Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154343 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Taufik
"Bandit sebagai kategori sosial cenderung dikonotasikan negatif karena identik dengan penjahat, perampok atau orang-orang yang melakukan kekerasan fisik. Namun dalam sejarah sosial bandit tidak dapat dilihat secara sederhana berdasarkan opini publik. Baik dalam konteks lampau maupun kekinian, fenomena bandit tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ekonomi dan politik. Dengan mengambil kasus sejarah sosial bandit di Polombangkeng, penelitian ini menganalisis praktik perbanditan dalam kaitannya dengan perubahan kebijakan kolonial Belanda dari periode 1905 sampai berakhirnya intervensi politik Belanda di Sulawesi Selatan pada 1950. Dengan menggunakan metodologi sejarah yang menekankan pada proses dan waktu, hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik-praktik perbanditan yang diperankan oleh toloq dalam sejarah Polombangkeng merupakan bentuk protes atas ketidakadilan sosial, politik dan ekonomi. Kebijakan negara kolonial yang mereduksi otoritas tradisional mendorong munculnya resistensi dari bangsawanyang posisinya marginal atau terpinggirkan dari hierarki pemerintahan kolonial. Marginalisasi ini kemudian tidak hanya menjadi masalah ekonomi dan politik semata, tetapi juga merembes ke masalah identitas dan siri’ (harga diri) yang terusik. Perbanditan bertali temali dengan ekonomi, politik dan budaya. Bangsawan yang termarginalkan mempertontonkan kuasanya dengan melindungi kasus-kasus perampokan yang diperankan oleh toloq. Akibatnya muncul jaringan perbanditan sebagai bentuk extra-legal yang dipelihara oleh otoritas tradisional yang melampaui otoritas negara kolonial Belanda. Pada abad ke dua puluh, arah kebijakan kolonial Belanda yang semakin hegemonik mendorong semakin menguatkan pula koalisi toloq dengan karaeng yang kemudian disahkan secara terbuka melalui upacara ritual. Aksi perbanditan berkembang menjadi gerakan pemberontakan. Realitas politik dan koalisi toloq dengan karaengsemakin dinamis pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Organisasi toloq yang selama ini berkoalisi dengan karaeng memosisikan dirinya sebagai bagian dari perjuangan melawan kehadiran NICA di Sulawesi Selatan. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa trajektori peran dan tindakan toloq sebagai aktor penting dalam perbanditan mengalami perubahan dalam konteks transisi politik lokal dan kolonial. Perubahan pola dan strategi perbanditan merupakan respons atas perubahan-perubahan kebijakan pemerintah kolonial Belanda.

Bandits as a social category generally tend to have a negative connotation because they are identical to criminals, robbers, or people who often carry out physically violent acts. However, the social history of bandits cannot be labeled as simple criminals by public opinion. Both in the past and current context, bandits are inseparable from economic and political developments. Through the social history of bandits in Polombangkeng, this study analyzes the acts of banditry in relation to the changes in the Dutch colonial policies from 1905 to the end of the Dutch political intervention in South Sulawesi in 1950. By using a historical methodology that emphasizes the processes and time, the results show that Bandit acts performed by “toloq” in the history of Polombangkeng are a form of protest against social, political, and economic injustice. The colonial state's policy that reducing traditional authority led to resistance from “karaeng,” whose positions were marginal or marginalized from the colonial government hierarchy. Furthermore, the marginalization was becoming an economic and political problem and seeped into the disturbed identity and “siri'” (dignity). Bandits are closely related to economics, politics, and culture. Marginalized “karaeng” exhibited their power by protecting the robbery performed by “toloq”. As a result, a network of bandits emerged as an extra-legal form maintained by traditional authorities that surpassed the authority of the Dutch colonial state. In the twentieth century, the increasingly hegemonic policy of the Dutch colonial encouraged the strengthening of the alliance of “toloq” and “karaeng”, which was then openly legitimated through ritual ceremonies. The banditry developed into a rebellion movement. The political reality and the coalition of toloq and karaeng became more dynamic during the Indonesian independence revolution. The “toloq” organization, which has been in coalition with “karaeng”, has positioned itself as part of the struggle against the presence of NICA in South Sulawesi. This study concludes that the trajectory of the role and actions of “toloq” as an important actor in banditry has changed in the context of local and colonial political transitions. Changes in the pattern and strategy of banditry were a response to changes in the policies of the Dutch colonial government."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik
