Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147534 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Melya Arianti
"Pasien dengan disfagia rentan mengalami komplikasi seperti pneumonia aspirasi hingga kematian. Oleh karena itu diperlukan alat skrining untuk mendiagnosis disfagia secara cepat. GUSS merupakan alat skrining dengan validitas dan reliabilitas yang baik dalam menilai disfagia, namun belum dilakukan uji diagnostik di Indonesia. Subjek penelitian terdiri dari pasien disfagia neurogenik yang kemudian menjalani pemeriksaan GUSS-INA dengan modifikasi bahan uji, dilanjutkan dengan pemeriksaan baku emas FEES. Selanjutnya, dilakukan uji diagnostik untuk melihat sensitivitas dan spesifisitas GUSS-INA sebagai metode skrining disfagia. Rerata pasien disfagia neurogenik di RSCM berusia 56 tahun dengan jumlah proporsi laki – laki lebih besar dengan penyebab tersering adalah stroke, dengan komorbid hipertensi (56.5%), dengan komplikasi pneumonia 21.7%. Sebagian besar mengalami disfagia kronik, seluruh pasien mengalami keluhan subjektif disfagia dengan 3 gejala tersering adalah batuk, tersedak, dan sulit menelan terutama konsistensi padat. Lebih dari separuh pasien membutuhkan selang makan. Rerata status gizi pasien menunjukan indeks masa tubuh 24.92, dengan rerata penurunan BB 2 kg. Berdasarkan pemeriksaan pencitraan pasien stroke, lokasi tersering berada supratentorial, dengan derajat stroke sedang. Rerata nilai GUSS 14 (disfagia sedang) pada seluruh subjek, 28.3% mengalami aspirasi. Hasil Uji diagnostik GUSS-INA sebagai alat skrining deteksi disfagia memiliki nilai Sensitivitas 84%, Spesifisitas 78%, NDP 94%, NDN 54% dan AUC 0.86. Modalitas GUSS-INA dapat dijadikan alat skrining disfagia yang cukup baik.

Patient with dysphagia has the tendency to undergo serious complications such as aspiration pneumonia that can cause increased mortality. Screening tool to effectively diagnose dysphagia in patient with difficulty swallowing is needed. GUSS is a screening tool with good validity and reliability; however, no diagnostic test has been done in Indonesia. This study samples consisted of neurogenic dysphagia patients which underwent GUSS-INA with test material modification assessment followed by FEES as gold standard examination. Diagnostic test was then done to analyze sensitivity and specificity of GUSS-INA as dysphagia screening tool. The average age of neurologenic dysphagia patients in Cipto Mangunkusumo Hospital was 56 years with higher male proportion, most common etiology was stroke, with most common morbidity being hypertension (56,5%). History of pneumonia was found in 21.7% patients.Majority of patients have chronic dysphagia, all patients had subjective dysphagia complaint with three most common symptoms being cough, choking, and difficulty swallowing especially of solid texture. More than half of the patients needed feeding tube. The average of BMI was 24.93, with average weight loss of 2 kg. Based on radiology results on post-stroke cases, the most common lesion was supratentorial, with moderate stroke score. Average GUSS score is 14 (moderate dysphagia) from all subjects and in 18.3% patients aspiration in found. Diagnostic test result of GUSS-INA as screening tool for neurogenic dysphagia had 84% sensitivity, 78% specificity, 94% PPV, 54% NPV, and AUC of 0.86. GUSS-INA could be used as a screening tool for dysphagia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reni Rozanti Basyar
"Disfagia merupakan ketidakmampuan menelan dengan cara yang aman dan efisien, yang dihasilkan dari berbagai kondisi medis. Identifikasi awal gangguan menelan sangat penting untuk dilakukan karena dapat menyebabkan berbagai komplikasi seperti dehidrasi, malnutrisi, dan pneumonia aspirasi. Gugging Swallowing Screen (GUSS) merupakan suatu alat uji penapisan disfagia yang menggunakan 3 konsistensi berbeda untuk ditelan (semisolid, cair dan padat). Instrumen ini memungkinkan penilaian bertahap dari kemampuan menelan, memprediksi tingkat keparahan disfagia, dan memungkinkan rekomendasi tekstur diet. