Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114612 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Prieta Adriane
"Latar Belakang: Disfungsi ginjal prabedah meningkatkan risiko gagal ginjal dan kematian pada pasien bedah jantung. Studi yang meneliti efek proteksifurosemid pada bedah jantung sebagian besar dilakukan pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi efek furosemid dosis rendah profilaksis pada pasien bedah jantung dengan disfungsi ginjal ringan-sedang.
Metode: Delapan puluh tujuh pasien bedah jantung elektif dengan disfungsi ginjal ringan -sedang (LFGe30-89 mL/min/1,73 m2), terdaftar dalam kelompok furosemid (n = 43) atau kontrol (n = 44). Furosemid (2 mg/jam) atau NaCl 0,9% 2 cc/jam diberikan setelah induksi dan dilanjutkan selama total 12 jam. Kami memeriksa sampel darah pada 12, 24, 48, dan 120 jam setelah infus mulai mengukur perubahan LFGe. Penurunan LFGe>20% dianggap sebagai perburukan fungsi ginjal, sedangkan peningkatan LFGe>20% dianggap sebagai pemulihan fungsi ginjal. Kami membandingkan kebutuhan infus furosemid terapeutik dan terapi penggantian ginjal pada kedua kelompok.
Hasil: Dari 90 subjek yang direkrut, 3 subjek drop out(1 subjek data tidak lengkap dan 2 subjek dipasangintra-aortic balloon pump/IABPsaat pembedahan), hanya 87 subjek yang diikutsertakan dalam analisis. Insiden penurunan LFGepada jam ke-12, ke-24 dan ke-48 lebih banyak terjadi pada kelompok kontrol, berbedasignifikan pada sampel jam ke-48 (p value0,047). Proporsi peningkatan LFGe>20% pada sampel 120 jam hampir sama pada kedua kelompok. Subyek dalam kelompok furosemid membutuhkan lebih sedikit pemberian infus furosemid dosis terapeutik (p<0,05). Namun, penggunaan terapi pengganti ginjal lebih banyak ditunjukkan pada kelompok furosemid daripada kelompok kontrol meskipun tidak signifikan. Lama rawat di ICU dan rumah sakit lebih lama pada kelompok furosemid dibandingkan dengan kontrol, sedangkan angka kematian ditunjukkan sama antara kedua kelompok.
Simpulan: Furosemid dosis rendah dapat mengurangi kejadian perburukan fungsi ginjal, dan kebutuhan infus terapeutik furosemid, tetapi tidak mencegah kebutuhanuntuk terapi pengganti ginjal. Penggunaan infus furosemid dosis rendah perioperatif dapat dipertimbangkan karena menunjukkan efek yang menguntungkan.

Background: Preoperative renal dysfunction increases the risk of postoperative renal failure and mortality in cardiac surgery patients. Studies investigated the protective effect of furosemide in cardiac surgery mostly conducted in patients with normal renal function. This study aim to evaluate the effect of prophylactic low-dose furosemide in cardiac surgery patients with mild to moderate renal dysfunction.
Methods: Eighty-seven patients of elective cardiac surgery with mild to moderate renal dysfunction (eGFR 30-89 mL/min/1.73 m2), were enrolled in either furosemide (n = 43) or control (n = 44) groups. Furosemide (2 mg/h) or 0.9% NaCl is administered after induction and continued for a total of 12 hours. We examined blood samples on 12, 24, 48, and 120 hours after infusion started to measure the change in eGFR. A >20% decrease in eGFR was considered as worsening of renal function, while >20% increase in eGFR as recovering of renal function. We compared the requirement for therapeutic furosemide infusion and renal replacement therapy in both groups. 
Results: 90 subjects recruited, 3 were dropped out (1 subject's data incomplete and 2 subjects underwent intraoperativeintraaortic balloon pump/IABP installation), only 87 subjects were included in the analysis. The incidence of decreasing of GFR at the 12th, 24th and 48th hour was shown more likely in control group, more significantin 48 hours (p value 0.047). The proportion of >20% GFR increase in the 120-hour sample was almost the same in both groups. Subjects in furosemide group required less administration of therapeutic dose furosemide infusion (p<0.05). However, use of renal replacement therapy was shown more in the furosemide group than the control group although is not significant. The length of stay in ICU and hospital were longer in the furosemide group compared to  control, while the mortality rate were shown to be equal between two groups.
