Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 122432 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hario Tri Hendroko
"Latar belakang: Laparotomi merupakan teknik operasi untuk membuka akses kavitas peritoneum dengan membentuk sayatan terbuka di area abdomen. Cedera mukosa akibat trauma pembedahan mengganggu homeostasis epitel, merusak ekosistem mikrobiom, meningkatkan produksi sitokin proinflamasi dan berkaitan dengan kejadian komplikasi pascaoperatif. Probiotik Lactobacillus acidophillus memperkuat sawar usus, mempertahankan ekosistem mikrobiom dan berpotensi memodulasi respon imun. Namun, belum terdapat penelitian mengenai dampak pemberian Lactobacillus acidophilus terhadap kadar c-reactive protein (CRP) pascalaparotomi gastrointestinal sebagai penanda inflamasi
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak pemberian Lactobacillus acidophilus terhadap kadar CRP pascalaparotomi gastrointestinal
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda. Sebanyak 56 subjek yang akan menjalani operasi laparotomi gastrointestinal dimasukkan ke dalam penelitian. Subjek penelitian diberikan kapsul probiotik Lactobacillus acidophilus 109 (kelompok probiotik) atau diberikan kapsul laktosa (kelompok plasebo) selama 3 hari sebelum operasi. Kadar CRP diukur 3 hari sebelum prosedur dan 3 hari sesudah prosedur.
Hasil: Lima puluh enam subjek dengan 28 subjek pada tiap kelompok, mengikuti penelitian hingga selesai. Pada hari ketiga pascaoperatif, probiotik secara efektif menurunkan peningkatan respon inflamasi dengan nilai akhir CRP pada kelompok probiotik lebih rendah dibandingkan kelompok plasebo (median probiotik 89,65 mg/L vs. plasebo 204 mg/L, p < 0,001). Perubahan peningkatan nilai CRP lebih rendah pada kelompok probiotik dibandingkan kelompok plasebo (median probiotik 84,8 mg/L vs. plasebo 187,6 mg/L, p < 0,001). Terdapat efek samping yang signifikan (mual, diare, muntah dan rasa kembung di perut) pada kelompok probiotik selama penelitian (p = 0,04).
Simpulan: Pemberian probiotik preoperatif menurunkan secara signifikan peningkatan CRP pada pasien pascalaparotomi gastrointestinal

Background: Laparotomy is a surgical technique to open access to the peritoneal cavity by forming an open incision in the abdominal area. Mucosal injury due to surgical trauma can disrupt epithelial homeostasis, impair the microbiome ecosystem, increase the production of proinflammatory cytokines and relating to the incidence of postoperative complications. Lactobacillus acidophillus probiotic administration improve the intestinal barrier function, maintains the microbiome ecosystem and potentially modulate immune responses. However, there has been no research on the impact of Lactobacillus acidophilus administration on C-Reactive Protein (CRP) levels after gastrointestinal laparotomy as a marker of inflammation.
Objective: This study aimed to determine the impact of Lactobacillus acidophilus on CRP levels after gastrointestinal laparotomy
Methods: This study is a randomized controlled trial. Fifty six subjects scheduled gastrointestinal laparotomy surgery were enrolled. Subjects received Lactobacillus acidophilus 109 probiotic capsules (probiotic group) or lactose capsules (placebo group) for 3 days before surgery. CRP levels were measured 3 days before the procedure and 3 days after the procedure.
Results: Fifty-six subjects with 28 subjects in each group completed the study. On the third postoperative day, probiotics effectively suppressed the elevating inflammatory response with the final CRP value in the probiotic group lower than the placebo group (median probiotic 89.65 mg/L vs. placebo 204 mg/L, p < 0.001). Elevated CRP values ​​were lower in the probiotic group than in the placebo group (median probiotic 84.8 mg/L vs. placebo 187.6 mg/L, p < 0.001). There was a significant side effects (nausea, diarrhea, vomiting, and bloating) in the probiotic group during study (p = 0.04).
