Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30391 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simatupang, Satria Mula Habonaran
"Latar belakang. Risiko Venous Thromboembolism (VTE) yang terkait dengan keganasan adalah 4,1 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan pasien tanpa keganasan. Pasien keganasan memiliki risiko perdarahan yang lebih besar dengan terapi antikoagulan yang umum digunakan. Inferior Vena Cava Filter (IVCF) telah direkomendasikan sebagai alternatif yang kontroversial.
Tujuan. Untuk menemukan bukti ilmiah tertinggi dalam keamanan, manfaat, dan dampak klinis IVCF untuk mengelola VTE terkait keganasan.
Metode. Sesuai dengan pedoman PRISMA, pada situs berbasis data Cochrane, PubMed, dan ClinicalKey dicari menggunakan kata kunci ("Inferior Vena Cava Filter" or "IVCF") and (“Anticoagulant”) and ("Cancer" or "Malignancy") and ("Venous Thromboembolism" or "VTE" or "Pulmonary Embolism" or "Deep Vein Thrombosis") and ("Safety" or "Benefit" or "Complication" or "Recurrence" or "Survival Rate" or "Mortality"). Artikel-artikel ini ditinjau dan dinilai.
Hasil. Ada 10 artikel yang ditinjau (1.191 partisipan). Komplikasi IVCF yang ditemukan: migrasi filter (0,9%), trombosis vena cava (3,7%), PE berulang (2,8%); fraktur filter (0,9%); dan penetrasi IVCF (0,9%). Tidak ada kematian yang ditemukan pada pasien karena komplikasi karena penyisipan filter (LOE 2). Penyisipan IVCF dapat mengurangi tingkat PE tetapi dengan peningkatan jumlah DVT (DVT: dengan filter vs tanpa filter: 35,7% vs 27,5%; HR 1,52; CI95 % 1,02–2,27; p = 0,042; PE: 6,2% vs. 15,1 %; HR 0,37; 95% CI 0,17–0,79; p = 0,008). Enam studi tidak menemukan peningkatan yang signifikan secara statistik dalam mortalitas terkait PE.
Kesimpulan. IVCF aman dan bermanfaat untuk pengelolaan VTE terkait keganasan, terutama pada pasien dengan kontraindikasi antikoagulan (LOE 2, 3 dan 4).

Background. The risk of venous thromboembolism (VTE) associated with malignancy is 4.1-fold greater compared to patients without malignancy. Malignancy patient have greater risk of bleeding with the commonly used anticoagulant therapy. Inferior Vena Cava Filter (IVCF) have been recommended as an controversial alternative.
Objective. To find the highest evidence in the safety, benefit, and clinical outcome of the IVCF for managing VTE associated with malignancy.
Method. Aligning with PRISMA guidelines, online databases Cochrane, PubMed, ScienceDirect and ClinicalKey were searched using keywords ("Inferior Vena Cava Filter" or "IVCF") and (“Anticoagulant”) and ("Cancer" or "Malignancy") and ("Venous Thromboembolism" or "VTE" or "Pulmonary Embolism" or "Deep Vein Thrombosis") and ("Safety" or "Benefit" or "Complication" or "Recurrence" or "Survival Rate" or "Mortality"). These articles were reviewed and appraised.
Results. There were 10 articles reviewed (1,191 participants). Complication of IVCF found: filter migration (0.9%), vena cava thrombosis (3.7%), recurrent PE (2.8%); filter fracture (0.9%); and IVCF penetration (0.9%). No mortality was found in patients due to complications due to filter insertion (LOE 2). IVCF insertion can reduce PE rates but with an increase in the number of DVT (DVT: with filter vs without filters: 35.7% vs 27.5%; HR 1.52; CI95 % 1.02–2.27; p = 0.042 ; PE: 6.2% vs. 15.1%; HR 0.37; 95% CI 0.17–0.79; p = 0.008). Six studies found no statistically significant increase in PE-related mortality.