Conclusions: Low-dose furosemide can reduce the incidence of  worsening renal function, and the need for a therapeutic furosemide infusion, but does not prevent the usage for renal replacement therapy. Continuous low-dose furosemide perioperative can be considereddue to beneficial effects proven.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nur Fitriani
"Pasien dengan gangguan fungsi ginjal rentan mengalami akumulasi obat dalam tubuh yang dapat berisiko toksik sehingga diperlukan penyesuaian dosis obat. Akan tetapi, masih banyak kasus obat yang tidak disesuaikan dosisnya pada pasien PGK di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengetahuan, sikap, dan praktik apoteker Indonesia terhadap penyesuaian dosis obat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Desain observasional-cross sectional dipilih dalam penelitian ini dengan metode pengambilan data melalui survei daring. Kriteria sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah apoteker rumah sakit yang masih aktif bertugas di bagian pelayanan pasien pada periode Januari 2023-Juni 2024. Data yang diperoleh dianalisis secara univariat dan bivariat. Penelitian ini diikuti oleh sebanyak 139 apoteker rumah sakit dari seluruh Indonesia sebagai responden, yang mayoritas berasal dari Pulau Jawa (71,9%). Frekuensi melayani pasien gangguan ginjal merupakan faktor yang mempengaruhi ketiga aspek pengetahuan, sikap, dan praktik. Dapat disimpulkan bahwa apoteker Indonesia telah memiliki pengetahuan, sikap, dan praktik yang baik terkait penyesuaian dosis pada gangguan ginjal dengan jumlah sebanyak 96,4%, 98,6%, 65,1% secara berturut-turut. Perlu ditingkatkan lagi pengetahuan terkait cara menghitung eGFR, obat yang memerlukan penyesuaian dosis, cara memperoleh rekomendasi dosis dari literatur, dan penyesuaian dosis pada pasien dialisis. Praktik yang perlu ditingkatkan adalah pemberian rekomendasi alternatif obat, edukasi obat kepada tenaga kesehatan lain, serta pemantauan terapi disertai pemeriksaan fungsi ginjal pasien. Kendala terbesar yang dihadapi apoteker adalah keterbatasan waktu akibat beban kerja yang tinggi. Responden mengharapkan adanya program praktik apoteker tingkat lanjut serta sistem digital yang dapat mendeteksi kesalahan peresepan.

Patients with renal function impairment are at risk for drug accumulation, which can be toxic, necessitating dose adjustment. However, in Indonesia, many cases still lack appropriate dose adjustment for chronic kidney disease (CKD) patients. This study aimed to evaluate the knowledge, attitude, and practice of Indonesian pharmacists regarding dose adjustment in patients with renal impairment. An observational cross-sectional design was used, with data collected through an online survey. The sample consisted of hospital pharmacists actively serving in patient care from January 2023 to June 2024. Data were analyzed using univariate and bivariate tests. A total of 139 hospital pharmacists from across Indonesia participated, with the majority from Java (71.9%). Frequency of serving patients with renal impairment influenced all three aspects of knowledge, attitude, and practice. Results showed that pharmacists had good knowledge, attitude, and practice with percentages of 96.4%, 98.6%, and 65.1%, respectively. Knowledge need to be improved regarding how to calculate eGFR, drugs that require dose adjustment, how to obtain dose recommendations from the literature, and dose adjustment for dialysis patients. Practice that required improvement included providing alternative drug recommendations, educating other healthcare professionals, and monitoring therapy with renal function evaluation. The main barrier identified was limited time due to a high workload. Respondents expect advanced pharmacist practice programs and a digital system capable of detecting prescription errors."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harnavi Harun
"Transplantasi ginjal dapat memperbaiki fungsi jantung Penelitianeksperimental pada binatang membuktikan bahwa peningkatan kadar hormoneritropoetin memperbaiki fungsi jantung namun secara klinis masih menjadi bahanperdebatan Tujuan: Untuk menilai hubungan peningkatan kadar eritropoetin dengan perbaikanfungsi jantung pada pasien gagal ginjal yang menjalani transplantasi Metoda: Penelitian Kohor prospektif pada pasien gagal ginjal yang menjalanitransplantasi di RSCM Jumlah subyek 21 orang yang dikumpulkan dalam kurunwaktu Maret September 2013 Pengambilan data ekokardiografi dan kadareritropoetin dilakukan sebelum dan 3 bulan sesudah transplantasi ginjal Analisisstatistik dengan uji korelasi Pearson atau Spearman Hasil: Penelitian ini menunjukkan peningkatan bermakna kadar eritropoetin 7 58 2 56 mlU ml menjadi 18 1 6 4 mlU ml Terdapat hubungan peningkatan kadareritropoetin dengan LVEDD r 0 56 p0 05 Kesimpulan: Terdapat hubungan peningkatan kadar eritropoetin dengan perbaikanLVH LVEDD pada pasien gagal ginjal yang menjalani transplantasi Tidak ada hubungan peningkatan kadar eritropoetin dengan perbaikan LVEF
