Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135658 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Luthfi Setya Hilmawan
"Kebahagiaan atau subjective well-being umumnya dikaitkan dengan emosi positif dan pandangan diri positif dalam kultur individualistik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, tingkat kebahagiaan berdampak pada pengorganisasian konsep emosional positif dan negatif hanya dalam tugas penilaian kondisi diri. Namun, efek kebahagiaan tidak ditemukan pada tugas menilai kondisi sahabat. Sejauh mana temuan ini akan ditemukan dalam masyarakat kolektivistik masih menjadi pertanyaan. Untuk itu, penelitian ini menguji perbedaan pengorganisasian konsep emosional terkait diri dan non-diri di antara orang Indonesia dengan tingkat kebahagiaan dan pandangan diri kultural yang berbeda.
Dua studi affective priming (N = 134) dalam bentuk sequential judgment task (SJT) dilakukan untuk mengukur waktu reaksi ketika peserta menilai kondisi psikologis mereka sendiri (Studi 1) atau kondisi psikologis sahabat (Studi 2) selama dua tahun terakhir.
Studi 1 menunjukkan bahwa tingkat kebahagiaan dan pandangan diri kultural secara signifikan mempengaruhi organisasi konsep emosional. Namun, kedua aspek diri ini tidak secara bersamaan memengaruhi pengorganisasian konsep emosional.
Studi 2 menunjukkan bahwa baik tingkat kebahagiaan atau pandangan diri kultural tidak memengaruhi pengorganisasian konsep emosional tentang sahabat.
Temuan ini menunjukkan universalitas diri-individual (the individual-self), yang unik dan dibentuk oleh self-knowledge, terlepas dari pandangan diri kultural individu. Implikasi teoretis dari temuan penelitian ini akan dibahas dengan menyoroti peran organisasi konsep emosional sebagai strategi adaptif dan perbedaan makna kebahagiaan dan pengalaman emosional negatif dalam masyarakat individualistik dan kolektivistik.

Happiness or subjective well-being is generally associated with positive emotions and a positive self-view in individualistic cultures. A previous study conducted in the United States showed that the effects of happiness on the organization of positive and negative emotional concepts were found only when participants assessed their own conditions. However, the effect of happiness was not found when participants assessed the condition of friends. To what extent these findings would be found in collectivistic societies remains a question. Thus, this thesis examined differences in organization of the representations of self-related and non-self-related emotional concepts among Indonesians with different levels of happiness and cultural self-views.
Two affective priming studies (N = 134) in the form of sequential judgment task (SJT) were conducted to measure reaction times when participants assessed their own psychological condition (Study 1) or the psychological condition of best friends (Study 2) over the past two years.
Study 1 showed that happiness levels and cultural self-views significantly affect the organization of emotional concepts. However, these two aspects of self did not simultaneously affect the organization of emotional concepts.
Study 2 showed that neither happiness level or cultural self-views influence the organization of emotional concepts regarding best friends.
The findings suggest the universality of the individual-self, which is unique and shaped by self-knowledge, regardless of the individual's cultural self-view. The theoretical implications of the findings of this study will be discussed by highlighting the role of emotional concept organization as an adaptive strategy and the differences of the meanings of happiness and negative experiences in individualistic and collectivistic societies.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang peran orangtua dalam mengembangkan kecerdasan ewmosional anak usia Sekolah Dasar (SD). Sampel penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik random sampling dengan besar sampel 380 orang anak usia SD...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nidya Desyanti
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3280
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Sari
"Keserasian dalam hubungan antar manusia, antar kelompok, antar bangsa, dan di dalam suatu masyarakat adalah suatu hal yang perlu dibina dan dikembangkan agar terwujud pribadi-pribadi yang sehat, cerdas, dan kreatif. Umumnya dalam suasana kehidupan serasi, individu-individu berada dalam kondisi mental sehat dan emosi positif. Salah satu hal yang dapat menganggu keserasian dalam hubungan antar manusia, antar kelompok, antar bangsa, dan di dalam suatu masyarakat adalah dialaminya emosi-emosi negatif seperti marah, kecewa, iri, dendam, benci, dan lain-lain, yang bila intensitasnya cukup tinggi dapat menjadi pemicu perilaku maladaptive (Proposal Penelitian Payung SSM).
