannot response every act that breaks the law. Theories, which are used in the research, are appropriate with facts found in this research. To conclude, theoretical implication in the research is confirmation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21467
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dance Yulian Flassy
"Provinsi Papua adalah salah satu provinsi yang amat tertinggal di bldang perekonomian dan pembangunan dibandingkan dengan provinsi - provinsi lain di Indonesia. Kondisi ini dialami sejak Papua berintegrasi dengan Indonesia pada tahun 1963, terlebih lagi pada masa arde baru kemarin yang menerapkan sistem sentralistik dalam pembangunannya. Padahal daerah ini termasuk daerah penyumbang tertinggi pada devisa negara terutama dari sektor pertambangan dan galian. Oleh sebab itu sebagian dari rakyat Papua merasa tidak puas dengan kondisi daerahnya dan mengangkat senjata melakukan perlawanan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga membuat kondisi perekonomian dan pembangunan di Papua sedikit terganggu dan semakin membuat rakyat Papua hidup tidak tenang dan miskin. Padahal kekayaan alamnya sungguh luar biasa banyaknya dan Jika dikelola dengan benar serta provinsi ini mendapat pembagian yang layak, maka rakyat Papua akan menlngkat kesejahteraannya.
Pemerintah menyadari kesalahan yang telah diperbuat selama ini kepada Provinsi Papua dan untuk menutupi kekecewaan sebagian besar rakyat Papua, maka pemerintah pusat menyetujui tuntutan rakyat Papua untuk mengurus diri dan kekayaan alam mereka sendirl lewat UU Nomor 21Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Otonomi Khusus adalah kewenangan yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua dengan tetap berada dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial budaya dan perekonomlan masyarakat Papua, kecuali kewenangan di bidang politik, luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama dan peradilan serta kewenangan tertentu dibidang yang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan menggunakan analisa Location Quotient ( LQ ) yang dlfokuskan pada tahun 2001 ( Tahun dimana UU Otonoml Khusus dimulal ), maka diperoleh kesimpulan bahwa sektor pertambangan dan
yimg diharapkan adalah ? Meningkatkan Standar Hidup masyarakat Papua dengan terciptanya Pendidikan dan Kesehatan yang murah, tepat dan bermutu".
Akhirnya, Pemerintah Provinsi Papua harus benar-benar memanfaatkan momentum otonomi khusus ini dengan mengacu pada hasil perhitungan LQ dan analisa kebijakan yang harus diambil berdasarkan pendekatan AHP. Tetapi juga jangan sampai meninggalkan kebutuhan-kebutuhan rill masyarakat Papua dengan menyesuaikannya pada sltuasi dan kondisi yang berkembang d! daerah Papua. Dan disarankan juga menyesuaikannya pada situasi dan kondisi yang berkembang di daerah Papua. Dan disarankan juga pemerintah Provinsi Papua bers!ap dlri dalam menghadapi era persaingan bebas terutama di wilayah Asia Pas!fik, dengan meningkatkan kualitas SDM dan standar hldup masyarakat Papua.
"
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T11975
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Edy Purnomo
"Provinsi Papua dan Papua Barat memperoleh kewenangan otonomi khusus melalui UU No. 21 Tahun 2001. Kewenangan otonomi khusus lebih luas dibandingkan otonomi daerah, bertujuan mengurangi kesenjangan Provinsi Papua dan Papua Barat. Dalam rangka otonomi khusus, Pemerintah memberikan penerimaan khusus yang digunakan dalam empat bidang yaitu pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan prioritas pada bidang pendidikan. Penelitian ini bersifat kualitatif dan kuantitatif, menggunakan metode analisa data berupa Cost Effectiveness Analysis serta menggunakan tehnik pemetaan hambatan untuk menjelaskan mengenai penyebab ketidakefektifan. Untuk menjelaskan pengaruh anggaran dana otsus terhadap tingkat pendidikan digunakan regresi dilakukan mengetahui pengaruh dana otsus terhadap tingkat pendidikan berupa angka melek huruf dan lama rata-rata sekolah. Sampai dengan tahun 2013, diperoleh hasil bahwa kebijakan pemberian dana dalam rangka otonomi khusus tidak efektif dalam meningkatkan pendidikan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Hal ini disebabkan oleh sejumlah permasalahan berupa permasalahan dibidang keuangan maupun permasalahan dibidang pendidikan.

