Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 195391 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Taufik Akbar
"Latar Belakang: Penatalaksanaan defek tulang dengan terapi regeneratif seperti penggunaan sekretom berpotensi mengatasi kekurangan, seperti morbiditas donor, dari pencangkokan tulang autologus. Namun hingga saat ini belum ada penelitian yang meneliti perbedaan kemampuan pertumbuhan tulang dari sekretom asal sel punca tali pusat, jaringan lemak, dan sumsum tulang.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian eksperimental hewan menggunakan 63 tikus, dibagi menjadi 5 kelompok besar, yaitu kelompok sekretom sel punca mesenkimal (SPM) asal tali pusat, jaringan lemak, sumsum tulang, kontrol tanpa tindakan, dan kontrol dengan hidroksiapatit. Setiap tikus dioperasi sesuai dengan tindakannya, kelompok perlakuan diberi perlakuan sekretom yang sesuai dan hidroksiapatit dan kemudian kalus yang terbentuk diperiksa 2 minggu kemudian. Pemeriksaan luaran menggunakan histopatologi, berupa histomorfometri (area penulangan, fibrosis dan kartilago) dan pulasan immunohistokimia Bone Morphonegetic Protein (BMP)-2, dan pemeriksaan Enzyme Linked Immunoabsorbent Assay (ELISA) protein Indian Hedgehog (Ihh).
Hasil: Kelompok yang mendapatkan sekretom asal SPM jaringan lemak memiliki area penulangan terbanyak, sedangkan kedua kelompok kontrol terendah (p<0,001), kelompok sekretom asal SPM sumsum tulang memiliki area kartilago terbanyak (p=0,134), dan kedua kelompok kontrol memiliki area fibrosa terbanyak (p=0,198). Skor BMP-2 tertinggi tampak pada kelompok sekretom asal SPM adiposa dan paling rendah pada kelompok kontrol (p<0.001). Kadar protein Ihh secara bermakna paling tinggi pada kelompok sekretom asal SPM sumsum tulang, dan paling rendah pada kelompok kontrol (p<0.001)
Kesimpulan: Sekretom memiliki kemampuan osteogenitas, dengan sekretom asal SPM jaringan adiposa yang memiliki kemampuan penulangan tertinggi pada tikus dengan defek tulang kritis, dibandingkan dengan kelompok sekretom lainnya dan kelompok yang tanpa diberikan tindakan

Introduction: The management of bone defects with regenerative therapy using a secretome, for example, is promising and potentially may outweigh the shortcoming of autologous bone graft therapy such as donor morbidity. However, not many studies have compared the differences in the capabilities of bone growth from secretome derived from umbilical cord, adipose and bone marrow stem cell.
Methods: This research is an experimental animal study using 63 rats. A total of 63 rats were divided into 5 major groups (umbilical cord, adipose, bone marrow stem cell secretomes, control without treatment, and control with hydroxyapatite). Each mice was treated accordingly and the harvesting was done after 2 weeks. All samples were examined histopathologically using histomorphometry (ossification, fibrosis, and cartilage area) and Bone Morphogenetic Protein (BMP)-2 immunohistochemistry staining and Enzyme Linked Immunoabsorbent Assay (ELISA) Indian Hedgehog (Ihh) protein
Results: The percentage of ossification area was significantly highest in the adipose stem cell secretome group, and the lowest in both control group (p<0.001). The highest percentage of cartilage area was seen in the bone marrow stem cell secretome group (p=0.134) and the highest percentage of fibrous area was seen in both control group (p=0.198). The highest BMP-2 score was seen in the adipose stem cell secretome group and the lowest was in the control group (p<0.001). Level of Ihh protein was significantly highest in the bone marrow stem cell group group and lowest in the control group (p<0.001)
Conclusion: Secretome had osteogenic inducing ability, with adipose stem cell-derived secretomes having the highest bone density in mice with critical bone defects, compared to the other secretome groups and the control group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Alfiansyah
"Dalam tubuh manusia, bahan implan tidak hanya berinteraksi dengan ion anorganik, tetapi juga berinteraksi dengan senyawa organik, terutama protein. Variasi konsentrasi 0 g/L – 0,4 g/L Bovine Serum Albumin (BSA) sebagai protein yang disimulasikan ditambahkan pada larutan Phosphate Buffered Saline (PBS) untuk mengamati perilaku korosi niobium (Nb) melalui pengujian elektrokimia dan karakterisasi permukaan. Berdasarkan analisis kurva polarisasi potensiodinamik, didapatkan nilai potensial korosi yaitu -0,84 V; -0,86 V; -0,87 V; -0,87 V dan rapat arus korosi 4,4 μA cm-2; 2,9 μA cm-2; 1,9 μA cm-2; 1,9 μA cm-2. Nilai potensial dan rapat arus korosi menurun seiring penambahan konsentrasi BSA, menyebabkan laju korosi yang menurun juga. Analisis hasil karakterisasi XRD menunjukkan bahwa fasa oksida dari Nb tidak muncul, karena lapisan oksida yang terbentuk sangat tipis. Pengamatan morfologi permukaan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) juga didapatkan jumlah kerusakan akibat serangan korosi semakin berkurang seiring penambahan konsentrasi BSA.

