Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 220669 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Daniel Kurniawan
"Fokus dari studi literatur ini adalah tentang hubungan antar suku bangsa di Indonesia. Dengan menggunakan perspektif antropologi secara khusus studi ini membahas tentang relasi etnis Tionghoa dengan kelompok etnik lainnya di Indonesia. Etnis Tionghoa adalah kelompok etnis yang telah lama datang dan bermukim di Indonesia. Namun dalam masa yang cukup panjang kelompok etnis Tionghoa mengalami diskriminasi dan tidak diperlakukan secara sebagai warga negara. Relasi Etnis Tionghoa dengan kelompok masyarakat lainnya dipengaruhi oleh kebijakan rasial pemerintah Belanda yang menggolongkan etnis Tionghoa di Indonesia sebagai orang asing. Kolonial Belanda memberlakukan etnis Tionghoa sebagai seorang yang ahli dalam berdagang dan berorientasi dalam bidang ekonomi. Puncak diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, terjadi di masa presiden Soeharto dengan menerapkan kebijakan asimilasi yang melarang semua kegiatan berbahasa mandarin dan menganjurkan ganti nama. Setelah era Reformasi sejak 1998, etnis Tionghoa dapat merasakan kemerdekaannya berekspresi terutama setelah presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kembali memperbolehkan etnis TIonghoa untuk merayakan imlek dan menunjukkan identitasnya. Tulisan ini berbentuk bibliografi beranotasi dan ingin memahami signifikansi studi dengan konteksnya saat ini.

This literature study focus on the relationship between ethnic groups in Indonesia. Using an anthropological perspective as an analytical lens, this study specifically discusses the relationship between the Chinese ethnicity and other ethnic groups in Indonesia. Ethnic Chinese group has been settled in Indonesia long before the European. However, for a long time the Chinese ethnic group in Indonesia experienced discrimination and were not treated as a full citizen. the Dutch racial policy which classifies ethnic Chinese in Indonesia as foreigners has shaped the relationship between Ethnic Chinese relations with other Indonesian ethnic groups. The Dutch colonial also regarded the Chinese group as an expert in trade and economic activities. The peak of this discrimination against ethnic Chinese occurred during the Soeharto era by implementing an assimilation policy that prohibited all Mandarin speaking activities and recommended Chinese people to change their mandarin names. After the Reformation era since 1998, the Chinese have been able to feel their freedom of expression, especially after President Abdurrahman Wahid or Gusdur allowed the Chinese to celebrate Chinese New Year and show their ethnic attribute and identities. This paper is in the form of a annotated bibliographic and wants to explore the significant of the finding with today context"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmadi Jayaputra
Jakarta: Departemen Sosial, 2005
301.451 ACH
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Yusup Salam
"Masalah premanisme dan kondisi tata ruang yang tidak beraturan di Pasar Tanah Abang seolah telah menjadi masalah yang tidak berujung, masalah tersebut tidak bisa hanya diliahat dari pengaruh aspek fisik namun juga perlu dilihat pengaruh dari aspek interaksi sosial yang ada di dalamnya, terutama kelompok etnik Betawi dan Cina yang merupakan kelompok etnik yang dominan di Tanah Abang karan perjalanan sejarah terbentuknya Tanah Abang yang terikat dengan dua kelompok etnik tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif studi kasus, dengan menganalisis secara mendalam interaksi sosial yang dilakukan kelompokn etnik Betawi dan Cina di pasar Tanah Abang serta faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya masalah premanisme dan perubahan penggunaan lahan di Tanah Abang. Ditemukan bahwa etnik Cina memiliki pengaruh yang cukup besar atas penataan ruang yang tidak beraturan di pasar Tanah Abang karna telah memberikan dampak perubahan penggunaan lahan di kawasan sekitar pasar Tanah Abang, sementara etnik Betawi telah memberikan pengaruh besar terhadap muncul masalah premanisme di Tanah Abang karna adanya pola intekasi bisnis keamanan dengan para pedagang dan pemilik bisnis di Tanah Abang.