Conclusion. IVCF is safe and beneficial for the management of malignancy-associated VTE, especially in patients with contraindications to anticoagulants (LOE 2, 3 and 4).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Faranita
"Latar Belakang: Pemeriksaan D-dimer dan ultrasonografi sering dipakai untuk menegakkan diagnosis trombosis vena dalam (DVT). Walaupun demikian, kedua pemeriksaan tersebut memiliki keterbatasan jika dipakai pada pasien trauma ekstremitas bawah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti tingkat akurasi dari pemeriksaan D-dimer atau ultrasonografi (USG) dalam mendiagnosis trombosis vena dalam pada pasien dengan trauma ekstremitas bawah. Metode: Pencarian literatur sistematis dilakukan pada database Pubmed, Cochrane, ProQuest, dan EBSCOhost. Hasil artikel yang diperoleh diskrining berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Artikel yang dimasukkan dalam tinjauan dilakukan telaah kritis menggunakan panduan dari The Center of Evidence Based-Medicine (CEEBM) University of Oxford untuk kategori systematic review dan Quality Assessment of Diagnostic Accuracy Studies (QUADAS). Hasil: Sebanyak 89 studi teridentifikasi dari pencarian yang dilakukan. Setelah proses inklusi dan eksklusi, 3 studi dipilih untuk dimasukkan. Ketiga studi yang ditemukan membandingkan akurasi USG dan/atau D-dimer dengan venografi, flebografi, atau USG Doppler. Pemeriksaan D-dimer menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas pasca operasi yang mencapai 95,5% dan 91,4% dengan ambang batas 10mcg/mL, namun dengan ambang batas 4,01 mcg/mL sensitivitas hanya 71.3% dan spesifitas 44.83%. Untuk sensitivitas dan spesifitas USG beragam dengan nilai sensitivitas 18%-96% dan spesifisitas 71,8-96,5%. Diskusi: Sensitivitas dan spesifisitas D-dimer dan USG cukup baik sehingga bisa dipakai untuk mendeteksi trombosis vena dalam. Untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifitas D-dimer, ambang batas yang lebih tinggi bisa digunakan khususnya pada skrining DVT di ekstremitas bawah. Untuk sensitivitas dan spesifitas USG variatif. Hasil telaah kritis menunjukkan risiko bias yang rendah. Kesimpulan: USG dan DVT dapat menjadi alat diagnostik awal untuk mendeteksi DVT pada pasien dengan trauma ekstremitas bawah. 

Background: The D-dimer test and ultrasonography are commonly utilized in establishing the diagnosis of deep vein thrombosis (DVT). However, both examinations have limitations when applied to patients with lower extremity trauma. The aim of this research is to investigate the accuracy of D-dimer testing or ultrasonography (USG) in diagnosing deep vein thrombosis in patients with lower extremity trauma. Methods: A systematic literature search was conducted on the Pubmed, Cochrane, ProQuest, and EBSCOhost databases. The obtained articles were screened based on inclusion and exclusion criteria. Articles included in the review underwent critical appraisal using guidelines from The Center of Evidence-Based Medicine (CEEBM) University of Oxford for systematic review categories and the Quality Assessment of Diagnostic Accuracy Studies (QUADAS). Results: A total of 89 studies were identified from the conducted search. Following the inclusion and exclusion processes, 3 studies were selected for inclusion. The three identified studies compared the accuracy of ultrasonography (USG) and/or D-dimer with venography, phlebography, or Doppler ultrasonography. D-dimer testing demonstrated postoperative sensitivity and specificity reaching 95.5% and 91.4%, respectively, with a threshold of 10 mcg/mL. However, with a threshold of 4.01 mcg/mL, sensitivity was only 71.3%, and specificity was 44.83%. Sensitivity and specificity for USG varied, with sensitivity values ranging from 18% to 96% and specificity ranging from 71.8% to 96.5%. Discussion: The sensitivity and specificity of both D-dimer testing and ultrasonography (USG) are deemed adequate, rendering them suitable modalities for the detection of deep vein thrombosis (DVT). To enhance the sensitivity and specificity of D-dimer, higher thresholds can be employed, particularly in screening for DVT in the lower extremities. The sensitivity and specificity of USG are variable. Critical appraisal results indicate a low risk of bias. Conclusion: Ultrasound (USG) and D-dimer testing can serve as early diagnostic tools to detect deep vein thrombosis (DVT) in patients with lower extremity trauma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sisca Sri Utari
"

Kelelahan merupakan salah satu penyebab tingginya angka kecelakaan. Salah satu jenis pekerjaan yang memiliki potensi tinggi untuk mengalami kelelahan adalah operator tambang batubara. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perbedaan jenis kendaraan terhadap tingkat kelelahan pada operator tambang batubara.  Variabel yang dianalisis adalah kelelahan, jenis kendaraan, umur, kuantitas tidur, shift kerja, dan masa kerja. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode systematic literature review dengan melakukan full text review pada 10 literatur. Hasil dari penelitian ini diketahui skor tingkat kelelahan operator tambang  sebesar 45-56 atau 28% - 59,3%. Operator dump truck hauling cenderung mengalami kelelahan berat dibandingkan dengan operator dump truck area loading dan dumping, serta operator lainnya. Selain itu, dari keseluruhan variabel yaitu jenis kendaraan, kuantitas tidur, dan shift kerja memiliki hubungan yang signifikan terhadap tingkat kelelahan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah jenis kendaraan yang digunakan operator memiliki pengaruh terhadap tingkat kelelahan pada operator tambang batubara.


