Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 152842 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ervina Kalinda
"Anemia pada remaja putri diduga memiliki peran besar sebagai penyebab terjadinya. Selain anemia, status gizi ibu yang buruk juga menjadi faktor penyebab. Suplemen tambah darah dan gizi (STDG) dapat menjadi solusi untuk pemenuhan zat besi dan gizi tubuh. Penelitian ini menggunakan besi (II) glukonat (FeG) sebagai fortifikan, asam askorbat (AA) dan asam folat (AF) sebagai ko-fortifikan, dan vitamin A, vitamin B kompleks, serta zat seng sebagai senyawa tambahan. Metode mikroenkapsulasi dengan spray drying dengan material penyalut dan material pembuat ikatan silang berupa kitosan dan tripolipospat (TPP) dalam produk makanan berupa permen lunak. Analisis dilakukan secara bertahap mulai dari uji rilis besi, karakteristik fisika-kimia, dan ketersediaan hayati besi. Uji rilis besi dan ketersediaan hayati dilakukan secara invitro dengan menggunakan simulated gastric fluid (SGF) dan simulated intestinal fluid (SIF) menunjukkan pengaruh penambahan ketersediaan hayati besi terbanyak pada media dengan penambahan komponen yang paling kompleks, namun tidak terlihat pengaruh pada rilis besi. Fortifikasi mikropartikel pada permen lunak dapat menahan rilis dan meningkatkan ketersediaan hayati pada mikropatikel besi karena adanya pembentukan Polyelectron Complex (PEC) pada interaksi antara kitosan dan gelatin.

Anemia in adolescent girls is thought to have a major role as the cause of stunting. In addition to anemia, poor maternal nutritional status is also a factor causing stunting. Blood and nutritional supplements (BNS) can be a solution to fulfill iron and body nutrition. This study used iron (II) gluconate (FeG) as a fortificant, ascorbic acid (AA) and folic acid (AF) as a co-fortificant, and vitamin A, vitamin B complex, and zinc as additional compounds. Microencapsulation method using spray drying with coating materials and cross-linking materials in the form of chitosan and tripolyphosphate (TPP) in food products such as soft candy. The analysis was carried out in stages starting from the iron release test, physic-chemical characteristics, and iron bioavailability. Iron release and bioavailability tests were carried out in vitro using simulated gastric fluid (SGF) and simulated intestinal fluid (SIF) showing the effect of adding the most bioavailability of iron to media with the addition of the most complex components, but no effect on iron release was seen. Fortification of microparticles in soft candy can resist release and increase bioavailability of iron microparticles due to the formation of Polyelectronic Complex (PEC) in the interaction between chitosan and gelatin."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noer Abyor Handayani (Noera)
"Rendahnya ketersediaan hayati zat besi merupakan tantangan bagi program fortifikasi pangan. Asam askorbat (AA) dan asam folat (AF) merupakan senyawa yang mampu meningkatkan penyerapan zat besi. Metode enkapsulasi akan digunakan untuk melindungi senyawa tersebut dari berbagai reaksi yang merugikan. Pada penelitian ini, besi (II) glukonat (FeG)–AA–AF, kitosan, dan tripolifosfat masing-masing digunakan sebagai bahan inti, material penyalut, dan senyawa tautan silang. Tujuan utama dari penelitian ini adalah (i) mengkaji pengaruh formulasi Fe, AA, dan AF terhadap karakteristik fisiko-kimia, profil rilis zat besi, dan ketersediaan hayati besi dari mikropartikel hasil spray dryer, dan (ii) mengkaji pengaruh jumlah mikropartikel hasil spray dryer dan konsentrasi gelatin yang ditambahkan terhadap karakteristik fisiko-kimia, profil rilis besi, dan ketersediaan hayati dari permen lunak terfortikasi. Produksi mikropartikel kitosan-tripolifosfat bermuatan FeG, AA, dan AF dilakukan menggunakan spray dryer (Mini Buchi B-290). Fortifikasi permen lunak dilakukan dengan cara menyebarkan mikropartikel ke dalam larutan permen yang sudah didinginkan. Campuran tersebut kemudian dikeringkan dan siap untuk dianalisis. Mikropartikel FeG–AA dan FeG–AA–AF memiliki ketersediaan hayati yang lebih tinggi dibandingkan dengan mikropartikel FeG. Lebih lanjut, ketersediaan hayati zat besi dari permen lunak terfortifikasi meningkat lebih dari 5 kali lipat dibandingkan dengan mikropartikel FeG–AA–AF. Penemuan ini akan membantu ahli teknologi pangan, dan pengembang produk memilih formulasi yang tepat sehingga produk pangan terfortifikasi memiliki ketersediaan hayati zat besi yang lebih tinggi.