"Bandit sebagai kategori sosial cenderung dikonotasikan negatif karena identik dengan penjahat, perampok atau orang-orang yang melakukan kekerasan fisik. Namun dalam sejarah sosial bandit tidak dapat dilihat secara sederhana berdasarkan opini publik. Baik dalam konteks lampau maupun kekinian, fenomena bandit tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ekonomi dan politik. Dengan mengambil kasus sejarah sosial bandit di Polombangkeng, penelitian ini menganalisis praktik perbanditan dalam kaitannya dengan perubahan kebijakan kolonial Belanda dari periode 1905 sampai berakhirnya intervensi politik Belanda di Sulawesi Selatan pada 1950. Dengan menggunakan metodologi sejarah yang menekankan pada proses dan waktu, hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik-praktik perbanditan yang diperankan oleh toloq dalam sejarah Polombangkeng merupakan bentuk protes atas ketidakadilan sosial, politik dan ekonomi. Kebijakan negara kolonial yang mereduksi otoritas tradisional mendorong munculnya resistensi dari bangsawanyang posisinya marginal atau terpinggirkan dari hierarki pemerintahan kolonial. Marginalisasi ini kemudian tidak hanya menjadi masalah ekonomi dan politik semata, tetapi juga merembes ke masalah identitas dan siri’ (harga diri) yang terusik. Perbanditan bertali temali dengan ekonomi, politik dan budaya. Bangsawan yang termarginalkan mempertontonkan kuasanya dengan melindungi kasus-kasus perampokan yang diperankan oleh toloq. Akibatnya muncul jaringan perbanditan sebagai bentuk extra-legal yang dipelihara oleh otoritas tradisional yang melampaui otoritas negara kolonial Belanda. Pada abad ke dua puluh, arah kebijakan kolonial Belanda yang semakin hegemonik mendorong semakin menguatkan pula koalisi toloq dengan karaeng yang kemudian disahkan secara terbuka melalui upacara ritual. Aksi perbanditan berkembang menjadi gerakan pemberontakan. Realitas politik dan koalisi toloq dengan karaengsemakin dinamis pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Organisasi toloq yang selama ini berkoalisi dengan karaeng memosisikan dirinya sebagai bagian dari perjuangan melawan kehadiran NICA di Sulawesi Selatan. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa trajektori peran dan tindakan toloq sebagai aktor penting dalam perbanditan mengalami perubahan dalam konteks transisi politik lokal dan kolonial. Perubahan pola dan strategi perbanditan merupakan respons atas perubahan-perubahan kebijakan pemerintah kolonial Belanda.

Bandits as a social category generally tend to have a negative connotation because they are identical to criminals, robbers, or people who often carry out physically violent acts. However, the social history of bandits cannot be labeled as simple criminals by public opinion. Both in the past and current context, bandits are inseparable from economic and political developments. Through the social history of bandits in Polombangkeng, this study analyzes the acts of banditry in relation to the changes in the Dutch colonial policies from 1905 to the end of the Dutch political intervention in South Sulawesi in 1950. By using a historical methodology that emphasizes the processes and time, the results show that Bandit acts performed by “toloq” in the history of Polombangkeng are a form of protest against social, political, and economic injustice. The colonial state's policy that reducing traditional authority led to resistance from “karaeng,” whose positions were marginal or marginalized from the colonial government hierarchy. Furthermore, the marginalization was becoming an economic and political problem and seeped into the disturbed identity and “siri'” (dignity). Bandits are closely related to economics, politics, and culture. Marginalized “karaeng” exhibited their power by protecting the robbery performed by “toloq”. As a result, a network of bandits emerged as an extra-legal form maintained by traditional authorities that surpassed the authority of the Dutch colonial state. In the twentieth century, the increasingly hegemonic policy of the Dutch colonial encouraged the strengthening of the alliance of “toloq” and “karaeng”, which was then openly legitimated through ritual ceremonies. The banditry developed into a rebellion movement. The political reality and the coalition of toloq and karaeng became more dynamic during the Indonesian independence revolution. The “toloq” organization, which has been in coalition with “karaeng”, has positioned itself as part of the struggle against the presence of NICA in South Sulawesi. This study concludes that the trajectory of the role and actions of “toloq” as an important actor in banditry has changed in the context of local and colonial political transitions. Changes in the pattern and strategy of banditry were a response to changes in the policies of the Dutch colonial government."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fikriyah
"ABSTRAK
Kopi Sulawesi merupakan produk komoditi lokal yang memiliki harga tinggi di pasar global.