Kidney transplantation improved cardiac function Based on animaltrials elevated levels of erythropoietin hormone can improved cardiac function butin clinically still debate Aim: To determine association between elevated levels of erythropoietin andimprovement cardiac function on renal failure who underwent transplantation Methods: Prospective cohort study on renal failure who underwent kidneytransplantation at Cipto Mangunkusumo Hospital The study include 21 subjects whocollected it from Marct to September 2013 Data of echocardiography anderythropoietin level were collected at time prior to kidney transplantation and repeat 3months there after The association between elevated levels of erythropoietin andcardiac function was analyzed using Pearson correlation and Spearman test Results: The study showed a significantly elevated levels of erythropoietin from7 58 2 56 to 18 1 6 4 mlU ml There was statistically significant association between elevated levels of erythropoietin and LVEDD r 0 56 p Conclusions: There was association elevated levels of erythropoietin and improvement of LVH, LVEDD on renal failure who underwent transplantation, however, there was no association of elevated levels of erythropoietin level and improvement of LVEF."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wenny Fitrina Dewi
"Background:
Cardiac rehabilitation in patients with Coronary Artery Bypass Surgery (CABG) is an effective way in reducing mortality in patients with coronary heart disease (CHD). The presence of impaired cardiac autonomic function is increase the risk of arrhythmias and sudden death. Exercise training as one component of cardiac rehabilitation can improve autonomic function that can be measured indirectly with Heart Rate Recovery (HRR). The aim of this study is to assess the effect of the frequency of physical exercise on improved of HRR.
Metod:
The data used for this analysis include 100 patients who underwent second phase of cardiac rehabilitation after CABG at Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta between July and October 2013. Patients were categorized into group I (exercise 3 times a week) : 40 people and group II (5 times a week exercise) : 60 people. Heart rate recovery was measured with a 6 minute walk test (6MWT). Measurements were performed 2 times, in the early phase and the evaluation phase after 12 times. Increased HRR from both groups were analyzed by linear regression analysis.
Result :
In our study, age, gender, diabetes mellitus, psychological, smoking, coronary artery bypass surgery and the duration of aortic cross clamp did not affect the increase of HRR. Five times a week exercise training gives significant increase of HRR compare to 3 times a week exercise training after analyzed multivariate linear regression ( RR 2.9, 95% KI 1.53 to 4.40, p <0.001 ).
Conclusion:
Frequency of physical exercise 5 times a week give a better response to the increase in HRR than exercise 3 times a week.

Latar Belakang:
Rehabilitasi jantung pada pasien Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK) merupakan tindakan efektif dalam menurunkan mortalitas pada pasien dengan Penyakit Jantung Koroner (PJK). Adanya gangguan fungsi otonom jantung dikatakan meningkatkan risiko aritmia dan kematian mendadak. Latihan fisik sebagai salah satu komponen rehabilitasi jantung dapat meningkatkan fungsi otonom yang dapat diukur secara tidak langsung dengan Heart Rate Recovery (HRR). Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh frekuensi latihan fisik terhadap peningkatan HRR.
Metode:
Sebanyak 100 pasien pasca BPAK yang melakukan rehabilitasi jantung fase II dipilih secara konsekutif sejak 1 Juli ? 15 Oktober 2013 di Pusat Jantung nasional Harapan Kita, Jakarta. Pasien dikelompokkan menjadi kelompok I (3 kali latihan seminggu) sebanyak 40 orang dan kelompok II (5 kali latihan seminggu) sebanyak 60 orang. Heart rate recovery satu menit diukur dengan uji jalan 6 menit/6 minute walk test (6MWT). Pengukuran dilakukan 2 kali, pada fase awal dan fase evaluasi setelah 12 kali. Peningkatan HRR dari kedua kelompok dianalisa dengan analisa regresi linier.
