Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 197564 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Radius Kusuma
"Latar belakang: Kasus COVID-19 anak lebih jarang ditemukan daripada dewasa. Meskipun demikian, pada dasarnya anak tetap dapat terinfeksi SARS-CoV-2 dan turut berperan dalam transmisi penyakit. Pemeriksaan reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) merupakan baku emas untuk mendiagnosis COVID-19 namun memerlukan waktu relatif lama untuk memperoleh hasil. Radiografi toraks memiliki potensi menjadi modalitas diagnostik COVID-19 di masa pandemi. Sampai saat ini, belum ada penelitian terhadap penggunaan kategori gambaran radiografi toraks untuk menunjang diagnosis COVID-19 pada pasien anak.
Metode: Penelitian ini dilaksanakan dengan desain potong lintang menggunakan data sekunder berupa hasil pemeriksaan radiografi toraks dan hasil RT-PCR terhadap 88 pasien anak di RSUPN Cipto Mangunkusumo mulai dari periode April 2020 hingga Oktober 2021, yang terdiri dari 22 pasien pneumonia COVID-19 dan 66 pasien pneumonia bukan COVID-19.
Hasil: Analisis kappa Cohen untuk menilai kesesuaian antara kategori radiografi toraks (tipikal dan non-tipikal) dan hasil RT-PCR (pneumonia COVID-19 dan pneumonia bukan COVID-19) menunjukkan hasil nilai kappa ialah 0,22 (p = 0,033) yang mengindikasikan tingkat kesesuaian lemah namun bermakna.
Simpulan: Tidak terdapat gambaran radiografi toraks yang khas pada anak dengan pneumonia COVID-19. Tidak terdapat kesesuaian yang baik antara kategori radiografi toraks dan hasil RT-PCR pada anak dengan pneumonia COVID-19.

Background: COVID-19 pneumonia is rare in children. However, children may still be infected and transmit disease. RT-PCR is the gold standard in diagnosing COVID-19, although results may be delayed. Chest radiograph may have role in diagnosing COVID- 19. To dates, literature in chest radiograph categorization in diagnosing COVID-19 in children has yet to be found.
Method: This study used secondary data of chest radiographs and RT-PCR result from 88 children in RSUPN Cipto Mangunkusumo from April 2020 to October 2021.
Result: Kappa Cohen analysis of agreement between chest radiographic category and RT-PCR result showed kappa score of 0,22 (p = 0,033), indicating a weak agreement yet statistically significant.
Conclusion: There is no pathognomonic chest radiograph findings of COVID-19 pneumonia in children. Agreement between chest radiographic category and RT-PCR testing in paediatric COVID-19 pneumonia is poor.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Wulan Sari
"Latar belakang: Infeksi COVID-19 menyebabkan terjadinya pandemik diseluruh dunia. Pemeriksaan rRT-PCR merupakan pemeriksaan yang di rekomendasikan dari WHO untuk penegakkan diagnosis dari COVID-19. Faktor-faktor yang mempengaruhi akurasi dari pemeriksaan rRT-PCR untuk diagnosis COVID-19, membuat pemeriksaan penunjang berupa radiografi toraks dan CT-scan toraks juga sangat dibutuhkan guna membantu diagnosis COVID-19. CT-scan toraks lebih sensitif untuk membantu mengarahkan diagnosis COVID-19 namun kurang praktis dalam hal desinfeksi dan dekontaminasi serta transportasi pasien ke ruang CT-scan, dan limitasi ketersediaannya pada fasilitas kesehatan. Di sisi lain, radiografi toraks dengan sensitifitas yang lebih rendah dibandingkan CT-scan, namun memiliki beberapa keunggulan terkait ketersediaan alat serta tidak tidak terkendala masalah transportasi dan dekontaminasi. Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder pemeriksaan radiografi dan CT-scan toraks pasien-pasien dengan hasil rRT-PCR positif yang tersedia di PACS Departemen Radiologi RSCM mulai bulan Maret 2020 hingga Juli 2021, dengan total 41 sampel. Kemudian dilakukan analisis dengan konkordansi dan Kohen Kappa. Hasil: Pada analisis Kappa Cohen, terdapat kesesuaian sedang (0,55) antara penebalan pleura, kesesuaian lemah antara gambaran opasitas ground glass (GGO) (0,32), konsolidasi (0,38), efusi pleura (0,36) , distribusi lesi perifer (0,39), fokus lesi yang multifokal (0,32), zona paru yang terkena (atas 0,32, tengah 0,24, bawah 0,36), dan keterlibatan paru bilateral (0,27) serta tidak terdapat kesesuaian antara gambaran opasitas retikuler (0,06) dan lesi sentral (-0,10) pada radiografi dan CT-scan toraks. Pada analisis Konkordansi terdapat kesesuaian kuat antara gambaran GGO(80,5%), penebalan pleura (90,2%), efusi pleura (92,6%), lokasi lesi di perifer(82,9%), kesesuaian sedang antara konsolidasi (68,2%), lesi multifokal (73,1%), Zona bawah(78%), zona tengah (65,8%) dan keterlibatan paru bilateral (70,7%) dan lemah antara lesi di zona bawah (63,4%) serta tidak ada konkordansi antara opasitas retikuler (48,7%) dan lesi di sentral (51,2%) pada radiografi dan CT-scan toraks.