Conclusions: Preoperative probiotic administration significantly reduced elevated CRP in patients After Undergoing Gastrointestinal Laporotomy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Sri Wulandari
"Latar Belakang: Penyakit saluran pencernaan merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi di seluruh dunia, pembedahan menjadi prosedur utama dalam penanganan tumor dan kanker saluran cerna. Tindakan pembedahan ini sering kali berisiko menimbulkan komplikasi, seperti penurunan massa otot rangka akibat peningkatan respon inflamasi. Rasio C-Reactive Protein (CRP) terhadap albumin dapat digunakan sebagai indikator penting dalam memprediksi prognosis dan komplikasi pasca operasi, termasuk inflamasi sistemik dan penurunan indeks massa otot rangka. Pengukuran rasio CRP terhadap albumin yang menilai status inflamasi dapat menggambarkan penurunan massa otot yang dinilai dengan perubahan Appendicular Skeletal Muscle Index (ASMI) pra dan pascaoperasi pada pasien yang menjalani pembedahan saluran cerna mayor.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif pada pasien yang menjalani pembedahan saluran cerna mayor di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Dilakukan pengukuran kadar CRP dan albumin satu sampai tujuh hari praoperasi, kemudian hasil CRP dan albumin dibagi menjadi rasio CRP terhadap albumin. Pengukuran ASMI menggunakan Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) seca® mBCA 525 yang dilakukan satu sampai tiga hari praoperasi dan lima sampai tujuh hari pascaoperasi. Karakteristik subjek lainnya meliputi usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, IMT, status gizi berdasarkan GLIM, etiologi pembedahan, penyakit penyerta, kadar CRP praoperasi, kadar albumin praoperasi, serta asupan energi dan protein praoperasi.
Hasil: Terdapat 78 subjek dengan rerata usia 52 tahun dan mayoritas perempuan (57,7%). Terdapat 60,3% status malnutrisi menurut kriteria GLIM, 32% subjek mengalami delta ASMI turun, asupan energi kurang sebanyak 48,7%, asupan protein kurang sebanyak 57,7%, dan nilai median rasio CRP terhadap albumin 5,98. Tidak terdapat korelasi rasio CRP terhadap albumin dengan delta ASMI (p = 0,424). Tidak terdapat perbedaan bermakan antara rasio CRP terhadap albumin dengan delta ASMI turun dan tidak turun (p = 0,813).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara rasio CRP terhadap albumin dengan delta ASMI pada pasien yang menjalani pembedahan saluran cerna mayor. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara rasio CRP terhadap albumin dengan delta ASMI turun dan tidak turun.

Background: Gastrointestinal diseases are prevalent health problems worldwide, with surgery being the primary procedure for treating tumors and gastrointestinal cancers. However, this surgical intervention often carries the risk of complications, such as a decline in skeletal muscle mass due to increased inflammatory responses. The C-Reactive Protein (CRP) albumin ratio can serve as a significant indicator for predicting prognosis and postoperative complications, including systemic inflammation and a decrease in skeletal muscle index. Measuring the CRP albumin ratio, which assesses inflammatory status, can reflect muscle mass reduction, evaluated through changes in Appendicular Skeletal Muscle Index (ASMI) before and after surgery in patients undergoing major gastrointestinal surgery.
Methods: This study is a prospective cohort conducted on patients undergoing major gastrointestinal surgery at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. CRP and albumin levels were measured 1 to 7 days preoperatively, and the CRP to albumin ratio was calculated. ASMI was measured using Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) seca® mBCA 525 within 1 to 3 days before surgery and 5 to 7 days postoperatively. Other subject characteristics included age, sex, body weight, height, BMI, nutritional status based on GLIM criteria, surgical etiology, comorbidities, preoperative CRP levels, preoperative albumin levels, and preoperative energy and protein intake.
Results: A total of 78 subjects with a mean age of 52 years were included, with the majority being female (57.7%). There were 60.3% of subjects with malnutrition status according to GLIM criteria, 32% experienced a decrease in delta ASMI, 48.7% had inadequate energy intake, 57.7% had insufficient protein intake, and the median CRP-to-albumin ratio was 5.98. There was no correlation between the CRP albumin ratio and delta ASMI (p = 0.424). There was also no significant difference between the CRP albumin ratio and decreased versus non- decreased delta ASMI (p = 0.813).