Hasil:
Pada studi kami, usia, gender, diabetes melitus, psikologis, merokok, bedah pintas arteri koroner dan lamanya aortic cross clamp setelah dianalisa tidak mempengaruhi peningkatan HRR secara bermakna. Frekuensi latihan 5 kali seminggu memberikan peningkatan HRR yang bermakna secara statistik dibandingkan 3 kali seminggu setelah dianalisa dengan regresi linier multivariate (RR 2,9; 95 % IK 1,53-4,40, p<0,001)
Kesimpulan: Frekuensi latihan fisik 5 kali seminggu memberikan respon yang lebih baik terhadap peningkatan HRR dibandingkan latihan 5 kali seminggu."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58695
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vera Citra Setiawan Hoei
"Latar belakang: Sindrom curah jantung rendah (low cardiac output syndrome, LCOS) merupakan salah satu morbiditas yang terjadi pascaoperasi jantung terbuka. Angka kejadian LCOS pada pasien pascaoperasi sebanyak 25–65%, sehingga diperlukannya suatu penanda biologis praoperatif untuk menilai keadaan pembedahan yang optimal. NT-proBNP merupakan suatu biomarker yang berpotensi digunakan dalam diagnosis, tata laksana dan prognosis pada populasi pediatrik. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peran NT-proBNP sebagai faktor prediktor terhadap kejadian LCOS pascabedah jantung terbuka.
Metode: Studi longitudinal dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dalam periode November 2018 hingga Maret 2020 dengan merekrut subjek di bawah usia 18 tahun yang menjalani operasi korektif kelainan jantung bawaan. Kadar NT-proBNP prabedah diambil dan dianalisis terhadap kejadian LCOS pascaoperasi.
Hasil: Terdapat 159 subjek dilibatkan sebagai subjek penelitian. Angka kejadian LCOS pascaoperasi sebanyak 23,9%. Median NT-proBNP prabedah berbeda bermakna antara pasien yang mengalami LCOS dengan pasien yang tidak mengalami LCOS (1592 pg/mL vs. 227 pg/mL; p = 0,001). Nilai cut-off NT-proBNP prabedah terhadap kejadian LCOS pascaoperasi adalah 400 pg/mL, dengan sensitivitas 78,95%, spesifisitas 64,46%, positive predictive value 41,10%, negative predictive value 90,70% dan diagnostic accuracy 67,92%.
Simpulan: NT-proBNP prabedah dapat dijadikan faktor prediktor terhadap kejadian LCOS pascaoperasi jantung terbuka. Nilai cut-off NT-proBNP prabedah terhadap luaran LCOS pascaoperasi adalah 400 pg/mL.

Background: Low cardiac output syndrome (LCOS) is a common morbidity following open heart surgery in pediatric population. The incidence of postoperative LCOS range from 25 to 65%, indicating the needs for preoperative tool to evaluate optimum condition prior to surgery. NT-proBNP is a biomarker that has potential in diagnosis, management, and prognosis in pediatric population. This study aims to evaluate the role of NT-proBNP as predictive factor for LCOS following cardiac surgery.
Methods: A longitudinal study was conducted in Harapan Kita National Heart Center between November 2018 and March 2020. We recruited subjects below 18 years old who underwent corrective cardiac surgery. NT-proBNP was obtained preoperatively and analyzed for postoperative LCOS.
Results: A total of 159 subjects were enrolled. The incidence of postoperative LCOS was 23.9%. The median of preoperative NT-proBNP was found to be significantly higher in patients experiencing LCOS compared to that of patients without LCOS (1592 pg/mL vs. 227 pg/mL; p = 0.001). The cut-off value for preoperative NT-proBNP to determine postoperative LCOS was 400 pg/mL with sensitivity of 78.95%, specificity of 64.46%, positive predictive value of 41.10%, negative predictive value of 90.70% and diagnostic accuracy of 67.92%.
