Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175276 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ni Putu Pande Ariyani
"Latar belakang: Odontologi forensik telah banyak dikembangkan untuk mengidentifikasi korban bencana maupun korban kekerasan. Dengan odontologi forensik, tim Investigasi Korban Bencana (DVI) dapat menentukan jenis kelamin manusia. Terdapat beberapa metode untuk mengidentifikasi jenis kelamin, salah satunya dengan metode palatoscopy dan metode cheiloscopy yang sering digunakan. Namun, perbandingan akurasi kedua metode ini pada populasi Asia masih kontroversial.
Tujuan: mengetahui perbedaan akurasi antara metode palatoscopy dan cheiloscopy untuk identifikasi jenis kelamin pada populasi Asia.
Metode: Penelusuran literatur menggunakan pedoman alur Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA) pada lima electronic database yaitu PubMed, Scopus, EBSCO, ScienceDirect, dan Wiley Online Library. Literatur harus memenuhi syarat kriteria inklusi berupa artikel harus berbahasa Inggris, diterbitkan dalam 5 tahun terakhir, tersedia dalam full-text, merupakan research article, serta menggunakan klasifikasi Thomas dan Kotze untuk penelitian palatoscopy dan klasifikasi Tsuchihashi dan Suzuki untuk penelitian cheiloscopy.
Hasil: Didapatkan 33 studi memenuhi kriteria inklusi pada tahapan sintesis kualitatif. Dari hasil analisis menggunakan random effects model, diperoleh metode cheiloscopy lebih dapat mengidentifikasi jenis kelamin pada populasi Asia.
Kesimpulan: Metode cheiloscopy dapat mengidentifikasi jenis kelamin secara lebih akurat daripada metode palatoscopy.

Background: Forensic odontology have been developed for victim identification. With forensic odontology, Disaster Victim Identification (DVI) team may determine human’s sex. There are a few methods for sex determination including human soft tissue methods. Human soft tissues such as palatoscopy method and cheiloscopy method can be utilized for sex determination. Nevertheless, the accuracy comparation of these methods in Asian population is still controversial. Aim: To compare the accuracy between palatoscopy method and cheiloscopy method for sex identification in Asian population.
Methods: The literature is searched using Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA) guideline on five electronic databases, such as PubMed, Scopus, EBSCO, ScienceDirect, and Wiley Online Library. The literature should have to require the inclusion criteria such as an English article, published in the last 5 years, available in full-text, a research article, using Thomas and Kotze’s classification for palatoscopy studies and using Tsuchihashi and Suzuki’s classification for cheiloscopy studies.
Results: 33 studies which qualify the inclusion criteria on qualitative synthesis phase. From the analyzes with random effects model, cheiloscopy method is significantly reliable for sex identification in Asia population.
Conclusion: Cheiloscopy method is more accurate for sex determination as compared to palatoscopy method.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rossy Sylvia Basman
"Latar Belakang: Rugae palatal bersifat tahan akan perubahan, stabil dan unik berbeda antar individu. Analisis rugae palatal dapat dijadikan metode identifikasi sekunder untuk membantu mengidentifikasikan individu seperti jenis kelamin.
Tujuan: Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan bentuk rugae palatal laki-laki dan perempuan pada subpopulasi Indonesia.
Metode: Melakukan pengamatan terhadap 100 model cetakan rahang atas yang terdiri dari 50 laki-laki dan 50 perempuan berdasarkan klasifikasi Basauri.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bentuk rugae palatal antara laki-laki dan perempuan pada palatum kanan dan kiri namun secara distribusi bentuk rugae palatal terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada palatum kiri dan kanan.
Kesimpulan: Rugae palatal pada setiap individu berbeda namun belum dapat meggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada subpopulasi Indonesia.

Background: Palatal rugae are known for their resistance to environmental challange, stability, and uniqueness different for each other. Palatal rugae analysis can be one of secondary identification methods to help identifying individuals such as gender.
Objective: To know whether there are differences in palatal rugae shape between female and male of Indonesian subpopulation.
Methods: Observing 100 maxillary dental study of 50 male and 50 female based on Basuri classification.
Result: No significant difference in palatal rugae shape between male and female either on left or right side but distributively the shape of palatal rugae between male and female were different.