Background: COVID-19 infection causes a worldwide pandemic. The rRT-PCR examination is recommended by WHO for the diagnosis of COVID-19. Factors that affect the accuracy of the rRT-PCR examination for the diagnosis of COVID-19, making supporting examinations of chest radiography and chest CT-scan also needed to help diagnose the COVID-19 infection. Chest CT scan is more sensitive to help direct the diagnosis of COVID-19 but is less practical in terms of disinfection and decontamination and transportation of patients to CT-scan rooms, and limited availability in health facilities. On the other hand, chest radiography has a lower sensitivity than CT scan, but has several advantages related to the availability of tools and transportation and decontamination problems. Methods: This study uses secondary data from chest radiographic and chest CT-scans examinations of patients with positive rRT-PCR results available at the PACS of the RSCM Radiology Department from March 2020 to July 2021, with a total of 41 samples. The analysis was carried out by using Kappa Cohen and concordance. Results: In Kappa Cohen's analysis, there was moderate agreement (0.55) between pleural thickening, weak agreement between ground glass opacity (GGO) images (0.32), consolidation (0.38), pleural effusion (0.36), lesion distribution peripheral (0.39), multifocal lesion foci (0.32), affected lung zones (upper 0.32, middle 0.24, below 0.36), and bilateral lung involvement (0.27) and no agreement between reticular opacity (0.06) and central lesion (-0.10) on chest radiograph and CT scan. In the Concordance analysis there was a strong concordance between the appearance of GGO (80.5%), pleural thickening (90.2%), pleural effusion (92.6%), the location of the lesion in the periphery (82.9%), moderate concordance between consolidation ( 68.2%), multifocal lesions (73.1%), lower zone (78%), middle zone (65.8%) and bilateral lung involvement (70.7%) and weak between lesions in the lower zone (63, 4%) and there was no concordance between reticular opacities (48.7%) and central lesions (51.2%) on chest radiographs and CT scans. Conclusion: From all the lesion assessments on chest radiographs and chest CT-scans, reticular opacity lession and the central location of the lesion had no agreement between chest radiographic findings and chest CT scan. The other lesions had moderate to weak agreement on chest radiographs and chest CT scans"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cynthia Ariani
"ABSTRAK
Latar belakang: Berdasarkan Jakarta Cancer Registry tahun 2012, kanker kolorektal merupakan kanker terbanyak keempat pada wanita dan kedua pada pria di Indonesia. Penelitian menggunakan mRNA fekal sebagai penanda kanker kolorektal bersifat non invasif namun cukup representatif menggambarkan kelainan pada usus. Tujuan: Mengevaluasi peran pemeriksaan mRNA CEA feses pada pasien terduga keganasan kolorektal menggunakan nested RT-PCR. Metode: Uji diagnostik ini melibatkan 93 pasien terduga keganasan kolorektal yang ditentukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik oleh klinisi. Ekstraksi mRNA CEA fekal menggunakan metode Kanaoka dan sintesis DNA menggunakan metode cyclic temperature reverse transcription 2 CTRT-2 . Pemeriksaan mRNA CEA menggunakan metode nested RT-PCR. Hasil: mRNA CEA fekal positif ditemukan pada 22 pasien 23,7 . Penelitian ini mendapatkan sensitivitas 51,61 , spesifisitas 90,32 , nilai prediksi positif 72,73 dan nilai prediksi negatif 78,87 . Meskipun sensitivitas yang diperoleh rendah tetapi spesifisitas mRNA CEA fekal yang tinggi dapat mengkonfirmasi diagnosis lesi neoplastik pada pasien terduga keganasan kolorektal. Kesimpulan: Pemeriksaan mRNA CEA fekal tidak dapat digunakan sebagai penanda tunggal dalam skrining keganasan kolorektal. Pemeriksaan mRNA CEA fekal perlu dikombinasikan bersama penanda diagnostik lainnya agar dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan. Kata kunci: carcinoembryonic antigen; penanda fekal; nested
