Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172540 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mhd. Ibkar Yusran Asfar
"Pipa riser di anjungan lepas pantai yang telah berumur 28 tahun memiliki risiko kegagalan yang tinggi. Untuk memastikan produk dapat terdistribusi dengan baik, maka perlu menjaga integritas pipa tersebut. Melakukan penilaian risiko dan penentuan interval inspeksi dari data hasil inspeksi dapat mencegah kegagalan yang akan terjadi. Salah satu metode yang dapat digunakan ialah Risk-Based Inspection (RBI).
Pipa riser gas jual yang menjadi objek penelitian ini berukuran 26 inci. Data hasil In-Line Inspection (ILI) digunakan dalam penilain risk-based inspection (RBI) dengan pendekatan kuantitatif berdasarkan standar API 581. Pipa riser disegmentasi menjadi tiga, yaitu atas air, zona percikan dan bawah air. Nilai dari probability of failure (PoF) dan consequence of failure (CoF) dihitung untuk mengetahui peringkat risiko dari pipa riser. Interval inspeksi ditentukan dari target risiko yaitu ketebalan minimum pipa riser.
Penelitian yang dilakukan terhadap analisis data hasil inspeksi untuk risk-based inspection (RBI), menghasilkan pengaruh yang signifikan terhadap nilai PoF tiap segmentasi pipa riser, dimana atas dan bawah air sebesar 3,06E-06 kegagalan/tahun sedangkan zona percikan sebesar 0,1376 kegagalan/tahun. Nilai PoF dan CoF mempengaruhi tingkat risiko, dimana segmen atas air dengan nilai CoF $100.658.373 dan bawah air dengan nilai CoF $100.907.400 menghasilkan tingkat risiko sedang 1E sedangkan zona percikan dengan nilai CoF $100.907.400 di tingkat risiko tinggi 5E. Interval inspeksi ditetapkan dari tingkat risiko tertinggi dari segmentasi pipa riser, yaitu zona percikan. Karena target risiko telah terlampaui dalam hal ini ialah ketebalan minimum, maka interval inspeksi ditetapkan sesuai dengan jadwal penilain RBI yaitu Januari 2022.

Riser pipes on offshore platforms more than 28 years old are prone to failure. It is critical to maintaining the pipe's integrity to ensure proper product distribution. Conducting risk assessments and establishing inspection intervals based on inspection data can help avoid failures. Risk-based inspection (RBI) is one method that can be used.
The sales gas riser pipe, on which this research is based, measures 26 inches in length. In-Line Inspection (ILI) data is used in a quantitative approach to risk-based inspection (RBI) assessment based on the API 581 standard. The riser pipe is divided into three sections designated as above water, splash zone, and below water. The probability of failure (PoF) and consequence of failure (CoF) values are calculated to determine the riser pipe's risk rating. The risk target determines the inspection interval, precisely the minimum riser pipe thickness.
Research conducted on the analysis of inspection data for risk-based inspection (RBI) resulted in a significant effect on the PoF value of each riser pipe segmentation, where above and below water were 3.06E-06 failures/year while the splash zone was 0.1376. failure/year. PoF and CoF values affect the risk level, where the above water segment with a CoF value of $100,658,373 and below water with a CoF value of $100,907,400 produces a medium risk level of 1E while the splash zone with a CoF value of $100,907,400 at a high-risk level of 5E. The inspection interval is determined from the highest risk level of the riser pipe segmentation, namely the splash zone. Since the risk target exceeded the minimum thickness in this case, the inspection interval is set according to the RBI assessment schedule, namely January 2022.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Wijaya
