Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 68642 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Salsabila Almira Raissa
"Film Better Days (少年的你) merupakan film adaptasi dari novel In His Youth, In Her Beauty (少年的你,如此美丽) karya Jiu Yuexi yang rilis pada 25 Oktober 2019. Film ini berkisah tentang seorang siswi SMA tingkat akhir bernama Chennian yang merupakan korban perundungan dari Weilai, Luoting, dan Xumiao dalam persiapan untuk mengikuti ujian Gaokao. Chennian menjadi korban perundungan karena ia merupakan lawan tangguh dalam ujian Gaokao. Weilai merupakan seorang perundung yang digambarkan sebagai generasi muda Cina yang berusaha meraih kesuksesan masa mudanya dalam mengikuti ujian Gaokao. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penokohan Weilai sebagai representasi generasi muda Cina dalam persiapan mengikuti ujian Gaokao. Metode yang digunakan dialah metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara tekanan ujian Gaokao dan penokohan Weilai. Hal tersebut dapat dilihat melalui tiga hubungan antara Weilai dengan teman-teman. Dengan adanya pembuktian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat sisi lain dari perjuangan pelajar Cina dalam mengejar kesuksesan yang menodai semangat mulia ujian Gaokao.

Better Days (少年的你) is a film adaptation of the novel In His Youth, In Her Beauty (少 年的你,如此美丽) by Jiu Yuexi which was released on October 25, 2019. This film is about a final year high school student named Chennian. who was the victim of bullying from Weilai, Luoting, and Xumiao in preparation for the Gaokao exam. Chennian became a victim of bullying because she was a tough opponent in the Gaokao exam. Weilai is a bully who is described as a young generation of China who is trying to achieve success in her youth in taking the Gaokao exam. This study aims to analyze the characterization of Weilai as a representation of the Chinese young generation in preparation for taking the Gaokao exam. The method used is a qualitative method. The results showed that there was a relationship between Gaokao test pressure and Weilai's characterization. This can be seen through the three relationships between Weilai and friends. With this evidence, it can be concluded that there is another side to the struggle of Chinese students in pursuing success that tarnishes the noble spirit of the Gaokao exam."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Kuyper, Eric de
Nijmegen: SUN, 1991
BLD 839.36 KUY t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kim Jin Hui
"ABSTRAK
Kesalahpahaman tentang stereotip model minoritas di dalam masyarakat Amerika masih menggambarkan orang-orang Asia-Amerika memiliki pendidikan dan pendapatan lebih tinggi, penurut, pekerja keras dan kaya raya. Banyak penelitian menyatakan bahwa stereotip model minoritas ini membawa efek negatif bagi beberapa kelompok Asia-Amerika. Better Luck Tomorrow 2012 adalah sebuah film yang menceritakan empat remaja yang digambarkan dengan stereotip orang Asia yang ambisius dengan menggunakan kejahatan untuk mencapai tujuan dan keinginan mereka untuk sukses. Menggunakan analisis karakter, makalah ini akan membahas stereotip minoritas model orang-orang Asia Amerika, pematahan stereotip model minoritas, dan kerumitan dikotomi kebaikan melawan kejahatan. Makalah ini berargumen bahwa stereotip hanya bersifat dangkal, dan tidak mewakili karakteristik mereka secara keseluruhan.