Background Based on the 2012 Jakarta Cancer Registry, colorectal cancer is the fourth of most common cancer in women and the second in men. Fecal carcinoembryonic antigen mRNA assay is a non invasive method, yet representatively describes abnormalities of the intestine. Objective To evaluate the role of fecal mRNA CEA assay in suspected colorectal cancer patients using nested RT PCR. Methods The diagnostic study included 93 suspected colorectal cancer patients which were determined by anamnesis and physical examination from the clinician. The fecal mRNA were extracted by Kanaoka method and cDNA were synthesized with cyclic temperature reverse transcription 2 CTRT 2 method. The fecal mRNA CEA assay used nested RT PCR method. Results Positive fecal mRNA CEA was detected in 22 patients 23.7 . Sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value were 51.61 , 90.32 , 72.73 , and 78.87 respectively. This study had low sensitivity but with high specificity. Therefore, fecal mRNA CEA could be used as a confirmatory assay. Conclusions It was not recommended to use fecal mRNA CEA as a single marker in colorectal cancer screening. A fecal mRNA CEA assay should be combined with other diagnostic markers in order to improve the sensitivity and specificity of the assay. Keywords carcinoembryonic antigen fecal marker nested "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andito Mohammad Wibisono
"Pendahuluan: COVID-19 telah dilaporkan menyebabkan berbagai gejala, termasuk gejala pernapasan dan gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, dan diare. Standar emas untuk pengujian COVID-19 adalah RT-PCR menggunakan koleksi swab nasofaring. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengambilan swab nasofaring memiliki beberapa keterbatasan, terutama untuk mendeteksi gejala gastrointestinal. Salah satu variabel dalam pengujian RT-PCR adalah Nilai CT yang diketahui dapat meningkatkan spesifisitas pengujian. Namun, belum ada penelitian yang menghubungkan Nilai CT pasien dengan pengambilan sampel swab anal dengan gejala gastrointestinal terkait COVID-19. Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik, khususnya penelitian potong lintang. Data sekunder diperoleh dan diolah yang berisi data pribadi, pekerjaan, dan hasil CT Value. Analisis lebih lanjut dilakukan pada hubungan antara gejala gastrointestinal dan tingkat Nilai CT pada swab anal. Hasil: Distribusi tingkat Nilai CT responden berdasarkan cut off >25 untuk tinggi, dan <25 untuk rendah dan sedang. Dari 37 subjek, 1 orang (2,7%) memiliki Nilai CT rendah dan 36 pasien memiliki Nilai CT tinggi. Distribusi gejala subjek didapatkan 15 pasien (40,5%) tidak mengalami gejala gastrointestinal dan sebanyak 22 pasien (59,5%) mengalami gejala gastrointestinal. Gejala gastrointestinal umum yang dilaporkan pada pasien meliputi: mual (54,1%), muntah (18,9%), sakit perut (16,2%) dan diare (13,5%). Namun, tidak ada hubungan yang signifikan (p>0,05) antara Nilai CT pada pengambilan anal swab dengan gejala gastrointestinal pada pasien COVID-19. Kesimpulan: Hubungan antara Nilai CT pada pengambilan anal swab dengan gejala gastrointestinal pada pasien COVID-19 tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Penelitian lebih lanjut tentang faktor risiko yang mempengaruhi hasil nilai CT direkomendasikan.