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kesahihan dan keandalan instrumen GUSS yang diadaptasi dan diterjemahkan kedalam budaya dan bahasa Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di poliklinik Departemen Rehabilitasi Medik RSCM dari 1 Oktober 2021 hingga 31 Desember 2021. Metode yang digunakan adalah desain potong lintang dengan sampel berjumlah 47 orang. Uji kesahihan konstruk dinilai dengan menghitung nilai r hitung pada corrected item total correlation yang berkisar antara 0,502-0,913 dengan rerata 0.783. Nilai keandalan GUSS didapatkan dari uji konsistensi internal, uji test-retest, serta inter-rater. Nilai konsistensi internal koefisien Cronbach’s α keseluruhan 0,939, sedangkan nilai masing-masing subtes 0,939 pada tes menelan tidak langsung, 0,793 tes menelan langsung. Uji test-retest dengan waktu minimum dari 1 uji ke uji berikutnya adalah 2 jam, didapatkan nilai intraclass correlation coefficient (ICC) 0,939 (95% confidence interval 0,910 – 0,962). Perhitungan uji statistik Kappa antar dua pemeriksa berdasarkan total item didapatkan nilai koefisien к=0,789 (p<0,001). Berdasarkan proses translasi, adaptasi bahasa, uji kesahihan dan keandalan maka dapat disimpulkan GUSS versi bahasa Indonesia merupakan instrumen yang sahih dan memiliki keandalan yang baik antara rater untuk digunakan sebagai alat uji penapisan tingkat keparahan disfagia di Indonesia.

Dysphagia is the inability to swallow safely and efficiently, resulting from various medical pathologies. Early identification of swallowing disorders is very important because it can cause complications such as dehydration, malnutrition, and aspiration pneumonia. Gugging Swallowing Screen (GUSS) is a dysphagia screening tool that uses 3 different consistencies to be swallowed (semisolid, liquid and solid). This instrument allows a stepwise assessment of swallowing ability, predicts the severity of dysphagia, and allows recommendations for dietary texture. This study aims to examine the validity and reliability of the GUSS instrument which was adapted and translated into Indonesian culture and language using the WHO guideline. This research was conducted at the RSCM Medical Rehabilitation Department Polyclinic from 1 October 2021 to 31 December 2021. The method used was a cross-sectional design with a sample of 47 people. The validity test was assessed by calculating the value of corrected item total correlation 0.783(95% confidence interval 0.502-0.913). The reliability test of GUSS is obtained from internal consistency, test-retest, and inter-rater tests. The overall internal consistency value of Cronbach's α coefficient is 0.939, while the value of each subtest is 0.939 on the indirect swallowing test, 0.793 on the direct swallowing test. Test-retest test with a minimum time from 1 test to the next test is 2 hours, obtained an intraclass correlation coefficient (ICC) value of 0.939 (95% confidence interval 0.910 – 0.962). Calculation of the Kappa statistical test between two examiners based on total items obtained a coefficient value of к=0.789 (p<0.001). Based on the translation process, language adaptation, validity, and reliability tests, it can be concluded that the Indonesian version of the GUSS is a valid instrument and has good reliability among raters to be used as a screening test tool for the severity of dysphagia in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mellisya Ramadhany
"Gangguan menelan atau disfagia sering dijumpai pada pasien stroke, kanker kepala dan leher, serta lansia. Disfagia dapat meningkatkan risiko malnutrisi, aspirasi, dan kematian. Pasien disfagia juga rentan mengalami ansietas atau depresi yang berdampak pada penurunan kualitas hidup. Dysphagia Handicap Index (DHI) merupakan instrumen swaisi yang dirancang khusus untuk menilai kualitas hidup pasien disfagia. Instrumen DHI terdiri dari 25 pertanyaan yang meliputi penilaian domain fisik, fungsional, dan emosional, serta telah diterjemahkan dan divalidasi dalam berbagai bahasa. Penelitian ini bertujuan untuk menguji validitas dan reliabilitas DHI versi Bahasa Indonesia. Kuesioner DHI diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia melalui proses forward translation dan backward translation, serta cognitive debriefing. Hasil terjemahan balik juga didiskusikan dan disetujui oleh penulis utama DHI. Kuesioner DHI versi Bahasa Indonesia (DHI-INA) final kemudian diujikan kepada 46 subjek dengan berbagai etiologi disfagia. Sebanyak 20 subjek kemudian melakukan pengisian ulang satu minggu setelah pengisian pertama. DHI-INA menunjukkan korelasi yang kuat antara masing-masing domain dan skor total [fisik (r = 0,93); fungsional (r = 0,97); emosional (r = 0,93); dan keparahan (r = 0,84)]. Konsistensi internal DHI-INA juga menunjukkan nilai yang baik (Cronbach's = 0,87), begitu pula uji tes-retest untuk skor total (ICC = 0,94). Tingkat keterbacaan DHI-INA setara dengan kelas 7 berdasarkan formula grafik Fry. Kuesioner DHI-INA merupakan kuesioner yang valid dan reliabel untuk menilai kualitas hidup pasien disfagia.