Fatigue is one of the causes of the high accident rate. One type of work that has a high potential to experience fatigue is a coal mine operator. This study aims to explain the different types of vehicles on the level of fatigue in coal mine operators. The variables analyzed were fatigue, vehicle type, age, sleep quantity, work shift, and work period. This research was conducted using a systematic literature review method by conducting a full text review of 10 literatures. The results of this study note the mine operator fatigue level score of 45-56 or 28% - 59.3%. Hauling dump truck operators tend to experience severe fatigue compared to dump truck operators of loading and dumping areas, as well as other operators. In addition, the overall variables, namely the type of vehicle, sleep quantity, and work shift have a significant relationship to the level of fatigue. The conclusion from this study is the type of vehicle used by the operator has an influence on the level of fatigue in the coal mine operator.

"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Laviani
"Latar Belakang: Kolitis ulseratif distal merupakan kolitis ulseratif yang paling sering ditemukan. Dibandingkan dengan terapi oral, terapi topikal kurang banyak digunakan pasien. Satu studi melaporkan bahwa terapi oral digunakan pada 35,6% pasien sedangkan terapi topikal hanya digunakan pada 6,7% pasien. Namun demikian, berbagai studi yang menilai terapi topikal tersebut memberikan hasil yang inkonsisten.
Tujuan: Mengetahui efektivitas pemberian beberapa terapi topikal dalam tatalaksana kolitis ulseratif distal derajat ringan dan sedang.
Sumber Data: Penelusuran studi dilakukan hingga September 2020 pada empat basis data: PubMed/MEDLINE, Cochrane, ProQuest, dan SCOPUS. Pencarian sekunder dilakukan dengan teknik snowballing pada referensi studi yang ditemukan, pencarian melalui ClinicalTrial.Gov, pencarian melalui Garuda, dan Global Index Medicus.
Seleksi Studi: Studi randomized controlled trial (RCT). Subyek merupakan pasien kolitis ulseratif distal derajat ringan dan sedang. Studi dengan intervensi yang dilakukan berupa terapi topikal 5-ASA enema, kortikosteroid enema, asam hialuronat enema. Luaran efektivitas yang dinilai berdasarkan respon klinis, remisi klinis, profil keamanan dan efek samping terapi tersebut. Tidak dilakukan pembatasan bahasa maupun waktu.
Ekstraksi Data: Ekstraksi data dilakukan oleh kedua peninjau secara independen. Hasil: Respon klinis ditunjukkan pada pemberian 5-ASA enema dibandingkan plasebo enema (RR 2.48, IK 95% 1.81-3.38, p<0.00001). NNT 3 (IK 95% 2-4). Remisi klinis ditunjukkan pada pemberian kortikosteroid enema dibandingkan plasebo enema (RR 1.98, IK 95% 1.59-2.45, p<0.00001). NNT 5 (IK 95% 4-7). Tidak terdapat perbedaan antara pemberian 5-ASA enema bila dibandingkan dengan kortikosteroid enema baik Beclomethasone diproprionate enema (RR 1.04, IK 95% 0.70-1.54, p=0.85) dan Budesonide enema (RR 1.26, IK 95% 0.91-1.73, p=0.16). Asam hialuronat enema merupakan terapi topikal baru yang cukup aman dan efektif namun membutuhkan penelitian lebih lanjut dengan kualitas penelitian yang lebih baik. Terapi topikal memiliki profil keamanan yang baik. Sebagian besar adverse event ringan dan tidak signifikan.