"Di industri minyak dan gas bumi, pengelolaan integritas peralatan produksi sangat penting untuk menjaga keberlanjutan produksi. Kegagalan integritas peralatan produksi dapat menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Pengelolaan peralatan produksi yang mendekati umur desainnya memiliki tantangan meningkatnya biaya Inspection, Maintenance, dan Repair (IMR). Oleh karena itu diperlukan strategi untuk IMR yang lebih efisien. Pengelolaan IMR terbaru menggunakan RBI yang bersifat prediktif yang dinilai lebih efisien dibandingkan dengan metode Time Based Inspection. Pada penilaian RBI pada pipa penyalur gas jual bawah laut yang telah berusia 28 tahun, penentuan tingkat risiko menggunakan perhitungan kuantitatif standar API 581 dengan data inspeksi In-Line Inspection (ILI).  Pipa penyalur gas dibagi menjadi 12 segmen untuk menggambarkan PoF dan CoF secara lebih spesifik. Interval inspeksi ditentukan dengan menentukan target ketebalan minimum sebelum terjadinya kebocoran. Hasil perhitungan risiko menunjukkan 12 segmen pipa penyalur berada pada tingkat medium (3 segmen 1D dan 1E, dan 2C). Sedangkan 9 segmen lainnya berada pada level risiko rendah (1C). Nilai PoF tertinggi 1,04E-4 kegagalan/tahun pada segmen 9 karena terdapat nilai penipisan paling tinggi. Sedangkan CoF paling tinggi berada pada tingkat E pada segmen 1 karena lokasi kebocoran dekat dengan anjungan tengah laut dengan nilai CoF USD 105.628.767. Perhitungan interval inspeksi menunjukkan inspeksi berikutnya 20 tahun dari inspeksi terakhir. Metode lainnya dengan pendekatan batas ketebalan Estimated Repair Factor (ERF) mendapatkan hasil yang sama, sedangkan perhitungan sesuai dengan rekomendasi di dalam ASME B31.8S menunjukkan interval inspeksi yang lebih pendek 10 tahun dengan metode inspeksi menggunakan ILI.

In the oil and gas industry, the integrity of equipment is important to maintain the sustainability of production. The company shall have strategy to maintain production equipment that has approaching to its design life, because the IMR cost tend to increase while the production rate decreased. Current IMR strategy uses RBI, which is considered more efficient than the time-based inspection. In the RBI assessment of the 28-year-old sales gas sub-sea pipeline, the risk was determined by API 581 quantitative calculations with In-Line Inspection (ILI) data. The pipelines was devided into 12 segments to elaborate PoF and CoF. The inspection interval is determined by minimum thickness target before its leakage. Risk calculation show 3 pipeline segments at the medium level (1 segments 1E, 1 segment 2C, and 1 segment 1D). Other segment in in low risk (1C). The highest PoF value is 1.04E-4 failures/year in segment 9 because there is the highest corrosion rate. Meanwhile, the highest CoF is at level E in segment 1 because the location of the leak is close to the production platform with a CoF value of USD 105.628.767. Inspection interval calculation show that the next inspection is 20 years. Another method with the Estimated Repair Factor (ERF) thickness limit obtains the same results, while the calculation according to the recommendations in ASME B31.8S shows inspection interval of 10 years with ILI inspection method."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan Rahman Haq
"Pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi mengakibatkan kebutuhan gas masyarakat Kota Depok terus meningkat. Namun, infrastruktur gas di Kota Depok masih belum memadai padahal di Kota Depok terdapat pipa transmisi dan distribusi gas. Karena itu diperlukan pengembangan infrastruktur gas di Kota Depok untuk mendorong pemanfaatan gas secara lebih luas. Tujuan penyusunan skripsi mi adalah untuk menghasilkan suatu rancangan sistem perpipaan distribusi gas di Kota Depok. Perancangan sistem distribusi gas ini dimulai dengan pengumpulan data teknis dan data suplai-permintaan gas di Kota Depok, dilanjutkan dengan analisis data, pembuatan rute, simulasi dengan piranti lunak, perhitungan keekonomian serta analisis dampak sosial dan lingkungan. Standar desain yang digunakan dalam perancangan sistem perpipaan distribusi gas ini adalah ASME B31.8-1995. Kondisi optimal dari rancangan dicari dengan melakukan simulasi menggunakan piranti lunak Piping Systems FLUID FLOW versi2.1. Kebutuhan gas Kota Depok hingga tahun 2025 mencapai 3,51 MMSCFD. Dari simulasi, diperoleh panjang total rute altematif A sebesar 118,29 km dan panjang rute altematif B sebesar 127,86 km. Diameter pipa polyethylene yang digunakan berkisar antara 63 mm sampai 280 mm. Tekanan suplai gas yang digunakan adalah 8 barg dengan batasan tekanan minimum ditetapkan sebesar 500 mbarg dan kecepatan gas maksimum sebesar 100 ft/s. Pada altematif