Introduction: COVID-19 has been reported to cause a range of symptoms, including respiratory symptoms and gastrointestinal symptoms such as nausea, vomiting, and diarrhea. The gold standard for COVID-19 testing is RT-PCR using nasopharyngeal swab collection. However, several studies have shown that taking nasopharyngeal swabs have some limitation, particularly to detect gastrointestinal symptoms. One of the variables in RT-PCR testing is CT Value, which known can increase specifity of the test. However, there has been no study linking the CT Value of patients with anal swab sampling with COVID-19 related gastrointestinal symptoms. Methods: This study used an analytical research design, particularly a cross-sectional study. Secondary data were obtained and processed which contained personal data, work, and CT Value results. Further analysis was conducted on the relationship between gastrointestinal symptoms and the level of CT Value on anal swabs. Result: The distribution of respondents' CT Value levels were based on a cut off of >25 for high, and <25 for low and moderate. From 37 subjects, 1 person (2.7%) had a low CT Value and 36 patients had a high CT Value. The distribution of the subject's symptoms found 15 patients (40.5%) had no gastrointestinal symptoms and as many as 22 patients (59.5%) had gastrointestinal symptoms. Common gastrointestinal symptoms reported in patients include: nausea (54.1%), vomiting (18.9%), abdominal pain (16.2%) and diarrhea (13.5%). However, there was no significant relationship (p>0.05) between CT Value in anal swab taking and gastrointestinal symptoms in COVID-19 patients. Conclusion: The association between CT Value in anal swab taking and gastrointestinal symptoms in COVID-19 patients did not show a significant relationship. Further research on risk factors affecting the CT value results are recommended"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farhan Maruli
"Ventilator-associated pneumonia VAP punya prevalensi yang tinggi pada pasien pediatric intensive care unit PICU . Gizi lebih overweight dan obesitas dicurigai sebagai salah satu faktor risiko VAP namun hubungannya kurang diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara gizi lebih dan kejadian VAP pada pasien PICU RSCM. Desain studi ini adalah cross-sectional analitik dengan data rekam medis pasien PICU RSCM yang mendapat ventilasi mekanik pada periode 2014 ndash;2016. Pasien dikatakan menderita gizi lebih berdasarkan assessment gizi pada rekam medis atau berdasarkan data antropometri dengan rujukan kriteria WHO atau CDC jika assessment gizi tidak ada. VAP ditentukan berdasarkan diagnosis tertulis pada rekam medis atau adanya gejala dan tanda yang memenuhi kriteria NNIS/CDC. Data tambahan yang diambil antara lain ada tidaknya kondisi immunocompromised, reintubasi, enteral feeding, penggunaan imunosupresan, antibiotik atau profilaksis stress ulcer. Sebanyak 64 pasien diikutsertakan sebagai subjek. Gizi lebih ditemukan pada 12 pasien 18.8 dan VAP pada 12 pasien 18.8 . Hanya satu pasien dengan gizi lebih mengalami VAP. Penelitian ini tidak menemukan hubungan antara gizi lebih dan kejadian VAP pada pasien PICU RSCM two-sided p = 0.436 dengan uji Fisher , mungkin karena sampel terlalu kecil. Penelitian prospektif dengan sampel yang cukup dibutuhkan untuk mengetahui hubungan antara gizi lebih dan VAP.