Kesimpulan: 5-ASA enema dan kortikosteroid enema efektif dalam mencapai respon dan remisi klinis bila dibandingkan dengan plasebo. Tidak terdapat perbedaan antara 5-ASA enema bila dibandingkan dengan kortikosteroid enema

Background: Distal ulcerative colitis is the most common ulcerative colitis. Compared with oral therapy, topical therapy is less used by patients. One study reported that oral therapy was used in 35.6% of patients whereas topical therapy was used in only 6.7% of patients. However, studies assessing this topical therapy have yielded inconsistent results. Objective: To determine the effectiveness of topical therapy in the management of mild and moderate distal ulcerative colitis. Data Source: Study searching was done through September 2020 on four databases: PubMed / MEDLINE, Cochrane, ProQuest, and SCOPUS. Secondary searching was done by snowballing method of the study references, searching through ClinicalTrial.Gov, Garuda, and the Global Index Medicus. Study Selection: A randomized controlled trial (RCT). Subjects were mild and moderate distal ulcerative colitis patients. Intervention studies included topical 5-ASA enema therapy, corticosteroid enema, and hyaluronic acid enema. The effectiveness outcome was assessed based on clinical response, clinical remission, safety profile and side effects of the therapy. There are no language or time restrictions. Data Extraction: Data extraction was done by both reviewers independently. Results: Clinical response was shown in 5-ASA enema versus placebo enema (RR 2.48, CI 95% 1.81-3.38, p <0.00001). NNT 3 (CI 95% 2-4). Clinical remission was shown in corticosteroid enema versus placebo enema (RR 1.98, CI 95% 1.59-2.45, p <0.00001). NNT 5 (CI 95% 4-7). There was no difference between 5-ASA enema administration when compared to corticosteroid enema, Beclomethasone diproprionate enema (RR 1.04, 95% CI 0.70-1.54, p = 0.85) and Budesonide enema (RR 1.26, CI 95% 0.91 -1.73, p = 0.16). Hyaluronic acid enema is a new topical therapy that is quite safe and effective in achieving clinical response and remission but requires further research with better research quality. Topical therapies have a good safety profile. Most of the adverse events were mild and insignificant. Conclusion: 5-ASA enemas and corticosteroid enemas were effective in achieving clinical response and remission when compared to placebo. There was no difference between 5-ASA enemas when compared with corticosteroid enemas"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Tsany Saadi
"Tujuan: Didapatkannya informasi mengenai hubungan Sense of Coherence dengan perilaku dan persepsi subjektif kondisi gigi mulut pada populasi dewasa di DKI Jakarta.
Metode: Studi analitik korelatif cross-sectional pada 375 responden berusia 30-50 tahun yang berdomisili di DKI Jakarta. Data diperoleh menggunakan kuesioner self-administered yang terdiri atas kuesioner SOC-13 dan kuesioner gigi mulut dewasa yang diadaptasi dari kuesioner WHO.
Hasil: Terdapat hubungan bermakna antara SOC dengan kunjungan terakhir ke dokter gigi r = 0,128, kebiasaan merokok r = 0,108, dan frekuensi konsumsi beberapa kudapan manis, yaitu minuman bersoda r = 0,118 dan buah segar r = -0,198. Terdapat hubungan antara SOC dengan beberapa masalah akibat kondisi gigi mulut, yaitu mulut kering r = 0,132, malu akibat penampilan gigi r = 0,102, menghindari tersenyum r = 0,106, kurang toleran terhadap pasangan r = 0,223, dan mengurangi aktivitas sosial r = 0,2.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara Sense of Coherence dengan perilaku kesehatan gigi dan mulut, yaitu kunjungan ke dokter gigi, kebiasaan merokok, dan frekuensi konsumsi kudapan manis yaitu minuman bersoda dan buah segar. Sense of Coherence juga berhubungan dengan beberapa masalah akibat kondisi gigi dan mulut, yaitu mulut kering, malu akibat penampilan gigi, menghindari tersenyum, kurang toleran terhadap pasangan, dan mengurangi aktivitas sosial.

Objective: To obtain information about the relationship between Sense of Coherence with oral health related behavior and subjective perception in adult population living in DKI Jakarta.