Swallowing problem or dysphagia often found in stroke patients, head and neck cancer, and elderly. Dysphagia increases the risk of malnutrition, aspiration, and death. Patient with dysphagia also prone to have anxiety or depression which has an impact on decreasing quality of life. The Dysphagia Handicap Index (DHI) is a self-administered instrument specially designed to assess the quality of life of dysphagic patients. The DHI instrument consists of 25 questions covering physical, functional, and emotional aspects and has been translated and validated into various languages. This study aims to test the validity and reliability of the Indonesian version of DHI. The DHI questionnaire was translated into Indonesian through a forward and backward translation process, and cognitive debriefing. The backward translation results were discussed and approved by the lead author of DHI. The final Indonesian version of the DHI Questionnaire (DHI-INA) was then tested on 46 subjects with various etiologies of dysphagia. A total of 20 subjects were then refilled one week after the first administration. DHI-INA showed strong correlation between each domain and total score [physical (r = 0.93); functional (r = 0.97); emotional (r = 0.93); and severity (r = 0.84)]. The internal consistency of DHI-INA was also good (Cronbach's a = 0.87), as well as test–retest reliability for the total scores (ICC = 0.94). The readability level of DHI-INA is 7th grade using the Fry graph formula. The DHI-INA questionnaire is a valid and reliable questionnaire to assess the quality of life of dysphagia patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Trisnawaty
"Kemampuan makan dan menelan pada anak bersifat dinamis sejalan dengan proses tumbuh kembang anak. Struktur anatomi mengalami pertumbuhan yang selanjutnya berdampak pada kematangan fungsi menelan. Gangguan pada proses menelan menyebabkan disfagia. Tesis ini membahas mengenai gambaran proses menelan pada anak dengan kecurigaan disfagia, dengan menggunakan pemeriksaan menelan dengan endoskopi serat optik lentur, serta menilai karakteristik percontoh berdasarkan usia, masa kehamilan, pengasuh, gejala, komplikasi serta kelainan medis. Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan desain deskriptif pada 54 subyek yang diambil secara berurutan. Hasil dari penelitian ini didapatkan prevalensi disfagia pada anak dengan kecurigaan kesulitan makan sebesar 63 . Gejala disfagia pada anak le; 6 bulan yang paling sering adalah apnea saat menyusu 7/34 . Sedangkan pada anak > 6 bulan adalah postur tubuh terganggu 10/34 , mengeces berlebih 6/34 , dan batuk saat makan 8/34 . Kelainan medis yang mendasari adalah kelainan struktural 25/34 , kelainan jantung / paru / laring 24/34 , dan kelainan neurologis 23/34 . Komplikasi yang terjadi adalah PRGE 12/34 , gagal tumbuh 10/34 , dan pneumonia aspirasi 3/34 . Pada pemeriksaan FEES didapatkan standing secretion 22/34 dan pergerakan lidah terganggu 20/34 adalah tanda yang sering ditemukan pada anak disfagia; dan residu sering terjadi pada konsistensi tim kasar 44,7 , penetrasi pada konsistensi air 44,2 , serta aspirasi pada konsistensi susu 34,8 .Kata kunci: aspirasi, disfagia, pemeriksaan menelan dengan endoskopi serat optik lentur, penetrasi, residu, sekret yang terkumpul di hipofaring.