Saat ini permintaan terhadap kopi Sulawesi semakin meningkat. Adanya isu lingkungan
membuat LSM dunia menekankan pentingnya sertifikasi terhadap tanaman pertanian dimana
kopi Sulawesi salah satu yang harus disertifikasi. Sertifikasi dan tuntutan global akan kualitas
dan jumlah kopi membuat adanya dinamika yang terjadi di pasar global. Rantai kopi lokal
yang diawali oleh petani sebagai produsen, pedagang dan eksportir sebagai pendistribusi
mendapatkan pengaruh atas dinamika global yang terjadi. Atas tuntutan global dan adanya
sertifikasi kopi mengharuskan pengolahan kopi pasca panen disesuaikan dengan keinginan
pembeli dan kaidah pemrosesan kopi. Dua lokasi penelitian telah mendapatkan sertifikasi
sementara satu lokasi penelitian belum, tetapi memiliki terterampilan budidaya kopi sangat
baik. Ketiga lokasi penelitian ini mendapatkan bantuan dari buyers yang berbeda serta
disesuaikan dengan kondisi keruangan lokasi-lokasi tersebut. Dinamika global yang terjadi
memberikan pengaruh yang baik bagi masyarakat. Pengaruh yang baik tidak hanya bantuan
berupa kompensasi ? kompensasi yang diterima petani tetapi lebih menitik beratkan pada
kebermanfaatan jangka panjang bagi masyarakat.

ABSTRACT
Sulawesi coffees are the local commodities which have a high price in the global market.
Recently, demand of Sulawesi coffees are getting higher. There is an environment issue
makes the world NGOs decided that the agricultural commodity has to get the certification
which is Sulawesi coffee one of the product that has to be certified. Certification and the
global demand to the quality and quantity of Sulawesi coffees affect to the global dynamic in
global market. The local chains started from the small holder farmers as the producers, the
collectors and exporters as the distributors as well as get the impacts of global dynamic.
Based on the global demand and the certification, Sulawesi coffees must be on the good
coffee processing after the harvest and the good processing as well as followed the buyers?
procedures. Two of the fieldwork locations have been certified but the other one has not been
certified but this location actually has a good cultivation skill of coffee. Three of the
fieldwork locations have got the compensation from buyers differently and it is appropriated
with the spatial and geographic location itself. Global dynamic showed the good impacts to
the community. The good impacts are not only as the aids of compensations which received
by the small holder farmers but the highest tendency is on the long beneficial of sustainability
to the local community."
Universitas Indonesia, 2012
S42143
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Collection of folktales of Sulawesi Selatan Province."
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994
398.212 SAS
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Leiden : KITLV Press , 2000
330.959 AUT
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mattulada, H. Andi
"Elite modern itu, seperti dikatakan oleh Sartono (1947), adalah elite baru, sebagai pemimpin yang dapat diidentifikasikan sebagai organization man; elite modern yang bersikap idealistis dan yang sangat menyadari peranannya, simbolis sebagai pendukung ideologi-ideologi modern seperti anti-feodalisme, anti-kolonialisme, humanitarianisme, populisme, sosialisme, dan sebagainya. Pendek kata, elite modern itu harus dapat berfungsi sebagai akumulator ide-ide pembaruan, sedangkan tentang dari golongan mana akan munculnya dari segenap golongan bangsa Indonesia, tidaklah menjadi soal yang penting untuk diperdebatkan."
1991
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Herdhi Hermawan
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan proyeksi permintaan listrik dan pemenuhannya menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT) di Sulawesi Selatan. Proyeksi permintaan listrik didapatkan dari model time series berdasarkan data historisnya. Sedangkan penentuan pemenuhan listriknya didasarkan pada tiga skenario, yakni pemenuhannya hanya berasal dari EBT (skenario 1), EBT dan energi konvensional (skenario), dan berdasarkan pemenuhan bauran energy (skenario 3). Dua skenario pertama bertujuaan mendapatkan biaya energi listrik minimum (LCOE), sedangkan skenario 3 untuk mencapai proporsi energi terbarukan dalam bauran energi 23% pada tahun 2025. Hasilnya menunjukkan bahwa dari tahun 2017 sampai 2025 sektor umum menjadi sektor yang paling tinggi kenaikannya secara persentase (78%), sedangkan kenaikan secara nominal yang tertinggi adalah sektor rumah tangga (971 GWh). Secara total, ada penambahan sebesar 2.285 GWh (43%) permintaan listrik di Sulawesi Selatan. EBT yang tersedia di Sulawesi Selatan sudah dapat memenuhi target pemenuhan permintaan listrik dan bauran enegi dengan jenis EBT yang paling optimum adalah Hydropower dengan biaya sebesar USD 168.242.725

ABSTRACT
This study aims to determine electricity demand projections and fulfillment of using new and renewable energy (EBT) in South Sulawesi. Electric demand projection is obtained from the time series model based on historical data. Whereas the determination of electricity fulfillment is based on three scenarios, namely fulfillment only comes from EBT (scenario 1), EBT and conventional energy (scenario), and based on fulfilling the energy mix (scenario 3). The first two scenarios are getting minimum electricity costs (LCOE), while scenario 3 is to reach the proportion of renewable energy in the 23% energy mix in 2025. The results show that from 2017 to 2025 the public sector is the highest percentage increase (78 %), while the highest nominal increase is the household sector (971 GWh). In total, there is an addition of 2,285 GWh (43%) of electricity demand in South Sulawesi. EBT available in South Sulawesi has been able to meet the target of fulfilling electricity demand and the energy mix with the most optimum type of EBT is Hydropower at a cost of USD 168,242,725"