Method: A cross sectional analytic correlative study was conducted in DKI Jakarta, with 375 respondents aging 30 50 years old. Data were collected through self administered questionnaires consisted of SOC 13 and WHO Oral Health Questionnaire for Adult.
Result: Association found between SOC with dental attendance r 0,128, smoking habit r 0,108, and frequency of some sweet snack intake, including soft drink r 0,118 and fresh fruit r 0,198. SOC is also associated with some problems related to oral health, including dry mouth r 0,132, embarrassed due to appearance of teeth r 0,102, avoided smiling r 0,106, less tolerant of spouse r 0,223, and reduced participation in social activities r 0,2.
Conclusion: SOC is associated with some oral health related behaviours, including dental attendance, smoking habit, and frequency of some sweet snack intake, including soft drink and fresh fruit. SOC is also associated with some problems related to oral health, including dry mouth, embarrassed due to appearance of teeth, avoided smilin, less tolerant of spouse, and reduced participation in social activities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rayna Shula Azzahra Amry Sirat
"Latar Belakang : Di era modern, media sosial telah dimanfaatkan oleh populasi dewasa muda untuk mengakses, memperoleh, dan berbagi informasi kesehatan. Literasi kesehatan oral, frekuensi penggunaan media sosial, dan efikasi diri merupakan faktor-faktor penting yang dapat mempengaruhi intensi perilaku. Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara literasi kesehatan oral, penggunaan media sosial, dan efikasi diri dengan intensi perilaku terkait media sosial. Metode : Studi cross-sectional menggunakan kuesioner online pada 361 mahasiswa Universitas Indonesia yang pernah terpapar dengan informasi kesehatan gigi dan mulut di media sosial. Hasil : hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa literasi kesehatan oral, penggunaan media sosial, dan efikasi diri memiliki korelasi yang bermakna secara statistik (p < 0,05) terhadap intensi perilaku terkait media sosial. Usia juga memiliki korelasi yang bermakna secara statistik dengan literasi kesehatan oral dan efikasi diri, serta pengalaman penggunaan media sosial memiliki korelasi bermakna dengan penggunaan media sosial dan efikasi diri. Namun kedua variabel usia dan pengalaman penggunaan media sosial tersebut bukan merupakan faktor yang memoderasi efek literasi kesehatan oral dan penggunaan media sosial terhadap efikasi diri. Kesimpulan : Literasi kesehatan oral, penggunaan media sosial, dan efikasi diri merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi intensi perilaku. Responden dengan segmen usia yang lebih muda menunjukkan literasi kesehatan oral dan efikasi diri yang lebih baik serta pengalaman penggunaan media sosial yang positif juga menunjukkan frekuensi penggunaan media sosial dan tingkat efikasi diri yang lebih tinggi.

In the modern era, social media has been used by young adults to access, acquire, dan share health informations. Oral health literacy, social media use, and self-efficacy are essential factors that may influence health behavioral intention. Tujuan : To learn the association of oral health literacy, social media use, and self-efficacy with health behavioral intention regarding social media. Metode : A cross-sectional study using online questionnaire of 361 University of Indonesia students who were exposed with oral health information in social media. Hasil : Spearman correlation test shown that oral health literacy, social media use, and self-efficacy have statistically significant correlations (p < 0,05) with health behavioral intention regarding social media. Age also has statistically significant correlation with oral health literacy andn self-efficacy, as well as social media experience has statistically significant correlation with social media use and self-efficacy. However, both age and social media experience were not moderating factors for the effect of oral health literacy and social media use on self-efficacy. Kesimpulan : Oral health literacy, social media use, and self-efficacy were factors which infleunce health behavioral intention. Respondents in the younger age segment shows better oral health literacy and self-efficacy. Moreover, positive social media experience shows higher frequency of social media use and self-efficacy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linny Grasiana Maria Liando
"Latar Belakang:
Anak usia batita yang pernah mengalami perawatan di Unit Neonatologi pada saat lahir berada dalam risiko
mengalami keterlambatan perkembangan. Terdapat berbagai faktor terkait perkembangan anak usia batita,
baik dari aspek ibu maupun anak.
Tujuan:
Mendapatkan gambaran Developmental Quotient anak usia batita yang pernah dirawat inap di Unit
Neonatologi RSCM dan faktor-faktor terkait.