The low bioavailability of iron is a challenge for food fortification programs. Ascorbic acid (AA) and folic acid (FA) are compounds that can increase iron absorption. Encapsulation method will be used to protect the compound from various adverse reactions. In this study, iron (II) gluconate (FeG)–AA–FA, chitosan, and tripolyphosphate were used as core materials, coating materials, and crosslinked compounds, respectively. The main objectives of this study were (i) to examine the effect of the Fe, AA, and FA formulations on the physico-chemical characteristics, iron release profile, and iron bioavailability of microparticles produced by the spray dryer, and (ii) to examine the effect of the number of microparticles produced by the spray dryer and concentration of added gelatin on the physico-chemical characteristics, iron release profile, and bioavailability of the fortified soft candy. The production of chitosan-tripolyphosphate microparticles containing FeG, AA, and FA was carried out using a spray dryer (Mini Buchi B-290). Soft candy fortification is done by spreading microparticles into a cooled candy solution. The mixture is then dried and ready for analysis. FeG–AA and FeG–AA– FA microparticles have higher bioavailability than FeG microparticles. Furthermore, the bioavailability of iron from the fortified soft candy was increased more than 5-fold compared to the FeG–AA– FA microparticles. This discovery will help food technologists and product developers choose the right formulation so that fortified food products have a higher bioavailability of iron."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Vania Angela
"Anemia adalah kondisi dengan kadar hemoglobin rendah akibat defisiensi besi dan nutrisi. Suplemen darah komersial umumnya hanya mengandung zat besi dan kurang disukai karena rasa. Telah dikembangkan suplemen permen lunak dengan mikropartikel kitosan terdispersi yang mengandung besi(II) glukonat, vitamin (C, B2, B5, B6, B9, B12), dan seng (Zn). Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi efektivitas, waktu simpan, dan bioavailabilitas suplemen ini. Uji in vivo melibatkan 15 mencit yang dibagi dalam lima kelompok perlakuan berbeda. Hasil menunjukkan kenaikan kadar hemoglobin pada kontrol, mikropartikel dosis 300mg/kgBB, 600mg/kgBB, dan obat komersial berturut-turut sebesar 1,96 g/dl (SD: 4,8 g/dl), 3,5 g/dl (SD: 3,68 g/dl), 4,73 g/dl (SD: 2,02 g/dl), dan 4,7 g/dl (SD: 1,34 g/dl). Penurunan terjadi pada mikropartikel dosis 150mg/kgBB sebesar 0,43 g/dl (SD: 4,5 g/dl). Uji paired-t test menunjukkan peningkatan signifikan pada mikropartikel dosis 600mg/kgBB dan obat komersial (P < 0,05). Kenaikan hemoglobin tidak hanya dipengaruhi oleh besi(II) glukonat, tetapi juga oleh multivitamin dan zinc citrate. Formulasi disempurnakan dengan asam sitrat, kalium benzoat, dan kalium sitrat untuk meningkatkan rasa dan waktu simpan. Uji ICP-MS menunjukkan suplemen mengandung 3284,4 mg/kg elemen besi, dengan satu permen mengandung sekitar 11,5 mg besi, lebih tinggi dari rata-rata produk komersial.

Anemia is a condition with hemoglobin levels below standard due to iron and nutrient deficiency. Commercial blood supplements generally contain only iron and are often disliked due to taste. This study developed a soft candy supplement with dispersed chitosan microparticles containing iron(II) gluconate, vitamins (C, B2, B5, B6, B9, B12), and zinc (Zn). The objective of this research was to evaluate the effectiveness, shelf life, and bioavailability of this supplement. In vivo tests involved 15 mice divided into five groups with different treatments. Results showed hemoglobin increases in the control, 300mg/kgBW microparticles, 600mg/kgBW microparticles, and commercial drug groups of 1.96 g/dl (SD: 4.8 g/dl), 3.5 g/dl (SD: 3.68 g/dl), 4.73 g/dl (SD: 2.02 g/dl), and 4.7 g/dl (SD: 1.34 g/dl), respectively. A decrease occurred in the 150mg/kgBW microparticle group by 0.43 g/dl (SD: 4.5 g/dl). Paired-t tests showed significant increases in the 600mg/kgBW microparticle and commercial drug groups (P < 0.05). Hemoglobin increases were influenced not only by iron(II) gluconate but also by the contained multivitamins and zinc citrate. The supplement formulation was improved by adding citric acid, potassium benzoate, and potassium citrate to enhance taste and shelf life. ICP-MS tests showed the fortified soft candy supplement contained 3284.4 mg/kg iron, with each candy containing approximately 11.5 mg iron, higher than the average commercial soft candy supplement."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibrahim Koatma
"Telaii dilakukan penentuan kadax' vitamin dalam tablet vitamin
B kompleks dengan cara kolorimetri dan cara spektrofluorometri,
dan penentuan kadar vitamin Bg dalam tablet vitamin B kompleks .
