Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155864 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rezkita Rasyid
"Utopia hadir sebagai bagian dari ruang imajinasi yang mensimulasikan ruang ideal dengan latar belakang ketidaksempurnaan dalam realita.  Kehadiran utopia dilengkapi dengan heterotopia, sebuah bentuk aktualisasi tempat dengan karakter ideal.  Heterotopia digambarkan sebagai sebuah konsep ruang merujuk pada simulasi utopia dapat termanifestasi sebagai representasi sehingga kehadirannya terlihat nyata. Media film mampu menangkap konsep utopia dan heterotopia, lalu mentranslasikannya dalam bentuk gambar bergerak yang menggambarkan realitas yang beriringan dengan ruang dan waktu.  Kemampuan pada film tersebut kemudian memunculkan simulacra, sebuah situasi saat realitas yang dilihat di media adalah realitas semu.  Akibatnya, perbedaan antara bagian original (asli) dan copy (imitasi) menjadi samar dan batasnya memudar.  Implementasi yang hadir pada film adalah penonton dapat melihat ruang sebagai sebuah realita.  Tujuan studi ini adalah melihat konsep utopia dan heterotopia melalui melalui simulasi dan hubungan original dan copy dalam film The Chronicles of Narnia: The Lion, the Witch, and the Wardrobe.  Film tersebut menghadirkan pada penonton sebuah ruang untuk masuk dan melarikan diri ke dalamnya sebagai sebuah ruang bersifat utopia.  Sehingga dari potensi tersebut, dapat terlihat bahwa peran media sangat besar dalam mencerminkan ide ruang utopia dalam simulacara.

 


Utopia exist as a part of imagination realm that simulated an ideal space with imperfect reality background.  The idea of utopia as an ideal space is also related to heterotopia, a space used to describe the idea of utopia.  Heterotopia can be seen as the physical form of utopia condition.  Utopia can be visualized through film as a media and can manifest the idea of utopia and heterotopia then translate it into a sequence of images that picture reality in different time and space.  The ability of film as a media to present utopia in a space is connected simulacra.  In media, simulacra often showed as a duplication of the reality and people believe what they see instead of the existing facts, or what it’s called as a fake reality.  As a result, the distinction between the original and the copy starts to blur.  The implementation that came with the result is, the viewer could see the space in film as a reality.  Because of the implementation, the purpose of this study is to capture the concept of utopia and heterotopia through the simulation and its relation to the original and the copy.  This study also shows how the media could reflect the idea of utopia in space and heterotopia inside simulacra.  This research leads to how The Chronicles of Narnia: The Lion, the Witch, and the Wardrobe could reflect the idea of utopia within it spaces and how it copies the reality in real world and turns it into a simulation.

 

"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eddline Kusuma Andani
"

Pemberdayaan perempuan sering digunakan dalam film untuk mengedepankan tokoh perempuan yang suara dan tindakannya sering tidak terlihat. Agensi, suara, dan kekuasaan adalah elemen yang saling terkait dalam membantu membentuk sosok perempuan yang berdaya. Film adaptasi The Chronicles of Narnia: Prince Caspian (2008) memakai pendekatan yang berbeda dalam menyampaikan cerita sehingga terdapat perbedaan yang siginifikan pada alur dan tokoh Susan Pevensie yang digambarkan lebih berdaya dalam film daripada di buku. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan, bahwa meskipun di dalam film Susan ditampilkan lebih berdaya, film ini tidak sepenuhnya memberdayakan Susan. Masih ada penggambaran yang memosisikan Susan sebagai tokoh yang inferior. Dengan menggunakan teori agensi oleh Trites (1997), teori representasi oleh Hall (1997), dan unsur-unsur analisis film oleh Bordwell dan Thompson (2013), penelitian ini akan mengidentifikasi perbedaan penggambaran Susan dibandingkan tokoh laki-laki dan memeriksa agensi, suara, dan kekuatannya dalam buku dan film. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemosisian Susan di dalam film tidak terlalu jauh berbeda dari pemosisian Susan di dalam buku. Ia tetap diposisikan sebagai tokoh yang lebih rendah daripada tokoh laki-laki. Dengan demikian, meskipun film menggambarkan Susan sebagai tokoh perempuan yang berdaya melalui perubahan alur dan representasi visualnya, film masih jatuh ke dalam perangkap stereotip gender. Beberapa mise-en-scène dalam film masih mewakili sistem patriarki dalam penggambaran stereotip gendernya yang kontraproduktif dengan upaya film tersebut untuk memberdayakan Susan.