The provinces of Papua and West Papua has a special autonomy by Law No 21 of 2001 Special autonomy authority greather than local autonomy aimed to reduce the gap the provinces of Papua and West Papua By special autonomy Government gave a special reception that used for four areas education health infrastructure and people economic empowerment with priority in education This research is a qualitative and quantitative study use data analysis method of Cost Effectiveness Analysis and also use mapping barriers technique to explained the causes of the ineffectiveness The use of quantitative approaches such as regression is performed to know the influence of special autonomy fund to the level of education in the form of long literacy rate and average school Until 2013 showed that the policy grants in the framework of special autonomy is not effective in improving education in Provinces of Papua and West Papua It is caused by a number of issues such as the problems in the financial sector and the problems in education."
Depok: Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia, 2016
T45484
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baskara Adi Pamungkas
"Revisi Otonomi Khusus Papua dilakukan setelah 20 tahun berjalannya otonomi khusus. Hal ini selain karena masa berlaku Otonomi Khusus Papua yang berakhir pada 2021, juga disebabkan karena berbagai pihak menilai implementasi Otonomi Khusus Papua belum berhasil mengejar ketertinggalan Papua dari provinsi lainya. Namun, dalam revisi terdapat perbedaan kepentingan antara pemerintah pusat yang ingin memperbaiki tata kelola pemerintah daerah dengan masyarakat Papua yang menginginkan penguatan perlindungan HAM. Pada akhirnya, kepentingan pemerintah pusat justru mendominasi revisi Otonomi Khusus Papua meskipun ditolak masyarakat Papua. Penelitian ini membahas proses perumusan revisi UU Otonomi Khusus Papua dan bagaimana kepentingan pemerintah pusat dapat dominan dalam revisi UU Otonomi Khusus Papua. Penelitian dilakukan secara kualitatif dengan pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan studi literatur. Dengan teori Konsultasi dengan Kelompok Kepentingan dan Pemberdayaan Eksekutif yang dikembangkan oleh Bunea, A., & Thomson, R, penelitian ini menemukan kepentingan pemerintah pusat dapat menjadi dominan karena menggunakan penelitian dan aspirasi dari beberapa kelompok kepentingan, seperti penelitian dari LIPI, KOMPAK, dan aspirasi dari pemerintah daerah Papua itu sendiri sebagai dasar legitimasi, sehingga DPR tidak memiliki dasar data untuk menentang kepentingan itu. Hal ini berimplikasi pada posisi dan kepentingan pemerintah pusat semakin kuat dalam proses perumusan revisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua pada tahun 2021.

The revision of Special Autonomy for Papua was carried out after 20 years of special autonomy. This is apart from the fact that the validity period of Special Autonomy for Papua ends in 2021, it is also because various parties assess that the implementation of Special Autonomy for Papua has not succeeded in catching up with Papua from other provinces. However, in the revision, there are differences in interests between the central government which wants to improve regional government governance and the Papuan people who want to strengthen human rights protection. In the end, the interests of the central government dominated the revision of Papua's Special Autonomy even though the Papuan people rejected it. This research discusses the process of formulating the revision of the Papua Special Autonomy Law and how the interests of the central government can be dominant in the revision of the Papua Special Autonomy Law. The research was conducted qualitatively with data collection carried out through interviews and literature studies. Using the theory of Consultation with Interest Groups and Executive Empowerment developed by Bunea, A., & Thomson, R., this research finds that the interests of the central government can become dominant because it uses research and aspirations from several interest groups, such as research from LIPI, KOMPAK, and aspirations from the Papuan regional government itself as a basis for legitimacy, so that the DPR has no data basis to oppose that interest. This has implications for the position and interests of the central government becoming stronger in the process of formulating the revision of the Papua Special Autonomy Law in 2021.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nada Intan Soraya