dengan cara spektrofluorometri, cara kolorimetri untuk penentu
an kadar vitamin ternyata tidak dapat dilakukan, karena Nicotinaraid
akan ikut diendapkan bersama-sama vitamin B^ oleh am
monium reineckat. Penentuan kadar denj^?an cara spektrolluorometri
untuk vitamin dan vitamin fl^., ternyata mernberikan basil yang
cukup memuaskan, tetapi pacia penentuan kadar vitamin Bp dengan
cara spektrofluorometri konsuntrasi vitarnlii Bg bai'us dinaikkan
10 kali lebih besar dari prosedur semula»

A determination of vitamin cdncentratioxi in vitamin B eoraplex
tablets had been carried out with the Colorimetrio method
and the Spectrofluorometric method, and a determination of vi
tamin B2 concentration in vitamin B complex tablets v/ith the'~ ^
Spectrofluorometric method. The Goloriraetric method for the
determination of vitamin concentration could not be put in
to practice becauce the Kicotinarnide would also be precipitated
together with vitamin by Ammonium Reineckat. A determination
of concentration with the Spectrofluorometric method of vitamin
B^ and vitamin Bg give evidence of a isatisfying result, but in
the' determination of vitamin Bg concentration with the Spectro
fluorometric method, the vitamin concentration had to be
raised ten times from the original procedure.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1981
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Genta Raydiska Fadhlurrahman
"Implan tulang belakang obat antituberkulosis (OAT) berpotensi mengatasi ketidakpatuhan pasien spondilitis tuberkulosis dan meningkatkan daya jangkau obat ke daerah luka. Namun, peningkatan stres oksidatif karena respon tubuh terhadap infeksi patogen berpotensi mengakselerasi degradasi OAT isoniazid (INH) dan pirazinamid (PZA). Uji degradasi paksa dilakukan dengan terlebih dahulu membuat kurva kalibrasi obat dan menstandardisasi H2O2 stok. Sampel INH dan PZA disimpan selama 5 hari dalam media phosphate buffered saline (pH 7,4) dengan kadar H2O2 3% (w/v). Konsentrasi zat diukur dengan instrumen high performance liquid chromatography (HPLC) Shimadzu LC 20AD dengan kolom C18 (250 x 4,6 mm x 5 µm). Sampel INH dan PZA tersebut mengalami degradasi sebesar 54,01% dan 8,67% secara berurutan. Untuk menghambat degradasi, kedua obat ditambahkan stabilisator asam galat (AG), asam kafeat (AK), atau asam askorbat (AA) dengan perbandingan massa 1:1. Hasil uji degradasi menunjukkan bahwa penambahan AG paling signifikan menghambat degradasi INH dan PZA hingga ke angka 4,96% dan 2,27% secara berurutan.

Orally administered first line antituberculosis drugs (ATD) have risk of low patient adherence and low bioavailability in bone tissue. Unfortunately, elevated oxidative stress around infection area could endanger two ATDs, isoniazid (INH) and pyrazinamide (PZA), stability and further limit its release. Forced degradation study was conducted by prior creation of calibration curves and standardization of H2O2 stock concentration. INH and PZA samples were kept for 5 days in phosphate buffered saline (pH 7.4) aqueous media, H2O2 concentration was adjusted to 3% (w/v). Concentration of analyte was measured with Shimadzu LC 20AD, paired with C18 (250 x 4.6 mm x 5 µm) column, high performance liquid chromatography (HPLC). INH and PZA showed 54.01% and 8.67% degradation, respectively. To inhibit degradation; gallic acid (AG), caffeic acid (AK), and ascorbic acid (AA) stabilisator were added with 1:1 mass ratio to ATD. In both ATDs sample, AG showed the most significant results. Degradation was lowered to 4.96% and 2.27% for INH and PZA, respectively."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rima Irwinda
"Kelahiran preterm masih merupakan masalah global. Penyebab kelahiran preterm bersifat multifaktor, di antaranya adalah proses inflamasi dan status nutrisi yang dipengaruhi oleh mikronutrien seperti seng, vitamin A dan D. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh seng, AtRA dan 25(OH)D pada regulasi respons inflamasi pada kelahiran preterm melalui pemeriksaan MyD88, TRIF, NFκB dan IL-1β. Desain kuasi eksperimental dilakukan selama periode Januari-Juni 2017 di RSUPN-CM dan RS Budi Kemuliaan, Jakarta. Subjek dibagi menjadi kelompok aterm (n=25), pretem kontrol (n=27), dan preterm perlakuan (n=26). Kelompok preterm perlakuan diberikan secara oral seng 50 mg/hari, beta-carotene 25.000 IU, dan vitamin D3 50.000 IU/minggu. Seluruh subjek dilakukan wawancara, pengukuran konsentrasi seng, AtRA dan 25(OH)D serum dan plasenta, serta kadar MyD88, TRIF, NFκB dan IL-1β plasenta. Pada kelompok aterm konsentrasi AtRA serum dan plasenta lebih tinggi dibandingkan kelompok lain. Pada kelompok preterm perlakuan, tidak didapatkan adanya perbedaan bermakna konsentrasi seng, AtRA dan 25(OH)D serum sebelum dan sesudah perlakuan. Ekspresi NFκB dan TRIF lebih rendah pada kelompok aterm dan preterm kontrol, dibandingkan kelompok preterm perlakuan. Konsentrasi IL-1β ditemukan paling tinggi pada kelompok aterm. Konsentrasi seng, AtRA dan 25(OH)D plasenta memiliki korelasi positif sedang dengan IL-1β.