Penelitian ini adalah merupakan bagian dari penelitian payung. Secara khusus penelitian ini ingin melihat pengalaman emosi marah dan kesiapan aksi pada pria dan wanita suku Aceh serta apakah ada perbedaan antara pengalaman emosi marah dan kesiapan aksi pria dan wanita suku Aceh. Dimensi penilaian yang tujuan/keterhambatan, kesejahteraan orang lain, keadilan, kebaruan/sudah dikenal atau belum, ketiba-tibaan, harapan akan akhir, kejelasan tentang akhir, kemungkinan diubah/finalitas, dapat/tidak dapat dihindarkan, tanggung jawab sendiri, tanggung jawab orang lain, keterkendalian, harga diri, penghargaan orang lain, kejelasan, antisipasi usaha, dapat diatasi/ditanggung, dapat diharapkan, dapat diharapkan oleh orang lain, kepentingan, kesesuaian dengan norma menurut diri sendiri, dan kesesuaian dengan norma menurut orang lain, diteliti meliputi 24 item yaitu valensi, kemudahan mencapai ketertarikan, Sedangkan dimensi kesiapan aksi terdiri dari 36 item yaitu mendekat, berhenti melihat (menolak), menghapus kejadian (menghilangkan), darah mendidih, tidak perhatikan (tidak berminat), menangani situasi (reakstan), menarik diri (menutup diri), memasukkan situasi (ada bersama dengan), bemyanyi/bergerak (kegembiraan), melukai/merusak (melawan), tidak dapat teruskan (interupsi), membiarkan orang lain berinisiatif (ketergantungan), menangis (ketidak berdayaan), melindungi diri (menjauhi), tenang/hening (istirahat/santai), situasi terus berpikir (preokupasi), perhatikan penuh (memperhatikan), tahu/dapat lakukan (menguasai), tidak bemiat/menyerah (apati), bersikap lembut (ada bersama dengan), ketidak berdayaan, menjauhkan (penolakan), menentang (melawan), membetulkan, menghilang dari pandangan, menyerahkan diri (mengikuti), memiliki (mendekati), menghindar/kabur (menjauhi), tertawa (kegembiraan), hentikan hubungan (mendidih di dalam), santai, muka jadi merah (menghilang dari pandangan), terhambat/kosong/lumpuh (inhibisi/keterhambatan), tidak dapat diam/bergerak-gerak (semangat), dukungan orang lain (ketergantungan), tegang (semangat).
Subjek penelitian yang digunakan adalah pria dan wanita suku Aceh berusia 17-40 tahun, dipilihnya suku Aceh karena banyaknya pelanggaran yang terjadi akibat DOM yang membawa kesengsaraan bagi rakyat Aceh, sehingga ingin diteliti apakah terdapat perbedaan pengalaman emosi marah antara pria dan wanita suku Aceh. Untuk memperoleh data yang diperlukan, dilakukan pengambilan data dengan menggunakan kuesioner emosi Frijda dan Markam (1992). Kuesioner diberikan kepada 60 subjek (30 subjek pria dan 30 subjek wanita). Dari hasil pengolahan data, diperoleh dimensi yang paling menonjol pada pengalaman emosi marah pria suku Aceh adalah dimensi valensi, keadilan, harga diri, dan dapat diharapkan. Dimensi penilaian yang menonjol pada pengalaman emosi marah wanita suku Aceh adalah valensi, dapat diharapkan. Terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi penilaian kejelasan tentang akhir, harga diri, dan dapat diharapkan oleh orang lain pada pengalaman emosi marah pria dan wanita suku Aceh. Sedangkan dimensi kesiapan aksi yang paling menonjol pada pria suku Aceh adalah dimensi menangani situasi (reaktans), tahu/cepat lakukan (menguasai), menentang (melawan), dan membetulkan. Dimensi kesiapan aksi yang paling menonjol pada wanita suku Aceh adalah menghapus kejadian (menghilangkan), darah mendidih di dalam, menangani situasi (reaktans), tahu/cepat lakukan (menguasai), melindungi diri (menjahui), menentang (melawan), membetulkan, dan dukungan orang lain (ketergantungan). Terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi kesiapan aksi yaitu berhenti melihat (menolak), bemyanyi/bergerak (kegembiraan), menangis (ketidak berdayaan), melindungi diri (menjauhi), terhambat/kosong/lumpuh (inhibisi/keterhambatan) pada pria dan wanita suku Aceh.