Ventilator associated pneumonia VAP is prevalent among pediatric intensive care unit PICU patients. Overnutrition overweight and obesity is a candidate for VAP risk factor but research into the link is wanting. This study aimed to investigate the association between overnutrition and VAP among PICU patients in RSCM. Medical records of RSCM PICU patients undergoing mechanical ventilation between 2014 and 2016 were used in this analytic cross sectional study. Overnutrition was established based on the nutritional assessment on the patient rsquo s medical record or anthropometric data using WHO or CDC criteria if the former was not available. VAP was established based on recorded diagnosis or the presence of signs and symptoms meeting the NNIS CDC criteria. Additional data include whether the patient was immunocompromised, reintubation, enteral feeding, use of immunosuppressants, antibiotics and stress ulcer prophylaxis. A total of 64 patients was included as subjects. Overnutrition was identified in 12 patients 18.8 and VAP in 12 patients 18.8 . Only one overnourished patient had VAP. This study found no association between overnutrition and VAP two sided p 0.436 by Fisher rsquo s test , probably because the sample was too small. Prospective studies with adequate sample sizes are needed to understand the link between overnutrition and VAP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhilah Muhammad Yanuar Abdurrahman
"Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan bawah yang dapat disebabkan oleh kerusakan lingkungan fisik akibat dampak urbanisasi. Intervensi manajemen jalan nafas dengan mengajarkan anak napas dalam merupakan intervensi yang bertujuan untuk mengatasi masalah hambatan pertukaran gas. Penulisan karya ilmiah ini bertujuan mendeskripsikan asuhan keperawatan pada anak dengan Pneumonia dan menganalisis penerapan intervensi manajemen jalan napas melalui napas dalam. Hasil karya ilmiah ini menunjukkan bahwa intervensi manajemen jalan napas melalui teknik napas dalam sangat efektif dilakukan pada anak dengan Pneumonia dibuktikan dengan  status pernapasan dan status oksigenasi anak yang membaik. Rekomendasi karya ilmiah ini adalah penerapan intervensi manajemen jalan napas pada anak dengan Pneumonia secara teratur dan terencana di ruang rawat anak di rumah sakit.

Pneumonia is a lower respiratory tract infection that can be triggered by damage to the physical environment due to the impact of urbanization. An airway management intervention by teaching children to conduct deep breathe is an intervention aimed at overcoming the problem of gas exchange. This paper aims to describe nursing care in children with Pneumonia and analyze the application of airway management interventions through deep breathing. The results of deep breathing implementation show that airway management intervention through deep breathing techniques was very effective in children with Pneumonia as evidenced by respiratory status and improved oxygenation status of children. The recommendation is that to implement airway management interventions in children with Pneumonia regulary and planned."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fahriyani
"Latar belakang : penegakkan diagnosis TB paru pada pasien HIV dapat dilakukan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan klinis. Rekomendasi WHO 2007, memperbolehkan penegakan diagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dengan dan tanpa melalui pemeriksaan mikrobiologis. Penelitian ini bertujuan mendapatkan perbedaan karakteristik gambaran radiografi toraks pasien HIV dengan TB paru yang didiagnosis berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan klinis.
Metode : Penelitian ini adalah comparative cross sectional study. Subyek penelitian diambil secara consecutive dan dipilih berdasarkan catatan hasil pemeriksaan BTA sputum, kultur, Genexpert®, CD4+, dan radiografi toraks. Subyek penelitian dikelompokkan menjadi mikrobiologis dan klinis. Dilakukan pembacaan ulang radiografi toraks.
Hasil : gambaran radiografi toraks dengan frekuensi terbanyak pada kelompok diagnosis mikrobiologis adalah infiltrat/konsolidasi, fibroinfiltrat, limfadenopati, kavitas dan kalsifikasi. Sisanya efusi pleura, milier, fibrosis, bronkiektasis, pneumotoraks dan normal. Pada kelompok diagnosis klinis, gambaran radiografi toraks dengan frekuensi terbanyak adalah infiltrat/konsolidasi, kavitas, limfadenopati, fibroinfiltrat dan sisanya kalsifikasi, efusi pleura, milier, fibrosis, bronkiektasis, dan normal. Terdapat perbedaan bermakna karakteristik gambaran radiografi toraks fibroinfiltrat pada kelompok diagnosis mikrobiologis dan klinis. Frekuensi fibroinfiltrat terbanyak adalah di kelompok mikrobiologis dengan sebaran lokasi tersering di lapangan atas paru.
Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna karakteristik gambaran radiografi toraks fibroinfiltrat pada kelompok diagnosis mikrobiologis dan klinis dengan lokasi tersering di lapangan atas paru.

Background : To diagnose Pulmonary Tuberculosis in HIV patient can be done based on microbiology examination and clinically. WHO 2007 recommendation, allowing diagnosis based on clinical examination with and without microbiological examination. This study aims to obtain the different characteristics of chest radiographs of HIV patients with pulmonary TB were diagnosed based on clinical and microbiological examination.