A, diperoleh tekanan gas terkecil sebesar 585 mbarg dan kecepatan gas terbesar sebesar 79,75 ft/s, sedangkan pada altematif B diperoleh tekanan gas terkecil sebesar 553 mbarg dengan kecepatan gas terbesar sebesar 78,82 ft/s. Total biaya investasi yang telah ditambahkan dengan bunga untuk altematif A mencapai US$ 12,14 juta sedangkan untuk altematif B mencapai US$ 11,89 juta. Pada kasus dasar dimana margin harga jual gas ditetapkan sebesar 3$/MMBtu, didapat NPV pada tahun 2025 untuk altematif A sebesar US$ 0,57 juta dengan IRR 12,95%, payback period 7,6 tahun, dan rasio B/C 1,68. Sementara altematif B, NPV sebesar US$ 0,73 juta dengan IRR 13,23%, payback period 7,5 tahun, dan rasio B/C 1,63. Dilihat dari parameter-parameter tersebut, kedua altematif layak dibangun secara ekonomi."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
S49571
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Friska Asti Medianty
"Penggunaan bahan bakar gas perlu mendapat perhatian mulai saat ini mengingat cadangan minyak bumi tidak lama lagi akan habis dan bahan bakar gas menawarkan keramahannya terhadap lingkungan. Salah satu pemanfaatan bahan bakar gas adalah untuk gas kota. Gas kota memang lebih praktis dalam penggunaannya dibandingkan dengan bahan bakar gas lain seperti elpiji, di samping harganya lebih ekonomis. Akan tetapi penggunaannya masih terbatas karena terbatas pula sarana perpipaan untuk medistribusikannya. Oleh karena itu, pembangunan sarana tersebut menjadi panting. Untuk membuat sistem perpipaan distribusi gas, suplai dan permintaan perlu dipertimbangkan pertama kali sebagai dasarnya. Beranjak dari dasar itu barulah dapat dibuat suatu rancangan sistem perpipaan dan selanjutnya dianalisis ke1ayakannya. Sistem perpipaan distribusi gas yang dirancang adalah sistem perpipaan distribusi gas di Jawa Tengah mengingat sarana ini belum ada dan industri-industri yang ada di sana cukup banyak. Metode perancangan secara teknis menggunakan perangkat lunak Piping Systems Fluid Flow dengn data input meliputi data permintaan, hasil survei, MapInfo, dan kondisi operasi, sehingga diperoleh ukuran pipa yang optimal. Perhitungan keekonomian menunjukkan bahwa investasi dan kelayakan dari pembangunan sistem perpipaan terutama dipengaruhi oleh panjang dan ukuran pipa. Berdasarkan studi kelayakan yang dilakukan, pembangunan sistem perpipaan distribusi gas di Jawa Tengah layak dengan margin minimum 1,13 US$/MMBtu"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
S49487
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muchamad Bharata Purnama Putra
"Indonesia memiliki target produksi minyak bumi 1 juta BOPD dan gas bumi 12 BSCFD pada tahun 2030. Strategi untuk mencapai target produksi pada tahun 2030 adalah dengan transformasi resources to production, mempercepat chemical EOR, eksplorasi secara masif untuk penemuan sumur besar dan optimalisasi produksi lapangan existing. Optimalisasi produksi lapangan existing, salah satu faktor pendukungnya adalah fasilitas produksi sehingga dibutuhkan fasilitas produksi dengan integrity yang baik untuk meminimalkan uplanned shutdown. Instalasi migas yang memiliki risiko tinggi salah satunya adalah instalasi pipa penyalur migas. Instalasi pipa penyalur existing yang berada diperairaan laut jawa yaitu dari Cirebon Utara sampai dengan Kepulauan Seribu memiliki luas 8300 km2 dan dioperasikan oleh PT XYZ. Maka dari itu membutuhkan data inspeksi yang lengkap dan akurat untuk mengetahuinya. Metode penelitian ini menggunakan modifikasi dari index scoring Kent Muhlbauer. Tingkat risiko pada ketiga pipa penyalur bawah laut di Perusahaan XYZ yaitu 4 in GL MBA-MB2, pipa penyalur 8 in GL ECOM-EQSB, dan pipa penyalur 8 in GL MMF-MXB didapatkan kategori dengan risiko very high. Strategi inspeksi yang dilakukan untuk ketiga pipa dengan kategori risiko very high yaitu visual inspeksi (ROV), freespan assesment, pengecekan proteksi katodik (CP), inspeksi UT thickness pada bagian riser dan elbow (topside dan subsea), inspeksi UT thickness pada bagian subsea pipeline menggunakan metode NACE ICDA untuk titik pengambilan thickness dan periode inspeksi 4 tahun sekali atau berdasarkan Risk Based Inspection (RBI). Biaya dan upaya strategi inspeksi akan berbanding lurus dengan tingkat kategori risiko, oleh karena hal tersebut agar strategi inspeksi dapat optimal, efektif dan efisien maka dibagi menjadi 3 (tiga) kategori risiko yaitu low, medium dan high/very high, dimana pemilihan strategi inspeksi sesuai dengan tingkat risikonya. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi referensi dalam pembuatan suatu kebijakan ataupun regulasi untuk melakukan inspeksi pipa penyalur bawah laut secara berkala dengan menggunakan metoderisk analysis untuk menentukan strategi inspeksinya