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai data awal untuk memberikan gambaran mengenai dimensi penilaian dan kesiapan aksi pengalaman emosi marah pria dan wanita suku Aceh. Penelitian ini masih banyak memiliki kekurangan antara lain hanya menggunakan metode kuesioner sebagai metode pengumpulan data, untuk mendapatkan data yang lebih mendalam dapat menggunakan metode wawancara."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3155
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olivia
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3165
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lestia Primayanti
"Emosi merupakan fenomena sosial yang merefleksikan hubungan manusia dengan lingkungan sosialnya. Markus dan Kitayama (1995) berpendapat bahwa pengalaman emosi seseorang bersifat saling tergantung dengan interaksi antar individu. Karena interaksi antar individu selalu berada dalam konteks budaya, maka pengalaman emosi yang hadir dalam interaksi antar individu akan berbeda-beda pada setiap budaya. Melihat dekatnya hubungan antara emosi dan budaya, maka penelitian ini menggunakan batasan budaya sebagai 'kriteria' khususnya, peneliti memilih budaya Jawa dengan dasar asumsi bahwa budaya Jawa merupakan budaya yang dominan di Indonesia. Kehormatan dan kerukunan adalah dua kaidah yang paling menentukan pola interaksi antar individu dalam budaya Jawa (Geertz, dalam Magnis-Suseno 1984) yang berarti juga mempengaruhi pengalaman emosi.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk melihat core cultural ideas dalam budaya Jawa yang berhubungan dengan emosi. Dari bentuknya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mencari gambaran umum pengalaman emosi. Penelitian ini ditujukan untuk melihat pengalaman emosi dalam dua kelompok usia yang berbeda, yang masingmasing diasumsikan mewakili dua generasi yang berbeda. Ada 8 responden yang disertakan dalam penelitian ini. Selain itu penelitian ini juga dimaksudkan untuk mencari adanya bentuk-bentuk budaya Jawa berupa nilai atau norma yang tampak dalam pengalaman emosi tersebut. Mengingat penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang akan dilakukan oleh Markam bersama Mesquita dan Sato, maka peneliti menggunakan instrumen pedoman wawancara yang disusun oleh Mesquita (2001). Setiap responden akan diwawancara mengenai situasi dihargai dan situasi tersinggung.
Gambaran pengalaman emosi responden diperoleh melalui analisis berdasarkan komponen-komponen pengalaman emosi, yaitu peristiwa anteseden, penilaian, perasaan, kesiapan aksi, perilaku dan regulasi. Mesquita (dalam penerbitan) Beberapa hal lain yang juga dibahas karena keterkaitannya dengan pengalaman emosi adalah concern dan akibat jangka panjang dari pengalaman emosi. Concern adalah disposisi (Frijda, 1986) berupa tujuan, motif, nilai, harapan, cara memandang diri sendiri dan sekitar (Mesquita, 2001) yang mempengaruhi persepsi individu mengenai peristiwa yang terjadi padanya. Kemudian Mesquita (2001) berpendapat bahwa pengalaman emosi seringkali menimbulkan akibat jangka panjang berupa perubahan belief (keyakinan) mengenai diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, atau menimbulkan konsekuensikonsekuensi sosial dan perubahan dalam tujuan tingkah laku seseorang.
Dari hasil analisis diketahui bahwa kelompok generasi muda menilai situasi dihargai berdasarkan dimensi keterkendalian. Sementara kelompok generasi tua menilai situasi dihargai berdasarkan dimensi ketiba-tibaan. Akibatnya, perilaku bersyukur lebih banyak muncul pada kelompok generasi tua yang mengatribusikan penyebab peristiwa pada kekuatan di luar dirinya. Dalam situasi tersinggung, diketahui bahwa responden generasi muda dan generasi tua menghindari emosi marah. Hal ini tampak dari kecenderungan responden mengganti kata marah dengan kata lain yang maknanya lebih halus, dan pada kecenderungan melakukan re-appraisal terhadap agen peristiwa dalam regulasinya. Keduanya menunjukkan bahwa prinsip kerukunan masih dianggap penting dalam interaksi antar individu.