ABSTRACT
The misconception of model minority stereotype within the American community still portrays Asian American as having higher education and income, submissive, hardworking and wealthy. According to many research, these stereotypes cause distinctly negative effects for some Asian American group. Better Luck Tomorrow 2012 is a film which explores the four teens as a stereotypical Asian overachiever using some crimes to achieve their goal and desire for success. Using character analysis, this paper will discuss the Asian American rsquo s stereotypes of model minority, the breaking of the model minority stereotypes, and ultimately complicating the dichotomy of good versus evil. This paper argues that the stereotypes are just superficial, and it does not represent their overall characteristics. "
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Dwiki Armani
"Film dengan genre animasi memiliki daya tarik tersendiri. Film animasi dapat merepresentasikan unsur kebudayaan suatu bangsa dengan grafis yang beragam dan menarik. Salah satu film yang merepresentasikan budaya Cina antara lain adalah Film Turning Red '青春变形记' (Qīngchūn biànxíng jì) (2020). Representasi budaya Cina dalam film Turning Red menampilkan unsur-unsur ajaran Konfusianisme dalam hubungan keluarga. Konfusianisme merupakan salah satu unsur kebudayaan Cina yang berisi falsafah hidup bagi etnis Cina baik yang tinggal di daratan Cina, maupun di luar daratan Cina. Dalam Konfusianisme terdapat konsep harmonisasi sebagai unsur bijak manusia antara lain Ren 仁 (kemanusiaan), Yi 義 (kebajikan/keadilan), Li 礼 (etika), Zhi 知 (pengetahuan), Xin 信 (integritas), Zhong 忠 (kesetiaan), 孝 (Xiào) (bakti kepada orang tua). Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana representasi Xiao pada film animasi berjudul Turning Red melalui penokohan Meilin Lee, Ming Lee, dan Wu. Melalui metode kualitatif, penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana bentuk representasi konsep Xiao yang ditunjukan pada film Turning Red melalui adegan tokoh-tokoh pada film. Melalui pendekatan deskriptif, penelitian ini menemukan bahwa konsep Xiao merupakan faktor penting dalam membangun alur dan penokohan dalam film ini.

Films with the animation genre have their own charm. Animated films can represent elements of a nation's culture with diverse and attractive graphics. One of the films that represents Chinese culture is Turning Red '青春变形记' (Qīngchūn biànxíng jì) (2020).The representation of Chinese culture in the film Turning Red displays elements of Confucianism in family relationships. Confucianism is one of the elements of Chinese culture which contains a philosophy of life for ethnic Chinese both living in mainland China and outside mainland China. In Confucianism there is the concept of harmonization as a wise human element, including Ren 仁 (humanity), Yi 義 (virtue/justice), Li 礼 (ethics), Zhi 知 (knowledge), Xin 信 (integrity), Zhong 忠 (loyalty), 孝 (Xiào) (filial piety). This study intends to find out how Xiao is represented in the animated film Turning Red through the characterizations of Meilin Lee, Ming Lee, and Wu. Through qualitative methods, this study will reveal how the form of representation of Xiao's concept is shown in the film Turning Red through the scenes of the characters in the film. Through a descriptive approach, this research finds that Xiao's concept is an important factor in developing the plot and characterizations in this film."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Hafizhah Indriyani Riyanto
"Asian Americans have been portrayed in a stereotypical light in numerous genres of Hollywood films including romantic comedy (romcom). Always Be My Maybe (2019) sheds a different light on Asian American representation in the romcom genre, which has been dominated by stories of white characters. Drawing on the specific trope in romcom namely the ‘slacker-striver romance’ and Asian American representation in films, this article argues that the slacker striver romance consequently affects Asian American representation in Always Be My Maybe (2019). Using the cinematic analysis method, this paper suggests that the film battles the model minority myth which expects Asian Americans to be successful, and it contests the lotus blossom stereotype which paints Asian American women as subservient. Furthermore, the evidence concludes that the film criticizes the slacker-striver romance’s usage of the woman as ‘tools’ to help the man grow up and emphasizes the importance of mutual support as well as understanding in a relationship. Therefore, Always Be My Maybe (2019) provides a distinct approach in representing Asian Americans and their journey in finding love with the light-hearted tone of a romantic comedy.

