Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 91976 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diva Azahro Rahmani
"Rasisme terhadap orang Cina di Prancis bukanlah hal yang baru. Namun, dengan disinyalir penemuan kasus Covid-19 pertama di Cina yang menjalar dan melanda pandemi di seluruh dunia, rasisme terhadap orang Cina di Prancis bertambah dalam bentuk ujaran kebencian secara daring. Hal ini seiring dengan adanya peningkatan tinggi dalam penggunaan media sosial Twitter selama pandemi di Prancis. Artikel ini bertujuan untuk meneliti siapa, mengapa dan bagaimana ujaran kebencian terhadap orang Cina di Prancis berlangsung dalam media sosial Twitter. Dengan metodologi kualitatif, teori Analisis Wacana Kritis dan konsep us versus them oleh Van Dijk, korpus yang diteliti adalah tiga cuitan dari tiga akun yang berbeda dan dipilih atas dasar kandungan kata kunci serta jumlah retweets atau pengulangan dan likes terbanyak. Hasil dari penelitian menemukan bahwa walaupun dilanda krisis kesehatan, ujaran kebencian anti-Cina tahun 2020 tidak didasari oleh masalah kesehatan, melainkan efek samping dari pandemi. Mereka yang menyebar ujaran kebencian adalah akun-akun anonim yang didorong oleh xenophobia dan terganggunya kegiatan yang mereka gemari, khususnya sepak bola. Selain itu, ujaran kebencian juga dilakukan untuk mempertahankan keaslian, keberlangsungan dan hak asasi ingroup masing-masing. Ujaran kebencian tersebut diekspresikan dalam bentuk majas hiperbola, sarkasme, ancaman, serta penggunaan foto reaction meme.

Anti-Chinese racism in France is not a new phenomenon. However, with the emergence of Covid-19 in China, which eventually spread and caused a worldwide pandemic, racism against Chinese people in France has increased rapidly in the form of online hate speech. Such an increase is simultaneous with the spurge in the use of social media Twitter during the 2020 pandemic in France. This article aims to examine who, why and how hate speech against Chinese people in France takes place on Twitter. Using a qualitative research methodology, the theory of Critical Discourse Analysis and the Us versus Them concept by Van Dijk, the corpus used in this paper are three different tweets from three different accounts, and were selected based on keywords and highest number of retweets and likes. The results of the study found that despite the health crisis, hate speech was never really rooted from health-related issues, but rather from the side-effects of the pandemic. Those who spread hate speech were all anonymous accounts, and were driven by xenophobia and the pause of activities which users are passionate about, such as football. Moreover, hate speech is also expressed to maintain the authenticity, continuity and rights of attackers’ respective ingroups. Hate speech online is expressed through the use of hyperboles, sarcasm, threats and the use of reaction meme pictures.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tazkia Maula Azzari
"Prancis memiliki angka populasi imigran yang besar di antara negara-negara Eropa dan banyaknya imigran di Prancis berpotensi menimbulkan konflik yang berkaitan dengan masalah integrasi. Dalam menghindari munculnya konflik ini, Prancis menuntut para imigrannya untuk berintegrasi sebagai masyarakat Prancis semaksimal mungkin. Akan tetapi, tuntutan ini seakan-akan membatasi para imigran dalam mengekspresikan identitas budaya negara asal mereka. Benturan budaya juga sering menjadi sebab permasalahan integrasi di Prancis. Tidak jarang mereka berperilaku seperti stereotip kelompok mereka yang sering dikaitkan dengan kriminalitas. Sebagai respon, sebagian masyarakat lain memperlakukan mereka dengan rasis. Ironisnya, mereka dianggap sebagai sebuah ancaman bagi ketertiban lingkungan, tetapi rasisme sendiri pun merupakan sebuah ancaman bagi eksistensi mereka. Ancaman dari tindakan yang sudah menjadi sebuah habitus ini dapat dilihat dalam film Les Misérables. Ditemukan bahwa salah satu tokoh polisi hitam, Gwada, menghadapi rasisme yang terinternalisasi sebagai bentuk habitus yang ada di departement Seine-Saint-Denis. Metode yang digunakan untuk menganalisis masalah ini adalah dengan menggunakan kajian film Boggs dan Petrie (2008), teori mengenai habitus milik Bourdieu (1994) yang digunakan untuk menganalisis bagaimana rasisme dapat terinternalisasi dalam diri tokoh, dan konsep rasisme terinternalisasi milik Pyke (2010). Hasil analisis menemukan bahwa institusi kepolisian memiliki peran besar dalam membentuk dan mempertahankan habitus yang sudah ada di lingkungan masyarakat. Ditemukan juga bagaimana institusi tersebut mempengaruhi tokoh lain untuk memiliki rasisme yang terinternalisasi dalam dirinya.