Nilai yang muncul dalam concern kelompok generasi tua lebih banyak berasal atau berhubungan dengan keluarga, perkembangan kelompok ini ketika muda, tampak adanya perbedaan cohort mengenai peran keluarga sebagai agen sosialisasi nilai dan norma pada generasi tua dan generasi muda.
Mengingat penelitian ini merupakan penelitian yang diharapkan menjadi awal penelitian lintas budaya mengenai pengalaman emosi, pendekatan komponensial yang digunakan untuk memperoleh gambaran pengalaman emosi telah berhasil memberi hasil yang mampu dibandingkan dengan penelitian lain. Namun di sisi lain pendekatan komponensial juga mereduksi keutuhan pengalaman emosi. Pengalaman emosi merupakan suatu fenomena dengan proses yang kompleks dan tidak linear, sehingga pembahasan menggunakan pendekatan komponensial tidak dapat memberi dinamika utuh dari pengalaman emosi seseorang.
Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya dilakukan elisitasi situasi stimulus dalam budaya yang dituju terlebih dahulu. Dengan melakukan elisitasi situasi stimulus, diharapkan situasi stimulus yang digunakan dalam pedoman wawancara lebih relevan dengan responden kelompok budaya tersebut. Dalam penelitian ini peneliti tidak melakukan elisitasi stimulus dan langsung menggunakan situasi stimulus hasil elisitasi Mesquita (dalam penerbitan) terhadap kelompok budaya lain. Akibatnya situasi dilecehkan yang semula akan disertakan dalam penelitian terpaksa digugurkan, karena responden tidak mengenali atau menganggap situasi dilecehkan sama dengan situasi tersinggung. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3121
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Sriewijono
"Berdasarkan beberapa literatur yang ada, sensasi pada tubuh saat emosi merupakn suatu theory-driven process, yang didasarkan pada psychophysiological schemata. Dengan demikian, diasumsikan ada variasi antar budaya dalam sensasi tersebut. Namun penelitian lintas budaya yang telah dilakukan selama ini belum dapat memberikan suatu bukti empirik mengenai variasi antar budaya tersebut (Philippot, 1992). Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah keterbatasan yang dianggap dapat mempengaruhi basil penelitian tersebut. Salah satu keterbatasan yang dianggap sangat mempengaruhi kesimpulan mengenai penelitian lintas budaya adalah penentuan populasi-populasi penelitian. Penelitian lintas budaya yang menggali sensasi tubuh saat emosi selama ini mengambil sampel dari kota-kota besar yang diasumsikan banyak memiliki persamaan budaya. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan untuk membandingkan pola sensasi tubuh pada 2 sampel yang dianggap memiliki perbedaan budaya yang besar. Sampel yang ditentukan adalah sampel pedusunan dan sampel kota besar.
Dalam penelitian ini, pengambilan data dilakukan pada sampel pedusunan (Tengger) dan kemudian akan dibandingkan dengan sampel kota besar (Jakarta), yang telah diambil Philippot, Poortinga dan Ambadar (1992). Pola sensasi tubuh akan dilihat pada delapan jenis emosi (bahagia, marah, takut, sedih, terkejut, jijik, malu. bersalah), dengan enambelas jenis sensasi untuk setiap emosi. Analisa perbedaan yang dilakukan terhadap pola sensasi sampel Tengger dan pola sensasi sampel Jakarta menunjukkan adanya variasi antar budaya. Sensasi tubuh sampel Tengger hampir semuanya berada dalam tingkat yang lebih rendah dari sensasi tubuh sampel Jakarta. Hal ini dilihat sebagai adanya pengaruh pandangan hidup Panca Setya dan Kawruh Buda dalam setiap aspek kehidupan sampel Tengger. Saran yang diberikan dari pelaksanaan penelitian ini adalah penajaman alat dengan menggimakan pengalaman emosional yang lebih lazim bagi sampel Tengger."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
S2330
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Rahmawati
"Emosi ditimbulkan oleh suatu peristiwa atau situasi tertentu, termasuk peristiwa atau situasi yang berasal dari diri seseorang, misalnya pikiran atau kenangan. Emosi akan timbul bila peristiwa tersebut menyentuh kepedulian (concern) seseorang, apabila menyentuh kesejahteraan, dan well being seseorang.