Conclusion: There was no correlation between the CRP albumin ratio and delta ASMI in patients undergoing major gastrointestinal surgery. Additionally, no significant difference was found between the CRP albumin ratio and decreased versus non-decreased delta ASMI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Wijayanti
"Latar Belakang: Pembedahan saluran cerna dapat menurunkan kapasitas fungsional, terlihat dari penurunan kekuatan genggam tangan, yang berhubungan dengan malnutrisi dan inflamasi. Albumin adalah parameter nutrisi penting yang dapat memengaruhi kekuatan otot, tetapi hubungan antara perubahan kadar albumin dengan perubahan kekuatan genggam tangan pada pasien pasca bedah saluran cerna belum banyak diteliti.
Metode: Penelitian ini adalah studi kohort prospektif pada 52 pasien dewasa (19–65 tahun) yang menjalani pembedahan saluran cerna di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Kadar albumin serum diukur sebelum dan setelah operasi, sementara kekuatan genggam tangan dinilai menggunakan dinamometer digital. Analisis korelasi Spearman digunakan untuk menilai hubungan antara perubahan kadar albumin dan kekuatan genggam tangan.
Hasil: Mayoritas subjek memiliki kekuatan genggam tangan praoperasi rendah, dengan rata-rata penurunan kekuatan genggam pascaoperasi sebesar 3,5 kg. Mayoritas pasien juga mengalami hipoalbuminemia pascaoperasi, dengan rerata penurunan kadar albumin 0,4 g/dL. Uji korelasi menunjukkan hubungan bermakna antara perubahan kadar albumin dan kekuatan genggam tangan pascaoperasi (r = 0,328; p = 0,018). Kesimpulan: Terdapat korelasi sedang yang signifikan antara perubahan kadar albumin dan perubahan kekuatan genggam tangan pada pasien pasca bedah saluran cerna.

Background: Gastrointestinal surgery can reduce functional capacity, evidenced by a decline in handgrip strength, which is associated with malnutrition and inflammation. Albumin is an essential nutritional parameter that can influence muscle strength, but the relationship between changes in serum albumin levels and handgrip strength in postoperative gastrointestinal surgery patients has not been extensively studied. Methods: This study is a prospective cohort involving 52 adult patients (aged 19–65 years) who underwent gastrointestinal surgery at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Serum albumin levels were measured preoperatively and postoperatively, while handgrip strength was assessed using a digital dynamometer. Spearman correlation analysis was used to evaluate the relationship between changes in serum albumin levels and handgrip strength.
Results: The majority of subjects had low preoperative handgrip strength, with an average decrease in postoperative handgrip strength of 3.5 kg. Most patients also experienced postoperative hypoalbuminemia, with an average albumin level reduction of 0.4 g/dL. Correlation analysis revealed a significant moderate association between changes in serum albumin levels and handgrip strength (r = 0,328; p = 0,018). Conclusion: There is a significant moderate correlation between changes in serum albumin levels and changes in handgrip strength in postoperative gastrointestinal surgery patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Beta Novianti Kusuma Ningrum
"Latar Belakang: Disfungsi saluran cerna berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk pada pasien sakit kritis. Kadar albumin serum yang rendah merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko disfungsi saluran cerna. Hubungan kadar albumin dengan disfungsi saluran cerna masih inkonklusif karena pendekatan diagnostik disfungsi saluran cerna yang belum terstandarisasi dengan baik. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) instrumen dengan subjektivitas minimal dan reproduktifitas maksimal, diharapkan dapat menegakkan diagnosis disfungsi saluran cerna dengan objektivitas yang lebih baik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kadar albumin saat admisi dengan terjadinya disfungsi saluran cerna yang dinilai menggunakan GIDS. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di ruang rawat intensif Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI). Karakteristik subjek penelitian berupa usia, jenis kelamin, status gizi, penyakit komorbid, diagnosis admisi intensive care unit (ICU), waktu inisiasi pemberian nutrisi oral atau enteral, kebiasaan mengonsumsi alkohol, dan skor sequential organ failure assessment (SOFA). Dilakukan analisis bivariat untuk menilai hubungan kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Hasil: Diperoleh 64 subjek, kelompok kadar albumin rendah 32 subjek dan kelompok kadar albumin normal 32 subjek. Rerata usia subjek 50,2±15,7, laki-laki 64,1%, 26,6% subjek dengan status gizi berat badan normal berdasarkan indeks massa tubuh (IMT), 50% subjek dengan malnutrisi secara klinis,  21,9% subjek dengan diagnosis komorbid diabetes melitus dan 3,1% subjek dengan parkinson, 34,4 % subjek dengan diagnosis admisi bedah, 95,3% subjek mendapatkan nutrisi oral atau enteral ≤ 48 jam, median skor SOFA 3 (0-12). Rerata kadar albumin  subjek dengan disfungsi saluran cerna 2,7±0,6 g/dL, rerata kadar albumin  subjek tidak disfungsi saluran cerna 3,7±0,7 g/dL. 31,3% subjek mengalami disfungsi saluran cerna. Terdapat hubungan signifikan secara statistik antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna RR 9 (95%CI 2,3-35,6; p <0,001) dan skor GIDS, p<0,001. Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Pemeriksaan kadar albumin saat admisi ICU idealnya dilakukan secara rutin dan diikuti dengan koreksi kadar albumin apabila ditemukan kondisi hipoalbuminemia.