Orang-orang Asia Amerika telah direpresentasikan dengan stereotip dalam berbagai genre film Hollywood termasuk komedi romantis (romcom). Film Always Be My Maybe (2019) menyoroti representasi Asia Amerika dalam genre romcom, yang umumnya didominasi oleh cerita karakter kulit putih. Menggunakan salah satu trope dalam genre romcom yaitu ‘slacker-striver romance’ dan representasi Asian Amerika untuk menganalisis film Always Be My Maybe (2019), artikel ini berpendapat bahwa trope slacker-striver romance mempengaruhi representasi karakter Asia Amerika dalam film ini. Melalui metode analisis sinematik, kajian ini menunjukkan bahwa film tersebut menyanggah mitos model minoritas yang mengharapkan kesukseskan orang Asia Amerika serta menentang stereotip lotus blossom yang menggambarkan wanita Asia Amerika selalu tunduk. Lebih jauh, bukti yang dipresentasikan dalam studi ini menyimpulkan bahwa film ini mengkritik bagaimana trope slacker-striver romance menggunakan karakter-karakter wanita sebagai ‘alat’ untuk membantu karakter-karakter pria tumbuh dewasa dan menekankan pentingnya dukungan serta pengertian yang seimbang dalam satu hubungan. Oleh karena itu, film Always Be My Maybe (2019) mengajukan pendekatan tersendiri dalam merepresentasikan orang-orang Asia Amerika dan perjalanan cinta mereka dengan nuansa komedi romantis yang ringan. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rafina Diaswari
"ABSTRAK
Dalam film Le Fabuleux Destin d rsquo;Am lie Poulain, penyajian warna dilakukan secara berulang pada setiap sekuennya. Penyajian warna ini mengiringi kemunculan serta kondisi emosional dari tokoh utama, yaitu Am lie. Warna ditempatkan tidak hanya pada latar saja tetapi juga pada kostum Am lie. Tulisan ini membahas hubungan antara kemunculan warna dalam film dan penokohan tokoh utama. Hasil analisis menunjukkan bahwa warna memiliki fungsi representatif yang berarti bahwa warna dapat mewakili emosi dari tokoh utama.
ABSTRACT

In Le Fabuleux Destin d rsquo Am lie Poulain, the presentation of color is repeated on each of its sequences. This presentation of color accompanies the appearance as well as the emotional state of the main character, Am lie. Color placed not only in the background but also on Am lie rsquo s costumes. This paper discusses the relation between the appearance of colors in the film and characterization of the main character. The result shows that color has a representative function, which means that color can represent the emotions of the main character."
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Stam, Robert
New York: Blackwell, 2000
791.43 Sta f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Zuhdi Sahrul Ramadhan
"Artikel ini membahas tentang upaya dari sineas film nasional untuk meningkatkan kualitas dari film yang tayang di bioskop Jakarta pada tahun 1950 hingga 1965. Film Indonesia pada tahun 1950 memiliki permasalahan terhadap rendahnya kualitas film nasional yang ditayangkan. Rendahnya kualitas film nasional dilatar belakangi oleh peralatan produksi yang masih sederhana, kurangnya sumber daya manusia yang berpengalaman dalam film, kurangnya promosi terhadap film dan kurangnya kerjasama antara sineas serta pemerintah untuk membangun citra film nasional. Contoh permasalahan terhadap kualitas film adalah sinematografi dan alur cerita yang kurang baik. Rendahnya kualitas film Indonesia mendorong terjadinya dominasi terhadap film-film impor di bioskop besar Jakarta dan menarik minat penonton terhadap film impor seperti film Hollywood, India dan Cina yang tayang di bioskop kelas I dan II. Merasa berada di posisi yang sulit karena film nasional berada di bioskop kelas II dan III dengan target pasaran yang masih rendah, beberapa sineas Indonesia mulai berupaya untuk meningkatkan kualitas film yang mereka produksi. Upaya tersebut berupa revitalisasi terhadap produksi, promosi dan penayangan film, membangun kerjasama antar sineas dalam menyelenggarakan acara apresiasi Festival Film Indonesia. Upaya tersebut kemudian berhasil membawa dampak yang cukup besar, seperti masuknya film Lewat Djam Malam, Harimau Tjampa dan Tarmina kedalam Festival Film Asia Tenggara. Artikel ini disusun menggunakan metode sejarah, dengan pengumpulan data berupa arsip, surat kabar sezaman, buku dan jurnal artikel, yang diperoleh melalui Sinematek Indonesia, Perpustakaan Nasional dan melalui arsip online.