Bila stimulus itu sesuai dengan apa yang diharapkan, artinya menyambung kebutuhan dan harapan seseorang, maka yang akan muncul ialah emosi positif; bila sebaliknya maka timbul emosi negatif. Timbulnya emosi bukan berarti hal itu diekspresikan, melainkan dialami sebagai penilaian atas situasi serta kesiapan aksi (tendensi-aksi atau aktivasi) serta gejala-gejala perubahan faali. Ada berbagai macam emosi, salah satunya yaitu emosi marah. Marah merupakan emosi negatif yang jika tidak terkontrol dapat berubah menjadi destruktif, bisa menimbulkan masalah baik di lingkungan keija, dalam hubungan interpersonal, dan mempengaruhi seluruh kualitas hidup kita.
Madura merupakan salah satu budaya di Indonesia yang menarik untuk diteliti. Sudah sejak lama Madura menjadi pembicaraan masyarakat, sekalipun pulau yang satu ini tidak besar akan tetapi penduduknya mempunyai kepribadian yang khas dan menarik untuk dibicarakan. Sosok orang Madura akan segera dikenal oleh siapapun karena memang mempunyai ciri tersendiri, khususnya bila mereka berbicara.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai pengalaman emosi marah pada laki-laki dan perempuan suku Madura; melihat apakah ada atau tidak perbedaan penilaian dalam pengalaman emosi marah antara laki-laki dan perempuan suku Madura; melihat apakah ada atau tidak perbedaan kesiapan aksi dalam pengalaman emosi marah antara laki-laki dan perempuan suku Madura.
Subyek Penelitian ini adalah laki-laki dan perempuan suku Madura, berusia 18-40 tahun, dan berpendidikan minimal SMU atau sederajat. Sampling yang dilakukan dalam penelitian ini adalah incidental sampling. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner emosi Frijda dan Markam (1992) yang merupakan terjemahan kuesioner Frijda-Kuipers-Ter Schure. Kuesioner Frijda - Markam terdiri dari tiga bagian, yaitu: kuesioner umum emosi; kuesioner penilaian; dan kuesioner kesiapan aksi. Kuesioner umum terdiri dari 11 item. Kuesioner penilaian terdiri dari 24 item. Kuesioner kesiapan aksi terdiri dari 36 item. Gambaran umum karakteristik subyek penelitian dalam satu kelompok jenis kelamin diperoleh dengan menghitung frekuensi dan persentasenya. Gambaran penilaian dan kesiapan aksi diperoleh dengan menghitung mean score tiap dimensi/item penilaian dan kesiapan aksi. Untuk membandingkan gambaran penilaian dan kesiapan aksi dalam pengalaman emosi marah antara laki-laki dengan perempuan Madura di gunakan rumus t-test.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Dimensi penilaian pada pengalaman emosi marah yang paling menonjol pada laki-laki suku Madura adalah dimensi valensi dan dapat diharapkan diri sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian terhadap situasi yang menyebabkan emosi marah pada kelompok laki-laki berkaitan dengan situasi yang dinilai tidak menyenangkan dan merupakan sesuatu yang tidak diharapkan oleh diri sendiri. Sedangkan dimensi penilaian pada pengalaman emosi marah yang menonjol pada perempuan suku Madura adalah valensi, kemudahan mencapai tujuan, ketiba-tibaan, dapat diharapkan diri sendiri, dan dapat diharapkan orang lain. Nilai negatif pada dimensi-dimensi tersebut menunjukkan bahwa situasi yang menyebabkan emosi marah cenderung dinilai sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, merugikan bagi rencana atau tujuan diri sendiri, tidak diharapkan diri sendiri, dan tidak diharapkan orang lain. Sedangkan nilai positif pada dimensi ketiba-tibaan berarti bahwa situasi yang menyebabkan emosi marah cenderung dinilai sebagai sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba.