Methods : This study is a comparative cross-sectional study. Subjects were taken consecutively and selected based on the results of sputum smear examination, culture, Genexpert®, CD4+, and chest x-ray. The study subjects were grouped into microbiological and clinical. Then we do expertise review.
Results : The most chest x-ray finding in the microbiological group is infiltrates/ consolidation. Following by fibroinfiltrat, lymphadenopathy, cavities and calcification. The rest are pleural effusion, miliary, fibrosis, bronchiectasis, pneumothorax and normal . In the group of clinical diagnosis, the highest frequency chest x-ray finding is infiltrates/ consolidation. Following by cavities, lymphadenopathy, fibroinfiltrat and the rest are calcification, pleural effusion, miliary, fibrosis, bronchiectasis and normal. There is significant differences of fibroinfiltrat on microbiological and clinical diagnosis groups. The highest frequency of fibroinfiltrat is in the microbiological group with the most common sites in the upper of the lung field.
Conclusions : There is significant differences of fibroinfiltrat on microbiological and clinical diagnosis groups with the most common sites in the upper lung field.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin Suharlim
"Latar belakang: Pemeriksaan radiografi secara bedside sering dilakukan pada pasien non-transportable. Literatur dahulu menyatakan jarak 2 meter merupakan jarak yang aman, dimana radiasi sekunder teratenuasikan sesuai radiasi latar. Namun pada observasi dan studi didapatkan petugas medis cenderung meninggalkan ruangan, yang dapat mengganggu pelayanan pada pasien dan menyebabkan terhentinya prosedur yang sedang berjalan. Sejauh penelusuran data tidak ditemukan data yang mengukur dosis radiasi sekunder di ruang perawatan intensif, yang dilakukan pada jarak 2 meter di RSUPD Cipto Mangunkusumo maupun Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan data primer berupa 42 radiografi toraks, dilakukan di ruang perawatan intensif (ICU) RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Juli 2019 hingga April 2021. Diperoleh juga data sekunder berupa jumlah pemeriksaan radiografi pada sistem Picture archiving and communication system (PACS) dengan lokasi di ruang perawatan intensif selama tahun 2017 hingga 2019.
Hasil: Rerata dosis radiasi sekunder untuk pemeriksaan radiografi toraks pada jarak 2 meter di ICU adalah 0,323 (± 0,192) μSv, dengan estimasi radiasi sekunder kumulatif selama 3 tahun dalam rentang 0,40 – 0,44 mSv per tahun. Status gizi, kVp, mAs, dan ketebalan tubuh memiliki hubungan bermakna pada uji bivariat terhadap dosis radiasi sekunder (p < 0,05), dengan variabel akhir setelah uji multivariat adalah mAs (p < 0,001).
Simpulan: Estimasi dosis radiasi sekunder kumulatif untuk petugas medis di ICU lebih kecil dibandingkan nilai batas dosis masyarakat umum. Faktor yang paling menentukan dosis radiasi sekunder pada jarak 2 meter adalah faktor eksposi yaitu mAs yang ditentukan oleh radiografer.

Background: Bedside radiography often done to non-transportable patients. Previous studies has shown that 2 meter is a safe distance, at which secondary radiation would be attenuated to background level. Yet from observation and studies, medical personel tend to leave the room, which could disrupt care to patients and cause disturb ongoing procedure. Data tracing done by the researcher has shown no other study which measure secondary dose radiation in intensive care unit, at a distance of 2 meters, in RSUPN Cipto Mangunkusumo or Indonesia.
Method: This study collected primary data of 42 chest radiograph, done in intensive care unit of RSUPN Cipto Mangunkusumo from July 2019 to April 2021. Secondary data was also collected in form of number or radiograph from Picture archiving and communication system with location of intensive care unit from year 2017 to 2019.
Result: Mean secondary radiation dose for chest radiograph at a distance of 2 meters is 0,323 (± 0,192) μSv, with cumulative secondary radiation dose estimation of 3 years in range of 0,40 – 0,44 mSv per annum. Nutritional status, kVp, mAs, and chest thickness have statistically significant correlation in bivariate analysis to secondary radiation dose (p < 0,05), with final variable after multivariate analysis of mAs (p < 0,001).