In the human body, the material of the implant is not only interact with the inorganic ions, but also interact with organic compounds, especially proteins. Variation of the concentration of 0 g/L to 0.4 g/L Bovine Serum Albumin (BSA) as a protein that is simulated is added in a solution of Phosphate Buffered Saline (PBS) to observe the corrosion behavior of niobium (Nb), through testing and electrochemical characterization of the surface. Based on the analysis of the curves of potentiodynamic polarization, obtained the value of the corrosion potential that is -0.84 V; -0.86 V; -0.87 V; -0.87 V and current density of corrosion of 4.4 µA cm-2; a 2.9 µA cm-2; the 1.9 µA cm-2; A 1.9 µA cm-2. The value of the potential and current density of corrosion decreases as the addition of the concentration of BSA, causing the corrosion rate decreased as well. Analysis of the results of XRD characterization shows that the phase of the oxide of Nb does not appear, because the oxide layer formed is very thin. The observation of surface morphology using Scanning Electron Microscope (SEM) also showed the amount of damage due to corrosion attack on the wane as the addition of the concentration of BSA."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Mushabhanif Ghazy
"Magnesium merupakan jenis logam dengan biokompatibilias yang sangat baik dan sifat mekanik yang paling mendekati tulang manusia sehingga cocok untuk digunakan sebagai material implan tulang mampu luruh. Akan tetapi, magnesium memiliki dua permasalahan utama dimana kemampubentukan yang terbatas karena struktur kristal HCP dan ketahanan korosi yang kurang baik. Beberapa metode yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan penambahan unsur paduan atau dengan diberikan perlakuan termomekanik. Pada penelitian ini, logam magnesium akan diberikan unsur paduan litium (Li) sebanyak 14%wt (persen berat) dan alumunium (Al) sebanyak 1%wt (persen berat). Selain penambahan unsur paduan, paduan magnesium akan diberikan perlakuan termomekanik dimana pada penelitian ini metode yang digunakan adalah pencanaian dingin (cold rolling) dan annealing. Proses cold rolling akan dilakukan dengan tiga variasi persen reduksi sebesar 30%, 60% dan 90% dimana proses annealing dilakukan pada temperatur 300oC dengan waktu tahan satu jam dan laju pemanasan sebesar 5oC/menit. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa penambahan dari unsur paduan litium (Li) dan alumunium (Al) dapat meningkatkan keuletan dari paduan LA141 karena dihasilkan fasa β-Li dan θ-MgAlLi2. Proses perlakuan panas yang dilakukan dapat menghasilkan fenomena rekristalisasi sehingga dihasilkan mikrostruktur dengan ukuran butir yang lebih seragam. Selain itu, sampel dengan 90% reduksi menghasilkan nilai kekerasan yang tertinggi dengan nilai 76,81 HV untuk sampel non-HT dan 83,58 HV setelah dilakukan perlakuan panas (HT). Berdasarkan hasil penelitian ini maka metode penguatan yang terjadi pada paduan LA141 adalah penguatan dengan bantuan presipitat dan penguatan batas butir.

Magnesium is a metal with impressive biocompatibility and mechanical properties that are closest to the human bone, making it suitable to be used as a material for biodegradable implants. However, magnesium has two major problems limited formability due to the HCP crystal structure and poor corrosion resistance. Several methods can be used to solve this problem, including adding alloying elements or providing thermomechanical treatment. This research will use 14 wt% lithium (Li) alloy and 1 wt% aluminum (Al) alloy as alloying elements in magnesium metal. Aside from the addition of alloying elements, thermomechanical treatment can help increase the mechanical properties of magnesium alloy. In this research, the methods used are cold rolling and annealing. The cold rolling process will be carried out with three variations of percent reduction as 30%, 60%, and 90% where the annealing process is carried out at 300oC with a one-hour holding time and the heating rate is 5oC/minute. The results of this research indicate that the addition of lithium (Li) and aluminum (Al) alloy elements can increase the ductility of the LA141 alloy because it produces β-Li and θ-MgAlLi2 phases. The heat treatment process can produce a recrystallization phenomenon, resulting in a more uniform grain size (fine grain) microstructure. In addition, samples with 90% reduction produced the highest hardness values, with 76.81 HV for non-HT samples and 83.58 HV after heat treatment. Based on the results of this research, the strengthening methods that occur for LA141 are solid solution strengthening and grain boundary strengthening."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Putu Wahyu Diasmika