Metode:
Penelitian ini adalah studi analitik observasional potong lintang yang menilai Developmental Quotient pada
83 anak usia batita yang pernah dirawat inap di Unit Neonatologi RSCM pada tahun 2018-2019 yang diambil
secara acak sederhana. Developmental Quotient dinilai dengan menggunakan Capute Scale, dan terdiri dari
Full-Scale Developmental Quotient (FSDQ), Clinical Linguistic and Auditory Milestone Scale (DQ
CLAMS), Cognitive Adaptive Test (DQ CAT). Dilakukan identifikasi faktor-faktor terkait DQ sebagai
variabel bebas, yaitu : jenis kelamin anak, usia gestasi, berat badan lahir, panjang badan lahir, lingkar kepala
lahir, lama rawat inap di unit Neonatologi, lama lepas rawat, diberikan ASI eksklusif atau tidak, ada tidaknya
intervensi rehabilitasi, usia ibu saat melahirkan, psikopatologi ibu, komplikasi persalinan, mother-infant
bonding, pendidikan ibu, jumlah anak, status sosial ekonomi. Analisis bivariat dengan Chi-square dan
multivariat dengan regresi logistik dilakukan untuk menguji hipotesis.
Hasil:
Sebanyak 38,6% anak usia batita dengan riwayat perawatan di unit Neonatologi RSCM mengalami
keterlambatan FSDQ, 47% keterlambatan DQ CLAMS, dan 31,4% keterlambatan DQ CAT. Terdapat
hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu, psikopatologi ibu, dan status sosial ekonomi terhadap
terjadinya keterlambatan FSDQ; serta hubungan bermakna antara jenis kelamin, pendidikan ibu dan
psikopatologi ibu dengan keterlambatan DQ CLAM pada subjek penelitian ini. Pada analisis multivariat
didapatkan bahwa variabel paling bermakna dengan kejadian keterlambatan FSDQ pada subjek penelitian
ini adalah pendidikan ibu (p= 0,048; rasio odd= 4,751; interval kepercayaan 1,017-22,199) dan
psikopatologi ibu (p= 0,023; rasio odd= 0,2; interval kepercayaan 0,05-0,804).
Simpulan :
Anak usia batita dengan riwayat perawatan di Unit Neonatologi perlu diperiksa secara berkala untuk
mencegah keterlambatan perkembangan. Meningkatkan kesehatan mental ibu dapat mencegah
keterlambatan perkembangan.

Infants with history of hospitalization in Neonatology Unit at births are at risk of delayed development. There
are various risk factor associated with infant development, either from maternal or infant factor.
Objectives:
To determine developmental quotient of infants with history of hospitalization in Neonatology Unit in Dr
Cipto Mangunkusumo General Hospital, and to identify factors related to it.
Method:
Study design was cross-sectional observational analytic study. Subjects were 83 infants with history of
hospitalization in Neonatology Unit, from January 2018 to December 2019 randomly selected. The
Developmental Quotients were assessed using The Capute Scale, and consist of Full-Scale Developmental
Quotient (FSDQ), Clinical Linguistic and Auditory Milestone Scale (DQ CLAMS), Cognitive Adaptive Test
(DQ CAT). We analyzed the association of DQ with 15 independent variables: gender, gestational age,
birthweight, length at birth, head circumference at birth, length of hospitalization in Neonatology Unit,
duration from hospital discharge, exclusively breastfed or not, rehabilitation intervention, age of mother at
birth, mother’s psychopathology, pregnancy and delivery complication, mother-infant bonding, mother
education, number of siblings, and socio-economic status. Bivariate analyzes using Chi-square and
multivariate analyzes using logistic regression were applied for hypothesis testing.
Result:
FSDQ, DQ CLAMS and DQ CAT delay were found in 38,6%, 47,0% and 31,4% of subjects, respectively.
There were significant correlations between maternal education, mother’s psychopathology and socioeconomic
status with delayed FSDQ while delayed DQ CLAMS were related to gender, maternal education
and maternal psychopathology. Multivariate analyzes revealed that the most responsible factor related to
delayed FSDQ in this research were mother’s psychopathology (p= 0,023; odd ratio= 0,2; confidence
interval 0,05-0,804) and mother’s education (p= 0.048; odd ratio= 4.751; confidence interval= 1.017-
22.199).