Eating and swallowing ability in Children had dynamic characteristic and closely related with growth process in themselves. The anatomical structure underwent growth process, therefore had impact in the maturity of swallowing ability. Disruption of swallowing process may caused dysphagia. This study use Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing FEES and also assessed the characteristics of the subjects based on age, gestation age, caregivers, symptom, complication, and medical disorder. This study is a descriptive cross sectional design involving 54 subjects with consecutive sampling. The result of this study are prevalence of dysphagia is 63 in children with dysphagia suspicion. Dysphagia symptom in children 6 months, apnea while bottle breast feeding 7 34 . Meanwhile, in children 6 months, postural impairment 10 34 , drooling 6 34 , and cough while eating 8 34 . Underlying disease are structural anomaly 5 34 , cardiopulmonary larynx disorder 24 34 and neurological disorder 23 43 . The complication are GERD 12 34 , failure to thrive 10 34 , and aspiration pneumonia 3 34 . In FESS examination, standing secretion 22 34 and impaired tongue movement 20 34 are sign for dysphagia, and residue is more common in gastric rice consistency 44,7 while penetration in thin liquid 44,2 and aspirations is more common in thick liquid 34,8."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wilson Khodavian
"Latar Belakang: Disfagia adalah gangguan fungsi menelan yang disebabkan oleh gangguan neurologik, non-neurologik, ataupun campuran. Disfagia dapat menyebabkan berbagai komplikasi yang membahayakan kehidupan jika tidak ditangani dengan baik. Profil pasien disfagia baik di Indonesia maupun di negeri lain tidak terdata dengan baik sehingga diperlukan lebih banyak penelitian dalam hal ini guna meningkatkan kualitas dan efisiensi rehabilitasi disfagia di masa yang mendatang. Metode: Penelitian deskriptif retrospektif ini dilakukan di RSCM dengan mendata profil 52 pasien disfagia yang datang ke poli rehabilitasi medik RSCM dari Januari sampai dengan Juni 2023 yang terpilih menggunakan teknik consecutive sampling. Usia, jenis kelamin, fase disfagia, etiologi disfagia, dan derajat disfagia dari subjek terpilih dikumpulkan melalui akses rekam medis masing-masing pasien. Hasil: Subjek berumur 58–67 tahun paling prevalen dengan perbandingan keseluruhan jenis kelamin subjek laki-laki terhadap perempuan sebesar 1.08:1. Seluruh subjek didiagnosis dysphagia orofaringeal dan 84,6% kasus disebabkan oleh etiologi neurologik. Derajat disfagia beragam di antara subjek dengan skor penetration-aspiration scale (PAS) 8 paling prevalen (32,7%). Kesimpulan: Penelitian ini telah mendata profil usia, jenis kelamin, fase disfagia, etiologi disfagia, dan derajat disfagia dari 52 pasien disfagia yang terpilih. Data yang telah terkumpul dan disajikan direkomendasikan untuk dipakai dan dianalisis lebih lanjut oleh penelitian lain di masa mendatang.

Background: Dysphagia is defined as the dysfunction in swallowing which is caused by neurologic, non-neurologic, and other mixed etiologies. Dysphagia can lead to multiple life-threatening complications if proper intervention isn’t given. Profiles of patients with dysphagia aren’t well documented in Indonesia nor in other countries. This calls for more researches to study this topic to increase the quality and efficiency of dysphagia rehabilitation in the future. Methods: A retrospective descriptive study was done at RSCM by collecting the data of 52 patients with dysphagia that visited RSCM’s medical rehabilitation ward from January to June of 2023 chosen with the consecutive sampling technique. Age, gender, dysphagia phase, dysphagia etiology, and dysphagia degree of selected subjects was collected by accessing the their medical records. Results: Subjects aged 58–67 years old were the most prevalent with an overall comparable man to woman ratio of 1.08:1. All subjects were diagnosed with oropharyngeal dysphagia mostly caused by neurologic etiologies (84,6%). Dysphagia degree amongst subjects showed a considerable variety with a penetration-aspiration scale (PAS) score of 8 being the most prevalent (32.7%). Conclusion: This research has documented the age, gender, dysphagia phase, dysphagia etiology, and dysphagia degree profiles of 52 selected dysphagic patients. The data presented is recommended to be used and analysed further in future studies."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marion Cinta Kuntjoro
"ABSTRAK
Latar Belakang: Disfagia fase faring ditemukan pada sebagian besar pasien karsinoma nasofaring (KNF) pasca-kemoradiasi. Manuver Mendelsohn bertujuan untuk meningkatkan durasi elevasi kompleks hyolaringeal, telah digunakan dalam penatalaksanaan disfagia dengan berbagai penyebab. Penelitian ini menilai pengaruh latihan manuver Mendelsohn pada penderita KNF pasca-kemoradiasi dengan disfagia fase faring.