"Tulang tengkorak berfungsi untuk membentuk struktur kepala dan melindungi organ-organ penting di dalamnya. Keretakan tulang tengkorak dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, mental, dan bahkan kematian. Polilaktida (PLA) telah menjadi salah satu bahan implan yang paling banyak digunakan untuk keretakan tulang tengkorak. Hal ini dikarenakan PLA memiliki sifat toksisitas yang rendah, biokompatibilitas, dan biodegradabilitas, serta sifat mekanis yang baik. Salah satu turunan dari PLA adalah PLLA (poli(L-laktida)) dengan struktur semi-kristalin yang digunakan pada penelitian ini. PLLA tersebut perlu dilakukan alterasi supaya sifat mekanis dan sifat degradasi sesuai dengan aplikasi pelat fiksasi patah tulang kraniomaksilofasial. Bahan yang ditambahkan dalam matriks PLLA merupakan agar-agar dengan struktur amorf. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh komposisi campuran yang optimal dari variasi campuran agar-agar, yaitu 4%, 8%, dan 12%. Pencampuran menggunakan metode melt-blending yaitu mencampurkan dan mengaduk bahan dalam kondisi lelehan. Sampel dicetak dengan dimensi 80×10×4 mm sesuai standar ISO 178 untuk pengujian kekuatan tekuk polimer. Sampel dilakukan karakterisasi FTIR, TGA, DSC, three-point bending UTM. Hasil karakteriasi dengan FTIR menunjukan terdapat gugus C=O, C-H simetris dan asimetris, C-O, C-COO, serta pergeseran nomor gelombang karena pengaruh suhu yang lebih tinggi. Selain itu, karakteriasi termal TGA menunjukan bahwa campuran dengan konsentrasi agar-agar yang lebih tinggi menunjukkan degradasi yang lebih besar pada suhu campuran 180°C. Suhu yang lebih tinggi juga mempercepat degradasi agar-agar dalam campuran. Hasil DSC menunjukan bahwa semakin tinggi penambahan agar-agar dalam matriks PLLA, maka titik leleh dan %Xc dari PLLA akan semakin menurun. Hal tersebut juga berdampak dengan hasil pengujian sifat mekanis, di mana kekuatan tekuk semakin menurun seiring bertambahnya agar-agar. Nilai dari kekuatan tekuk dan regangan cenderung terus menurun dari 0,87 hingga 0,35 MPa seiring dengan bertambahnya kadar agar-agar dalam matriks PLLA baik untuk T1 (160oC) maupun T2 (180oC).

The skull functions to form the structure of the head and protect the vital organs within it. Skull fractures can cause various health issues, mental disturbances, and even death. Polylactide (PLA) has become one of the most widely used implant materials for skull fractures due to its biocompatibility, biodegradability, low immunogenicity and toxicity, and good mechanical properties. The main material used is poly(L-lactide) (PLLA) with a semi-crystalline structure. The PLLA needs to be altered to achieve the appropriate mechanical and degradation properties for craniomaxillofacial fracture fixation plates. Agar-agar with an amorphous structure is added to the PLLA matrix. This study aims to obtain the optimal composition from the variations of agar-agar mixtures, namely 4%, 8%, and 12%. The mixing is done using the melt-blending method, which involves mixing and stirring the materials in a molten state. Samples are molded to dimensions of 80×10×4 mm according to ISO 178 standards for polymer bending strength testing. The samples are characterized using FTIR, TGA, DSC, and three-point bending UTM. The FTIR characterization results show the presence of C=O, symmetric and asymmetric C-H, C-O, C-COO groups, and shifts in wave numbers due to the influence of higher temperatures. Additionally, the TGA thermal characterization shows that mixtures with higher agar-agar concentrations exhibit greater degradation at a mixing temperature of 180°C. Higher temperatures also accelerate the degradation of agar-agar in the mixture. DSC tests indicate that the higher the addition of agar-agar in the PLLA matrix, the more the melting point and %Xc of PLLA decrease. This also impacts the mechanical properties test results, where the bending strength decreases with increasing agar-agar content. In the mechanical properties test, the values of bending strength and strain tend to continuously decrease with increasing agar-agar content in the PLLA matrix for both T1 (160oC) and T2 (180oC)."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marthan Lassandy
"ABSTRAK
Manufaktur adalah suatu kegiatan pengolahan bahan baku menjadi produk setengah jadi atau produk jadi. Selain proses manufaktur di dalam perindustrian adalah perancangan produk, seleksi material, distribusi material yang dibutuhkan untuk menciptakan suatu produk. Suatu produk yang dihasilkan dari suatu sistem manufaktur, mempunyai suatu indeks kompleksitas produk yang menggambarkan bahwa produk tersebut dibuat dengan tingkat kompleksitas tertentu. Metode terpilih dalam aplikasi implant miniplate adalah metode kuantitatif dengan gabungan pendekatan analitis, karena dianggap sesuai dan didasarkan pada rincian analisis desain produk, fiturnya, yang disesuaikan dengan proses manufaktur pada kasus terkait, bukan hanya mengandalkan data masa lalu atau pengetahuan tentang seorang estimator. Implant miniplate tergolong baru dan merupakan produk yang pertama dibuat maka metode kualitatif tidak sesuai dengan aplikasi yang dipilih. Indeks kompleksitas proses dari proses manufaktur implant miniplate adalah 101,9 Estimasi biaya proses dari proses manufaktur implant miniplate dengan menggunakan gabungan teknik analitis adalah Rp 139.150,9 Indeks kompleksitas proses dan biaya dari proses manufaktur implant miniplate pada tahap awal desain dapat dilakukan dengan bantuan software Siemens Nx 8 sebagai panduan penentuan waktu dengan parameter yang sama.