Conclusions: Preoperative NT-proBNP can be used as predictor for postoperative LCOS following cardiac surgery. The cut-off value of preoperative NT-proBNP in determining postoperative LCOS was found to be 400 pg/mL.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Yusran
"ABSTRAK
Latar Belakang: Pemeriksaan kolonoskopi memerlukan persiapan dan usaha yang kompleks dengan melibatkan modifikasi diet dan pemilihan laksatif untuk meningkatkan kualitas bersihan kolon. Penggunaan berbagai regimen dan cara pemberian pencahar masih menjadi bahan diskusi para ahli hingga sekarang. Polyethylene glycol merupakan salah satu regimen pencahar yang dapat diberikan dalam dosis terbagi maupun dosis tunggal dalam satu waktu.
Tujuan: Mengetahui perbedaan bersihan kolon pada polyethylene glycol dosis tunggal dengan dosis terbagi pada persiapan kolonoskopi
Metode: Uji klinis acak tersamar tunggal dilakukan di Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo pada periode Juni hingga Agustus 2018. Pasien yang dilakukan tindakan kolonoskopi dijadikan sampel dengan pemilihan secara konsekutif. Pasien dengan obstruksi kolon, penyakit jantung, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati berat, riwayat reseksi usus besar, alergi terhadap polyehtylene glycol, dan pasien yang tidak bersedia mengikuti penelitian tidak diikutsertakan dalam penelitian. Penilaian bersihan kolon dilakukan oleh beberapa staf gastroenterologi yang telah ditunjuk menggunakan Boston Bowel Preparation Score (BBPS) tanpa mengetahui cara pemberian preparat saat persiapan kolonoskopi pasien.
Hasil: Sebanyak 76 subyek penelitian, 38 pada kelompok pemberian dosis tunggal dan 38 pada kelompok pemberian dosis terbagi, diikutsertakan dalam uji klinis. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara metode pemberian polyethylene glycol terhadap tingkat bersihan kolon pada pasien kolonoskopi.
Simpulan: Bersihan kolon pada regimen pemberian polyethylene glycol dosis terbagi dan dosis tunggal pada persiapan kolonoskopi memiliki nilai efikasi yang sama.

ABSTRACT
Introduction: Colonoscopic examination is a unique examination requiring various plans and efforts including diet modifications and laxative choices in order to maximize colon adequacy. A plethora of regiments and methods have been served as a discussion topic for experts. Polyethylene glycol is one of the laxative regiments used in multiple administration method, either split dose or single dose
Aim: Comparing bowel cleanliness between polyehtylene glycol given in single dose and split dose on patients undergoing colonoscopic preparation.
Methods: Single blinded study was done in Gastroenterology Division, Internal Medicine Department of Doctor Cipto Mangunkusumo National General Hospital during June to August 2018. Patients undergoing colonoscopic preparations weree chosen as research samples using consecutive method. Patients with colon obstruction, heart disease, kidney function decline, severe liver damage, history of colon resection, allergic to polyehtylene glycol, or disagree to join the study was excluded. Bowel cleanliness was assessed by multiple gastroenterologist staff using Boston Bowel Preparation Score (BBPS) without knowing patients laxative regiment
Results: There were 76 study samples, 38 of each study groups, included in this study. There were no significant difference of efficacy between polyehtylene glycol administration method with bowel cleanliness in colonoscopic examination patients.