"Pada era modern saat ini, masyarakat cenderung menggunakan pembayaran dengan metode dompet digital dibandingan dengan cara konvensional. Melihat fenomena ini, Bank Indonesia tengah mengembangkan Central Bank Digital Currency atau biasa disebut sebagai Digital Rupiah sebagai alternatif alat pembayaran yang diharapkan dapat menjadi pelengkap pilihan pembayaran. Lebih lanjut, penelitian ini bertujuan untuk menjawab rumusan masalah mengenai bagaimana pengaturan penggunaan Rupiah Digital sebagai alternatif alat pembayaran menurut UU P2SK serta bagaimana dampak dan peran dari penggunaan Rupiah Digital terhadap eksistensi uang kartal di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penulisan hukum doktrinal dengan melakukan evaluasi normatif terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memberikan analisis lebih lanjut dan berkaitan dengan topik yang diangkat dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan mengenai CBDC telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, pada Pasal 10 menjelaskan bahwa Rupiah Digital diakui dan berfungsi sama seperti rupiah kertas dan logam sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Kemudian, penggunaan CBDC dapat menaikan jumlah transaksi internasional yang berpengaruh pada tingkat PDB maupun PNB suatu negara. Penggunaan CBDC sebesar sekian persen dari jumlah PDB suatu negara dapat menekan tingkat inflasi dan menaikan pendapatan negara. Akan tetapi, CBDC tidak semerta-merta menghapuskan penggunaan uang kartal sehingga penggunaan Rupiah Digital dan Uang Kartal harus dilakukan secara selektif, dominasi berlebih pada salah satunya dapat menimbulkan ketidakmaksimalan hasil yang diharapkan dalam kebijakan moneter yang dilakukan. Lebih lanjut, UU P2SK belum dapat menjadi landasan penerapan Rupiah Digital karena sifat dan muatannya sebagai undang-undang payung semata, sehingga diperlukan regulasi yang merinci yang mengatur mengenai Rupiah Digital di Indonesia serta diperlukan sosialisasi yang baik oleh pemerintah kepada masyarakat terkait peredaran dan penggunaan Rupiah Digital.

In today's modern era, people tend to use digital wallet payments compared to conventional methods. Seeing this phenomenon, Bank Indonesia is developing a Central Bank Digital Currency or commonly referred to as Digital Rupiah as an alternative payment method that is expected to complement payment options. Furthermore, this study aims to answer the formulation of the problem regarding how to regulate the use of Digital Rupiah as an alternative payment method according to the P2SK Law and the impact and role of the use of Digital Rupiah on the existence of paper money in Indonesia. This study uses a doctrinal legal writing method by conducting a normative evaluation of applicable laws and regulations that provide further analysis and are related to the topics raised in this study. The results of the study show that the regulation regarding CBDC has been regulated in Law Number 4 of 2023 concerning the Development and Strengthening of the Financial Sector, Article 10 explains that Digital Rupiah is recognized and functions the same as paper and metal rupiah as legal tender in Indonesia. Then, the use of CBDC can increase the number of international transactions that affect the GDP and GNP levels of a country. The use of CBDC of a certain percentage of a country's GDP can reduce inflation and increase state revenue. However, CBDC does not immediately eliminate the use of paper money so that the use of Digital Rupiah and Paper Money must be carried out selectively, excessive dominance of one of them can result in suboptimal results expected in the monetary policy carried out. Furthermore, the P2SK Law cannot yet be the basis for the implementation of Digital Rupiah because of its nature and content as an umbrella law alone, so that detailed regulations are needed that regulate Digital Rupiah in Indonesia and good socialization is needed by the government to the public regarding the circulation and use of Digital Rupiah."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafael Kapura
"Disertasi ini, membahas tentang proses politik dalam perumusan dan distribusi anggaran Otsus-RESPEK yang diberlakukan Barnabas Suebu-Abraham Atururi sebagai gubernur di kedua provinsi paling Timur Indonesia. Pembagunan dari kampung/kelurahan ke kota merupakan inti gagasan dari kebijakan politik anggaran Otsus-RESPEK tersebut.Tujuan penelitian adalah untuk memberikan gambaran utuh tentang kebijakan politik anggaran Otsus-RESPEK sebagai respon terhadap fenomena daerah.
Dalam mengkaji dan menganalisis proses kebijakan politik anggaran Otsus-RESPEK teori utama yang digunakan adalah teori konflik dan konsensus dari Maswadi Rauf serta konflik anggaran dari Irene Rubbin. Teori lain juga digunakan sebagai penunjang yaitu teori desentralisasi fiskal dari Mano Bird danVaillancourt, politik anggaran dari Aeron Wildavky dan Naomi Caiden, elit dari Zusanne Keller, Pareto dan Organski, kubus kekuasaan dari John Gaventa, pengawasan Pusat-Daerah dari Richard C.Crook dan James Manor, politik lokal dari Brian Smith, serta teori terakhir yang digunakan adalah politik etnis dari Clifford Geertz.Metode penelitian bersifat deskriptif analitis dengan perspektif kualitatif dengan wawancara mendalam (data primer) dan studi kepustakaan (data sekunder). Selain itu untuk menganalisis serta mendeskripsikan gagasan kebijakan politik anggaran Otsus-RESPEK secara mendalam.