Metode: Desain kuasi eksperimen dengan penilaian sebelum dan sesudah latihan menelan dengan manuver Mendelsoh selama 6 minggu. Penelitian dilakukan pada 20 pasien KNF yang memenuhi kriteria penelitian. Sampel didapat secara konsekutif. Penilaian dilakukan dengan flexible endoscopic swallowing study (FEES) terhadap standing secretion, residu, penetrasi, dan aspirasi menggunakan konsistensi pure, thick liquid dan thin liquid.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakan pada penilaian standing secretion (p=0,034). Penilaian terhadap residu mendapatkan perbedaan bermakna pada pemberian pure dan thick liquid (p=0,021 dan p=0,008), sedangkan pada pemberian thin liquid tidak didapatkan perbedaan bermakna (p=0,129). Penilaian terhadap penetrasi mendapatkan perbedaan bermakna pada pemberian pure dan thick liquid (p=0,034 dan p=0,008), pada pemberian thin liquid tidak didapatkan perbedaan bermakna (p=0,059). Penilaian terhadap aspirasi tidak mendapatkan perbedaan bermakna pada pemberian ketiga konsistensi (p=>0,05).
Kesimpulan: Latihan menelan dengan manuver Mendelsohn selama 6 minggu memeperbaiki standing secretion, residu pada pemberian pure dan thick liquid, penetrasi pada pemberian pure dan thick liquid. Latihan ini tidak memperbaiki aspirasi secara bermakna pada pemberian ketiga konsistensi.

ABSTRACT
Background: Dysphagia is commonly seen in patients with nasopharingeal carcinoma (NPC) post chemoradiation. The Mendelsohn maneuver which promotes a prolonged voluntary of hyolaryngeal elevation at the peak of swallowing process has been used to treat various causes of pharyngeal dysphagia. The aim of the study was to see of the influence of swallowing exercise with Mendelsohn manuever in post-chemoradiation NPC patients with pharyngeal phase dysphagia.
Methods: A quasi experimental with pre and post-test assessment at before and after six weeks exercise of Mendelsohn manuever. The study was conducted on 20 NPC patients who met the study criteria. Flexible endoscopic of swallowing study (FEES) was used to asess standing secretion, residue, penetration, and aspiration by giving 3 consistency of food/fluid (pure, thick liquid and thin liquid).
Results: There was a significant difference in standing secretion assesment (p=0,034). Significant differences were found in residue assesment of pure and thick liquid, although no significant difference was found in thin liquid (p=0,129). There were also significant differences in penetration assesment of pure and thick liquid (p=0.034 and p = 0.008), but no significant difference in thin liquid ( p = 0.059 ). The study did not find significant differences in assesment of aspiration in all kind of consistencies (p > 0.05).
Conclusion: Six weeks swallowing exercise with Mendelsohn manuever can reduce severity of standing secretion, residue and penetration of pure and thick liquid. However the exercise improve aspiration status but did not reach significant difference at all consistencies. ;Background: Dysphagia is commonly seen in patients with nasopharingeal carcinoma (NPC) post chemoradiation. The Mendelsohn maneuver which promotes a prolonged voluntary of hyolaryngeal elevation at the peak of swallowing process has been used to treat various causes of pharyngeal dysphagia. The aim of the study was to see of the influence of swallowing exercise with Mendelsohn manuever in post-chemoradiation NPC patients with pharyngeal phase dysphagia.
Methods: A quasi experimental with pre and post-test assessment at before and after six weeks exercise of Mendelsohn manuever. The study was conducted on 20 NPC patients who met the study criteria. Flexible endoscopic of swallowing study (FEES) was used to asess standing secretion, residue, penetration, and aspiration by giving 3 consistency of food/fluid (pure, thick liquid and thin liquid).