Background: Gastrointestinal dysfunction is associated with worse clinical outcomes in critically ill patients. Low serum albumin levels are one factor that can increase the risk of gastrointestinal dysfunction. The relationship between albumin levels and gastrointestinal dysfunction is still inconclusive because the diagnostic approach to gastrointestinal dysfunction is not yet well standardized. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) is an instrument with minimal subjectivity and maximum reproducibility, which is expected to provide a diagnosis of gastrointestinal dysfunction with better objectivity. This research was conducted to determine the relationship between albumin levels at admission and the occurrence of gastrointestinal dysfunction as assessed using GIDS. Methods: This study is a prospective cohort study of subjects aged ≥18 years who were treated in the intensive care unit at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and RSUI. Characteristics of research subjects included age, gender, nutritional status, comorbid diseases, ICU admission diagnosis, time of initiation of oral or enteral nutrition, alcohol consumption habits, and SOFA score. Bivariate analysis was carried out to assess the relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Results: There were 64 subjects, 32 subjects in the low albumin level group and 32 subjects in the normal albumin level group. Mean age of subjects 50.2 ± 15.7, 64.1% male, 26.6% subjects with normal weight nutritional status based on BMI, 50% subjects with clinical malnutrition, 21.9% subjects with comorbid diagnosis of diabetes mellitus and 3.1%  subjects with Parkinson's, 34.4%  subjects with surgical admission diagnosis, 95.3% subjects received oral or enteral nutrition ≤ 48 hours, median SOFA score 3 ( 0-12). The mean albumin level of subjects with gastrointestinal dysfunction was 2.7 ± 0.6 g/dL, the mean albumin level of subjects without gastrointestinal dysfunction was 3.7 ± 0.7 g/dL. 31.3% of subjects experienced gastrointestinal dysfunction. There was a statistically significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction RR 9 (95%CI 2.3-35.6; p <0.001) and GIDS score, p<0.001. Conclusion: There is a significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Albumin levels examination during ICU admission should ideally be carried out routinely and followed by correction of albumin levels if hypoalbuminemia is found."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Atalia Bunga Reminton
"Latar Belakang: Stunting berdampak pada hipofungsi kelenjar saliva sehingga meningkatkan risiko penyakit gingivitis. Kondisi stunting meningkatkan jumlah Veillonella parvula yang berperan sebagai patogen aksesori gingivitis. Oleh karena itu, pemberian probiotik dilakukan untuk mencegah akumulasi biofilm penyebab gingivitis yang dapat memperparah stunting. Tujuan: Menganalisis korelasi antara penurunan jumlah V. parvula dalam saliva dengan perbaikan status kesehatan periodontal (sBPE) sebelum dan sesudah diberikan intervensi tablet hisap probiotik pada anak usia sekolah dengan status stunting dan non-stunting. Metode: Penelitian non-randomized clinical trial dengan metode open-labeled. Empat puluh sembilan anak usia sekolah dengan status stunting (n=27) dan non-stunting (n=22) dikelompokkan ke dalam enam kelompok yang masing-masing dipisahkan menjadi stunting dan non-stunting, yaitu kontrol positif (Chlorhexidine gluconate 0,2%), tablet hisap probiotik, dan kontrol negatif (sikat gigi dan pasta gigi). Dilakukan pengambilan sampel saliva tidak terstimulasi dan pemeriksaan klinis (sBPE) pada hari ke-0 (baseline) dan hari ke-14 intervensi. Jumlah V. parvula dalam sampel saliva akan diuji menggunakan metode absolute quantification qPCR. Hasil penelitian: Tidak terdapat korelasi signifikan (p>0,05) antara penurunan jumlah V. parvula dalam saliva dengan perbaikan status kesehatan periodontal (sBPE), sebelum dan sesudah diberikan intervensi tablet hisap probiotik pada anak dengan status stunting dan non-stunting. Hasil ini didapatkan karena V. parvula hanya berperan sebagai patogen aksesori gingivitis tanpa menyebabkan infeksi secara langsung. Tablet hisap probiotik signifikan (p<0,05) dalam menurunkan jumlah V. parvula dalam saliva dan memperbaiki status kesehatan periodontal (sBPE) pada anak dengan status stunting. Kesimpulan: Intervensi probiotik dapat menjadi alternatif antiseptik untuk menjaga dan memulihkan keseimbangan bakteri rongga mulut tanpa menimbulkan efek samping jangka panjang dan resistensi antimikroba.