France has the biggest population of immigrants among European countries and the bigger the numbers, the bigger the chances of creating integration issues. As an effort to avoid conflicts, France demands their immigrants to fully integrate as French citizens as much as they possibly can. However, this demand limits immigrants in expressing the cultures that come from their homeland. Cultures clashing often becomes the reason that they’re having problems integrating. It is also not rare to find them behaving like their group’s stereotypes that are often associated with criminality. As a response, immigrants would be treated in a racist way by some people. Ironically, they would also be treated as a threat to society, but racism itself is a threat to their existence. The threat of this action that has become a habitus can be seen in the film Les Misérables (2019). It is found that one of the policemen, Gwada who is a black man, is facing internalized racism as a form of habitus that can be found in Seine-Saint-Denis. In this article, Boggs and Petrie’s (2008) film theory, Bourdieu’s (1994) habitus theory, and the Pyke’s (2010) concept of internalized racism were used to help with analyzing how racism can be internalized in one of the characters. As a result of the analysis, it is found that the police institution has a big role in creating and maintaining a habitus in society. It is also found how that institution can influence other characters into having internalized racism in himself."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pulungan, Nur Hizzah
"Eksistensi kelompok remaja turut mendukung perkembangan bahasa dalam ragam bahasa remaja yang disebut dengan Jugendsprache. Mereka menghancurkan batasan-batasan terhadap aturan tata bahasa untuk menunjukkan jati dirinya dalam lingkungan sosial. Ciri khas yang menonjol dari bahasa remaja adalah keunikan kosakatanya yang dalam bahasa Jerman disebut dengan Jugendwort. Jugendwort yang digunakan dapat berupa penggunaan kembali kata yang sudah kuno, modifikasi kata yang sudah ada, adopsi kosakata dari bahasa asing, atau pun pembentukan kata dengan makna yang baru. Keunikan kosakata tersebut memiliki karakteristik tertentu yang dapat dianalisis secara morfosintaksis dan leksikal. Topik yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana karakteristik morfosintaksis dan leksikal bahasa remaja pada Jugendwort 2017, 2018, dan 2020 di Twitter yang bertujuan untuk menjelaskan ciri-ciri bahasa remaja di Twitter dalam tweet yang mengandung kata “I bims, Ehrenmann/Ehrenfrau, dan lost”. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan tinjauan pustaka dan analisis teks. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan I bims yang merupakan Jugendwort 2017 dapat membentuk makna Ich bin atau Ich bin es yang dapat dikenali dari struktur morfosintaksisnya. Sementara itu, kata Ehrenmann sebagai Jugendwort 2018 merupakan fenomena Bedeutungverschiebungen (pergeseran makna) dan kata lost sebagai Jugendwort 2020 tidak mengalami perubahan makna.

Youth's existence supports the growth of youth language or also known as Jugendsprache. They passed the limits of german grammatical rules in order to show their identity inside their social environment. A characteristic of youth language is its unique vocabulary that's known as Jugendwort in German. The Jugendwort used by youth could be archaic words, modified commonly used words, adopted foreign vocabulary or even new words with new meanings. This unique vocabulary could be analyzed morphosyntactically and lexically. The topic of this research is to analyze the morphosyntax and lexical characteristics of Jugendwort in 2017, 2018 and 2020 on Twitter, which is aimed to explain the characteristics of youth language in tweets that contained the following words, "I bims, Ehrenmann/Ehrenfrau, and lost". This research was conducted through qualitative method with literature review and text analysis approaches. The results showed that the usage of the word I bims as Jugendwort 2017 could form the meaning of Ich bin or Ich bin es that could be recognized from its morphosyntactic structure. Meanwhile, the word Ehrenmann as Jugendwort 2018 is a phenomenon of Bedeutungverschiebungen (meaning shift), and the word lost as Jugendwort 2020 had no change in meaning. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Salma Qonita
"Penelitian ini mengeksplorasi penggunaan ughtea, slang bahasa Arab ukhti, sebagai istilah kekerabatan dan
korelasinya terhadap identitas dalam microblogging pada Twitter Indonesia. Secara semantis, ukhti bermakna
saudara perempuan persona tunggal dalam konteks biologis dan ideologis. Dalam dua tahun terakhir (2018—
2020), terdapat pergeseran semantik istilah ukhti sebagai bentuk sindiran pengguna Twitter Indonesia terhadap
eksklusivitas dan ketidaksesuaian penggunaan istilah ukhti, khusunya di kalangan Muslim konservatif di
Indonesia, dengan memodifikasi kata tersebut menjadi ughtea yang maknanya cenderung degeneratif. Alhasil,
makna istilah ukhti mengalami peyorasi. Berdasarkan klasifikasi Internet People atau Masyarakat Internet oleh
McCulloch, para pengguna ini dikategorikan sebagai Post Internet People atau Masyarakat Post Internet.