Conclusion:
Infants with history of hospitalization in Neonatology Unit, should be checked regularly fot delayed
development. Improving maternal mental health and education is important in preventing developmental
delay.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Fuad Hasyim
"Ketidaksadaran kolektif sebagai deposit memori leluhur, dibentuk oleh serangkaian peristiwa yang menyebabkan kenangan emosional di masa primordial. Meskipun konsep ketidaksadaran kolektif merupakan pencapaian terbesar Jung, nyatanya konsep tersebut ditolak oleh kebanyakan psikolog di masa itu. Penolakan tersebut didasari pada asumsi bahwa konsep ketidaksadaran kolektif terlalu spekulatif untuk dijelaskan. Artikel ini berusaha mendefinisikan ulang konsep ketidaksadaran kolektif yang spekulatif, menjadi definisi yang lebih konkret dan materialis, dengan menyatakan bahwa ketidaksadaran kolektif merupakan bagian dari memori genetik yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui replikasi DNA pada sel. Ketidaksadaran kolektif dijelaskan melalui proses epigenetik yang mengacu pada pewarisan genetik yang bisa bertahan selama beberapa masa yang panjang. Agar peristiwa bisa diturunkan ke generasi selanjutnya melalui DNA, peristiwa harus bisa direkam (coding) di dalam struktur engram, dengan memenuhi dua syarat, yaitu (1) suatu peristiwa harus memberikan kesan dan kenangan mendalam, dan (2) suatu peristiwa harus bisa dilestarikan secara konsisten dan kontinu dalam kurun waktu yang panjang. Artikel ini menggunakan pendekatan naturalistik dengan metode library research, dan analitis deskriptif untuk sampai pada kesimpulan akhir bahwa ketidaksadaran kolektif merupakan enkripsi memori genetik yang direkam oleh engram dan diturunkan melalui replikasi DNA yang berisi informasi genetik ke generasi selanjutnya.

The collective unconscious as a deposit of ancestral memory, is formed by a series of events that cause emotional memories in primordial times. Although the concept of the collective unconscious was Jung's greatest achievement, in fact it was rejected by most psychologists of the time. The rejection is based on the assumption that the concept of the collective unconscious is too speculative to explain. This article seeks to redefine the speculative concept of the collective unconscious, into a more concrete and materialist definition, by stating that the collective unconscious is a part of genetic memory passed down from generation to generation through DNA replication on cells. The collective unconscious is explained through an epigenetic process that refers to genetic inheritance that can persist for some long period of time. In order for an event to be passed down to the next generation through DNA, it must be able to be recorded (coding) in an engram structure, by fulfilling two conditions, namely (1) an event must provide deep impressions and memories, and (2) an event must be able to be preserved consistently and continuously over a long period of time. This article uses a naturalistic approach with library research, and descriptive  analytical  methods to come to the final conclusion that the collective unconscious is an encryption of genetic memory recorded by engrams and passed down through DNA replication containing genetic information to later generations."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Farida Azzahra
"Kewenangan Presiden dalam pembentukan undang-undang di Indonesia utamanya dalam proses pembahasan dan pemberian persetujuan terhadap pembahasan RUU
bahwasanya telah menyimpangi sistem presidensial dan dapat menjadi problematika. Tesis ini hendak menjawab permasalahan yaitu mengenai kewenangan Presiden dalam pembentukan undang-undang serta konsep rekonstruksi yang ideal terhadap kewenangan Presiden dalam pembentukan undang-undang di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif yang dilengkapi dengan perbandingan 20 negara. Hasil penelitian menunjukan bahwa Presiden di Indonesia memiliki kewenangan yang begitu besar dalam pembentukan undang-undang. Presiden terlibat dalam seluruh
proses pembentukan undang-undang mulai dari tahap perencanaan hingga pengesahan RUU, bahkan adanya ketentuan dalam Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3)
UUD NRI 1945 telah menjadikan Presiden dapat mengontrol agenda legislasi. Besarnya kewenangan Presiden tersebut tidak sesuai dengan tujuan penguatan sistem presidensial di Indonesia. Adapun gagasan rekonstruksi yang dapat diberikan adalah dengan membatasi kewenangan Presiden dalam pembentukan undang-undang dengan tidak melibatkan Presiden dalam proses pembahasan,