Results: There was a significant difference in standing secretion assesment (p=0,034). Significant differences were found in residue assesment of pure and thick liquid, although no significant difference was found in thin liquid (p=0,129). There were also significant differences in penetration assesment of pure and thick liquid (p=0.034 and p = 0.008), but no significant difference in thin liquid ( p = 0.059 ). The study did not find significant differences in assesment of aspiration in all kind of consistencies (p > 0.05).
Conclusion: Six weeks swallowing exercise with Mendelsohn manuever can reduce severity of standing secretion, residue and penetration of pure and thick liquid. However the exercise improve aspiration status but did not reach significant difference at all consistencies. "
2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Latar Belakang: Disfagia adalah kesulitan dalam memulai atau menyelesaikan proses menelan. Disfagia dapat dibedakan menjadi disfagia orofaring dan disfagia esofagus. Sebagian besar pasien dengan keluhan disfagia mengeluhkan atau mengalami kesulitan menelan terutama pada fase orofaring. Disfagia orofaring dapat disebabkan oleh kelainan neurologis dan kelainan struktur yang terlibat dalam proses menelan. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan kejadian temuan FEES pada disfagia neurogenik dan mekanik. Metode: Penelitian observasional pada 10 kasus disfagia neurogenik dan 40 kasus disfagia mekanik kemudian dilakukan pemeriksaan FEES untuk melihat regurgitasi,
leakage, residu, penetrasi, dan aspirasi setelah diberikan 6 jenis bolus makanan yang berbeda mulai dari air, susu, bubur saring, bubur tepung, bubur biasa 5 ml, dan seperempat biskuit. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna antara disfagia neurogenik dengan disfagia mekanik dalam hal kejadian residu air (p=0,001; RP=16,000; IK 95%: 2,830-90,465), penetrasi (p=0,006; RP=9,333; IK 95%: 1,721-50,614). Penetrasi air (p=0,020; RP=6,000; IK 95%: 1,365–26,451), aspirasi (p=0,018; RP=7,000; IK 95%:
1,480-33,109), aspirasi air (p=0,018; RP=7,000; IK 95%: 1,480-33,109). Tidak didapat perbedaan yang bermakna dalam hal regurgitasi; leakage; residu susu, bubur saring, bubur tepung, dan biskuit; penetrasi susu, bubur biasa, bubur tepung, dan biskuit; serta aspirasi susu, bubur biasa, bubur tepung, dan biskuit. Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna antara disfagia neurogenik dengan mekanik dalam hal kejadian residu air, penetrasi air, aspirasi, dan aspirasi air. Tidak didapat perbedaan yang bermakna dalam hal regurgitasi, leakage, residu, penetrasi, dan aspirasi pada konsistensi yang lain."
ORLI 44:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Keenan Efendi
"Latar Belakang Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi dari stroke adalah PSD (post-stroke dysphagia). Hingga saat ini, belum banyak penelitian yang dilakukan untuk membandingkan karakteristik klinis disfagia pada pasien stroke iskemik dan hemoragik dengan kuesioner EAT-10 (eating assessment test-10) dan FEES (flexible endoscopic examination of swallowing). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk meneliti berbagai karakteristik klinis dari disfagia pada pasien stroke dengan kuesioner EAT-10 dan FEES. Metode Data rekam medis 50 pasien stroke dengan disfagia di Poli Endoskopi RSCM diambil secara konsekutif. Jenis stroke dan lesi otak dikonfirmasi dengan melihat hasil pemeriksaan radiologi (CT scan kepala). Hasil anamnesis dan pemeriksaan FEES dicatat untuk kemudian dianalisis secara statistik. Hasil Kondisi PSD lebih banyak ditemukan pada pasien lanjut usia (62%). Pasien stroke dalam studi ini paling banyak mengalami lesi pada area supratentorial, yaitu sejumlah 60%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik dalam karakteristik disfagia pada pasien stroke iskemik dan hemoragik berdasarkan pemeriksaan fisik dan FEES (p > 0,05). Namun, terdapat perbedaan bermakna dalam skor residu pada pasien stroke dengan lesi infratentorial dan supratentorial (p = 0,034). Kesimpulan Masalah penurunan berat badan dan nyeri saat menelan paling jarang dialami pasien stroke menurut kuesioner EAT-10. Terdapat 80% pasien stroke yang mengalami kebocoran pra-menelan dan 32% pasien yang mengalami aspirasi. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada karakteristik disfagia antara pasien stroke iskemik dan hemoragik berdasarkan kuesioner EAT-10 dan FEES. Variabel standing secretion dialami oleh 88,9% pasien stroke lesi infratentorial. Sejumlah 50% pasien stroke lesi supratentorial tidak memiliki masalah penetrasi dan aspirasi.