Conclusion: Bowel cleanliness on polyehtylene glycol given in split dose and single dose were of similar efficacy"
2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jamalul Adil
"Latar belakang. Ketertarikan terhadap penggunaan analgesik tambahan nonopioid intraoperasi semakin meningkat. Salah satu obat yang mendapatkan banyak perhatian adalah penggunaan lidokain intravena. Tiroidektomi adalah prosedur bedah endokrin yang paling umum dilakukan di seluruh dunia. Pemulihan pascaanestesia umum merupakan salah satu hal yang penting untuk dinilai sebagai hasil akhir dari pelayanan anestesia dan pembedahan. Kuesioner Quality of Recovery-40 (QoR-40) merupakan alat penilaian multidimensi yang dapat diandalkan untuk mengevaluasi status pemulihan pasien pascaoperasi. Metode. Penelitian ini merupakan randomized controlled trial dengan pengambilan sampel secara consecutive sampling. Sebanyak 34 subjek yang akan menjalani operasi bedah tiroid dimasukkan ke dalam penelitian selama periode Maret – Mei 2022. Subjek penelitian akan diberikan lidokain intravena bolus 1.5 mg/kg saat induksi dilanjutkan dengan rumatan 2 mg/kg/jam hingga selesai jahit kulit (kelompok lidokain) atau diberikan NaCl 0.9% dengan volume yang sama (kelompok kontrol). Kualitas pemulihan pascaanestesia akan dinilai menggunakan kuesioner QoR-40 yang dilakukan pada praoperasi dan 24 jam pasca operasi. Hasil. Tiga puluh empat subjek, dengan 17 subjek pada tiap kelompok, mengikuti penelitian hingga selesai. Infus lidokain intravena kontinyu menghasilkan kualitas pemulihan pascaanestesia yang lebih baik pada operasi bedah tiroid sebesar 20,06 (vs kontrol 4.82, p <0,001), namun tidak signifikan secara statistik terhadap kebutuhan opioid fentanyl intraoperatif yaitu 136.47 mg vs placebo 100,3 mg (p = 0.117). Tidak ada efek samping lidokain yang ditemukan selama penelitian. Simpulan. Infus lidokain intravena kontinu intraoperatif pada operasi tiroidektomi menghasilkan kualitas pemulihan yang lebih baik, diukur dengan selisih nilai QoR-40 (delta) dibandingkan dengan kelompok kontrol, namun secara statistik tidak ada perbedaan signifikan mengenai kebutuhan opioid fentanyl intraoperatif antara kelompok lidokain dan kontrol.

Background. There has been a growing interest in the use of additional intraoperative non-opioid analgesics in recent years. One drug that has received a lot of attention is the use of intravenous lidocaine. Thyroidectomy is the most common endocrine surgical procedure performed worldwide. Recovery after general anesthesia is one of the important things to be assessed as the final outcome of anesthesia and surgery services. The Quality of Recovery-40 (QoR-40) questionnaire is a reliable multidimensional assessment tool to evaluate the recovery status of postoperative patients. Methods. This study is a randomized controlled trial with consecutive sampling. A total of 34 subjects who will undergo thyroid surgery were enrolled in the study during the period of March – May 2022. Subjects will be given either intravenous lidocaine bolus 1.5 mg/kg at induction followed by maintenance at 2 mg/kg/hour until skin closure (lidocaine group) or NaCl 0.9% with the same volume (control group). The quality of recovery after surgery will be assessed using the QoR-40 questionnaire conducted preoperatively and 24 hours postoperatively. Results. Thirty-four subjects, with 17 subjects in each group had completed the study. Continuous intravenous lidocaine infusion resulted in a better quality of recovery after thyroid surgery in 20.06 (vs control 4.82, p < 0.001), but not statistically significant for intraoperative fentanyl opioid requirement of 136.47 mg vs control 100.3 mg, p = 0.117. No side effects of lidocaine were found during the study. Conclusion. Continuous intravenous lidocaine infusion in thyroidectomy resulted in a better quality of recovery, measured by the difference in QoR-40 (delta) values compared to the control group, but there was no statistically significant difference in intraoperative fentanyl opioids requirement between the lidocaine and control groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Gunardi
"ABSTRAK
Penyakit jantung bawaan asianotik yang merupakan sebagian besar dari penyakit jantung bawaan memerlukan operasi bedah jantung terbuka untuk memperbaiki kelainannya. Sindrom curah jantung rendah masih merupakan masalah yang dihadapi pada pasien pediatrik pascabedah jantung terbuka. Deteksi sindrom curah jantung rendah yang ada sekarang menggunakan kriteria klinis dan indikator laboratorik masih belum dirasa cukup, yang terbukti dengan masih adanya angka morbiditas dan mortalitas. Peranan penanda biologis NT-proBNP telah berkembang di gagal jantung dewasa diharapkan dapat digunakan untuk dapat mendeteksi sindrom curah jantung rendah pada pediatrik.
Penelitian cross sectional observasional dengan jumlah 38 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang menjalani operasi jantung bawaan asianotik bulan Oktober-November 2018 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh darah Nasional Harapan Kita, Indonesia. Data prabedah, intrabedah dan pascabedah termasuk kejadian sindrom curah jantung rendah dicatat. Kadar NT-proBNP akan diambil prabedah, 4 jam, 24 jam dan 72 jam pascabedah. Analisis data menggunakan uji Mann-Whitney.