 

 


Women empowerment is often used in films to bring forward female characters whose voices and actions are often put in the background. Agency, voice, and power are inter-connected elements in helping to shape an empowered female figure. The film adaptation of The Chronicles of Narnia: Prince Caspian (2008) takes a different approach in delivering the story which results in significant differences in the plot and Susan Pevensie’s character who is portrayed to be more empowering in the film than in the novel. This research aims to show that although in the film Susan is portrayed to be more empowering, it still does not fully empower Susan. There are several depictions that position Susan as an inferior character. By using agency theory by Trites (1997), representation theory by Hall (1997), and elements of film analysis by Bordwell and Thompson (2013), this research aims to identify the differences in Susan’s depictions compared to the male characters and analyze her agency, voice, and power in the novel and film of The Chronicles of Narnia: Prince Caspian. The result shows that Susan’s positioning in the film is not so much different from her positioning in the novel. She is still positioned as a character who is inferior to the male characters. Although Susan is portrayed as an empowered female character through the changes of the plot and her visual representation, the film still falls into the trap of gender stereotyping. Some mise-en-scène in the film still represent the patriarchal system in its gender stereotyped portrayal which is counterproductive to the effort of the film to empower Susan.

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lewis, C.S.
New York: Harpercollins Publishers, 1994
813 LEW l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lewis, C.S.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005
808.3 LEW pt
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
More, Thomas, Saint, 1478-1535
New York: Appleton Century-Crofts, 1949.
321.07 MOR u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Amara Pradnyanitha
"Jerman merupakan negara yang inklusif terhadap kehadiran LGBTQI+ di tengah masyarakat dan bahkan Jerman melegalkan status pernikahan sesama jenis. Namun, tahun 2021 dan 2022 menjadi tahun yang kelam bagi kelompok LGBTQI+ karena maraknya kasus-kasus kekerasan akibat homofobia di Jerman. Secara historis, hal ini berkaitan dengan masa lalu Jerman pada era Nazi yang membenci kaum minoritas seperti homoseksual dan Yahudi. Sehingga, pengisahan ini ditampilkan dalam banyak film, salah satunya adalah film drama berjudul Große Freiheit (2021). Untuk meneliti persoalan mengenai homofobia dan ruang aman oleh komunitas LGBTQI+ sebagai upaya mengekspresikan diri mereka pada era pasca Perang Dunia II, penulis meneliti dengan metode analisis tekstual dengan teori semiotika oleh John Fiske, Masculinities (2005) oleh R.W Connel, dan Space, Place, and Violence oleh James Tyner (2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa homofobia terjadi di dalam penjara sebagai bentuk konstelasi hukum yang patriarki. Selain itu, ruang aman yang menjadi bagian perjuangan kelompok LGBTQI+ tidak seluruhnya inklusif dan menjamin keajegan identitas homoseksual.

Germany is a country that is inclusive of LGBTQI+ community and even has legalized same-sex marriage. However, 2021 and 2022 was dark years for LGBTQI+ community due to the rise of homophobic violence cases in Germany. Historically, this is related to Germany's past during the Nazi era, which hated minorities such as homosexuals and Jews. Thus, this storytelling is featured in many films, one of which is the drama film Große Freiheit (2021). To examine the issue of homophobia and safe space as an effort for LGBTQI+ community to express themselves in the post-World War II era, the author examines the textual analysis method with semiotic theory by John Fiske, Masculinities (2005) by R.W Connel, and Space, Place, and Violence by James Tyner (2012). The results show that homophobia occurs in prison as a form of patriarchal legal constellation. In addition, safe spaces that are part of the struggle of LGBTQI+ groups are not entirely inclusive and guarantee the constancy of homosexual identity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maulina Fajrini
"Film berperan sebagai media representasi utama yang digunakan oleh para ahli sejarah dalam menampilkan kembali ruang kota di masa lalu lewat nostalgia. Memori-memori memberikan identitas ruang dalam set film sebagai karakter utama sehingga memunculkan ruang lain yang bersifat imajiner, salah satunya merupakan ruang utopia. Ruang utopia masa lalu di dalam film direpresentasikan lewat simbol yang menjadi kunci utama dalam mengaitkan plot cerita dan mengandung nilai-nilai tradisional yang dapat mendukung keadaan utopia masa lalu sebagai tema utama representasi. Skripsi ini menggunakan 2 film berbeda yang diproduksi dalam 15 tahun terakhir, Pleasantville (1998) dan Midnight in Paris (2011) untuk melihat bagaimana representasi yang dihadirkan terhadap ruang kota utopia masa lalu berdasar pada persepsi personal.