The problem of thuggery and irregular spatial conditions at Tanah Abang Market seems to have become an endless problem, this problem cannot only be seen from the influence of the physical aspect but also needs to be seen from the influence of the aspects of social interaction in it, especially the Betawi ethnic group and The Chinese are the dominant ethnic group in Tanah Abang because of the historical course of the formation of Tanah Abang which is tied to the two ethnic groups. This study uses a qualitative case study approach, by analyzing in depth the social interactions carried out by ethnic Betawi and Chinese groups in the Tanah Abang market and what factors influence the emergence of the problem of thuggery and changes in land use in Tanah Abang. It was found that the Chinese ethnicity had a considerable influence on the irregular spatial planning at the Tanah Abang market because it had an impact on changes in land use in the area around the Tanah Abang market, while the Betawi ethnicity had a major influence on the emergence of thuggery problems in Tanah Abang due to the pattern of security business integration with traders and business owners in Tanah Abang."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian ini mengkaji fitur dan dinamika sistem kekerabatan perkawinan dalam realitas sosial budaya kelompok etnis Manggarai (KEM). Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian deskriptif...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muridan Satrio Widjojo
"Di bawah tekanan kondisi obyektif keberadaan PT Freeport Indonesia, program pembangunan pemerintah, dan juga operasi militer TM di wilayah Amungme sejak 1967 dan 1970-an, Amungme berjuang untuk mempertahankan keberadaan dan memperoleh pengakuan dari internal Amungme maupun dari pihak luar. Sebelum Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA) berdiri pada 1994 perjuangan Amungme bersifat spontan individual. Kalau pun dalam kelompok sifatnya tidak terorganisasi. Strategi-strategi yang diterapkan secara dominan didasarkan pada habitus tradisional Amungme dan hasilnya justru lebih banyak merugikan Amungme.
Sejak akhir 1980-an lapisan terdidik Amungme yang berdomisili di Timika dan Jayapura berinisiatif membuat lembaga adat, yaitu LEMASA yang berdiri pada 1994. Dalam perjuangannya memperoleh modal simbolis yakni pengakuan dan legitimasi baik secara internal maupun eksternal, Amungme memperbaharui dan memanfaatkan "adat" untuk membangun lembaga berbasis suku bangsa yang terbukti mampu mempersatukan dan memperjuangkan kepentingan Amungme. Solidaritas Amungme dapat dibangun kembali dan konflik berplatform separatis digeser menjadi masalah hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Dalam hubungannya dengan pihak luar Amungme membuka diri dan bekerjasama dengan pihak luar. Kemampuan Amungme untuk selalu mengembangkan strategi barunya diuntungkan oleh sejumlah unsur di dalam habitus habitus tradisional Amungme yang menempatkan pengetahuan dan kearifan sebagai nilai tertinggi serta terbuka pada kerjasama dengan pihak lain."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9876
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Revina Dewanti
"ABSTRAK
Diskriminasi etnis Tionghoa-Indonesia masih ada sampai sekarang, salah satu konteks untuk melihat diskriminasi tersebut melalui hubungan intim, spesifiknya hubungan romantis pada pasangan Tionghoa-Indonesia dan Indonesia asli. Peneliti pun mengangkat fenomena ini untuk melihat hubungan antara perceived discrimination dan kualitas hubungan romantis pada pasangan tersebut. Metode kuantitatif dan kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Sebanyak 40 partisipan penelitian beretnis Tionghoa-Indonesia dengan rentang umur 20-40 tahun dan sedang menjalani hubungan romantis dengan Indonesia asli selama minimal 6 bulan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat ukur adaptasi PEDQ (Perceived Ethnic Discrimination Questionnaire) dan adaptasi PBSC (Partner Behaviours as Social Context). Sebanyak 2 subjek menjadi partisipan untuk diwawancarai lebih mendalam. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara perceived discrimination dan dimensi-dimensi kualitas hubungan romantis (autonomy support, warmth, structure, chaos, rejection), sementara tidak ditemukan hubungan antara perceived discrimination dan dimensi coercion.