ABSTRACT
Manufacturing is an activity of processing raw materials into semi finished or finished products. In addition to manufacturing processes within the industry are product design, material selection, material distribution needed to create a product. A product produced from a manufacturing system, has an index of product complexity that illustrates that the product is made with a certain degree of complexity. The preferred method in miniplate implant application is a quantitative method with a combined analytical approach, as it is considered appropriate and based on the details of the product design analysis, its features, tailored to the manufacturing process in the related case, rather than relying only on past data or the knowledge of an estimator. Miniplate implants are new and are the first product created then the qualitative method does not match the selected application. The process complexity index of the miniplate implant manufacturing process is 101.9 The estimated process cost of the miniplate implant manufacturing process using a combined analytical technique is Rp 139.150.9 The process and process complexity index of the miniplate implant manufacturing process in the early stages of the design can be done with the help of Siemens software Nx 8 as a timing guide with the same parameters. "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
T50638
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Fiolin
"Defek tulang luas belum memiliki solusi memuaskan walaupun dengan kemajuan teknik operasi dan agen biologis terbaru. Penggunaan sel punca mesenkimal (SPM) menunjukkan proliferasi dan diferensiasi minimal pasca implantasi. Sekretom dapat menjadi alternatif SPM sebagai produk siap pakai dengan efek osteoinduktor yang poten. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek sekretom pada penyembuhan defek luas tulang panjang pada tikus Sprague Dawley (SD) secara radiologis dan histologis. Sebanyak 60 ekor tikus SD dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kontrol, SPM, sekretom, SPM+sekretom, dan SPM+sekretom+BMP-2. Setelah 2 dan 4 minggu, dilakukan pemeriksaan radiologis dengan skor RUST (Radiographic Union Score for Tibial) dan histomorfometri dengan Image J (total kalus, area penulangan, tulang rawan, fibrosis, dan void). Pada berbagai pasase dan waktu, BMP-2 hanya terdapat dalam kadar yang sangat kecil di dalam sekretom. Pemberian sekretom lebih superior pada kelompok lain secara radiologis dan histomorfometris pada setiap waktu. Pemberian sekretom mengandung banyak faktor pertumbuhan dan sitokin yang dapat mempercepat dan meningkatkan penyembuhan tulang. Implantasi SPM xenogenik dapat memperpanjang proses inflamasi pada dan kombinasinya dengan sekretom memberikan efek toksistas terhadap penyembuhan tulang Sekretom, baik digunakan secara tunggal maupun kombinasi dengan SPM dan BMP-2 merupakan agen osteoinduktor baru yang poten dalam perbaikan tulang pada model tikus dengan defek tulang luas.

Critical sized defect (CSD) has been a problem despite advanced surgical techniques and new biologic agent. Recent literatures have shown that bone marrow derived Mesenchymal Stem Cell (BM-MSC) proliferate and differentiate only in a small amount upon implantation. Meanwhile secretome which previously was considered as waste product during MSC culture, may now presents considerable advantages over living cells in terms of potency, manufacturing, storage, cost, and potential as a ready-to-go osteoinductor agent. The study aimed to determine the effect of secretome in the healing of CSD SD (Sprague Dawley) rat by radiographic and histologic analysis. A total of 60 SD-rat were divided into 5 groups including, control (normal saline), MSC, secretome, MSC+secretome, MSC+secretome+BMP-2. After 2 and 4 weeks, RUST (Radiographic Union Score for Tibia) and histomorphometric (callus, osseous, cartilage, fibrous and void area) evaluation using Image J are compared. Secretome group is superior to other group significantly in all parameters at all time. Implantation of xenogenic MSC might prolong the inflammation phase of bone healing while the MSC+secretome group suggest the toxicity effect decreasing the bone formation area. Secretome, whether used solely or combined with BM-MSC and BMP-2, is a novel, potent bone-healing agent for CSD in rat models."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59205
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Januar Chrisant Fladimir Makabori
"Pendahuluan: Defek tulang kritis adalah hilangnya struktur tulang yang melebihi ukuran kritis kemampuan tulang untuk beregenerasi. Pencangkokan tulang autologus sebagai terapi standar diperlukan pada defek tulang yang luas. Namun, hal ini dikaitkan dengan berbagai morbiditas. Penggunaan eksosom dari sel punca mesenkimal tali pusat (SPM- TP) dan PRF cukup menjanjikan dan berpotensi menjadi alternatif untuk mencapai penyembuhan defek tulang kritis.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental post-test only control group design dengan menggunakan 30 ekor tikus Sprague Dawley yang berusia 8-12 minggu dengan berat badan sekitar 250-300 gram. Tikus-tikus tersebut kemudian dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan, yaitu hidroksiapatit (HA) dan cangkok tulang (kelompok I), HA, cangkok tulang, dan PRF (kelompok II), HA, cangkok tulang, dan eksosom dari UC-MSC (kelompok III), HA, cangkok tulang, PRF, dan eksosom dari UC-MSC (kelompok IV), serta HA, PRF, dan eksosom dari UC-MSC (kelompok V). Pada setiap tikus, defek tulang femur 5mm dibuat dan difiksasi secara internal menggunakan ulir kawat K 1,0-1,2 mm. Pada minggu keempat masa tindak lanjut, pemeriksaan RT-PCR dilakukan untuk menilai kadar BMP-2 dan chordin, serta pemeriksaan histomorfometri untuk mengukur persentase area osifikasi, area fibrosis, dan area void. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan uji ANOVA satu arah dan uji post-hoc untuk menentukan signifikansi hasil.