Simpulan: Konsentrasi seng, AtRA dan 25(OH)D plasenta yang rendah berhubungan dengan lebih tingginya ekspresi MyD88, TRIF, NFκB dan IL-1β pada kelahiran preterm. Pemberian seng, beta-carotene dan vitamin D3 berhubungan dengan IL-1β yang lebih rendah.

Preterm birth is still a global burden. Inflammation process and nutritional status are among its multifactorial etiology which is affected by micronutrient such as vitamin A, D and zinc. Quasi-experimental design was conducted to know the role of zinc, beta-carotene and vitamin D3 towards inflammatory regulator of preterm birth during January-June 2017 in RSUPN-CM and Budi Kemuliaan Hospital, Jakarta. Subjects were classified into term (n=25), control preterm (n=27), and experimental preterm group (n=26). Subjects in experimental preterm group were given orally zinc 50 mg/day, beta-carotene 25,000 IU and vitamin D3 50,000 IU/week. Nutrient intake interview, measurement of zinc, AtRA and 25(OH)D level in serum and placenta was performed in all subjects, also placental concentration of MyD88, TRIF, NFκB dan IL-1β. The term group had higher AtRA concentration in serum and placenta. No significant difference of serum zinc, AtRA and 25(OH)D concentration was found in treated group before and after intervention. The term and control preterm groups had lower expression of NFκB and TRIF compared to the experimental group. The concentration of IL-1β was highest among term group. Placental concentration of zinc, AtRA and 25(OH) had moderate positive correlation with IL-1β.
Conclusion: Lower placental concentrations of zinc, AtRA and 25(OH)D relate to higher expression of MyD88, TRIF and NFκB. The supplementation of zinc, beta-carotene and vitamin D3 relate to lower expression of IL-1β."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda T. Angeles-Agdeppa
"Prevalensi anemia di negara berkembang masih tetap tinggi meskipun program suplementasi tablet besi-asam folat telah dilaksanakan dalam skala besar. Dampak suplementasi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti rendahnya kepatuhan minum tablet, efek samping yang kurang disukai, persediaan tablet kurang, rendahnya jangkuan program, status vitamin A yang rendah dan hambatan asorpsi zat besi karena suplementasi zat besi setiap hard.
Strategi yang mungkin dapat dilakukan untuk menurunkan prevalensi dan mengatasi masalah operasional adalah pemberian suplemen multi-vitamin mineral selama masa remaja dengan dosis lebih rendah dan frekuensi pemberian yang lebih jarang/tidak setiap hari.
Suatu penelitian kros-seksional telah dilakukan untuk mendapatkan informasi dasar tentang status gizi dan kesehatan remaja laki-laki serta putri yang telah mendapat haid pada tiga buah sekolah menengah yang dipilih secara acak di Jakarta Timur. Usia rata-rata remaja laki-laki adalah 14,8 tahun dan remaja putri 15,6 tahun. Para remaja tersebut berasal dari keluarga golongan sosial ekonomi mengengah. Prevalensi "thinness" lebih tinggi pada laki-laki (43%) daripada yang putri (10,2%) dan kelebihan berat badan lebih banyak pada remaja putri (32,9%). Prevalensi "stunting" pada remaja laki-laki dan putri (22%). Prevalensi anemia lebih tinggi pada remaja putri (21%) daripada laki-laki (2,5%).
Setelah penelitian kros-seksional, dilakukan intervensi/suplementasi dengan tujuan menentukan pengaruh multivitamin-mineral dalam berbagai dosis pada hemoglobin, feritin plasma dan status vitamin A remaja putri. Tiga ratus enam puluh tiga subyek dipilih secara acak yaitu remaja putri yang telah mendapat haid, dengan kisaran usia 14-18 tahun dan tidak menderita clamant, infeksi saluran nafas, atau penyakit "gastro intestinal". Pengelompokan subjek menjadi 4 kelompok perlakuan (tiga kelompok mendapat suplemen dan sate mendapat plasebo) dilakukan secara "double-blind". Pil suplemen yang mengandung: 60 mg zat besi el, 2500 SI vitamin A, 250 ug asam folat, dan 60 mg vitamin C diberikan kepada kelompok dosis harian (DD); 60 mg zat besi el, 20 000 SI vitamin A, 500 g g asam folat dan 60 mg vitamin C untuk kelompok setiap minggu dosis rendah (WLD); ] 20 mg zat besi el , 20 000 SI vitamin A, 500 lag asam folat dan 60 mg vitamin C untuk kelompok setiap minggu-dosis tinggi (WHD), dan kelompok terakhir diberi pil plasebo (PL). Pil multi-vitamin dan mineral tidak dapat dibedakan dari pil plasebo secara kasat mata. Sebelum suplementasi didapati prevalensi anemia yang tinggi (21%), feritin plasma rendah (37%), dan retinol plasma rendah (31%).
Suplementasi selama 8 minggu menaikkan secara bermakna kadar hemoglobin (Hb), feritin plasma (FP), retinol plasma (RP), tinggi badan dan skor tes prestasi sekolah, semua kelompok yang mendapat suplemen. Kenaikan kadar FP kelompok dosis harian (DD) lebih besar (bermakna) daripada kelompok dosis setiap minggu.