Conclusion: Cumulative secondary radiation dose for medical personel in ICU is less than dose limit for public exposure. The most significant variable to determine secondary radiation dose in 2 meters distance is exposure factor which is mAs that is determined by operator.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tubagus Mohamad Kurniadi
"Latar Belakang. SARS-CoV-2 menimbulkan beban yang sangat besar pada masyarakat, sistem ekonomi dan kesehatan di seluruh dunia. Berbagai langkah diambil untuk mengendalikan penyebarannya. Langkah – langkah tergantung pada diagnosis yang tepat waktu dan akurat dari orang yang terinfeksi virus. Penyebaran COVID-19 yang cepat, deteksi virus yang cepat dan tepat memegang peranan penting untuk mengendalikan infeksi dan membantu pasien untuk mencegah perkembangan penyakit lebih lanjut. Metode real-time reverse transcriptase-PCR (rRT-PCR) sangat dianjurkan untuk deteksi SARS-CoV-2 sebagai uji kualitatif spesifik dan sederhana. Selain metode menggunakan rRT-PCR, telah terdapat metode dengan pendekatan yang berbeda untuk mendeteksi SARS-CoV-2. Salah satu metode tersebut adalah VereCoVTM yang memiliki cara kerja berdasarkan teknik PCR dan hibridisasi, namun performa dari VereCoVTM masih belum diketahui.
Tujuan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kesesuaian dan kaitannya dengan gejala klinis menggunakan uji VereCoVTM dengan rRT-PCR dalam mendeteksi SARS-CoV-2.
Metode. Penelitian ini menggunakan consecutive sampling. Sampel penelitian yaitu sampel swab nasofaring dan orofaring yang diambil kemudian dianalisis di Laboratorium Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Analisis data menggunakan Kappa Cohen. Selanjutnya, dilakukan analisis data kesesuaian hasil pemeriksaan kedua uji pada pasien dengan gejala dan pasien tanpa gejala.
Hasil. Perbedaan positivity rate antara VereCoVTM dan rRT-PCR sebesar 68% menunjukkan bahwa VereCoV™ memberikan hasil negatif palsu. Jika disandingkan terhadap data hasil rRT-PCR, maka ambang batas deteksi VereCoVTM setara dengan nilai Ct<32 atau setara dengan 118 salinan RNA. Tidak dijumpai reaksi silang dengan beberapa mikroorganise. Konsistensi antara kedua uji ditunjukan oleh koefisien Kappa (=0,609). Hal ini menggambarkan kesesuian yang moderate atau sedang. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa kesesuaian kedua pemeriksaan meningkat pada pasien yang bergejala (90%), sebaliknya menurun pada pasien tanpa gejala (76,5%). VereCoVTM lebih sesuai digunakan untuk mendeteksi SARS-CoV-2 pada pasien yang bergejala. Hasil negatif pada VereCoVTM tidak dapat mengesampingkan kemungkinan infeksi COVID-19, sehingga perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk mendukung diagnosis yang tepat.
Kesimpulan. VereCoV™ lebih cocok untuk mendeteksi SARS-Cov-2 pada pasien yang bergejala. VereCoVTM tidak menunjukan adanya reaksi silang dengan beberapa mikroorganisme, yang terdapat pada saluran pernapasan.

Background. SARS-CoV-2 places an enormous burden on society, economic systems and health around the world. Various steps were taken to control its spread. These steps depend on timely and accurate diagnosis of the person infected with the virus. The rapid spread of COVID-19, rapid and precise detection of the virus play an important role in controlling infection and helping patients to prevent further disease progression. The real-time reverse transcriptase-PCR (rRT-PCR) method is highly recommended for the detection of SARS-CoV-2 as a simple and specific qualitative test. In addition to the method using rRT-PCR, there have been methods with different approaches to detect SARS-CoV-2. One of these methods is VereCoVTM which has a working method based on PCR and hybridization techniques, but the performance of VereCoVTM is still unknown.
Aim. The aim of the study was to determine the suitability and relation to clinical symptoms using the VereCoVTM test with rRT-PCR in detecting SARS-CoV-2.