Kesimpulan penelitian; Pertama, relasi kerja yang seimbang antara pemegang anggaran dan masyarakat tidak singkron; kedua, transparansi anggaran yang sesuai dengan regulasi manajemen kerja dan distribusi kekuasaan anggaran merupakan penghambat politik lokal di Papua dan Papua Barat.
Temuan penelitian; pertama, kerjasama konstruktif dan berkesinambungan antara Pusat dan Daerah (Papua dan Papua Barat) belum maksimal terbangun sehingga menyebabkan sikap saling tidak percaya; kedua, anggaran merupakan sumber power interplay dan konsensus diantara penguasa Pusat dan Daerah saat proses politik kebijakan dirumuskan; ketiga, primordialisme tidak dapat dihindarkan dalam mengembangkan pengunaan anggaran Otsus-RESPEK.
Implikasi teori dari penelitian ini mendukung teori konflik dan konsensus dari Maswadi Rauf dan Konflik dari Irene Rubbin, yang menyatakan bahwa anggaran merupakan sumber perdebatan politik sebagaimana terlihat dalam kebijakan politik anggaran Otsus-RESPEK. Perdebatan politik tentang anggaran bila tidak teratasi akan mengancam keutuhan negara. Karena anggaran bukan saja menjadi sumber perdebatan tetapi juga sebagai sumber perlindungan masyarakat, wilayah, pemerintahan dan pengakuan internasional. Hal ini, yang tidak diungkapkan oleh Rauf dan Rubbin dalam penelitian disertasi ini.

This dissertation discusses the political process in the budget formulation and distribution of RESPEK special autonomy (Otsus-RESPEK) which was enacted by Barnabas Suebu-Abraham Atururi as the governor of Papua and West Papua, two provinces in the easternmost part of Indonesia. The construction from villagesto cities was the core idea of the policies of Otsus-RESPEK's budget politics. The purpose of this study is to give a depiction of these policies as a response to the region.
In reviewing and analyzing the process of the policies of Otsus-RESPEK's budget politics, several theories are used. Maswadi Rauf's theory of conflict and consensus, as well as Irene Rubbin's theory of budget conflict are used as the main theory. The supporting theories are (1) Mano Bird's and Vaillancourt's theory of fiscal decentralization, (2) Aeron Wildavky's and Naomi Caiden's theory of budget politics, (3) Zusanne Keller's, Pareto's and Organski's theory of elite, (4) John Gaventa's theory of power cube, (5) Richard C. Crook's and James Manor's theory of Central-Local supervision, (5) Brian Smith's theory of local politics, (6) and Clifford Geertz's theory of ethnical politics. The method of this study is descriptive and analytical with a qualitative approach. Furthermore, this study uses in-depth interview (primary data) and literary review (secondary data) to analyze and describe thoroughly the idea of the policies of Otsus-RESPEK's budget politics.
This study has two conclusions. First, a balanced professional relationship between the budget holders and the people are not in sync. Second, budget transparency which is congruent to the regulations of work management and distribution of budget power hinders the local political growth in Papua and West Papua.
There are three principal findings in this research. First, constructive cooperation and unity between the Central and Local (Papua and West Papua) is not yet at its maximum. As a result, doubt arose between the two. Second, budget is the source of power interplay and consensus amongst Central and Local authorities when the policies are being formulated. Third, primordialism cannot be avoided in the development of Otsus-RESPEK's budget usage.
The theoretical implication supports Maswadi Rauf's theory of conflict and consensus, as well as Irene Rubbin's theory of conflict which states that budget is the source of political debates. This is evident in the policies of Otsus-RESPEK's budget politics. If a political debate on budget is not overcome, it could threaten the nation's unity. This is due to the fact that budget is not only a source of conflict, but also the source of protection for people, regions, government, and international acknowledgement. These facts are not revealed by Rauf and Rubbin in this dissertation's research.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
D1707
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>