Indonesia has a target of producing 1 million BOPD of oil and 12 BSCFD of natural gas in 2030. The strategy for achieving the production target in 2030 is transformation from resources to production, accelerating chemical EOR, massive connectivity for finding large wells, and optimizing field production. In optimizing existing field production, one of the supporting factors is production facilities, so production facilities with good integrity are needed to minimize upplanned shutdowns. One of the oil and gas installations that pose a high risk is the installation of oil and gas pipelines. The existing pipeline installation in the Java Sea, from North Cirebon to the Seribu Islands, has an area of 8300 km2 and is operated by PT XYZ. Therefore, it requires complete and accurate inspection data to find out. This research method uses a modification of the Kent Muhlbauer scoring index. The risk level of the three subsea pipelines at Company XYZ, namely 4 in GL MBA-MB2, 8 in GL ECOM-EQSB pipeline, and 8 in GL MMF-MXB pipeline, is found to be in the very high risk category. The inspection strategy carried out for the third pipe with a very high risk category is visual inspection (ROV), freespan assessment, cathodic protection check (CP), UT thickness inspection on the riser and elbow (topside and subsea), and UT thickness inspection on the bottom pipe sea using the NACE ICDA method for thickness taking points and inspection periods once every 4 years or based on risk-based inspection (RBI). The cost and effort of examining the strategy will be assessed directly with the level of the risk category. Because of this, so that the inspection of the strategy can be optimal, effective, and efficient, it is divided into 3 (three) risk categories, namely low, medium, and high/very high, where the selection of strategy inspection is appropriate with the level of risk. The results of this study are expected to be a reference in making a policy or regulation to carry out regular inspections of underwater pipelines by using the risk analysis method to determine the inspection strategy."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adam Pahlevi Chamsudi
"ABSTRAK

Flexible riser (FR) merupakan salah satu komponen pada struktur anjungan lepas pantai yang berfungsi untuk mendistribusikan minyak/gas dari reservoar menuju struktur apung. FR memiliki konfigurasi cukup kompleks karena selalu melibatkan analisis mid water arch (MWA). MWA sendiri berperan dalam membentuk konfigurasi-S sekaligus menyediakan gaya apung yang cukup guna mengendalikan tegangan pada sistem FR. Pada penelitian ini akan dibahas mengenai perbandingan performa antara single dan twin buoy bagi konfigurasi FR. Parameter yang digunakan adalah displacement dan frekuensi alami keduanya, tegangan tarik kedua ujung sambungan FR, serta clearance antara FR dengan dasar laut. Lokasi penelitian mengacu pada kondisi perairan Blok Natuna, Indonesia, dengan kedalaman 84.6 m, sedangkan data metocean yang digunakan mengacu pada data-data metocean perairan North Sea (periode ulang 1, 10, dan 100 tahun). Model gelombang yang diterapkan berupa single airy dengan 5 flow direction (0°, 45°, 90°, 135° dan 180°). Analisis dilakukan dengan bantuan software Orcaflex 9.2 dan perhitungan manual. Hasil analisis menunjukkan bahwa performa twin buoy lebih baik, dilihat dari nilai tegangan tarik kedua ujung sambungan FR dan clearance yang relatif kecil. Keabsolutan nilai pada parameter-parameter tersebut dibuktikan dengan korelasinya terhadap nominal displacement dan frekuensi alami. Adapun persentase error-displacement antara analisis manual dan Orcaflex 9.2 cukup kecil, yaitu 2.533%.