Background: Stunting affects salivary gland hypofunction, increasing the risk of gingivitis. The condition of stunting elevates the amount of Veillonella parvula, which acts as an accessory pathogen in gingivitis. Therefore, probiotic administration is implemented to prevent the accumulation of biofilm that exacerbates gingivitis and worsens stunting. Objective: To analyze the correlation between the reduction in Veillonella parvula count in saliva and the improvement in periodontal health status (sBPE) before and after probiotic lozenge intervention in stunted and non-stunted school-aged children. Methods: This is a non-randomized clinical trial with an open-labeled design. Forty-nine school aged children, classified into stunted (n=27) and non-stunted (n=22), were divided into six groups for stunting and non-stunting, which are positive control (Chlorhexidine gluconate 0,2%), probiotic lozenges, and negative control (tooth brush and tooth paste). Unstimulated saliva sampling and clinical examinations (sBPE) were conducted on day 0 (baseline) and day 14 of the intervention. The number of V. parvula in the saliva samples was tested using absolute quantification qPCR. Results: There was no significant correlation (p>0,05) between the the reduction in Veillonella parvula count in saliva and the improvement in periodontal health status (sBPE) before and after probiotic lozenge intervention in stunted and non-stunted school-aged children. This result was obtained because V. parvula acts only as an accessory pathogen in gingivitis without directly causing infection. Probiotic lozenges were significantly effective (p<0,05) in reducing the amount of V. parvula in saliva and improving periodontal health status (sBPE) in stunted children. Conclusion: Probiotic intervention can be an alternative to antiseptic in maintaining and restoring the balance of oral bacteria without long-term side effects or antimicrobial resistance."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresa Devi Siswani Tjandra Wibowo
"Trauma pada nervus ischiadicus merupakan cedera saraf tepi yang mengakibatkan perubahan secara morfologi dan seluler pada neuron dan akson. Pemulihan paska cedera nervus ischiadicus seringkali belum optimal secara fungsional. Saat ini, PRP dikembangkan menjadi salah satu pilihan terapi alternatif selain tindakan pembedahan. Hal ini disebabkan PRP mengandung sitokin dan neurotropin yang berperan dalam regenerasi saraf. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan PRP pada regenerasi saraf motorik tikus model sciatica dengan crush injury. Penelitian eksperimental ini menggunakan blok biologis tersimpan medulla spinalis dan nervus ischiadicus dari tikus wistar jantan yang diberi perlakuan kontrol, sciatica dan sciatica dengan PRP yang diterminasi hari ke-7 dan 42 di Departemen Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. PRP sebanyak 0,2 ml diberikan pada area bekas jepitan memakai absorbable gelatin sponge. Penilaian regenerasi saraf dilakukan dengan melihat densitas neuron di medulla spinalis menggunakan pewarnaan khusus toluidine blue dan imunohistokimia protein S100B di sitoplasma sel schwann nervus ischiadicus. Didapatkan hasil signifikan pemeriksaan densitas neuron pada hari ke-7 dan 42 antara kelompok sciatica dan kelompok sciatica + PRP serta hasil signifikan pada pemeriksaan ekspresi protein S100B pada hari ke-7 pada kelompok kontrol maupun kelompok sciatica dengan kelompok sciatica + PRP. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian PRP dapat meningkatkan proliferasi sel schwann dan berperan dalam neuron survival.