Hasil: Pada pemeriksaan RT-PCR, ekspresi gen BMP-2 tertinggi ditemukan pada kelompok I (1,0 - 1,5; median 1,2), diikuti oleh kelompok II (0,2 - 1,2; median 0,5), kelompok IV (0,3 - 0,7; median 0,4), kelompok III dan kelompok V. Sementara itu, ekspresi gen chordin tertinggi terdapat pada kelompok III (0 - 50), diikuti oleh kelompok lainnya dengan nilai yang sama. Namun, analisis deskriptif menunjukkan tidak ada korelasi yang signifikan antara tingkat BMP-2 dan chordin pada defek tulang kritis, dengan nilai p masing-masing 0,096 dan 0,690. Analisis statistik menunjukkan hasil yang signifikan untuk BMP-2 (p = 0,017) sementara chordin (p = 0,269) dan analisis histomorfometri untuk area osifikasi, fibrosis, dan inflamasi kronis (jaringan granulasi), dan area kosong tidak menunjukkan signifikansi statistik (p = 0,591, p = 0,581, p = 0,196).
Diskusi: Penggunaan PRF dan eksosom dari SPM-TP secara terpisah menunjukkan hasil yang berbeda, dimana PRF menunjukan hasil yang baik pada osteogenesis dan
eksosom dari SPM-TP menunjukan hasil lebih tinggi dalam pembentukan jaringan fibrosis, dan inflamasi kronis (jaringan granulasi). Pada beberapa penelitian, PRF terbukti meningkatkan kadar BMP-2 dan diferensiasi osteoblas, sehingga mempercepat proses osteogenesis. Namun, penggunaan eksosom dan PRF secara bersamaan belum diteliti pengaruhnya terhadap defek tulang kritis. Dalam penelitian ini, hasil yang berlawanan ditemukan daripada hasil yang diharapkan, dengan kadar BMP-2 yang relatif rendah pada kelompok perlakuan kombinasi dibandingkan dengan kelompok lain, dan adanya peningkatan kadar chordin pada kelompok perlakuan kombinasi. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi PRF dan eksosom dari SPM-TP dapat menghasilkan efek negatif pada osteogenesis.
Kesimpulan: Secara terpisah, PRF telah terbukti memiliki efek positif pada osteogenesis, sedangkan eksosom dari SPM-TP menunjukan hasil lebih tinggi dalam pembentukan jaringan fibrosis, dan inflamasi kronis (jaringan granulasi). Kombinasi keduanya dalam penelitian ini, tidak memberikan efek positif terhadap regenerasi defek tulang kritis.

Introduction: Critical bone defect is a loss of bone structure that exceeds the critical size of the bone's ability to regenerate. Autologous bone grafting as the standard therapy is needed in extensive bone defects. However, it is associated with various morbidities. The use of exosome from umbilical cord mesenchymal stem cell (UC-MSC) and PRF is promising and has the potential to be an alternative to achieve healing of critical bone defects.
Methods: This study was an experimental post-test only control group design using 30 Sprague Dawley rats aged 8-12 weeks, weighing about 250-300 grams. They were then divided into 5 treatment groups, namely hydroxyapatite (HA) and bone graft (group I), HA, bone graft, and PRF (group II), HA, bone graft and exosome from UC-MSC (group III), HA, bone graft, PRF, and exosome from UC-MSC (group IV), and HA, PRF, and exosome from UC-MSC (group V). In each rat, a 5mm femoral bone defect was created and internally fixated using a 1.0-1.2 mm K-wire threaded. At the fourth week of follow- up, RT-PCR examination was performed to assess BMP-2 and chordin levels, as well as histomorphometry examination to measure the percentages of ossification area, fibrotic area, and void area. Statistical analysis was conducted using one-way ANOVA and post- hoc tests to determine the significance of the results.