ABSTRACT


Flexible riser (FR) is one of many components in offshore platform that serve to distribute oil/gas from reservoirs to floating. FR has complex configuration because always use mid water arch (MWA). MWA itself play role in forming S-configuration and also providing adequate buoyancy force to control stresses that occur in FR system. This research will be discussed performance between single and twin buoy for FR configuration. The parameters used are displacement and natural frequency both single or twin buoy, tension at both ends of FR connection, also clearance between FR and seabed. Resarch location refers to Natuna Block, Indonesia, with 84.6 m depth, whereas metocean data used refers to North Sea (return period 1, 10, and 100 years). Wave model used is single airy with 5 flow direction (0°, 45°, 90°, 135°, dan 180°). Analysis will be using Orcaflex 9.2 and manual calculation. Analysis result showed that performance of twin buoy is better, presented by tensile stress values in both ends of FR connection and clearance which relatively small.  The absolute value of these parameters is proven by its correlation to nominal displacement and natural frequency. The percentage of error-displacement between manual analysis and Orcaflex 9.2 is small, i.e 2.533%.

"
2019
T52354
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitinjak, Desman
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1993
S36721
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joki R.R.
"Korosi terjadi tanpa mengenal waktu di segala aspek kehidupan manusia dan dapat mengakibatkan banyak kerugian. Di industri minyak dan gas, kerugian yang terjadi akibat korosi berdampak pada penurunan kualitas material yang digunakan. Dan hal ini berarti berhubungan dengan lamanya operasional alat berfungsi atau kemampuan jangka panjang dari suatu alat dan kemungkinan terjadinya kegagalan pada peralatan yang digunakan. Sehingga jika korosi menyerang, maka selain kerugian finansial yang dialami, kerugian berupa dampak terhadap lingkungan sekitar dan juga safety dari pekerja dan masyarakat sekitar juga bisa terjadi. Oleh karena itu inspeksi terhadap peralatan yang ada penting untuk dilakukan. Indonesia yang masih mengacu pada inspeksi berdasarkan jangka waktu (timebased inspection) masih memberikan peluang untuk terjadinya kegagalan pada peralatan yang digunakan. Oleh karena itu penting untuk menggunakan acuan lain seperti inspeksi berdasarkan tingkat resiko (Risk-Based Inspection)/RBI.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 8 pipa yang dianalisa, 5 pipa (6" dan 4 pipa 16") memiliki nilai 2D yang berarti berstatus resiko medium dan mendapatkan respon corrective maintenance dan 3 pipa (8", 12", dan 18") memiliki nilai 2E yang berarti berstatus resiko medium-high dan mendapatkan respon preventive maintenance. Usulan inspeksi yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan visual, ultrasonic straight beam, eddy current, flux leakage, radiography, dan pengukuran dimensi. Usulan waktu inspeksi yang dapat dilakukan kembali adalah 7 tahun kemudian untuk pipa-pipa yang memiliki nilai 2D dan 5 tahun kemudian untuk pipa-pipa yang bernilai 2E dari inspeksi terakhir. Nilai rendah yang diperoleh melalui penelitian ini dikarenakan pipa memiliki sistem inspeksi yang baik terhadap mix point/injection yang ada dan juga karena sistem pipa yang ada tidak mengenal adanya deadleg, sehingga nilai TMSF tidak mengalami pertambahan yang signifikan.

Corrosion happen everytime in all human-life aspects and can caused lot of losses. In oil and gas industry, losses caused by corrosion affect directly to material quality that used in the industry. And it means relate to how long an equipment can perform or long-term compability of an equipment and probability of a failure occured in an equipment. So, if corrosion attacks, beside financial loss, another loss that can happen are environtmental loss and also human safety which is include the worker and also community around the industry. Therefore, it is very important to hold an inspection to every equipments in oil and gas industry. Indonesia still hold time based inspection to all equipment in oil and gas industry, and that methode still open for a failure occured. So that, it is very important to use another inspection management methode like Risk-Based inspection (RBI).