This article discusses the efforts of the national film sineas to intensify the quality of films shown in Jakarta cinemas from 1950 to 1965. The Indonesian movie in 1950 had problems with the low quality of national movies being screened. The low quality of national movies is caused by simple production equipment, lack of experienced human resources in film, lack of promotion of films and lack of cooperation between filmmakers and the government to build a national movies image. Examples of problems with movie quality are poor cinematography and storylines. The low quality of Indonesian movies encourages the dominance of imported movies in big cinemas of Jakarta and attracts audiences' interest in imported movies such as Hollywood, Indian and Chinese movies that are shown in class I and II cinemas. Feels that they are in a difficult position because national movies are in class II and III cinemas with a low target market, several Indonesian filmmakers have begun to try to improve the quality of the movies they produce. These efforts are in the form of revitalizing movies production, promotion, screening and building cooperation between filmmakers in organizing the Indonesian Film Festival appreciation event. These efforts then succeeded in having a considerable impact, such as the inclusion of the movies Through Djam Malam, Harimau Tjampa and Tarmina into the Southeast Asian Film Festival. This article was compiled using the historical method, with data collection in the form of archives, contemporary newspapers, books and journal articles, which were obtained through Sinematek Indonesia, the National Library and online archives."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ribka Sangianglili
"Skripsi ini menganalisis dekonstruksi yang terjadi dalam film animasi bergenre superhero, Megamind. Melalui perbandingan antara film ini dengan film-film superhero klasik, diperoleh hasil bahwa film ini telah medekonstruksi konvensi cerita superhero dalam aspek penokohan, alur cerita, dan sudut pandang. Namun, melalui pengkajian postkolonialisme dan gender, upaya dekonstruksi dalam film ini mengandung dualisme. Pada satu sisi, upaya tersebut terlihat telah melawan supremasi kulit putih serta nilai maskulinitas dan femininitas konvensional yang kerap kali muncul dalam film superhero pada umumnya. Tapi, di sisi lain, terjadi ambivalensi dalam upaya dekonstruksi tersebut karena pada akhirnya malah menekankan pola-pola tersebut. Lebih lanjut, dekonstruksi tersebut ternyata bertujuan untuk merekonstruksi konsep hero yang berbeda. Melalui tokoh Megamind, terdapat beberapa hal yang berusaha ditekankan yaitu proses untuk menjadi hero dan kekuatan yang tidak sekedar mengandalkan fisik.

This undergraduate thesis analyses the deconstruction which happens in Megamind, an animated superhero movie. By comparing this movie and several classic superhero movies, it can be concluded that Megamind has changed the basic convention of superhero stories through its characters, plot, and point of view. However, there is a dualism meaning in the deconstruction. On one hand, this movie seems to oppose the white supremacy, and also the conventional masculinities and femininities which usually can be seen in superhero movies in general. On the other hand, it also confirms those values again. Furthermore, the movie reconstructs different concept of hero as the result of the ambivalence in the deconstruction. Megamind shows some hero's qualities that rarely appear in the classic superhero movies such as the process to be a hero and other kind of powers beside the physical power."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43374
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andriadi
"ABSTRAK
Degradasi apresiasi terhadap film Western mutakhir melatarbelakangi penelitian ini. Para produser film mencoba merevitalisasi elemen film Western agar menghasilkan karya yang lebih menarik dengan atmosfer yang berbeda. Penelitian ini menelaah invensi dan interaksi budaya melalui eksplorasi unsur-unsur eksternal yang menyebabkan perubahan pada formula genre Western dalam film Wild Wild West (1999) dan Django Unchained (2012). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi pembalikan tipe struktur estetika dalam kedua film tersebut. Pertama, latar karya menunjukkan ruang yang semakin modern dan cenderung mengurangi ruang kebudayaan liar; kedua, ikon persenjataan dan transportasi yang digunakan oleh para tokoh semakin modern; ketiga, tokoh hero yang ditampilkan semakin marjinal; keempat, ide cerita semakin variatif dan dinamis; kelima, situasi dan pola tindakan yang disuguhkan menunjukkan formula kekerasan yang semakin brutal. Evolusi yang terjadi pada kedua film teranalisis dipengaruhi oleh politisasi produksi, perubahan jaman, dan perubahan selera penonton/masyarakat."
Ambon: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016
400 JIKKT 4:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>