Results: In the RT-PCR examination, the highest BMP-2 gene expression was found in group I (1.0 - 1.5; median 1.2), followed by group II (0.2 - 1.2; median 0.5), group IV (0.3 - 0.7; median 0.4), group III and group V. Meanwhile, chordin gene expression was highest in group III (0 - 50), followed by the other groups with similar values. However, descriptive analysis showed no significant correlation between BMP-2 and chordin levels in critical bone defects, with p values of 0.096 and 0.690 each. Statistical analysis showed significant results for BMP-2 (p = 0.017) while chordin (p = 0.269) and histomorphometry analysis for ossification, fibrotic, and void area showed no statistical significance (p = 0.591, p = 0.581, p = 0.196, respectively).
Discussion: The use of PRF and exosomes from SPM-TP separately showed different results, where PRF showed good results in osteogenesis and exosomes from SPM-TP showed higher results in fibritic tissue formation. However, the use of both exosomes and PRF together has not been studied for their effect on critical bone defects. In this study, the opposite results were found instead of the expected results. This may indicate that the combination of PRF and exosome from UC-MSC could possibly yield a negative effect on osteogenesis.
Conclusion: The combination of PRF and exosome from UC-MSC did not yield positive effect on the outcomes examined in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Iqbal Rizky Ramadhan
"Saat ini sebagian besar produk implan yang beredar di Indonesia adalah produk impor. Kementerian Kesehatan dan Kementerian Riset,Teknologi,dan Pendidikan Tinggi mendorong produksi produk implan dalam negeri supaya bisa menjadi alternatif produk implan yang selama ini didominasi oleh produk impor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan pullout dan torsi dari screw domestik yang telah dibuat dengan mengacu kepada STM F-543 tentang metode pengetesan untuk screw tulang. Spesifikasi screw yang digunakan dalam penelitian ini adalah screw titanium berukuran M1.5 yang digunakan untuk fiksasi pada area maksilofasial. Performa pullout dicari dengan menggunakan cara eksperimen, finite elemen, dan matematikal. Performa pullout screw domestik kemudian dibandingkan dengan performa screw impor. Sedangkan untuk performa torsi hanya dilakukan dengan cara eksperimen kemudian dibandingkan dengan performa dari screw impor.
Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa nilai pull out screw domestik adalah 10,02 N dan screw impor 11,88 N. Nilai screw domestik dibandingkan dengan hasil finite elemen menunjukkan bahwa terjadi error sebesar 10,30. Sedangkan dengan menggunakan analitikal menggunakan chapman yang dimodifikasi didapat nilai sebesar 10,12 N atau error sebesar 1 Dari nilai yang didapat menunjukkan bahwa performa pullout screw domestik lebih buruk dari screw impor. Untuk performa torsi kedua screw menunjukkan performa yang sama baiknya yaitu 0,029 Nm untuk screw domestic dan 0,028 Nm untuk screw impor. Akan tetapi screw domestik membutuhkan gaya yang lebih besar untuk dipasang karena memiliki ujung yang lebih tumpul dari screw impor.

Currently, the most of implant products that sold at Indonesia are imported product. The Ministry of Health and the Ministry of Research, Technology and Higher Education stimulate domestic implant production as an alternative for imported products that have been dominating domestic market. This study aims to observe domestic titanium screw performance especially from torque and pull out performance based on ASTM F 532 about test method for metallic bone screw. The implant spesification that observed is screw M1.5 for maxillofacial region. Those performances are tested using experimental approach, Finite Element Analysis FEA, and mathematical approach for pull out and only experimental approach for torque test.