Trauma to the ischiadicus nerve is a peripheral nerve injury that results in morphological and cellular changes in neurons and axons. Post-injury recovery of the ischiadicus nerve is often not functionally optimal. Currently, PRP has been developed as an alternative therapy option to surgery. This is because PRP contains cytokines and neurotrophins that play a role in nerve regeneration. This study aims to look at the role of PRP in motor nerve regeneration of sciatica model rats with crush injury. This experimental study used stored biological blocks of the spinal cord and nervus ischiadicus from male Wistar rats treated with control, sciatica and sciatica with PRP terminated on days 7 and 42 at the Department of Anatomy, Faculty of Medicine, University of Indonesia. PRP as much as 0.2 ml was given to the crush injury area using absorbable gelatin sponge. Assessment of nerve regeneration was performed by looking at the density of neurons in the spinal cord using toluidine blue special staining and immunohistochemistry of S100B protein in the cytoplasm of schwann cells of the ischiadicus nerve. There were significant results in the examination of neuron density on days 7 and 42 between the sciatica group and the sciatica + PRP group and significant results in the examination of S100B protein expression on day 7 in the control group and the sciatica group with the sciatica + PRP group. This study shows that PRP administration can increase schwann cell proliferation and play a role in neuron survival."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dony Yugo Hermanto
"Latar belakang. Durasi AV delay (DAVD) pada pasien dengan pacu jantung dual chamber menentukan derajat sinkroni atrioventrikular (AV). Pengaturan DAVD yang optimal pada pasien dapat meningkatkan kualitas hidup dan memperbaiki parameter hemodinamik jika dibandingkan dengan pasien yang tidak dilakukan optimalisasi. Namun optimalisasi DAVD merupakan prosedur yang memakan waktu dan biaya. Perlu dicari faktor-faktor yang mempengaruhi nilai DAVD yang optimal.
Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Evaluasi dilakukan pada 35 pasien blok AV total dengan pacu jantung permanen dual chamber yang datang ke poliklinik RS Jantung Nasional Harapan Kita periode bulan Oktober sampai dengan pertengahan November 2014. Dilakukan pemeriksaan ekokardiografi terhadap parameter fungsi diastolik pada saat DAVD awal (DAVD pabrikan), lalu dicari DAVD optimal menggunakan VTI-LVOT terbesar.
Hasil. Terdapat korelasi lemah antara paramater fungsi diastolik rasio E/A dan nilai DAVD optimal (r - 0,356 dengan p 0,036). Analisa regresi linear antara rasio E/A dengan nilai DAVD optimal (adjusted analysis sesuai usia, fraksi ejeksi, dan DAVD pabrikan) menunjukan nilai koefisien -0.477 dengan nilai p 0,007 (IK 95% - 84.4 s.d. -14.1). Analisa regresi linear antara nilai e' medial dengan DAVD optimal menunjukkan tingkat kemaknaan dengan nilai koefisien -0.390 dan nilai p 0.026 (IK 95% -16.3 s.d. -1.1). Terdapat perbedaan rerata DAVD optimal, 173.46 ±42.23 ms untuk pasien dengan rasio E/A ≥ 1, dan 128.89 ± 42.5 ms untuk rasio E/A <1 (p:0.01).
Kesimpulan. Terdapat korelasi negatif yang bermakna antara parameter fungsi diastolik (E/A dan e' medial) dengan DAVD optimal pada pasien dengan pacu jantung permanen dual chamber.

Background. AV Delay Duration (AVD) in patient with dual chamber pacemaker defines atrioventricular synchrony. Optimazation of AVD could improve quality of life and hemodynamic parameters compared to factory setting. Despite that, AVD optimization is a time consuming procedure and not cost effective. factors that influence the optimal AVD should be sought.
Methods. This is a cross sectional study on 35 total AV block patients that came to National Cardiovascular Center Harapan Kita from October to November 2014. Echocardiography on left ventricle diastolic indices was performed in factory setting AVD. The AVD that gives to the biggest LVOT VTI was set as the optimal AVD. Statistical analysis was done to correlate between diastolic indices and optial AVD.