Penambahan vitamin A dalam pd suplemen meningkatkan kadar RP dan rupanya berpengaruh pada penggunaan zat besi secara efisien untuk erythropoiesis. Peningkatan pada kelompok plasebo (PL) tidak jelas sebabnya, tetapi ada kemungkinan pengaruh obat cacing.
Peningkatan prestasi sekolah dapat disebabkan oleh peningkatan penyediaan zat besi dalam otak dan distribusinya ke sel-sel otak yang penting untuk kelancaran fungsi neuron "dopaminergic". Suplementasi multi-vitamin dan mineral dapat memacu pertumbuhan linier tetapi tidak mengkompensasi kehilangan awal. Bertambahnya tinggi badan karena suplemen multivitamin-mineral dapat dikaitkan Dengan perbaikan status zat, besi yang meningkatkan oksidasi dan penyediaan energi untuk propliferasi sal. Prevalensi "stunting", "thinness" dan kelebihan berat tidak berkurang. Berat badan rupanya tidak dipengaruhi oleh suplementasi multi- vitamin dan mineral.
Peningkatan masa suplementasi sampai 12 minggu tidak menghasilkan peningkatan Hb dan RP pada kelompok multi-vitamin dan mineral, tetapi memberikan waktu yang lebih lama untuk meningkatkan (bermakna) FP pada kelompok dosis mingguan..Pada kelompok dosis harian (DO) kadar FP bertambah tetapi tidak berbeda bermakna darn kadar pads minggu ke 8.
Tidak ada perbedaan efek dosis-frekuensi dari berbagai komposisi pil multi-vitamin dan mineral untuk seluruh rnasa suplementasi kecuali kenaikan FP yang menyolok kelompok dosis harian (DD) pada minggu ke-8.
Selama masa 12 minggu, "individual lobe counts" dari granulosit (gejala defisiensi asam folat) setiap kelompok dalam kisaran normal sedangkan subjek penelitian tidak menderita demam, infeksi saluran pernafasan dan infeksi saluran pencernaan. Dengan demikian penyebab anemia dalam penelitian i:ni disebabkan oleh kelcurangan zat besi dan/atau kekurangan vitamin A.
Pada minggu ke 36 (24 minggu atau 6 bulan setelah akhir suplementasi) subyek yang sama diperiksa lagi untuk menilai sisa (retention) pengaruh suplementasi multivitamin-mineral pada kadar Hb, FP, RP dan pertumbuhan badan.
Semua kelompok yang mendapat suplemen, kadar RP dan tinggi badannya tetap lebih tinggi secara bermakna. Kadar Hb yang lebih tinggi (bermakna) hanya terdapat pada kelompok mingguan-dosis-rendah (WLD), sedangkan kadar FP yang lebih tinggi ditemukan pada kedua kelompok mingguan (WLD, WHD). Kadar Hb dan FP cenderung menurun mulai akhir suplementasi sampai minggu ke 36 sesudahnya.
Oleh sebab itu suplementasi mingguan dengan pit dosis rendah (WLD) yang mengandung 60 mg zat besi el, dan 20 000 SI vitamin A, 500 μg asam folat dan 60 mg vitamin C selama 12 minggu, dapat dipertimbangkan sebagai strategi pencegahan untuk meningkatkan kesehatan, status gizi, dan skor tes prestasi belajar para remaja sebelum hamil. Suplementasi berkala perlu dilakukan setiap 6 bulan. Namun demikian perencana program perlu memperhatikan bahwa meskipun program suplementasi besi adalah jalur utama untuk menanggulangi anemia, di dalamnya harus ada pendidikan gizi antara lain tentang petunjuk aturan minum pil suplemen . Suatu strategi campuran yang seimbang yang terdiri dari strategi jangka menengah yang berhubungan dengan fortifkasi pangan dan strategi jangka panjang yang bertujuan mengubah kebiasaan makan melalui pendidikan gizi harus menjadi bagian program suplementasi zat besi untuk memastikan kesinambungan dari program.
Penelitian lebih lanjut dengan jumlah subyek yang lebih besar perlu dilakukan untuk menunjang/menegaskan basil penelitian ini dan mengetahui peranan kekurangan zat gizi lain yang berkaitan dengan anemia seperti protein, Cu, vitamin B2, vitamin B6, dan vitamin B12. Kadar RP yang tidak berubah pada minggu ke 12 perlu diteliti lebih lanjut. Dosis vitamin yang lebih rendah (10.000 SI) mungkin cukup untuk meningkatkan kadar retinal. Selain itu karena keterbatasan waktu penelitian ini perlu dilakukan penelitian longitudinal suplementasi multi-vitamin-mineral mingguan dosis rendah (WLD). Penelitian operasional tentang sistem penyampaian (delivery system) suplemen multi-vitamin-mineral di sekolah-sekolah juga penting dipertimbangan.

Prevalence of anemia (IDA) in pregnant women in Indonesia as well as in other developing countries is still high despite of large scale iron supplementation program. Reasons of ineffectiveness are poor compliance, law coverage, occurrence of iron dosage blockage, and law vitamin A status.