Conclusion: Palatal rugae on each individuals are different but this still can 39 t show differences between both female and male in Indonesian subpopulation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Yuli Andari
"Latar Belakang: Penentuan jenis kelamin merupakan hal yang penting dalam identifikasi forensik dan salah satu metodenya adalah melalui pengukuran gigi geligi. Tujuan: Mengetahui perbedaan ukuran gigi kaninus rahang bawah pada laki-laki dan perempuan serta mendapatkan nilai indeks standar untuk menentukan jenis kelamin. Metode: Dilakukan pengukuran mesiodistal kaninus rahang bawah dan jarak interkaninus, dihitung nilai indeks standar dengan rumus indeks standar kaninus rahang bawah. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna (p<0.05) ukuran gigi kaninus rahang bawah antara laki-laki dan perempuan. Nilai indeks standar kaninus kanan 0.2546 mm, kaninus kiri 0.2456 mm. Kesimpulan: Gigi kaninus rahang bawah dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin individu.

Background: Sex determination is important in forensic identification and one of the methods is teeth measurement. Objectives: To obtain the differences of mandibular canine size between males and females and to get mandibular canine index standard (MCIs) for sex determination. Methods: Measured mesiodistal width and intercanine distance of mandibular canine, index standard value is calculated with MCIs formula. Results: There was a highly significant differences is mandibular canine size between males and females (p value<0.05). MCIs value for right canine is 0.2546 mm, for left canine is 0.2456 mm. Conclusion: Mandibular canine can be used for sex determination."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuri Lathifah
"Latar Belakang: Penentuan jenis kelamin penting untuk identifikasi forensik. Salah satu metodenya berdasarkan ukuran gigi.
Tujuan: Mengetahui perbedaan ukuran gigi laki-laki dan perempuan serta menentukan nilai referensi gigi molar satu rahang atas untuk penentuan jenis kelamin.
Metode: 30 gigi molar satu rahang atas laki-laki dan 30 perempuan diukur lebar mesiodistal dan bukolingual dengan kaliper digital.
Hasil: Perbedaan signifikan (p<0,05) ukuran gigi molar satu rahang atas laki-laki dan perempuan. Nilai referensi ukuran bukolingual 11.34 mm (kanan), 11.22 mm (kiri); ukuran mesiodistal 10.61 mm (kanan) 10.51 mm (kiri).
Kesimpulan: Ukuran mahkota gigi molar satu rahang atas dapat digunakan untuk penentuan jenis kelamin.

Background: Sex determination is an important aspect in the human identification. One of the methods is using tooth dimensions.
Objective: To obtain the differences of male and female tooth size using maxillary first molar crown dimensions and to determine reference point for sex determination.
Methods: 30 males and 30 females, on maxillary first molar study cast. Mesiodistal and buccolingual width were measured using digital calipers.
Results: The differences between males and females in all dimensions measured were statistically significant (p<0,05). The reference point for buccolingual width was 11.34 mm (right), 11.22 mm (left); for mesiodistal width was 10.61 mm (right) and 10.51 mm (left).
Conclusion: Maxillary first molar crown dimension may be used as an aid in sex determination.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S43922
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Nur Sakina Tri Meilana
"Latar Belakang: Pada banyak kasus forensik, seringkali tubuh ditemukan dalam kondisi fragmen, hangus terbakar, atau telah mengalami dekomposisi. Gigi merupakan bukti kuat dalam kasus forensik seperti ini karena strukturnya kuat, tahan terhadap berbagai kondisi dan perubahan post-mortem. Jumlahnya yang mencapai 32, setidaknya akan ada beberapa gigi yang dapat dianalisis.
Tujuan: Menganalisis potensi dental morfometrik dalam penentuan usia dan jenis kelamin individu
Metode: 230 data panoramik digital rentang usia 15-35 tahun dipilih untuk dianalisis. Dental morfometrik total panjang gigi (TTL), panjang akar (RL), panjang mahkota (CL), serta ratio area pulpa dan gigi (PTR) diukur dengan software open source Image J.