The results of this study show that the value of pull out from domestic titanium screw UI and commmercial screw respectively are 10,02 N and 11,88 N. This result for domestic screw UI is not slightly different from result which using FEA approach with error 10,30 for pull out. In the other hands, mathematical approach using chapman modified method give error 1 for pull out. The result of this study shows that the value of pull out performance of domestic titanium screw is a little bit worse than imported commercial product. For torwque performance, domestic screw UI has value 0,029 Nm which is as good as commercial screw with value 0,028 Nm. But, domestic screw needs more force to drive the screw into test block because it has duller tip than commercial screw.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahresa Hilmy
"Defek kritis tulang panjang adalah kondisi bagian tulang yang hilang dengan ukuran lebih dari 2 cm dan atau 50% diameter tulang, sehingga sulit untuk mengalami regenerasi. Salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah tindakan transplantasi autologous namun peningkatan risiko morbiditas pada pendonor menyebabkan diperlukannya tata laksana alternatif untuk defek kritis tulang panjang. Penggunaan eksosom sel punca mesenkimal adiposa atau PRF telah menunjukkan hasil yang menjanjikan pada penelitian sebelumnya. Kami bertujuan untuk mengevaluasi efek penggunaan eksosom sel punca mesenkimal adiposa dan PRF terhadap defek kritis tulang panjang pada tikus Sprague-Dawley. Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimental post-test only control group design pada hewan coba tikus Sprague Dawley. Sampel diambil secara acak dari tikus putih spesies Sprague Dawley jantan yang berusia 8-12 minggu, dengan berat sekitar 250 – 350 gram. Sebanyak 30 ekor tikus dibagi ke dalam 5 kelompok, yaitu kelompok perlakuan hidroksiapatit (HA) dan bone graft (BG) (kelompok I), kelompok perlakuan HA, BG, dan PRF (kelompok II), kelompok perlakuan HA, BG dan eksosom sel punca mesenkimal adiposa (kelompok III), kelompok perlakuan HA, BG, PRF, dan eksosom sel punca mesenkimal adiposa (kelompok IV), dan kelompok perlakuan HA, PRF, dan eksosom sel punca mesenkimal adiposa (kelompok V). Setiap tikus kemudian dibuat defek tulang femur sebesar 5mm yang difiksasi interna menggunakan K-wire ukuran 1,4 mm. Histomorfometri dan BMP-2 dilakukan untuk menilai proses penyembuhan tulang pada setiap kelompok perlakuan. Pada analisis RT-PCR, kelompok IV (HA + BG + eksosom sel punca mesenkimal adiposa) memiliki ekspresi gen BMP-2 tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Sebaliknya, kelompok III (HA + BG + eksosom sel punca mesenkimal adiposa + PRF) memiliki tingkat chordin tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Secara umum, kelompok yang diintervensi dengan eksosom sel punca mesenkimal adiposa atau PRF memiliki ekspresi BMP-2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Namun, kami tidak menemukan perbedaan yang signifikan antar kelompok dalam analisis statistik. Pembentukan jaringan ikat pada penyembuhan tulang predominan dibandingkan pembentukan jaringan tulang untuk semua kelompok. Kelompok dengan pemberian kombinasi eksosom sel punca mesenkimal adiposa, PRF, HA menunjukkan hasil yang setara/ekuivalen dengan HA+ BG. Dalam penelitian ini, penggunaan eksosom sel punca mesenkimal adiposa dan/atau PRF telah menunjukkan peningkatan aktivitas osteogenic yang ditunjukkan dengan peningkatan laju penyembuhan tulang. Kuantifikasi BMP-2 dapat menunjukkan aktivitas osteogenic pada tikus yang ditatalaksana dengan eksosom sel punca mesenkimal adiposa, bone graft dan HA. Selain itu, penggunaan eksosom sel punca mesenkimal adiposa yang dikombinasikan dengan PRF menunjukkan efek yang saling mendukung. Hal ini tampak pada kombinasi eksosom sel punca mesenkimal adiposa, PRF, HA tanpa BG menunjukkan hasil yang setara/ekuivalen dengan HA+ BG. Hasil histomorfometri menunjukkan aktivitas osteogenic yang baik pada tikus yang ditatalaksana dengan eksosom sel punca mesenkimal adiposa dan/atau PRF. Namun, efek ini tidak terlalu tampak pada kombinasi eksosom sel punca mesenkimal adiposa, PRF, HA dan BG meskipun hasil ini memiliki tren yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini mendukung sinergi antara eksosom sel punca mesenkimal adiposa dan PRF. Penggunaan PRF dan eksosom sel punca mesenkimal adiposa memiliki luaran histomorfometri dan molekular (BMP-2 dan Chordin) yang sebanding dengan penggunaan bone graft pada defek tulang kritis pada tikus Sprague Dawley.