A cross-sectional study was conducted to obtain information on the health and nutritional status of randomly selected 118 males and 805 female school-going adolescents in three randomly selected high schools in East Jakarta. The prevalence of IDA was higher in females (21%) than in males (2.5%). Stunting was prevalent in both sexes (22%). The prevalence of thinness was higher in males (43%) than in females (10.2%), overweight was higher (32.9%) in females than in males (9.3%).
An intervention study for 12 weeks followed the cross-sectional study. This was to determine the effects of different regimens of multi-nutrient supplements on iron and vitamin A status of randomly selected 363 females in one randomly selected school .Allocation to 4 treatment groups were double-blind and all pills were similar on sight. Supplements contained 60 mg el iron, 2 500 IU vitamin A, 250 pg folic acid, and 60 mg vitamin C for the daily dose (DD); 60 mg el iron, 20 000 IU vita min A, 500,ag folic acid and 60 mg vitamin C for the weekly law dose (WLD); 120 mg el iron, 20 000 IU vitamin A, 500/,g folic acid and 60 mg vitamin C for the weekly high dose (WHD); and the last group was the Placebo (FL).
Supplementation significantly increased Hb, plasma ferritin (PF), and plasma retinol levels (PR) at the end of 8 weeks in all multi-supplemented groups. DD had significantly higher PF than the weekly doses. Other benefits were increased linear growth and test scores. The PL had significant decreased Hb and PF but increased PR.
Extending the supplementation period for 12 weeks resulted in no greater benefit in Hb and PR levels in the multi-nutrient supplemented groups but further significant increases in PF only in the weekly groups. All groups had further increased height.
At 36 weeks, a follow-up study was done to assess the retention of effects of multi-nutrient supplements on iron and vitamin A status of females as basis for the interval of supplementation. Remaining number of samples were: DD=37, WLD-45, WHD=40, PL =50. Hb, PF, PR and height in the WLD; PF, PR, and height in the WHD; PR and height in the DD remained significantly higher than baseline values.
The WLD supplement for 12 weeks every 6 months can be a possible preventive strategy to improve the iron status of female adolescents.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
D45
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nguyen, Thi Lam
"Vitamin A deficiency, iron deficiency anemia and growth retardation have long been three of the main health problems in Vietnam. The National vitamin A distribution program for preschool children started since 1988. However, some studies outside Vietnam showed that this method does not maintain the retinal status until the next vitamin A capsule distribution. (Bloem et al 1989). Iron intervention and fortified supplementary feeding have not been done in preschool children. The objective of the study was to investigate the effects of vitamin A and iron fortified soybean milk (SBM) supplementary feeding on nutritional status of Vietnamese preschool children. The study consisted of 5 parts: The relative bioavailability test of iron in SBM fortified with 300 EtgRE and 5 mg of iron pyrophosphate, the acceptability test of fortified SBM by preschool children, the study in the per/-urban area, the study in the rural area and the intervention study in the rural area. The fortified SBM with a relative bioavailability of 45% was very well accepted by the rural preschool children attending day-care centers. The studies in the peri-urban and rural areas were done at day-care centers on boys and girls aged respectively 15-72 and 8-62 months, 438 and 417 children. Inadequate dietary intake, high infectious diseases and high worm infestation were detected in both areas. The rural children had significantly worse nutritional status in terms of serum retinol (SR) and physical growth status. However, the prevalence of anemia was about 20% in both areas. Considering this condition, the 5 months intervention study was carried out in the same rural area with the same subjects and number. Before randomly allocated into three groups, the stool of all subjects was examined and Mebendazole was given to those parasite egg positive subjects. The groups received respectively fortified SBM (FSBM), unfortified SBM (UFSBM), and cassava cookies (CC). The FSBM, UFSBM, CC contained respectively 150, 150, 45 kcal; 300, 50, 0 pgRE and 6.8, 1.8, 0.7mg of iron. These supplementary foods were given daily, 6 days a week, at the DCC and provided an additional in percentage of RDA the following: FSBM 12% of energy, 70% of vitamin A, 30% of iron; UFSBM 12% of energy, 12% of vitamin A, 8% of iron; CC about 3% of energy, o% of vitamin A and iron. The daily food of the subjects provided 88.8% energy, 104% iron, 78.5% vitamin A in percentage of (FAO/WHO/UNU 1985, FAO/WHO 1988) 's RDA.
Five months of intervention significantly increased serum retinol (SR), hemoglobin (Hb), and physical growth status of all three groups. The best effect was found in the FSBM group. The difference in effect between groups was marginal for SR (p=0.07) and significantly different for Hb (p-0.02). The serum ferritin (SF) significantly increased in the FSBM group only. The mean values of the FSBM group for weight, height, WAZ-score, HAZ-score were significantly higher than the CC group.
The best effect found in the FSBM group could be the effect of vitamin A and iron fortification but also of the protein and fat of SBM. The last also explains the improvement found in the UFSBM group. The increase of SR in all the three groups could be the effect of the "intervention" (Hawthorn) but also of deworming which was also shown by other studies. The increase in Hb and SF of the three groups could be related to age increase considering the length (5 months) of the intervention. The increase in Fib concentration could be related to the improvement of vitamin A status.