Hasil: Uji Korelasi Pearson menunjukkan ada korelasi bermakna antara variabel TTL, RL, dan CL dengan jenis kelamin namun tidak pada usia. Ditemukan pula korelasi kuat negatif antara variabel PTR dengan usia, namun tidak pada jenis kelamin. Berbagai model regresi untuk estimasi usia dan jenis kelamin populasi Indonesia telah dikembangkan. Model regresi TTL, RL, dan CL dari kombinasi gigi 11,13, dan 33 menunjukkan akurasi yang paling baik dengan prediksi kesalahan terkecil dalam memperkirakan jenis kelamin, (r = 0,681) (r2 =0,464) (SE=0,374). Sebuah model regresi estimasi usia berdasarkan PTR dikembangkan. Ketika model regresi digunakan sesuai jenis kelamin, maka akurasi akan meningkat, dengan pada wanita sedikit lebih akurat dibanding laki-laki (r=0,692) (r2=0,479) (SE=4,349).
Kesimpulan: Dental morfometrik berpotensi dalam estimasi usia ataupun jenis kelamin pada populasi Indonesia. Variabel TTL, RL, dan CL terbukti berbeda antara gender, dan variabel PTR merupakan metode dental morfometrik yang terbukti dapat digunakan dalam estimasi usia.

Background: In many forensic cases, bodies are often found in fragments, charred, or decomposed. Teeth are strong evidence in forensic cases like these because they are structurally sound, resistant to a variety of conditions and post-mortem changes. Moreover, the total number of teeth reaches 32, at least there will be several teeth that can be analyzed
Objective: To analyze the potential of dental morphometrics in determining the age and sex of an individual Method: 230 digital panoramic data aged 15-35 years were selected for analysis. Dental morphometric total tooth length (TTL), root length (RL), crown length (CL), and pulp-to-tooth area ratio (PTR) were measured using open source software Image J.
Results: Pearson Correlation Test showed that there was a significant correlation between TTL, RL, and CL variables with sex but not with age. There was also a strong negative correlation between the PTR variable and age, but not gender. Various regression models for estimating the age and sex of the Indonesian population have been developed. The TTL, RL, and CL regression model of the combination of teeth 11,13, and 33 showed the best accuracy with the smallest prediction error in estimating sex, (r = 0.681) (r2 = 0.464) (SE = 0.374). An age estimation regression model based on PTR was developed. When the regression model is used according to gender, the accuracy will increase, with women being slightly more accurate than men (r=0.692) (r2=0.479) (SE=4.349).
Conclusion: Dental morphometrics has the potential to estimate age or sex in the Indonesian population. The TTL, RL, and CL variables are proven to differ between genders, and the PTR variable is a dental morphometric method that is proven to be used in age estimation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Iriani Febrina
"Pemanfaatan rugae palatal sebagai salah satu metode identifikasi merupakan metode yang menjanjikan karena morfologi yang unik pada setiap individu. Analisis rugae palatal dapat diterapkan secara efektif dalam forensik selama bencana massal, aksi teroris, kecelakaan lalu lintas, dan korban terbakar, dimana metode identifikasi primer sulit untuk dilakukan atau tidak memungkinkan. Keunikan rugae palatal, stabilitas, ketahanan terhadap perubahan PM dan biaya pemanfaatan rugae palatal yang rendah, menjadikan rugae palatal sebagai salah satu parameter yang ideal untuk identifikasi forensik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola rugae palatal pada populasi Indonesia Barat dan Timur guna membantu kepentingan identifikasi khususnya pada populasi Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Total sampel penelitian adalah 120 model studi rahang atas yang terdiri dari 60 model studi rahang atas populasi Indonesia Barat dan 60 model studi rahang atas populasi Indonesia Timur. Analisis perbedaan rugae palatal menggunakan klasifikasi Thomas dan Kotze dengan menghitung jumlah setiap sisi kanan dan sisi kiri, bentuk, dan panjang rugae palatal dari setiap populasi. Hasil uji Mann Whitney U didapatkan hasil perbedaan yang bermakna secara statistik pada jumlah rugae palatal di sisi kiri, bentuk, dan panjang rugae palatal antara populasi Indonesia Barat dan Timur dengan nilai p<0.05. Jumlah rugae palatal di sisi kiri pada populasi Indonesia Timur lebih banyak dibandingkan jumlah rugae palatal di sisi kiri pada populasi Indonesia Barat (p<0.05). Hasil uji Chi-Square didapatkan hasil perbedaan yang bermakna secara statistik (p<0.05) pada bentuk dan panjang rugae palatal antara populasi Indonesia Barat dan Timur. Bentuk rugae palatal pada populasi Indonesia Barat didominasi bentuk konvergen, gelombang, dan lurus, sedangkan bentuk rugae palatal pada populasi Indonesia Timur didominasi bentuk sirkular, divergen, dan kurva (p<0.05). Panjang rugae palatal pada populasi Indonesia Barat didominasi secondary rugae, dan primary rugae mendominasi panjang rugae palatal pada populasi Indonesia Timur (p<0.05).