Results. Weak correlation was noted between diastolic indices (E/A ratio) and optimal AVD (r: - 0,356; p: 0,036). Linear regression analysis showed a negative correlation between E/A ratio {coefficient -0.477; p: 0,007 (CI 95% - 84.4 to -14.1)} and medial e' {coefficient -0.390; p: 0.026 (CI 95% -16.3 to -1.1)} with optimal AVD (adjusted with age, ejection fraction, and factory setting AVD). Different E/A ratio showed a different optimal AVD mean, 173.46 ±42.23 ms for E/A ≥ 1 vs. 128.89 ± 42.5 ms for E/A <1 (p:0.01).
Conclusion. This paper shows a negative correlation between echocardiographic diastolic function indices (E/A ratio and medial e') with optimal AVD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T58768
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Relly Sofiar
"Latar Belakang
Hemodialisa membutuhkan suatu akses vaskuler yang fungsional dan adekuat untuk mendapatkan hasil terbaik, bagi Negara berkembang seperti Indonesia tingginya biaya perawatan dan tenaga ahli masih merupakan hal yang harus ditanggapi serius oleh semua pihak. NKF-KDOQI menetapkan tiga Tujuan utama suatu unit hemodialisa antara lain meningkatkan pemakaian AV Fistula, Mengurangi pemakaian kateter hingga 10% dan Deteksi dini dari disfungsi akses vaskuler. Hingga saat ini belum ada gambaran akses vaskular yang terdapat di unit hemodialisa RSUPN Ciptomangunkusumo sehingga dapat dibandingkan dengan guideline, dan diharapkan mendapat masukan untuk pelayanan terbaik bagi pasien.
Metode
Penelitian ini berupa deskriptif retrospektif, Populasi penelitian adalah pasien gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisa dengan akses vaskuler fistula AV dan kateter vena sentral di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan Mei – Desember 2012. Data dari rekam medis penderita
diketahui mengenai tanggal hemodialisa pertama kali, tanggal pembuatan akses vaskuler pertama
kali, jenis akses vaskuler yang digunakan pertama kali serta konversi yang mengikutinya, serta
lokasi akses vaskuler tersebut.
Hasil
Didapatkan 234 data pasien yang aktif menjalani hemodialisa di unit hemodialisa RSUPN
Ciptomangunkusumno Jakarta dari bulan Mei – juni 2012, terdiri dari 146 laki laki dan 88
perempuan , rerata umur 49.04 tahun dengan rentang umur 11 tahun sampai 78 tahun. Diantara
pasien tersebut , 122 (52.1%) pasien dengan AV fistula, dan pasien yang membuat AV Fistula
sebelum hemodialisa pertama hanya pada 7 pasien (1.2%) 1 pasien menggunakan graft PTFE,
dengan lokasi tersering untuk AV Fistula adalah Radiocephalica sebanyak 29.4%, 48 pasien
menggunakan central venous catheter, dimana 28 pasien dengan longterm catheter (12%) dan
sisanya dengan shortterm catheter (8.5%). Direct Puncture digunakan oleh pasien sebagai cara
yang dipakai pertama kali melakukan hemodialisa, sebanyak 49.6%. dari keseluruhan pasien
yang pernah menjalani pemasangan AV fistula mengalami primary failure sebanyak 10.65%, dan
secondary failure sebanyak 7.37%.
Kesimpulan
Masalah pada suatu unit hemodialisa tidaklah sederhana dan untuk mencapai suatu hasil yang
terbaik diperlukan kerjasama dari sebuah tim multidisiplin vaskular akses yang terdiri dari ahli
ginjal hipertensi, ahli bedah vaskular, ahli radiologi, dan perawat dialisa. Dengan seorang
koordinator yang berdedikasi tinggi yang selalu memperbaharui data base pasien dan update
terbaru dari perkembangan akses vaskuler.

Background
A vascular access that mantained to be functioning and adequate is a must to achieve the best
result in haemodialysis procedure. For a developing country like Indonesia, a high cost and
expertise in vascular access maintenance reluctantly a serious issues. NKF-KDOQI has
established three primary goals for a haemodialysis unit to achieve, to increase the placement of
native fistulas as vascular access at initiation of hemodialysis procedure until 65 %, to discourage
catheter insertion until 10% and early detection of vascular access dysfunction. Recently at Cipto
Mangunkusumo hospital, there are no profile of vascular access in haemodialysis unit to figure
out the condition and compare with guideline.