The supplementary feeding using FSBM, preceded with deworming had an excellent effect on the improvement of SR and Hb concentration of preschoolers. Both fortified and UFSBM led to improved physical growth status of preschool children.
As bioavailability of iron was low and the serum ferritin did not increase significantly, further research is needed: to identify iron compound suitable for fortification and higher level of iron (3 mg of elemental iron/30 g soybean milk powder), in combination of vitamin C for better effects of supplementation."
1997
D249
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Irawati Soeria Santoso
"Angiogenesis dalam keadaan normal mempunyai peranan antara lain dalam pertumbuhan dan penyembuhan jaringan. Beberapa zat dapat mempengaruhi proses angiogenesis. Zat yang dapat merangsang keaktifan angiogenesis dapat dipakai untuk merangsang pertumbuhan atau penyembuhan jaringan. Sebaliknya, zat yang dapat menekan proses angiogenesis dapat dipergunakan untuk menghambat pertumbuhan sel-sel tumor. Zat antioksidan dapat menghambat kerusakan jaringan dengan menghambat pembentukan gugus radikal bebas yang berlebihan. Beberapa vitamin seperti vitamin A (beta karoten), vitamin C (asam askorbat) dan vitamin E (alfa tokoferol) mempunyai sifat sebagai antioksidan. Yang menjadi permasalahan ialah apakah vitamin A, vitamin E dan vitamin C mempunyai efek terhadap keaktifan angiogenik. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin A, vitamin C dan vitamin E yang mempunyai sifat antioksidan terhadap keaktifan angiogenik. Pada penelitian ini dipergunakan jaringan endometrium dari tikus putih (W Ct star) pada kehamilan hari ke 5. Saringan endometrium dari setiap tikus dibagi dalam 4 kelompok. Kelompok 1 direndam dalam RPMI 1640 + vitamin A, kelompok 2 direndam dalam RPMI 1540+ vitamin C dan kelompok 3 dengan RPMI 1640 + vitamin E. Kelompok 4 sebagai kontrol, jaringan direndam dalam RPMI 1640. Semua jaringan diinkubasi pada suhu 37 derajat C , 5 % C02 selama 60 menit. Pemeriksaan angiogenesis dilakukan dengan metoda Folkman. Eksplan jaringan endometrium yang dipotong-potong dengan ukuran kurang lebih 500 um , ditempatkan dalam matriks gel kolagen 3 dimensi yang berisi sel endotel (HUVEC) dalam media NCTC dan FCS. Eksplan tersebut dikultur selama 96 jam. Potensi angiogenik endometrium diukur dengan derajat migrasi sel endotel menuju jaringan yang ditanam ( skor 0 - 4 ). Skor aktifitas angiogenik adalah Mode dari skor angiogenik eksplan yang ditanam pada setiap cawan kultur. Untuk mengetahui perbedaan skor angiogenik setiap kelompok digunakan analisa dengan Chi-squared test dengan p t 0.05 dan derajat kebebasan (k-1)(b-1). Telah diperiksa aktivitas angiogenik 17 tikus. Dibandingkan dengan kontrol, maka pemberian vitamin A, vitamin C dan vitamin E memberikan skor aktivitas angiogenik yang lebih baik. Namun perbedaan ini tidak bermakna. Skor aktivitas angiogenik pada pemberian vitamin A dan C adalah 1 sedangkan vitamin E mendekati 1 dan pada kontrol lebih rendah sedikit dari pemberian vitamin E. Semula diduga bahwa vitamin A akan menekan proses angiogenesis namun dalam penelitian ini pemberian vitamin A memberikan hasil meningkatkan skor aktivitas angiogenesis. Mungkin hal ini disebabkan oleh dosis vitamin yang diberikan dan sifat vitamin A yang dapat menghambat pertumbuhan sel endotel (retinol babas) dan merangsang pertumbuhan sel (beta karoten dan retinol yang berikatan dengan protein -karier). Sebagai kesimpulan dalam penelitian ini ialah vitamin yang mempunyai sifat sebagai antioksidan walaupun tidak bermakna namun dapat memperbaiki skor angiogenesis dan mungkin dapat dikembangkan sebagai terapi tambahan disamping terapi konvensional pada beberapa penyakit di klinik.