Utilization of palatal rugae as an identification method is a promising method because of the unique morphology of each individual. Palatal rugae analysis can be applied effectively in forensics during mass disasters, terrorist acts, traffic accidents, and burn victims, where primary identification methods are difficult or impossible. The uniqueness of the palatal rugae, its stability, resistance to changes in PM and the low utilization cost of the palatal rugae make it an ideal parameter for forensic identification. The purpose of this study was to determine the pattern of palatal rugae in the population of West and East Indonesia in order to assist identification purposes, especially in the Indonesian population. This research is a quantitative research with an observational analytic research design with a cross sectional approach. The total study sample was 120 maxillary study models consisting of 60 maxillary study models from the West Indonesian population and 60 maxillary study models from the Eastern Indonesian population. Analysis of differences in palatal rugae used Thomas and Kotze's classification by calculating the number of each right and left side, shape, and length of palatal rugae from each population. The results of the Mann Whitney U test showed statistically significant differences in the number of palatal rugae on the left side, the shape, and the length of the palatal rugae between the populations of West and East Indonesia with a p<0.05. The number of palatal rugae on the left side of the Eastern Indonesian population was greater than the number of palatal rugae on the left side of the Western Indonesian population (p<0.05). The results of the Chi-Square test showed statistically significant differences (p<0.05) in the shape and length of the palatal rugae between the populations of West and East Indonesia. The shape of the palatal rugae in the population of West Indonesia is dominated by convergent, wavy, and straight shapes, while the shape of the palatal rugae in the population of East Indonesia is dominated by circular, divergent, and curved shapes (p<0.05). The length of the palatal rugae in the population of West Indonesia was dominated by the secondary rugae, and the primary rugae dominated the length of the palatal rugae in the population of East Indonesia (p<0.05)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Nur Azizah
"Latar belakang: Ras merupakan salah satu parameter determinasi yang berperan dalam bidang odontologi forensik terutama pada kasus orang hilang, perdagangan manusia, fosil atau kranium yang tidak diketahui identitasnya serta bencana. Ras dapat diidentifikasi dengan metode analisis metrik dan analisis non-metrik melalui torus palatinus. Sedikit studi yang meneliti torus palatinus sebagai parameter dalam menentukan ras Indonesia.
Tujuan: Penelitian ini akan menganalisis mengenai peran torus palatinus sebagai parameter determinasi ras pada populasi Indonesia.
Metode: Sampel terdiri dari kelompok ras Protomelayu, Deutromelayu, Dayakid dan Melanesoid yang masing-masing berjumlah 30 sampel berasal dari Laboratorium Odontologi Forensik dan Laboratorium Ortodonti FKG UI dengan data lengkap. Sampel dilakukan pengukuran untuk menentukan prominensi, bentuk, posisi, ukuran, jenis kelamin, usia dan ras yang sesuai. Hasil penelitian akan diuji secara univariat dan multivariat menggunakan SPSS 26.0.
Hasil: 63,3% sampel memiliki torus, 46,1% torus berbentuk flat, 60,5% torus berada di daerah molar, 78,9% torus berukuran kecil, 72,3% pemilik torus berusia dewasa muda dan ras Protomelayu serta Deutromelayu memiliki torus lebih banyak dibanding kelompok ras lain.