Kadar NT-proBNP prabedah, 4 jam pascabedah dan 24 jam pascabedah berbeda bermakna dengan kejadian sindrom curah jantung rendah (nilai p <0,05). Kadar NT-proBNP prabedah memiliki perbedaan rerata lebih rendah dibandingkan dengan kadar NT-proBNP 4 jam pascabedah yang juga lebih rendah dibandingkan kadar NT-proBNP 24 jam pascabedah dan hal ini berbeda bermakna (p <0,001). Sedangkan kadar NT-proBNP 72 jam pascabedah memiliki rerata lebih rendah dibandingkan dengan kadar NT-proBNP 24 jam pascabedah yang juga berbeda bermakna (p <0,001). Analisis kadar NT-proBNP dengan variabel lainnya mendapatkan hasil berbeda bermakna dengan variabel usia, jenis kelamin, berat badan, diagnosis PJB, durasi ventilasi mekanik dan durasi ICU.
Kadar NT-proBNP berhubungan dengan kejadian sindrom curah jantung rendah. Kadar NT-proBNP yang tinggi menunjukkan adanya kejadian sindrom curah jantung rendah (pada kadar NT-proBNP prabedah, 4 jam dan 24 jam pascabedah).

ABSTRACT"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aswin Nugraha
"Peran NT-proBNP sebagai penanda biologis untuk mengetahui terjadinya sindrom curah jantung rendah pada pasien pediatrik dengan penyakit jantung bawaan sianotik pascabedah jantung terbuka belumlah diketahui. NT-proBNP diharapkan dapat menjadi penanda sindrom curah jantung rendah sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas. Penelitian cross sectional ini melibatkan 40 pasien pediatrik dengan penyakit jantung bawaan sianotik yang menjalani pembedahan jantung terbuka di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, selama bulan Maret 2019-April 2019. Terdapat perbedaan bermakna antara kadar NT-proBNP prabedah, 4 jam pascabedah, 24 jam pascabedah dan 72 jam pascabedah terhadap kejadian sindrom curah jantung rendah (p<0,001). Kadar NT-proBNP tertinggi pada 24 jam pasca bedah dengan perbedaan bermakna terhadap kadar NT-proBNP prabedah (p<0,001), 4 jam pascabedah dan 72 jam pascabedah (p<0,001). Diperoleh pula variabel lain yang berhubungan secara bermakna dengan NT-proBNP yaitu usia, berat badan, jenis penyakit jantung bawaan sianotik, lama aortic cross clamp, lama cardiopulmonary bypass, lama ventilasi mekanik dan lama rawat PICU. Dapat disimpulkan bahwa kadar NT-proBNP yang tinggi sebagai penanda kejadian sindrom curah jantung rendah.

The role of NT-proBNP as a biological marker to determined the occurrence of low cardiac output syndromes in pediatric patients with cyanotic congenital heart disease after open heart surgery was unknown. NT-proBNP was expected to be a marker of low cardiac output syndrome so that it can reduce morbidity and mortality. This cross-sectional study involved 40 pediatric patients with cyanotic congenital heart disease who underwent open heart surgery at National Cardiovascular Centre Harapan Kita, during March 2019-April 2019. There were significant differences between pre-operative levels of NT-proBNP, 4 hours postoperatively, 24 hours postoperatively and 72 hours postoperatively with the incidence of low cardiac output syndrome (p <0.001). The highest NT-proBNP level was 24 hours postoperatively with a significant difference in preoperative levels of NT-proBNP (p <0.001), 4 hours postoperatively and 72 hours postoperatively (p <0.001). Other variables that were significantly associated with NT-proBNP were age, body weight, type of cyanotic congenital heart disease, duration of aortic cross clamp, duration of cardiopulmonary bypass, duration of mechanical ventilation and length of stay of PICU. It can be concluded that high NT-proBNP level as a marker of low cardiac output syndrome."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57624
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rigel Kent Paat
"Latar Belakang: Penyakit arteri koroner dapat di tata laksana dengan bedah pintas arteri koroner (BPAK) menggunakan mesin pintas jantung paru (PJP) dan fraksi ejeksi (FE) yang rendah berhubungan dengan peningkatan mortalitas jangka pendek dan jangka panjang. Kejadian AKI pascaoperasi BPAK dengan mesin PJP merupakan kejadian yang cukup sering dengan prevalensi bervariasi antara 7,6-48,5%. Patogenesis acute kidney injury(AKI) pascaoperasi jantung bersifat kompleks dan multifaktorial, dengan beberapa mekanismenya melibatkan proses inflamasi, iskemia-cedera reperfusi, dan stres oksidatif. Hingga saat ini belum ada pedoman strategi proteksi ginjal pada operasi BPAK. Glutamin, sebuah asam amino esensial-kondisional memiliki efek anti inflamasi dan anti oksidena melalui induksi heat shock protein (HSP) dan produksi antioksidan glutathione (GSH). Sehingga, dihipotesiskan pemberian glutamin dapat menurunkan kejadian AKI menurunkan gangguan fungsi ginjal pascaoperasi BPAK.