Method. This study used consecutive sampling. The samples of the study was swab samples of the nasopharynx and oropharynx which were taken and analyzed at the Clinical Microbiology Laboratory, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia. Data was then analyze using Kappa Cohen. Furthermore, the data analysis of the suitability of the results of the two tests was carried out in patients with symptoms and patients without symptoms.
Results. The difference in positivity rate between VereCoVTM and rRT-PCR of 68% indicates that VereCoV™ gives a false negative result. When compared to the rRT-PCR data, the VereCoVTM detection threshold is equivalent to a Ct value <32 or equivalent to 118 copies of RNA. No cross reactions were found with some microorganisms. Consistency between the two tests is indicated by the Kappa coefficient (= 0.609). This describes a moderate or moderate fit. Further analysis showed that the concordance of the two examinations increased in symptomatic patients (90%), on the contrary decreased in asymptomatic patients (76.5%). VereCoVTM is more suitable for detecting SARS-CoV-2 in symptomatic patients. A negative result on VereCoVTM cannot rule out the possibility of COVID-19 infection, so further tests are needed to support a correct diagnosis.
Summary. VereCoV™ is more suitable for detecting SARS-Cov-2 in symptomatic patients. VereCoVTM did not show any cross-reactivity with some microorganisms, which are present in the respiratory tract.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andry Surandy
"Latar Belakang : Pasien yang terinfeksi COVID-19 sering menunjukkan gejala pencernaan. Dalam beberapa penelitian telah menemukan RNA SARS CoV-2 dalam spesimen faecal pasien yang terinfeksi. Tujuan : Mengetahui nilai RT-PCR faecal dan membandingkannya dengan RT-PCR naso-orofaring sebagai standar emas pada pasien COVID-19. Metode : Penelitian ini adalah studi deskriptif observasional, mendeteksi partikel virus melalui pemeriksaan RT-PCR pada faecal pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok, Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, dan Rumah Sakit Ciputra, Indonesia. Swab naso-oro-orofaringeal dan spesimen feses dikumpulkan untuk deteksi RNA SARS CoV-2. Hasil : Diperoleh 98 sampel. Dalam penelitian ini memiliki nilai sensitifitas yang rendah (38,10%) juga nilai NPV (20,00%). Namun memiliki spesifisitas tinggi (92,86%) juga nilai PPV (96,97%). Kesimpulan : Penelitian ini menunjukkan bahwa hasil positif pada pemeriksaan RT-PCR faecal  sangat baik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis COVID-19. Namun hasil negatif tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan COVID-19. Oleh karena itu, pemeriksaan RT-PCR faecal merupakan tes yang sangat baik sebagai tes konfirmasi COVID-19.  RT-PCR faecal kurang tepat jika digunakan sebagai tes pada awal masuk pasien COVID-19 (screening), RT-PCR swab naso-orofaring masih lebih baik digunakan sebagai standar diagnostik (screening) untuk COVID-19.

Background: Patients infected by COVID-19 also show gastrointestinal.  In some studies have found  SARS CoV-2 RNA in faecal specimens of infected patients. Aims: This study will test the performance of faecal reserve transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) when compared with naso-oropharyngeal swab RT-PCR as the gold standard test in COVID-19. Materials and Methods: This is an observational descriptive study by detection viral particle  by  RT-PCR on faecal from patients which suspected or probable cases of hospitalized COVID-19 infection, conducted in Dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital, Mitra Keluarga Depok Hospital, Mitra Keluarga Kelapa Gading Hospital, and Ciputra Hospital, Indonesia. Naso-oropharyngeal swab and faecal spesimens were collected for RNA SARS CoV-2 detection. Results: We analized 98 subjects. Sensitivity and specificity of faecal were 38,10% and 92,86%, the positive and negatif predictive value were 96,97% and 20,00%. Conclusion: Faecal specimen has low sensitivity value (38.10%) and NPV (20.00%). However, it has a high specificity (92.86%) and PPV (96.97%). Positive results were very well used to help enforce the diagnosis of COVID-19, but negative results cannot be used to exlude COVID-19. This is an excellent test as a confirmation test of COVID-19, but may not be used as an additional test at beginning of diagnostik COVID-19 patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>