Introduction One of the most frequent complications of stroke is post-stroke dysphagia. There have not been many studies conducted to compare the characteristics of dysphagia in ischemic and hemorrhagic stroke patients based on EAT-10 (eating assessment test-10) and FEES (flexible endoscopic examination of swallowing). Hence, this study aims to examine various clinical characteristics of dysphagia in stroke patients based on EAT-10 and FEES. Method Medical record data of 50 stroke patients from Poli Endoskopi RSCM were collected consecutively. Stroke types and lesions were confirmed by looking at radiological examinations. The results of history taking and FEES were written down to be analyzed statistically. Results Post-stroke dysphagia occurs more often in older patients (62%). In this study, the most prevalent location of lesions in stroke patients was lesions in supratentorial area (60%). There was no significant difference in dysphagia characteristics between ischemic and hemorrhagic stroke patients based on EAT-10 and FEES (p > 0,05). However, there was a significant difference in residual scores between stroke patients with supratentorial lesions and infratentorial lesions (p = 0,034). Conclusion Weight loss and pain during swallowing were the least problems experienced by stroke patients according to the EAT-10 questionnaire. There were 80% of stroke patients who experienced pre-swallowing leakage and 32% of them experienced aspiration. There was no significant difference in dysphagia characteristics between ischemic and hemorrhagic stroke patients based on the EAT-10 questionnaire and FEES. Standing secretion was experienced by 88.9% of infratentorial lesion stroke patients. Half of supratentorial lesion stroke patients did not have penetration and aspiration."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Febiastuti
"Disfagia adalah kondisi medis yang berkaitan dengan kesulitan menelan. Pasien dengan disfagia tidak bisa minum cairan normal dikarenakan cairan biasa dapat masuk ke paru paru dan menyebabkan pneumonia aspirasi. Penggunaan cairan kental adalah pengobatan yang paling umum. Di bawah pedoman Australia cairan kental dibagi menjadi tiga tingkatan tingkat 150 agak tebal tingkat 400 cukup tebal dan tingkat 900 sangat tebal. Cairan mengental tersedia dalam dua bentuk sias dikonsumsi pre thickened minuman atau sebagai bubuk pengental yang dapat ditambahkan ke dalam minuman apapun hand thickened. Masalah utama dengan cairan kental adalah inkonsistensi dalam viskositas mereka antara cairan dan jenis pengental yang berbeda Juga pedoman untuk pengukuran viskositas fluida menebal sangat subjektif. Oleh karena itu tujuan pengukuran rheologi dilakukan untuk menentukan viskositas air dan susu pre thickened air dan susu menebal menggunakan bubuk pengental membandingkan viskositas thickened water dan thickened milk baik dalam bentuk pre thickened dan hand thickened Selain itu perbandingan viskositas antara bentuk juga diselidiki. Reologi dari seluruh sampel dianalisis menggunakan Rheoscope. Ditemukan bahwa thickened milk memiliki viskositas lebih tinggi dari pada thickened water yang menunjukkan bahwa kandungan cairan memiliki efek pada viskositas. Selanjutnya cairan pre thickened ditemukan memiliki viskositas lebih tinggi dari hand thickened.