Metodologi: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif pada pasien yang menjalani operasi BPAK menggunakan mesin PJP dengan FE rendah. Subjek dibagi menjadi kelompok yang mendapat glutamin intravena praoperasi dan kelompok yang tidak mendapat glutamin. Kejadian AKI 24 jam pascaoperasi, kadar kreatinin serum 24 jam pascaoperasi dan estimated glomerular filtration rate(eGFR) 24 jam pascaoperasi merupakan luaran yang dinilai pada penelitian ini.
Hasil: Dari hasil penelitian didapatkan kejadian AKI 24 jam pascoperasi pada kelompok glutamin sebesar 3,3% dan kelompok kontrol 10%. Namun, tidak didapatkan hubungan bermakan kejadian AKI 24 jam pascaoperasi terhadap pemberian glutamin intravena praoperasi (p=0,612). Dari hasil pemeriksaan eGFR 24 jam pascaoperasi, didapatkan rerata kelompok kontrol 57,67 ± 18,86 mL/min/1,73m2dan kelompok glutamin 64,43 ± 17,56 mL/min/1,73m2, namun tidak berbeda bermakna (p=0,156). Dari hasil pemeriksaann kreatinin serum 24 jam pascaoperasi, didapatkan median kelompok kontrol 1,3 (0,87 – 2,68) mg/dL dan kelompok glutamin 1,2 (0,78 – 2,35), namun hasil ini juga tidak berbeda bermakna (p=0,258)
Kesimpulan: Pemberian glutamin intravena praoperasi pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP, tidak memiliki hubunga bermakna terhadap kejadian AKI dan eGFR serta kadar kreatinin serum 24 jam pascaoperasi.

Background: Coronary artery disease can be managed by coronary artery bypass graft surgery (CABG) using a cardiopulmonary machine (CPB) and low ejection fraction (FE) is associated with increased short-term and long-term mortality. The incidence of postoperative acute kidney injury (AKI) after CABG using a CPB machine is quite common with a prevalence varying between 7.6-48.5%. The pathogenesis AKI after cardiac surgery is complex and multifactorial, with several mechanisms involving inflammation, ischemia-reperfusion injury, and oxidative stress. Until now, there are no guidelines for kidney protection strategies in CABG surgery. Glutamine, a conditionally essential amino acid has anti-inflammatory and anti-oxidant effects through the induction of heat shock protein (HSP) and the production of the antioxidant glutathione (GSH). Thus, it is hypothesized that the administration of glutamine can reduce the incidence of AKI and decrease renal function impairment after CABG surgery.
Methods: This study is a retrospective cohort study in patients who underwent CPA surgery using a PJP machine with low FE. Subjects were divided into groups that received preoperative intravenous glutamine and groups that did not receive glutamine. The incidence of AKI 24 hours postoperatively, serum creatinine levels 24 hours postoperatively and the estimated glomerular filtration rate (eGFR) 24 hours postoperatively were the outcomes assessed in this study.
Results:From this study, the incidence of AKI 24 hours postoperatively in the glutamine group was 3.3% and the control group was 10%. However, there was no significant relationship between the incidence of AKI 24 hours postoperatively with preoperative intravenous glutamine administration (p=0.612). From the results of the 24-hour postoperative eGFR examination, the mean of the control group was 57.67 ± 18.86 mL/min/1.73m2 and the glutamine group was 64.43 ± 17.56 mL/min/1.73m2, but not significantly different (p= 0.156). From the results of serum creatinine examination 24 hours postoperatively, the median control group was 1.3 (0.87 – 2.68) mg/dL and the glutamine group 1.2 (0.78 – 2.35) mg/dL, but these results also did not differ significantly (p=0,258)
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>