Angiogenesis is an important physiologic process, which plays an essential role in normal tissue growth or repair. Several substances have been known to modulate angiogenic activity and can therefore be used either to stimulate or inhibit angiogenesis. Antioxydants are known to check tissue injury by inhibiting the formation of free radicals. vitamins A (beta carotene), C (ascorbic acid.), and E (alpha tacopherol) have antioxydant properties. The problem is to determine if these vitamins can also affect angiogei is activity. The purpose of this study is to investigate whether the antioxydant properties of vitamins A, C, and E can affect angiogenesis. Endometrial tissue samples were obtained from white rats (Wistar) on the fifth day of pregnancy. Samples from each rat were divided into 4 portions. The first portion was put into a solution of RPMI 1640 and vitamin A, the second into RPMI 1640 and vitamin C, and the third into RPMI 1640 and vitamin E. The last portion, as control, was put into a solution containing only RPMI 1640. All portions.were incubated at 37°C with 5% C02 for 60 minutes. Angiogenic assay followed the Folkman method. Explants from endometrial tissue were finely chopped into pieces smaller than 500 um and placed in a 3 dimensional collagen gel matrix containing endothelial cells (HUVEC) in NCTC and FCS media. the explants were cultured for 96 hours. Endometrial angiogenic potential were quantified by the degree of endothelial cell migration towards the explants, with a possible score of 0 - 4. The angiogenic activity score is the mode of the explant angiogenic score in each culture dish. Statistical analysis by using the chi-squared test with p<0.OOF. and a degree of freedom of (k-l) (b-1) was used to determine the difference in angiogenic score of each portion. The angiogenic activity of samples from 17'female white rats was evaluated. Vitamins A, C, and E was found to produce a higher score when compared to control. The difference was however not statistically significant. In samples given vitamins A and C the score was 1, while in samples with vitamin E the score was slightly less than 1. The score in the control batch was a little bit less than the vitamin E score. It was thought that vitamin A will inhibit angiogenesis, but this study showed that vitamin A enhanced angiogenic activity. This is probably caused by incorrect dosage, or the characteristics of vitamin A itself. Free retinal has been known to inhibit endothelial cell growth, while beta carotene and retinal bound to protein carriers may stimulate cell growth. From this study it can be concluded that vitamins with antioxydant properties can slightly increase angiogenic scores, and may be developed into an adjuvant tc conventional clinical therapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Sisfa Shabela
"Kebanyakan orang mengetahui bahwa tuberkulosis mempengaruhi paru-paru, tetapi jarang mengetahui bahwa TB dapat mempengaruhi tulang belakang. Penyakit ini dikenal sebagai penyakit Pott. Pasien penyakit Pott sering diresepkan dengan beberapa obat anti-tuberkulosis dalam formulasi obat tunggal dan kombinasi biner. Namun, beberapa pasien menjadi resisten terhadap obat anti-tuberkulosis karena penggunaan yang tidak tepat. Kekhawatiran telah dikemukakan oleh peneliti mengenai degradasi rifampisin (RIF) yang disebabkan oleh oksigen. Obat tunggal dan biner yang tidak stabil dan tidak aktif dapat mengganggu efektivitas pengobatan dan meningkatkan kemungkinan resistensi obat pada pasien. Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), untuk penentuan stabilitas obat anti tuberkulosis tunggal dan biner dalam 4 jam, digunakan untuk menyelidiki degradasi obat anti-tuberkulosis (OAT) di dalam larutan PBS pada pH 7.4 di suhu kamar dengan variasi H2O2 (0%, 0,3%, 3%, dan 30% b/v). RIF terdegradasi hingga 14.92% setelah ditambahkan H2O2 3% dan menghasilkan turunan RIF-Q dengan konsentrasi sebesar 4.57 PPM, 3.38 PPM, 2.52 PPM, and 0.87 PPM untuk variasi H2O2 0%, 0,3%, 3%, dan 30% b/v. Setelah ditambahkan H2O2 3% INH, PZA, dan ETH terdegradasi sebesar 5.70%, 13.58%, dan 3.48% secara berurutan. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa semua OAT tunggal dan biner terdegradasi, tidak tahan oksidasi alami, dan oksidasi H2O2. Oleh karena itu, semua obat membutuhkan antioksidan alami seperti gingerol, kurkumin, mangostin, dan asam askorbat sebagai penstabil untuk menstabilkan obat.

Most people knew that tuberculosis affect the lungs, but rarely knew it may affect other sites including spine. The disease is known as the pott’s disease. Pott’s disease patients are often prescribed with a few anti-tubercular drugs in a single and binary drug formulation. Concern has been arises regarding the degradation of rifampicin (RIF) caused by oxygen that produce inactive rifampicin quinone (RIF-Q) and isonicotinyl hydrazone (HYD) in the presence of isoniazid (INH). Unstable and inactive single and binary drugs may compromise treatment effectiveness and enhance the possibility of drug resistance in patient. An HPLC method, for the determination of single and binary anti-tuberculosis drugs stability in 4 hours, was employed to investigate the degradation in PBS solution at pH 7.4 in ambient temperature with H2O2 variation (0%, 0.3%, 3%, and 30% w/v). RIF degraded up to 14.92% after 3% H2O2 was added and produced RIF-Q with concentrations of 4.57 PPM, 3.38 PPM, 2.52 PPM, and 0.87 PPM for 0%, 0.3%, 3%, and 30% w/v H2O2. Meanwhile, INH, PZA, and ETH degraded by 5.70%, 13.58%, and 3.48%, respectively after 3% H2O2 was added. It was found that all single and binary anti- tuberculosis drugs are degraded, did not resist natural oxidation, and H2O2 oxidation. Therefore, all drugs need natural antioxidant such as gingerol, curcumin, mangostin, and ascorbic acid the stabilizer to stabilize the drugs."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>