Critical long bone defects is defined as a defect of over 2 cm or 50% of the bone diameter that leads to a small chance of healing. Autologous bone graft has been proposed as a treatment for critical bone defects in prior studies. However, unreliable results and donor-site morbidity call for an alternative treatment in critical long bone defect. Biological augmentation with ASCs exosome and PRF has shown promising results in bone regeneration in prior studies. We aimed to evaluate the efficacy of ASCs exosome and PRF in treating critical long bone defect in Sprague-Dawley rats. This study was a quasi-experimental post-test only control group design on Sprague-Dawley rats. Samples were taken randomly from male Sprague-Dawley white rats aged 8 to 12 weeks, weighing approximately 250 to 350 grams. A total of 30 rats were divided into 5 groups: hydroxyapatite (HA) and bone graft (BG) treatment group (group I); HA, BG, and PRF treatment group (group II); HA, BG, PRF and ASCs exosome treatment group (group III); HA, BG, and ASCs exosome treatment group (group IV); and HA, PRF, and ASCs exosome treatment group (group V). A 5 mm femur bone defect was created that was internally fixed using a 1.4 mm K-wire threaded. Histomorphometry and BMP-2 was performed to evaluate bone healing process in each group. On RT-PCR analysis, group IV (HA+BG+ASCs exosome) had the highest BMP-2 gene expression compared to other groups. In the contrary, group III (HA+BG+ASCs exosome+PRF) has the highest chordin level compared to other groups. In general, the group intervened by ASCs exosome or PRF has a higher BMP-2 expression compared to control. However, we did not find any significant difference between groups in statistical analysis. Histomorphometry examination showed increased bone healing progression in groups with ASCs or PRF. The use of biological augmentation to increase the speed and rate of bone healing especially in critical bone defect has been shown in previous study. In this study, the use of ASCs exosome and/or PRF has shown increased osteogenic activities that translates into increased rate of bone healing. The quantification of BMP-2 could show the osteogenic activities in rats treated with ACSs exosome with BG and HA. In addition, the use of adipose mesenchymal stem cell exosomes in combination with PRF showed a mutually supportive effect. This was seen in the combination of adipose mesenchymal stem cell exosomes, PRF, HA without BG showed equivalent results with HA + BG. Histomorphometric results showed good osteogenic activity in rats treated with adipose mesenchymal stem cell exosomes and/or PRF. However, this effect was less pronounced in the combination of adipose mesenchymal stem cell exosomes, PRF, HA and BG although this result had a higher trend compared to the control group. This supports the synergy between adipose mesenchymal stem cell exosomes and PRF. The ASCs exosome showed a positive effect on osteogenesis in critical long bone defects in Sprague-Dawley rats."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Pramantha Putra Wijaya
"Pendahuluan: Penelitian in vitro menggambarkan inferioritas osteogenesis SPM adiposa dibandingkan dengan SPM sumsum tulang. Sebaliknya, penelitian in vivo menunjukkan kemiripan potensi osteogenik keduanya. penelitian ini mencoba mengetahui perbedaan kapasitas osteogenik antara keduanya dengan mengukur ekspresi Bone Morphogenetic Protein (BMP)-2 dan BMP Reseptor II, juga proses penyembuhan tulang dengan pengukuran histomorfometri.
Metode: Delapan belas tikus Sprague dawley (SD) dilakukan defek tulang femur 5mm. Tikus dibagi tiga kelompok yang terdiri dari kontrol, implantasi SPM sumsum tulang + Hydroxypatite, dan implantasi SPM adiposa + Hydroxypatite. Tikus dikorbankan pada minggu kedua kemudian penilaian histomorfometri kuantitatif dilakukan dengan Image-J. Paramater yang diukur adalah luas total kalus, % area penulangan, % area kartilago, dan % area fibrosis. Dilakukan penilaian imunohistokimia menggunakan intensitas pewarnaan dan skor Imunoreaktivitas (IRS).
Hasil: Kelompok SPM sumsum tulang menunjukkan ekspresi BMPR II lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya. Ekspresi BMPR II dianalisis dan didapatkan hasil yang signifikan (p= 0,04) dengan median 4.00 ± 2.75. Kelompok SPM sumsum tulang dan adiposa juga menunjukkan proses penyembuhan tulang yang lebih baik dibandingkan kelompok kontrol (p = 0,001). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara SPM sumsum tulang dan SPM adiposa yang diukur pada % total area kalus (p = 1.000),% area penulangan (p = 1.000),% kartilago (p = 0,493) dan % fibrosis (p = 0,128).
Diskusi: SPM adiposa memiliki kemampuan penyembuhan tulang yang serupa dengan SPM sumsum tulang. Growth factor dan reseptornya penting namun bukan satu-satunya faktor penyembuhan tulang.

Introduction: In vitro studies describe inferior osteogenesis of Adiposes to Bone Marrow Mesenchymal Stem Cell (MSC). Contrary, in vivo studies showing the resemblance of osteogenic potential between both groups. This study tries to investigate the difference of osteogenic capacity between BMSCs and ASCs by quantifying the expression of Bone Morphogenetic Protein (BMP)-2 and BMP receptor (BMPR) II also the bone healing process by histomorphometry measurement.
Methods: Eighteen Sprague dawley (SD) rats were induced with 5mm femoral bone defect, then divided into three groups that consist of Control, Implementation of BMSC+Hydroxypatite, and Implementation of ASC+Hydroxypatite. They were sacrificed after 2 weeks, then performed histomorphometry assessment with Image-J. The measured paramater were total area of callus, % of osseous area, % of cartilage area, and % of fibrotic area. The immunohistochemistry measurement performed by staining intensity and immunoreactivity score (IRS).
Results: The BMSC group showed higher expression of BMPR II compare to others. The expression of BMPR II was analyzed statistically and showed significant result (p=0.04) with median 4.00 ± 2.75. Both BMSC and ASC group have significantly better bone healing process compared with control group (p=0,001). There are no significant differences between ASC and BMSC measured in %total callus area (p=1.000), %Osseous area (p=1.000), %Cartilage area (p=0.493) and % Fibrous area (p=0.180).
Discussions: ASC bone healing ability are similar to BMSC. Growth factor and its receptor are important but not sole contributing factor for bone healing."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>