melainkan memperkuat posisi DPD dalam pembentukan undang-undang. Selanjutnya, dalam hal persetujuan RUU, Presiden seharusnya diberikan hak veto untuk menolak RUU yang diajukan parlemen sebagai bentuk checks and
balances. Dalam bidang pengesahan RUU, gagasan rekonstruksi yang dapat dilakukan adalah dengan memberi kewajiban bagi Presiden untuk mengesahkan setiap RUU yang telah disetujui oleh dua per tiga anggota DPR dan DPD. Adapun dalam hal Presiden tidak mengesahkan RUU, maka hal ini dapat dilakukan oleh Ketua DPR. Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah
dengan melakukan perubahan UUD NRI 1945 dengan mengubah pasal terkait kewenangan Presiden dan DPD dalam pembentukan undang-undang

The authority of the President in the law making process in Indonesia expecially in the process of deliberating and granting approval for the deliberation of the Bill that it has deviated from the presidential system and could become problematic. This thesis intends to answer the problem regarding the authority of the President in forming laws and the concept of ideal reconstruction of the President's authority in the formation of laws in Indonesia. The method used in
this study is a normative juridical method with a comparison of 20 countries. The research results show that the President in Indonesia has enormous authority in the law making process. The President is involved in the entire process of constituting legislation starting from the planning stage to the ratification of the
Bill, even the provisions in Article 20 paragraph (2) and paragraph (3) of the Constitution have enabled the President to control the legislative agenda. The
amount of authority of the President is not in accordance with the goal of strengthening the presidential system in Indonesia. The idea of reconstruction that could be given is to limit the President's authority in the law making process by
not involving the President in the deliberation process, but rather strengthening the DPD's position in the law making process. Furthermore, in terms of the
approval of the bill, the President should be given veto power to reject the bill proposed by the parliament as a form of checks and balances. In the field of bill ratification, the idea of reconstruction that can be carried out is by giving the President the obligation to pass every bill that has been approved by two thirds of the members of the DPR and DPD. As for the President does not pass a bill, this can be done by the Speaker of the DPR. Suggestions that can be given based on the results of this research are to make changes to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia by changing articles related to the authority of the President and DPD in the formation of laws
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rahman Saleh
"Butir kegiatan pustakawan yang termasuk kegiatan unsur utama, namun tidak termasuk tugas pokok dari pustakawan adalah pembuatan karya tulis/ karya ilmiah di bidang kepustakawanan. Kegiatan ini dikelompokkan ke dalam unsur pengembangan profesi. Angka kredit untuk kegiatan ini cukup besar, terutama bila dibandingkan dengan pelaksanaan kegiatan teknis perpustakaan lainnya. Oleh karena itu, banyak pustakawan yang mengejar kekurangan angka kredit dari kegiatan tersebut. Sayangnya, banyak pustakawan yang tidak hati-hati dalam menulis, atau mungkin jugamemang sengaja melakukan hal yang tidak terpuji, sehingga karya tulis yang dihasilkan banyak mengandung dugaan plagiarisme. Kajian ini mencoba memotret karya tulis pustakawan yang diusulkan kepada Tim Penilai Tingkat Pusat di Perpustakaan Nasional. Kajiandilakukan terhadap 129 judul karya tulis yang diajukan oleh 16 pustakawan selama Bulan Januari -Mei 2019. Sampel diambil menggunakan teknik non probability sampling yaitu ditarik secara incidental sampling. Seluruh karya tulis diperiksa menggunakan aplikasi Turnitin dan dicatat tingkat kemiripannya dengan artikel lain yang ada di dunia maya. Tingkat kemiripan (similarity) tertinggi diketahui sebesar 94% atau dapat dikatakan seluruh bagian dari artikel tersebut diduga meniru tulisan orang lain (plagiat) yang diperoleh dari internet. Sedangkan tulisan yang memiliki tingkat kemiripan terendah adalah sebesar 2%, atau hampir tidak ada dugaan praktek plagiarismedari tulisan tersebut. Dugaan plagiarismetersebut bisa memang sengaja dilakukan oleh penulis, atau bisa secara tidak sengaja dilakukan oleh penulis, misalnya karena ketidak tahuan cara menulis kutipan. Karenanya, disarankan agar para penulis mempelajari pedoman penulisan yang banyak beredar di dunia akademik sehingga hasil tulisannya sesuai dengan peraturan dan terhindar dari dugaan plagiarisme."
Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2019
020 PUS 26:3 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>