ABSTRACT
Discrimination against Chinese-Indonesian is still happening in Indonesia. It can be seen in the context of intimate relationship, specifically romantic relationship between Chinese-Indonesian and Native Indonesian. The purpose of this research is to identify the relationship between perceived discrimination and romantic relationship quality among these couples. Both quantitative and qualitative methods were used in this research. Forty Chinese-Indonesian around the age of 20-40 years old who have been in romantic relationship with Native Indonesian for at least 6 months were recruited as participants for this study. Perceived discrimination was measured with adapted versions of PEDQ (Perceived Ethnic Discrimination Questionnaire) and PBSC (Partner Behaviours as Social Context). Two participants were interviewed to discover more detailed informations. Results showed there was a significant correlation between perceived discrimination and dimensions of romantic relationship quality (autonomy support, warmth, structure, chaos, rejection), while significant correlation between perceived discrimination and coercion was not found."
2016
S63086
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Berry, Brewton
Boston: Houghton-Miffiln, 1958
305.8 BER r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Reza Palevi
"[ABSTRAK
Tingginya jumlah kekerasan kolektif dalam konflik antar kelompok etnis di Lampung menimbulkan kerugian nyawa dan materiil yang tidak sedikit. Pengaruh kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan yang terdapat di masyarakat menjadi pendorong timbulnya kekerasan kolektif. Penulisan tentang konflik yang terjadi antara kelompok etnis Lampung dan kelompok etnis Bali yang terjadi di desa Balinuraga ini menempatkan gejala tersebut dalam konteks tingkah laku kekerasan kolektif menggunakan model analisis dari teori tingkah laku kolektif oleh Smelser. Hasil analisa penulisan ini menunjukkan adanya faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan kolektif antar kelompok etnis Lampung dan kelompok etnis Bali di desa Balinuraga. Faktor tersebut berupa, faktor kondusifitas struktural akibat persaingan ekonomi dan ketidakadilan yang menimbulkan ketegangan struktural. Ketegangan ini menjadi sebuah keyakinan yang kemudian disebarluaskan dan dipertegas dengan adanya faktor peristiwa pencetus, sehingga mendorong upaya mobilisasi secara kolektif. Upaya pencegahan dari aparat pengendali sosial yang tidak maksimal menyebabkan kekerasan kolektif semakin meluas.

ABSTRACT
The high rate of collective violence in the inter-ethnic groups conflicts in Lampung causes significant loses. Economic gap and injustice are the driving force behind the collective violenc. This paper will elaborate conflicts between Lampung and Bali ethnic group in Balinuraga and places the phenomenom in the context of collective violence by using analysis model of Smelser?s Collective Behaviour Theory. The analysis shows factor that lead to collective violence between Lampung and Bali ethnic group in Balinuraga. Those factors are included structural conduciveness as the result of economic competitiveness and injustice which cause structural tension. This tension has turned into conviction that is sisseminated and reinforced by events that drive collective mobilisation. Prevention efforts by social controlling apparatus have ot been optimal and thus causes further collective violence., The high rate of collective violence in the inter-ethnic groups conflicts in Lampung causes significant loses. Economic gap and injustice are the driving force behind the collective violenc. This paper will elaborate conflicts between Lampung and Bali ethnic group in Balinuraga and places the phenomenom in the context of collective violence by using analysis model of Smelser’s Collective Behaviour Theory. The analysis shows factor that lead to collective violence between Lampung and Bali ethnic group in Balinuraga. Those factors are included structural conduciveness as the result of economic competitiveness and injustice which cause structural tension. This tension has turned into conviction that is sisseminated and reinforced by events that drive collective mobilisation. Prevention efforts by social controlling apparatus have ot been optimal and thus causes further collective violence.]"