Method
This is a descriptive retrospective study with a CRF (Chronic Renal Failure) patients that undergo
hemodialysis with natve fistula and catheter as their vascular access in Cipto Mangunkusumo
hospital from May to December 2012. Data collected from medical record included dates when
initiates their hemodialysis procedure, diagnose of CRF, creation of fistula or other vascular
access, and complication that has occurred.
Results
From 234 patients that undergo hemodialysis procedure from May to December 2012, there werre
146 male and 81 female, with median age of 49.04 years old and distance within 11 – 78 years
old. Among these patients 122(52%) with fistula an 1 patient with graft but only 7 patients (1.2%)
that use native fistula to initiate their hemodialysis procedure. The most location for fistula were
on left radiocephalic in 29.4% of patients, 48 patients use catheter for their vascular access that
ionclude 12% long term and 8.5 % long term catheter. There were 49.6% patients with direct
venous puncture to initiate their hemodialysis. From all fistulas that created there were 10.65%
primary failure and 7.37% secondary failure.
Conclusion
Problems in hemodialysis unit is not as simple as that, and to achieve the best result require the
concerted effort of multivariariate vascular access team that consist nephrologist, vascular
surgeon, radiologist, and nurse with a chief coordinator that updating vascular access patients
database and its development
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sanya Khaerunnisa
"Diagnosis kanker ovarium stadium lanjut memberikan kontribusi terbesar terhadap tingginya kasus kematian. Imunoterapi sebagai alternatif pengobatan diharapkan dapat mengobati pasien dengan kanker ovarium secara lebih cepat menggunakan sel imun bawaan yang dapat membunuh sel kanker secara permanen. Studi imunoterapi pada penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan interaksi antara ligan di dalam lingkungan mikro tumor dan reseptor sel NK. Reseptor NKP44 merupakan satu-satunya reseptor dengan dua mekanisme persinyalan berbeda yang secara aktif berperan penting dalam fungsi sel NK teraktivasi. Salah satu ligan potensial yang dapat meningkatkan fungsi pengenalan sel tumor melalui reseptor NKP44 adalah Nidogen-1 (NID1). Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan studi imunoterapi pasien dengan kanker ovarium serta mempelajari pengaruh interaksi ligan NID1 dengan reseptor NKP44 terhadap aktivitas sel NK. Metode penelitian yang dilakukan mencakup analisis ekspresi granul sitotoksik, analisis ekspresi NID1, uji keberhasilan ikatan ligan NID1 dengan sel NK, hingga analisis ekspresi NKP44. Hasil menunjukkan bahwa kelompok sel NK terinduksi memiliki aktivitas sitotoksik yang lebih baik dibandingkan kelompok sel NK tidak terinduksi melalui peningkatan ekspresi granul sitotoksik. Terdapat ekspresi NID1 meskipun dalam jumlah yang sedikit dan terkonfirmasi berhasil berikatan dengan sel NK. Namun, terjadi penurunan ekspresi NKP44 pada kelompok sel NK terinduksi sehingga perlu dilakukan analisis lanjutan penyebab penurunan ekspresi NKP44.

Diagnosis of advanced ovarian cancer provides the largest contribution to the high number of deaths. Immunotherapy as an alternative treatment is expected to treat patients with ovarian cancer more quickly using innate immune cells that can permanently kill cancer cells. The development of immunotherapy in this study was carried out by utilizing the interaction between ligands in the tumor microenvironment and NK cell receptors. NKP44 is the only receptor with two different signaling mechanisms that actively play the most important role in the function of activated NK cells. One of the potential ligands that can improve tumor cell recognition function through the NKP44 receptor is Nidogen-1 (NID1). This research is aimed to develop immunotherapy studies for patients with ovarian cancer and to study the effect of the interaction of the NID1 ligand with the NKP44 receptor on NK cell activity. The research methods carried out included analysis of cytotoxic granule expression, analysis of NID1 expression, success test of NID1 ligand bonding with NK cells, and NKP44 expression analysis. The results showed that the induced NK cell group had better cytotoxic activity than the uninduced NK cell group through increased cytotoxic granule expression. There is expression of NID1 even in small numbers and it is confirmed that it binds successfully to NK cells. However, there was a decrease in the expression of NKP44 in the induced NK cell group so that further analysis needs to be carried out on the causes of the decrease in NKP44 expression."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>