Sedangkan pada perempuan suku Madura kesiapan aksi yang mencolok adalah item kesiapan aksi: ingin dapat menghilangkan (dimensi menghilangkan), ingin dapat melakukan sesuatu (dimensi reaktansi), dan ingin meluruskan masalah (dimensi membetulkan). Hal ini berarti bahwa perempuan suku Madura memiliki kecenderungan yang mencolok untuk : ingin dapat menghilangkan peristiwa yang telah terjadi, ingin melakukan sesuatu untuk menangani peristiwa, dan ingin dapat meluruskan apa yang telah terjadi, ketika mengalami emosi marah. Sebagian besar subyek kelompok laki-laki suku Madura menganggap bahwa emosi yang menyebabkan emosi marahnya penting bagi: kepedulian, minat, usaha, dan tujuan; pasangan atau teman dekat; hubungan dengan pasangan atau teman dekat Sedangkan pada subyek kelompok perempuan suku Madura sebagian besar subyek menyatakan bahwa peristiwa yang menyebabkan emosi marahnya dianggap penting bagi kedudukan sosial dan penghargaan. Sebagian besar subyek baik kelompok laki-laki maupun perempuan suku Madura menyatakan bahwa ekspresi emosi yang ditampilkan adalah dengan intensitasnya sesuai."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3148
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juliana Yenni
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3176
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arlianti
"Masa remaja dimulai pada sekitar usia 12 atau 13 tahun sampai sekitar usia 20-an dan merupakan masa peralihan yang ditandai dengan perubahan-perubahan dalam diri individu, baik perubahan fisik maupun perubahan psikologis dari anakanak menuju dewasa. Masa peralihan tersebut menyebabkan remaja mudah terkena atau menimbulkan masalah. Salah satu hal yang dapat memicu timbulnya masalah pada remaja adalah emosi marah yang tidak dikendalikan dan diekspresikan secara tepat. Intensitas pengalaman emosi, termasuk emosi marah, menurut Frijda dipengaruhi oleh interaksi sejumlah faktor, yaitu : kepedulian kejadian, penilaian, action repertoire, regulasi dan mood. Penelitian ini ingin melihat gambaran penilaian konteks pada pengalaman emosi marah dengan intensitas tinggi dan rendah pada siswa/i kelas 1 SMUN 38, Jakarta. Penilaian konteks yang diteliti meliputi 24 dimensi, yaitu : valensi, kemudahan mencapai tujuan/ keterhambatan, kesejahteraan orang lain, keadilan, ketertarikan, kebaruan/sudah dikenal atau belum, ketiba-tibaan, harapan akan akhir, kejelasan tentang akhir, kemungkinan diubah atau finalitas, dapat/tidak dapat dihindarkan, tanggung jawab sendiri, tanggung jawab orang lain, keterkendalian, harga diri, penghargaan orang lain, kejelasan, antisipasi usaha, dapt diatasi/ ditangguung, dapat diharapkan, dapat diharapkan oleh orang lain, kepentingan, kesesuaian dengan norma menurut diri sendiri dan kesesuaian dengan norma menurut orang lain.
Untuk mendapatkan data yang diperlukan, dilakukan pengambilan data dengan menggunakan kuesioner emosi dan kuesioner penilaian Frijda & Markam (1992). Kuesioner diberikan kepada 45 siswa/i kelas 1 SMUN 38, Jakarta. Dari hasil perhitungan data, didapatkan bahwa dimensi penilaian yang paling menonjol pada pengalaman emosi marah dengan intensitas tinggi adalah dimensi valensi, kemudahan mencapai tujuan, ketiba-tibaan dan dapat diharapkan.Sedangkan pada pengalaman emosi marah dengan intensitas rendah dimensi penilaian yang paling menonjol adalah dimensi ketidak adilan, ketertarikan, keterkendalian dan dapat diharapkan. Selain itu juga didapatkan adanya perbedaan yang signifikan antara dimensi kesejahteraan orang lain , kebaruan, ketiba-tibaan, keterkendalian, antisipasi usaha, dapat diatasi/ditanggung dan kepentingan pada pengalaman emosi marah dengan intenistas tinggi dan pengalaman emosi marah dengan intensitas rendah yang dialami siswa-siswi kelas 1 SMUN 38 Jakarta.
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai data awal untuk lebih memahami pengalaman emosi marah yang dialami oleh remaja, terutama siswa-siswi kelas 1 SMU. Namun masih banyak kekurangan pada penelitian ini sehingga sebaiknya dilanjutkan dengan penelitian lain yang meneliti tentang anteseden, kesiapan aksi dan regulasi dari pengalaman emosi marah sehingga didapatkan data yang lebih kaya dan lengkap. Selain itu juga sebaiknya penelitian dilakukan dengan menggunakan metode pengambilan data berupa kuesioner ditambah dengan metode wawancara sehingga data yang didapat lebih lengkap dan mendalam."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S3047
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>