Permasalahan penelitian ini berfokus pada pergeseran semantis kata ukhti menjadi ughtea sebagai ekspresi satir
dalam aspek analisis penutur, istilah, dan penggunaan istilah dalam konteks peyorasi. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis penggunaan kedua istilah dengan menggunakan pendekatan linguistik korpus dan model
Appraisal oleh Martin dan White. Sumber data diperoleh dari berbagai mikropos para pengguna Twitter Indonesia dalam periode waktu Oktober 2019.

This research investigates the pragmatic of ughtea, a slang from ukhti, as a term of address slang and identity in
Twitter’s prominent behaviour on virtual sphere: microblogging. Semantically, ukhti refers to “sister” of
possessive pronoun of the first person i.e. the speaker, both in biological and ideological contexts. During these
past two years (2018—2019), the usage of the term ukhti has undergone the extension of its meaning through its
use among Indonesian Twitter users by changing its form into ughtea as a slang with degenerative meaning, in
order to insinuate the exclusivity of the use of the term ukhti among Indonesian conservative Muslims and the
misbehaviour of ukhti. As a result, the meaning of the term ukhti experiences pejoration. These certain Indonesian
Twitter users, according to McCulloch’s classification of Internet People, are classified as Post Internet People.
This research problem focuses on the analysis of the speakers, terms, and how both terms used in the context of
pejoration. This study aims to analyse both terms in terms of shifting meaning in terms of speakers, speech, and
usage by implementing corpus linguistic approach and Martin and White’s appraisal system. Data sources were obtained from Twitter users' tweets during a certain period (October 2019).
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Sumalauda
"Penelitian ini ingin menjawab pertanyaan tentang bagaimana hubungan antara vertical fiscal imbalance dan local taxing power? Apakah ketika vertical fiscal imbalance mengalami penurunan akan menyebabkan local taxing power mengalami kenaikan? atau sebaliknya. Kemudian seberapa besar magnitude dari perubahan vertical fiscal imbalance ini terhadap local taxing power di level kabupaten dan kota, baik yang merupakan daerah induk maupun daerah otonom baru. Dengan menggunakan model fixed effect, hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika ketergantungan terhadap transfer pemerintah pusat berkurang, baik kabupaten maupun kota di daerah otonom baru cenderung menunjukkan performa yang lebih baik dibandingkan kabupaten/kota di daerah induk.

This study wants to answer the question of how is the relationship between vertical fiscal imbalance and local taxing power? Will a decrease in the vertical fiscal imbalance cause local taxing power to increase? or vice versa. Then how big is the magnitude of this change in the vertical fiscal imbalance to local taxing power at the district and city levels, both as parent regions and new autonomous regions. Using the fixed effect model, the results show that when dependence on central government transfers decreases, both districts and cities in new autonomous regions tend to show better performance than districts/cities in the parent region."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafa Diantania Irfan
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran dari Milk Tea Alliance sebagai aktivisme digital transnasional di Twitter dalam mengadvokasikan demokrasi bagi Thailand pada Protes Anti-Pemerintah Thailand 2020. Pada tahun 2020, Thailand mengalami protes besar-besaran menentang pemerintahan Prayuth Chan-o-cha yang dipicu oleh pembubaran Future Forward Party. Protes yang berlangsung hampir sepanjang tahun ini, mengalami eskalasi di bulan Oktober dengan semakin ketatnya pembatasan aktivitas protes dan maraknya penggunaan kekerasan oleh negara untuk merepresi protes. Oleh karena itu, gerakan prodemokrasi di Thailand berupaya meningkatkan visibilitas isu dan atensi akan protes yang terjadi, khususnya dari sekutu mereka, Taiwan dan Hong Kong, dengan menggunakan tagar #MilkTeaAlliance di Twitter. Dengan menggunakan konsep jaringan advokasi transnasional dan aktivisme digital, penggunaan tagar #MilkTeaAlliance merupakan bentuk aktivisme digital dengan adanya kontak transnasional yang membentuk jaringan advokasi transnasional antara Taiwan, Thailand, dan Hong Kong dalam wujud Milk Tea Alliance. Melalui penelitian dengan metode kualitatif melalui studi literatur dan dokumen virtual, penelitian ini menemukan bahwa Milk Tea Alliance berperan dalam mengadvokasikan demokrasi bagi Thailand dengan empat taktik, yaitu politik informasi melalui penyebaran informasi dan pembingkaian nilai-nilai universal, kekerasan terhadap tubuh, dan aksi solidaritas di media sosial; politik simbolis melalui penyeruan simbol salam tiga jari; politik pengaruh melalui keberhasilan memanggil negara lain dan organisasi internasional; dan politik akuntabilitas dengan menuntut pertanggungjawaban pemerintahan Prayuth atas komitmen terhadap perjanjian internasional. Namun, peranan Milk Tea Alliance pada Protes Anti-Pemerintah hanya sampai pada tahap pembentukan isu atau atensi dan posisi diskursif saja. Tertutupnya struktur peluang politik domestik di Thailand menjadi hambatan politik bagi pengaruh Milk Tea Alliance sebagai jaringan advokasi transnasional dalam mempengaruhi perubahan kebijakan di Thailand.