2019
T53452
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kissumi Diyanayati
"Penelitian tentang Faktor Determlnan Penyebab Kemiskinan dl Sulawesi Selatan bertujuan untuk mengetahui faktor dominan yang menyebabkan kemlsklnan. Penelltlan inl menggunakan teknlk pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Lokasi penelitian menggunakan teknik purposive, yaitu memllih salah satu provinsi dari 34 provinsi yang digunakan sebagai lokasi penelitian, Konsep dan lndlkator Kemlskinan. Populasi darl penelitian ini adalah seluruh keluarga fakir miskin yang teregister dan yang tldak tereglster. Sampel akan ditentukan secara random berjumlah 1.200 orang berasal dari dua wilayah (Kota Makassar dan Kabupaten Maros),tiap wilayah 600 orang dengan rinclan 540 orang berasal dari kepala keluarga miskin teregister dan 60 orang kepala keluarga miskin non-register atau yang belum mendapat program. Teknik pengumpulan data digunakan kuesioner, panduan wawancara, Panduan pengamatan, dan telaah dokumen yang relevan Data dan informasi yang dijaring secara kuantitatif diolah secara komputasi dengan menggunakan program excel dan statistik SPSS versi 17.00 for Wrndows, serta pengujian konstruk kemiskinan menggunakan confirmatory faktor analysis dengan bantuan program LISREL 8.4, hasilnya dideskripsikan. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa dimensi budaya memiliki konstribusi yang positif dan signifikan dalam membentuk kemiskinan di Sulawesi Selatan, khususnya di Kota Makassar dan Kabupaten Maros. Hasil tersebut relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya, yang masih mengedepankan nilai sosial budaya dalam kehidupan sehari-hari. Nilai tersebut, seperti kuatnya semangat gotong royong, hubungan kekerabatan, kebiasaan melakukan musyawarah dalam memutuskan permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan diketahuinya faktor determinan penyebab kemiskinan di Sulawesi Selatan, intervensi yang dibutuhkan dalam penanggulangan kemiskinan lebih dititikberatkan pada penyadaran masyarakat tentang berbagai kebiasaan yang sudah menjadi budaya dan memberatkan masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Penyuluhan dan bimbingan sosial tentang hidup hemat, tidak mengada-ada, dan menolong semampunya perlu lebih sering dilakukan dengan tidak meninggalkan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang sudah berjalan. Perlu diupayakan pula penumbuhan keberdayaan masyarakat untuk terciptanya kemandirian masyarakat, karena masyarakat akan memperoleh pemahaman dan mampu mengontrol daya sosial, ekonomi, dan politik agar dapat meningkatkan kesejahteraan sosialnya

The research aimed to reveal the dominant factors that cause poverty. The research used quantitative and qualitative techniques. The determination of research location used purposive technique, chosenfrom one of 34 provinces used as research location of Concept and Indicator of Poverty. The research population was the entire poor families, registered and unregistered. The samples were determined randomly, totaling 1,200 people from two regions (Makassar City and Maros Regency). Each area of 600 people with 540 details comes from poor registered family heads and 60 non-registered poor families. Data collected through questionnaires, inteview guides, observation guide, documentary analysis, and otherrelevant parties. Quantitative data and information were computed using Excel and SPSS version 17.00 for Windows, poverty construct test using confirmatory analysis factor with the help of Lisrel 8.4 program, the result was described. The research found that the cultural dimension has positive and significant contribution in forming poverty in South Sulawesi, especially in the City of Makassar and Maros Regency. The founding was relevant to the condition of Indonesian society in general, which still prioritizes socio-cultural values in everyday life. These values, such as the strength of the spirit of mutual cooperation, kinship relationships, the habit of conducting deliberations in deciding the problem, were still firmly rooted in the life of society. Knowing the determinants of the causes of poverty in South Sulawesi (Makassar City and Maros Regency), the intervention needed in poverty alleviation should be more emphasized on the awareness of the society about the habits that have become cultural and burdensome society, especially the poor. It needed also an elucidation and social counseling not living frugally, not making it up, and helping them as what might be able to be done by notleaving current poverty alleviation programs. In addition, it is also strived to foster community empowerment for the creation of community independence, as the community will gain understanding and be able to control the social, economic, and political power in order to improve their social welfare."
Yogyakarta: Balai Besar dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Yogyakarta (B2P3KS), 2017
360 MIPKS 41:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : KITLV, 2009
992.2 K 421
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>