Films are used, by historian, as the primary media of representing urban space in the past through nostalgia. Memories are the main characteristics of the identity in film set space. Hence the production of another space, an imaginary space, the utopia. Utopian space of the past in films are represented in symbols which become the key in story plots. These contain traditional values that enhances the utopia state of the past as the representation main theme. This writing utilises two different films which are produced within the last fifteen years, “Pleasantville” (1998) and “Midnight in Paris” (2011), in order to analyze how the representation of the past utopian urban space are based on personal perception."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S46356
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lewis, C.S.
Jakarta: Gramedia, 2006
808.3 LEW k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Thariq Purnomosidi
"ABSTRAK
Film merupakan sebuah seni yang mempadupadankan berbagai macam bidang seni lainnya, dimulai dari fotografi, sinematografi, suara, akting, set panggung, hingga cahaya. Padupadan ini membutuhkan berbagai macam ahli didalamnya supaya dapat menghasilkan film yang diinginkan. Cahaya, sebagai salah satu unsur dalam film, memiliki fungsi untuk memberi penerangan pada film sehingga gambar yang dihasilkan dapat tersampaikan secara jelas dan baik kepada penonton. Lebih dari itu, pencahayaan pada film juga memiliki fungsi untuk membentuk ruang yang akan memberi makna lebih pada set, latar, gambar, juga mood. Dalam bahasa lain, teknik pencahayaan membentuk karakter ruang spasial arsitektural dalam film.Dalam hal ini, dibutuhkan serangkaian skill dalam mereka cahaya agar tercipta pencahayaan yang bagus. Dalam penerapannya, pencahayaan dalam film membutuhkan sebuah proses kreatif supaya kualitas ruang yang tercipta selaras dengan keinginan pembuat film. Pesatnya teknologi memunculkan banyak teknik-teknik baru dalam mereka cahaya ruang spasial dalam film. Disini, para kreator dihadapi dengan masalah bagaimana dapat menciptakan kualitas cahaya sesuai dengan kebutuhan ruang yang diinginkan sehingga film akan sesuai dengan keinginan sutradara.

ABSTRACT
Film is an art that collaborate various kinds of art, begin with photography, cinematography, sound, acting, stage set, until light. This collaboration needs many experts so that it can produce a good film. Lighting, as an element in film, has a function to enlight the set in a film so that the image is conveyed good to the audience. More than that, lighting in film also has a function to shape space that give more meanings to the set, background, image, and mood. So that lighting shape character of architectural spatial in film. In this case, there is a need of some skills in shaping light so that the lighting in film is good. In the aplication, creating light in film needs creative processes so that the space quality created is in harmony with what the director want. In addition, the growth of technology create many new technique in simulating lighting in space in film. Here, the creators are dealing with the problem of how to create lighting according to spatial needs that the director want in a film."
2017
S67307
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khaulah
"Postmodernisme muncul dilatarbelakangi oleh kesadaran akan tidak ada lagi suatu stabilitas dan sering kali akan tidak mungkinnya ada perbedaan antara suatu realitas dan simulasi. Postmodernisme memiliki tujuan untuk menciptakan ekspresi baru bukan hanya melalui seni namun juga kultur. Akibatnya, kota-kota era Postmodern berhubungan dengan suatu image tertentu akan perkotaan, yang terdiri dari konglomerasi ide dan gambar. Ide akan postmodernisme memiliki keterkaitan dengan ruang-ruang simulasi dan kehidupan hiperrealitas. Dampak negatif dari hiperrealitas terlihat dari sisi media dan literatur yang merupakan ancaman untuk masyarakat kontemporer dalam kaitannya dengan realitas dan representasi. Film mampu menangkap krisis Postmodern baik dalam penggunaan gambarnya secara visual maupun kemampuannya untuk berubah beriringan dengan ruang dan waktu. Skripsi ini bertujuan untuk melihat ide tentang hiperrealitas dan simulasi dari teori Postmodern bisa membantu kita memahami realitas dalam pengalaman kehidupan di ruang urban dan bagaimana media berperan membentuk image hiperrealitas ruang urban. Skripsi ini juga bertujuan untuk melihat analisis hiperrealitas dari media film The Truman Show dengan ide tentang kehidupan di era Postmodern yang direfleksikan terhadap ruang urban nyata

Postmodernism emerged as a result of the awareness that there is no longer stability and often an impossible difference between reality and simulation. The idea of postmodernism is related to the theory of simulation and images of hyperreality. The negative impact of hyperreality can be seen from media and literature, which pose a threat to contemporary society in terms of reality and representation. Film has an ability to capture the Postmodern crisis, with its visual use of images, with its ability to change continuously. The purpose of this study is to see how the characteristics of postmodernism can affect reality inside of an urban system, to see how the image of hyperreality can be understood through films, and to see where the role of media becomes significant in delivering information related to reality. This study also aims to see the effect of hyperreality, through the reflection from the The Truman Show film’s analysis, on today’s real urban spaces."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>