Result of this paper are, from 8 pipes that checked, 5 pipes (a 6" pipe and 4 pipes of 16") got 2D rank, which mean have medium status and got corrective maintenance respon. And 3 pipes (8", 12" and 18") got 2E rank which mean have medium-high status and got preventive maintenance response. Inspection methode that proposed are visual examination, ultrasonic straight beam, eddy current, flux leakage, radiography, and dimensional measurement. Inspection time interval from last inspection activity that proposed are 7 years for pipes that got 2D rank and 5 years for pipes that got 2E rank. Low rank that several pipes received because those pipes have good inspection system on mix point/injection area and also the overall piping system do not have the deadleg system, so the TMSF value not multiplied by a value factor.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
T31723
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Angga Pratama Putra
"Industri Pertambangan dapat berpengaruh aktif dalam pembangunan berkelanjutan dengan mengurangi dampak negatif terhadap degradasi lingkungan, seperti kegagalan peralatan. Dimana jumlah perpipaan yang sangat besar lebih kompleks dalam distribusi dari pada jenis peralatan lainnya. Pada umumnya, dibandingkan dengan jenis peralatan lain di industri ini, lebih banyak kesulitan dalam perencanaan inspeksi yang dihadapi. Namun, inspeksi yang kurang atau inspeksi berlebih dapat terjadi karena kurangnya persyaratan yurisdiksi pada interval inspeksi dan metode perpipaan, atau interval inspeksi yang hanya didasarkan pada klasifikasi layanan perpipaan dalam peraturan yang ada, seperti API 581. Hal ini dapat mengakibatkan risiko yang tidak dapat diterima, bersama dengan hilangnya sumber daya yang mahal. Untuk mengurangi tingkat risiko perpipaan, semakin banyak perusahaan yang mengadopsi dan menerapkan metodologi inspeksi berbasis risiko (RBI), yang mengarah kepengurangan risiko. Sesuai standar API 581 dengan menggunakan metode risk-based inspection (RBI) untuk mengoptimalkan strategi pemeriksaan perpipaandengan pendekatan Kuantitatif, dapat menghitung probability dan consequency dari kegagalan yang akan terjadi pada pipa penyalur Slurry di tambang Tembanga. Tujuan dari penelitian adalah menentukan rencana inspeksi yang optimal pada pipa penyalur slurry ditambang emas dan tingkat risikonya. Inspeksi berbasis risiko dilakukan pada pipa penyalur slurry berukuran 18 inci yang datanya diperoleh dari hasil in-line inspection .Didapatkan nilai Damage Factor 6.474 dari 3 lokasi titik inspeksi, dan diketahui ketebalan pipa sebesar 3 inch. Maka didapatkan nilai PoF sebesar 2 yang dikategorikan sebagai nilai kekeritisan rendah nilai Rating dari Consequence of Failure (CoF) yaitu sedang tinggi (4) dari perkalian antara stand by availibility, lokasi dan finansial. Maka secara engineering calculation masih bisa dioperasikan dengan jadwal inspeksi setiap 4 tahun. Dengan metoda inspesi menggunakan UT Flow Ditector.

The Mining Industry can play an active role in sustainable development by reducing negative impacts on environmental degradation, such as equipment failure. Where a very large amount of piping is more complex in distribution than other types of equipment. In general, compared to other types in this industry, more difficulties in inspection planning are encountered. However, under-inspection or over-inspection can occur due to a lack of jurisdictional requirements on inspection intervals and inspection methods, or interval inspections based solely on the classification of piping services in existing regulations, such as API 581. This can lead to unacceptable risks, along with the loss of an expensive resource. To reduce the level of pipeline risk, more and more are adopting and implementing risk-based inspection (RBI) methodologies, leading to risk reduction. Following API 581 standards using the risk-based inspection (RBI) method to optimize a pipeline inspection strategy with a quantitative approach, it can calculate the probability and consequences of failure that will occur in the Slurry pipeline at the Tembanga mine. The purpose of this research is to determine the optimal inspection plan for the gold mine slurry distribution pipe and its level. Risky inspections were carried out on 18-inch slurry distribution pipes whose data were obtained from in-line inspection results. Damage Factor 6.474 was obtained from 3 inspection point locations positions, and it was found that the pipe thickness was 3 inches. Then the PoF value obtained is 2 which is entered as a medium-high criticality value so that the and the Rating value of the Consequence of Failure (CoF) is medium-high (4) from an increase between stand by availability, location and financial. The lowest MAWP is 4083 psi while the working pressure is 1150 psi, so technically it can still be operated with an inspection schedule every 4 years with UT Flow Ditector tools for inspection."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wallingford: Oxfordshire: Hydraulics Research, 1990
532.54 HYD c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>