This research aims to analyze the role of the Milk Tea Alliance as transnational digital activism on Twitter in advocating democracy for Thailand in the 2020 Thai Anti-Government Protests. In 2020, Thailand experienced massive protests against the Prayuth Chan-o-cha government triggered by the dissolution of the Future Forward Party. The protests, which lasted for most of the year, escalated in October with tighter restrictions on protest activities and the rampant use of violence by the state to repress the protests. Therefore, the pro-democracy movement in Thailand sought to increase the visibility of the issue and attention to the protests, especially from their allies, Taiwan and Hong Kong, by using the hashtag #MilkTeaAlliance on Twitter. Using the concepts of transnational advocacy networks and digital activism, the use of the #MilkTeaAlliance hashtag is a form of digital activism with transnational contacts that form a transnational advocacy network between Taiwan, Thailand, and Hong Kong in the form of the Milk Tea Alliance. Through a qualitative research method through literature study and virtual documents, this study found that the Milk Tea Alliance plays a role in advocating democracy for Thailand with four tactics: information politics through the dissemination of information and framing of universal values, violence against the body, and solidarity of actions on social media; symbolic politics through the invocation of the three-finger salute symbol; leverage politics through the success of calling other countries and international organizations; and accountability politics by holding the Prayuth government accountable for commitments to international agreements. However, the Milk Tea Alliance's role in the Anti-Government Protest only reached the stage of issue or attention formation and discursive positioning. The closed domestic political opportunity structure in Thailand is a political obstacle to the Milk Tea Alliance's influence as a transnational advocacy network in influencing policy change in Thailand."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suzie Sri Suparin S. Sudarman
"ABSTRAK
This article will focus specifically on US foreign policy implications of the creation of a public diplomacy network in Indonesia and the views that are commonly expressed with regard to US interaction with Indonesia. By studying the attributes of each discourse the study has been able to determine the contrast between the networks that supported the Embassy messaging strategies and the dominant networks that were untouched or remained resistant towards the US Embassy influence attempts in Twitter cyber space by lndonesian Tweeps. The study has focused on the unfolding relationship placed in a spatial and temporal context."
[Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia],
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ahmad Alwi
"Pada tahun 2019, Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) mengumumkan bahwa salah satu komandonya, Angkatan Darat, akan melakukan perombakan besar-besaran pada strategi pemasaran dan penjangkauannya. Strategi ini merupakan bagian dari proses rekrutmen militer angkatan darat dengan fokus utama pada tahapan program pengiklanan digital dengan menggunakan media sosial sebagai pendekatan baru kepada calon rekrutmen potensial. Alhasil, kegiatan siaran langsung e-sports yang dilakukan tim e-sports angkatan darat (USAE) melalui platform siaran langsung Twitch diluncurkan ke publik. Namun, pembaruan ini mendapatkan penerimaan yang buruk dari penggiat sosial hingga anggota dewan AS serupa. Reaksi yang muncul cukup beragam, dimulai dari komentar negatif warganet, layangan surat terbuka, hingga pengusulan amandemen undang-undang. Menanggapi fenomena tersebut, tulisan ini berusaha mencari tahu bagaimana penggunaan Twitch dalam program pengiklanan militer angkatan darat AS tahun 2020 menjadi bentuk militerisasi budaya populer. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif, dengan data sekunder bersumber dari artikel dan laporan resmi militer, berita, serta publikasi kampanye pengiklanan militer dan USAE. Menggunakan Teori Segitiga Gridiron, penulis berargumen bahwa siaran langsung permainan e-sports melalui platform Twitch merupakan bentuk militerisasi budaya populer yang diindikasikan dengan melihat hubungan tiga aktor utama, yakni militer, tim e-sports, dan media. Penulis menemukan bahwa interaksi ketiga aktor mendorong normalisasi nilai-nilai militeristis yang berupaya meningkatkan daya tarik dan persepsi positif terhadap militer.