2015
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Purwito Hidayat
"Konflik horizontal di Poso Sulawesi Tengah yang terjadi dalam kurun waktu 1998-2001 mengakibatkan perubahan tatanan sosial dalam masyarakat Poso. Penelitian ini ingin melihat proses-proses komunikasi antar budaya masyarakat Pamona dan Bugis pasca konflik khususnya manajemen konflik, proses facework dalam negosiasi wajah, identitas, stereotipe, prasangka dan etnosentrisme serta aspek-aspek sosial, ekonomi dan budaya dalam interaksinya. Dengan paradigma interpretif, pendekatan kualitatif dan metoda etnografi dimana peneliti terjun langsung dan tinggal bersama-sama masyarakat Poso di beberapa daerah. Pada proses negosiasi dan rekonsiliasi konflik jika dilihat menggunakan face negotiation theory maka kedua komunitas cenderung bersifat kolektivistik dan menyelesaikan konflik dengan menjaga ‘wajah’ kelompok lainnya. Gaya penyelesaian konflik antar kedua komunitas cenderung sebagian menggunakan compromising style, pasca konflik justru negosiasi yang banyak digunakan adalah avoiding style. Stereotipe, Prasangka dan Etnosentrisme yang berkembang dari masing-masing kelompok dapat menjadi hambatan dalam proses-proses komunikasi antar budaya serta kerentanan dan kerawanan akan potensi konflik berikutnya.

Horizontal conflicts in Poso, Central Sulawesi, which occurred in the period 1998-2001 resulted in changes in the social order in the society Poso. This study wanted to see the processes of intercultural communication between Pamona society and Bugis post-conflict especially conflict management, negotiation process in the face facework, identity, stereotypes, prejudice and ethnocentrism as well as social aspects, economic and cultural interaction. Using interpretive paradigm, qualitative approaches and of ethnography method, the researcher directly involved and lived together people of Poso in some areas. In the negotiation process and conflict reconciliation when viewed using face negotiation theory, the two communities tend to be collectivistic and resolve conflicts by keeping the 'face' of others. Style of conflict resolution between the two communities tend to mostly use the compromising style, post-conflict negotiations are widely used it is avoiding style. Stereotypes, prejudice and ethnocentrism that developed from each group can be a bottleneck in the processes of intercultural communication as well as the vulnerability and insecurity will be the next potential conflict.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35566
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Nur Ichsan Azis
"Tulisan ini mendeskripsikan orang-orang Arab di Manado, baik sebagai etnis, pelaku niaga, hingga orang yang berpengaruh pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Etnis Arab tergolong masyarakat yang aktif dalam kegiatan perdagangan, terutama pada perpindahan komoditas hingga pertengahan abad ke-20. Mereka menjadi salah satu etnis yang memainkan beberapa peran penting dalam struktur masyarakat Nusantara, termasuk di Manado. Aktivitas tersebut memengaruhi proses perpindahan penduduk, diaspora, pembentukan identitas, dan poros jejaring niaga menjelang awal abad ke-20. Manado menjadi kawasan strategis yang menghubungkan beberapa bandar utama dan kecil untuk para pedagang Arab. Tulisan ini menggunakan metode sejarah untuk meneliti komunitas Arab yang masih bertahan sampai sekarang. Diaspora etnis Arab ke Manado mendorong kekuatan orang-orang Arab di Nusantara. Jejaring yang terbentuk berdampak pada pembentukan identitas agama yang melekat pada etnis Arab di Manado menjelang awal abad ke-20 M. Salah satu faktor pendorong kekuatan etnis Arab adalah perekonomian yang mampu memanfaatkan ruang di antara para pelaku niaga lainnya. Akibatnya, mereka menjadi kekuatan baru di awal abad ke-20 yang mampu menarik perhatian penduduk setempat untuk tetap menjalin relasi."
Kalimantan Barat : Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2020
900 HAN 4:1 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>