Dysphagia is a medical condition related to difficulties with swallowing. Patients with dysphagia cannot drink normal fluids because thin fluids could enters their lungs and cause aspiration pneumonia. Use of thickened fluids are the most common treatment for dysphagia. Under Australian guidelines thickened fluids are divided into three levels level 150 mildly thick level 400 moderately thick and level 900 extremely thick. Thickened fluids are available in two forms ready to serve pre thickened drinks or as powder thickener that can be added into any drink hand thickened. The main issue with thickened fluids is the inconsistency in their viscosity between different fluids and type of thickener. Also the guidelines for measurement of thickened fluid viscosity is very subjective. Therefore objective rheological measurement is performed to determine the viscosity of pre thickened water and milk and water and milk thickened using powder thickener compare the viscosity of thickened water and thickened milk in both pre thickened and hand thickened forms Moreover the comparison of viscosity between forms was also investigated. Rheology of all samples were analysed using Rheoscope. It was found that thickened milk had a higher viscosity than thickened water which indicates that the content of a fluid have an effect on viscosity. Furthermore pre thickened fluids were found to have a higher viscosity than hand thickened fluids. "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S62539
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Inflammasi neurogenik berperan pada penyebaran infeksi oral. Teori infeksi fokal rongga mulut telah diusulkan sejak awal 1900an, infeksi gigi menyebabkan berbagai penyakit sistemik. Namun, teori ini mulai ditinggalkan setelah banyak gigi telah dicabut tanpa memberikan hasil yang memuaskan. Penelitian terbaru membuktikan bahwa infeksi rongga mulut dapat menyebar secara sistemik. Walaupun demikian, penemuan terdahulu tidak dapat membuktikan bagaimana terapi periodontal “assisted drainage” (ADT), dapat mengurangi gejala migren dan asma dalam hitungan menit. Penelitian terkait interaksi keradangan imunogenik dan neurogenik yaitu mediator proinflamasi calcitonin gene-related peptide (CGRP), TNF-α dan vasoactive intestinal peptide (VIP) masih jarang dilakukan. Tujuan: Melakukan verifikasi penyebaran keradangan neurogenik mulut ke organ yang jauh setelah melakukan ADT melalui ekspresi CGRP, VIP dan TNF-α. Metode: 24 tikus wistar jantan disuntik intragingival dengan lipopolisakarida Porphyromonas gingivalis (PgLPS1435/1450). Setelah empat hari, 12 tikus diberikan ADT, kemudian semua sampel dikorbankan 40 menit setelah ADT. Ekpresi CGRP, VIP dan TNF-α dianalisis dengan imunohistokimia. Analisis statistik menggunakan ANOVA dilakukan untuk menganalisis perbedaan nilai ekspresi CGRP, VIP, dan TNF-α tiap kelompok uji. Hasil: Injeksi PgLPS meningkatkan CGRP, VIP an TNF-α walau tidak selalu bermakna pada kelompok kontrol. Ekspresi CGRP dan TNF-α menurun, tetapi ekspresi VIP meningkat pada kelompok ADT. Simpulan: Peradangan neurogenik terlibat dalam penyebaran keradangan rongga mulut ke seluruh tubuh yang dimungkinkan karena ADT mengurangi peradangan organ lain melalui stimulasi VIP.

Focal infection theory proposed in early 1900’s stated that dental infection caused systemic disorders. Nevertheless, the theory was abandoned since large number of teeth were extracted with no satisfying result. Recent reports revealed that oral infections were able to spread systemically. However, there is no rationalization available to
explain how assisted drainage therapy (ADT), a periodontal therapy that could relief migraine and asthma within minutes. Oral neurogenic and immunogenic inflammation interaction involving pro-inflammatory markers such as calcitonin gene-related peptide (CGRP), TNF-α; and antiinflammatory vasoactive intestinal peptide (VIP) was still under investigation. Objective: To verify the spread of oral inflammation to distant organ after performing ADT by analysing CGRP, VIP and TNF-α expressions. Methods: Two different concentration of Porphyromonas
gingivalis lipopolysaccharide (PgLPS1435/1450) was injected intragingivally into two groups of 12 Wistar rats. After four days, 12 rats were given ADT and all samples were subsequently sacrificed 40 mins after ADT. Immunohistochemistry analysis using CGRP, VIP and TNF-α on the nasal and bronchus tissue was performed. ANOVA was used for statistical analyisis of the difference between CGRP, VIP and TNF-α expression between experimental groups. Results: PgLPS injections slightly increased CGRP, VIP and TNF-α expressions in the control group. Rats undergone ADT had lower CGRP and TNF-α but higher VIP expressions. Conclusion: Neurogenic inflammation involved in systemic spread of oral infection. ADT was able to downregulate inflammation in distant organ posibly by stimulating VIP."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, 2014
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>