In 2019, the United States Department of Defense (DoD) announced that one of its branches, the Army, would undergo a significant overhaul of its marketing and outreach strategy. This strategy was part of the Army's military recruitment process, with a primary focus on the stages of digital advertising programs using social media as a new approach to potential recruits. Consequently, the Army's esports team (USAE) launched public live broadcasts of esports events through the Twitch streaming platform. However, this overhaul received poor reception from social activists and members of the US Congress alike. The reactions varied, ranging from negative comments by netizens, open letters, to the proposal of legislative amendments. In response to this phenomenon, this paper aims to investigate how the use of Twitch in the US Army's 2020 military advertising program constitutes a form of the militarization of popular culture. This research employs qualitative methods, with secondary data sourced from articles and official military reports, news, and publications of military advertising campaigns and USAE. Utilizing the Gridiron Triangle Theory, the author argues that live streaming of esports games via the Twitch platform represents a form of the militarization of popular culture, indicated by examining the relationships between three key actors: the military, the esports team, and the media. The author finds that the interaction of these three actors promotes the normalization of militaristic values, aiming to enhance the attractiveness and positive perception of the military."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisaa Aprillia Setiawan
"Rasisme sudah menjadi permasalahan umum di masyarakat khususnya bagi kelompok kulit hitam hingga saat ini. Di Jerman sendiri ujaran rasisme sudah diutarakan oleh Hitler sejak tahun 1933 yang pada saat itu menganggap bangsa Arya di atas segalanya, sehingga bangsa Yahudi dinilai tidak pantas untuk berada di Jerman. Peristiwa tersebut masih berdampak hingga saat ini, yaitu terdapat ujaran dan tindakan rasisme terhadap kelompok minoritas. Film Berlin Alexanderplatz (2020) yang menjadi korpus data dalam penelitian ini menampilkan bagaimana kehidupan imigran kulit hitam bertahan hidup dan mencapai kehidupan yang layak, sehingga penelitian ini berfokus pada bagaimana rasisme ditampilkan dan kelompok minoritas direpresentasikan dalam film Berlin Alexanderplatz (2020). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kajian pustaka serta teori sinematografi Joseph V. Mascelli dan teori representasi Stuart Hall untuk mencari makna dari percakapan dan adegan dalam film. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan rasisme dan representasi kelompok minoritas ditampilkan melalui tiga tahapan kehidupan yang dialami oleh Franz, yaitu ketika dirinya belum memiliki apa- apa, ketika dirinya telah berhasil mencapai kehidupan yang layak, dan ketika dirinya kembali ke tahap kehidupan awal yang tidak memiliki apa-apa. Pemaparan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok minoritas masih diperlakukan secara semena-mena dan keberadaannya dianggap remeh.

Racism has been a common society issue, especially for black people. In Germany racism had been uttered by Hitler since 1933, which the Aryans were on the top amongst the other. Therefore, the Jewish were not considered fit to live in Germany. The event still has an impact until now, namely there are racism actions and speech against the minorities. The film Berlin Alexanderplatz (2020) which is the corpus of this research shows how the lives of black immigrants survive and achieve a decent life, so this research focuses on how racism is showed and minority groups are represented in the film Berlin Alexanderplatz (2020). Theory of cinematography by Joseph V. Mascelli, theory of representation by Stuart Hall, qualitative methods and literature review are used to find the meaning of conversation and scenes in the film. The results show that act of racism and the representation of minorities showed through three Franz’s life stages, namely when he has nothing, when he has succeeded in achieving a decent life, and when he returns to his empty life. This research also shows that the minorities are still treated arbitrarily and their existence is underestimated. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>