Kesimpulan: prominensi, bentuk, posisi dan jenis kelamin dapat menjadi parameter untuk menentukan ras pada kelompok ras Protomelayu, Deutromelayu, Dayakid dan Melanesoid dengan tingkat akurasi 61,8%

Background: Race is one of the determining parameters that contribute to the practice of forensic odontology, especially in cases of missing persons, human trafficking, unidentified fossils or craniums, and disasters. Race can be identified by metric analysis and non-metric analysis methods through the torus palatinus. Few studies have examined the torus palatinus as a parameter in determining Indonesian race.
Aims: This study will analyze the use of the torus palatinus as a parameter for determining race in the Indonesian population.
Methods: The samples consisted of Protomelayu, Deutromelayu, Dayakid and Melanesoid racial groups, totaling 30 samples each from FKG UI with complete data. Samples were measured to determine prominence, shape, position, size, gender, age and race. The results will be tested with univariat and multivariat analytic using SPSS 26.0.
Results: 63.3% of the group sample had torus, 46.1% torus was flat, 60.5% torus was located in the molar region, 78.9% torus was small in size, 72.3% torus owners were young adults and Protomelayu and Deutromelayu races had more torus than other racial groups.
Conclusion: prominence, shape, position and gender can be a parameter to determine race in the Protomelayu, Deutromelayu, Dayakid and Melanesoid racial groups with an accuracy rate of 61.8%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Larissa Permata Shany
"Latar belakang : Estimasi usia merupakan salah satu upaya yang penting dilakukan dalam identifikasi individu hidup maupun individu mati. Usia 8-16 tahun merupakan usia kritis yang sering berkaitan dengan masalah hukum di Indonesia yang memerlukan pembuktian usia sehingga diperlukan metode yang akurat untuk mengestimasi usia tersebut. Rumus TCI-Khoman merupakan salah satu metode estimasi usia berdasarkandi Indonesia namun belum pernah diuji keakuratannya. Untuk itu dilakukan uji perbandingan estimasi usia dengan metode Demirjian berdasarkan tahapan kalsifikasi gigi geligi karena metode ini telah dibuktikan dapat diterapkan di Indonesia.
Tujuan: Menganalisis ketepatan metode estimasi usia menggunakan rumus TCI-Khoman pada gigi insisivus, kaninus, premolar, dan molar dibandingkan dengan metode Demirjian dalam rentang usia 8-16 tahun di Indonesia.
Metode penelitian: Estimasi usia 8-16 tahun dilakukan menggunakan rumus TCIKhoman pada gigi insisivus, kaninus, premolar, dan molar kemudian dibandingkan dengan estimasi usia menggunakan metode Demirjian.
Hasil: Hasil estimasi usia menggunakan rumus TCI-Khoman pada gigi insisivus, premolar, dan molar tidak memiliki perbedaan bermakna dengan metode Demirjian (p>0.05), namun hasil estimasi usia menggunakan rumus TCI-Khoman pada gigi kaninus memiliki perbedaan bermakna dengan metode Demirjian (p<0.05). Hasil estimasi usia rentang 8-16 tahun menggunakan metode Demirjian cenderung mendekati usia kronologis dengan SE 0,658, diikuti metode TCI-Khoman pada gigi premolar dengan SEE 0,893, metode TCIKhoman pada gigi insisivus dengan SEE 1,117, metode TCI-Khoman pada gigi molar dengan SEE 1,579, dan metode TCI-Khoman pada gigi kaninus sebesar 1,707.
Kesimpulan : Hasil estimasi usia 8-16 tahun menggunakan metode TCI-Khoman tidak memiliki perbedaan bermakna dengan metode Demirjian, kecuali pada gigi kaninus. Hasil estimasi usia 8-16 tahun menggunakan rumus TCI-Khoman mendekati usia kronologis dengan SEE terbesar terdapat pada gigi kaninus dan SEE terkecil terdapat pada gigi premolar.

Background : Age 8-16 is a critical age that often related with legal issues in Indonesia, so that an accurate method is needed to estimate the age in order to help legal process can run as fairly as possible according to their age group. Khoman (2015) found an age estimation formula for Indonesian population based on the analysis of Tooth Coronal Index (TCI) using radiographic of the teeth. The accuracy of TCI-Khoman formula need to be test with other age estimation methods. The Demirjians method is used as a comparison method because in previous studies it has been proven to be the one of age eestimation methods that can be used in Indonesia.
Objective: To analyze the accuracy of the age estimation method using the TCI-Khoman formula in incisors, canines, premolars, and molar teeth compared to the Demirjian method in the 8-16 years age range in Indonesia.
Methodology: Age estimation age 8-16 years were performed using the Tooth Coronal Index (TCI)-Khoman formula in incisors, canines, premolars, and molar teeth and then compared with age estimates using the Demirjians method.
Results: Age estimation using TCI-Khomans formula on incisors, premolars, and molar teeth did not have a significant difference with the result of Demirjians method canine teeth had significan differences with the result of Demirjians method (p< 0.05). Age estimastion 8-16 years using the Demirjians method gives results that are close to the chronological age with SEE 0,658, followed by the TCI-Khomans formula on the premolar teeth with SEE 0,893, insisivus teeth with SEE 1,117, molar teeth with SEE 1,579, and caninus teeth with SEE 1,707.
Conclusion: Age estimation 8-16 years old using TCI-Khomans formula did not have a significant difference with the result of Demirjians method except on canine teeth. Age estimation 8-16 years old using the TCI-Khomans formula gives results that are close to chronological age with the biggest SEE found in canine teeth and the smallest SEE is found in premolar teeth.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Farahyati
"Latar belakang : Prakiraan usia penting untuk identifikasi individu dalam kasus seperti human trafficking atau perebutanwali anak pada rentang 16-21 tahun.
Tujuan : Menguji rumus metode TCI-Benindra dibandingkan dengan metode lainnya.
Metode penelitian : Prakiraan usia 16-21 tahun dilakukan dengan rumus Tooth Coronal Index (TCI)-Benindra kemudian dibandingkan dengan metode Kvaal dan Schour dan Massler.
Hasil : Prakiraan usia dengan rumus metode TCI-Benindra berbeda bermakna dengan metode Kvaal (p<0,05)dan tidak berbeda bermakna dengan metode Schour dan Massler (p>0,05).
Kesimpulan : Tidak terdapat perbedaan prakiraan usia dengan rumus metode TCI-Benindra dan Schour dan Massler, tetapi terdapat perbedaan pada metode Kvaal.

Background : Age estimation is important foridentification in human trafficking or struggle for the rights of heirsjusticecases in 16 - 21 years.
Aims : TCI-Benindra`s formula method compared with Kvaal and Schour and Massler methods.
Methodology : Age estimation is performed by TCI(Tooth Coronal Index)-Benindra`s formula then compared with Kvaal and Schour and Massler methods.
Result : TCI-Benindra`s formula has a significant difference with Kvaal method(p<0,05) and no significant difference with Schour and Massler method (p>0.05).
Conclusion: TCI-Benindra`s formula and Schour and Massler methods are close to real age, but significant difference shows in Kvaal method."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
S45191
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Dwi Puspita
"Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pola ruga palatal suku Jawa dan Tionghoa di Indonesia. Seratus cetakan rahang atas berusia rata-rata 16 sampai 27 tahun, masing-masing kelompok terdiri dari 50 orang dengan jumlah jenis kelamin setiap kelompok yang seimbang. Metode yang digunakan berdasarkan klasifikasi Thomas (1983) terdiri dari panjang, bentuk, unifikasi dan arah ruga. Ruga bentuk curved dan straight merupakan bentuk ruga yang umum pada kedua kelompok, diikuti wavy dan circular. Analisis menggunakan uji Mann-Whitney didapatkan perbedaan signifikan (p<0,05) pada ruga primary,curved dan wavy pada kedua kelompok suku. Pola ruga palatal sangat unik dan memiliki pola yang berbeda pada setiap individu.

This study aims to compare the palatal rugae pattern between ethnic Java and Chinese in Indonesia. Hundreds maxillary cast, ages-range 16 to 27 years, consisting of fifty people each group with equally number of sexes. Method based on classifications Thomas (1983) categorized as length, form, unification and direction. Curved and straight pattern are the most common in both etnics, followed by wavy and circular pattern. Comparation was analized with non-parametry mann-whitney test. There was significant difference (p<0.05) between the two etnics for primary, curved and wavy rugae. Palatal rugae are very unique and have a different pattern in each individual.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>