Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124149 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Arkhan Doohan
"Perbatasan negara merupakan salah satu objek menarik bagi para peneliti sosial di Indonesia. Sebab perbatasan menjadi daerah khusus yang selalu menjadi fokus perhatian baik secara eksternal (internasional) maupun internal (negara indonesia itu sendiri) karena di dalamnya terdapat banyak dinamika yang terjadi entah itu konflik, identitas, migrasi, ilegal loging, dan sebagainya. Dinamika itu tidak hanya terjadi kepada subjek dari penelitian saja, melainkan juga terjadi oleh para peneliti sosial itu sendiri. Permasalahannya adalah seringkali para peneliti Indonesia yang membahas kajian tentang studi-studi perbatasan Negara baik secara sadar maupun tidak sadar banyak yang terpengaruh oleh cara pandang dari epistemologi Negara, seperti: adanya idealisme bahwa masyarakat hidup harus menetap, perbatasan sebagai wilayah yang paling rawan akan terkikisnya rasa nasionalisme, kehadiran Negara sebagai faktor kunci dalam penyelesaian konflik yang ada di perbatasan, dan lain sebagainya. Kondisi itu yang akan dijelaskan lebih detail pada tulisan ini. Metode yang dilakukan yaitu studi kualitatif dengan menggunakan model anotasi bibliografi dalam studi pustaka. Hasilnya menunjukan bahwa peneliti sosial untuk waktu yang lama banyak mengabdikan diri kepada pemerintah yang berkuasa, akibatnya terdapat bias antara perspektif Negara dengan perspektif Ilmu Sosial. Terutama ketika membahas tentang masyarakat perbatasan di Kalimantan Barat dan Sarawak.

National borders are one of the interesting objects for social researchers in Indonesia. Because the border is a special area that is always the focus of attention both externally (internationally) and internally (the Indonesian state itself) because in it there are many dynamics that occur whether it's conflict, identity, migration, illegal logging, and so on. This dynamic does not only occur to the subject of the research, but also to the social researchers themselves. The problem is that often Indonesian researchers who discuss studies of state border studies, both consciously and unconsciously, are often influenced by the perspective of the state epistemology, such as: the idealism that people live should settle down, the border as an area that is most prone to erosion of sense of belonging. nationalism, the presence of the State as a key factor in resolving conflicts at the border, and so on. This condition will be explained in more detail in this paper. The method used is a qualitative study using a bibliographic annotation model in a literature study. The results show that social researchers for a long time have devoted themselves to the ruling government, as a result there is a bias between the State perspective and the Social Science perspective. Especially when discussing border communities in West Kalimantan and Sarawak.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rodliyah Khuza`i
Bandung: Refika Aditama, 2007
121 ROD d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Alfons Taryadi
"Penilaian atas baik buruknya suatu teori bisa secara apriori maupun aposteriori. Secara apriori, suatu teori bisa dinilai dari tingkat testabilitas (refutabilitas) dan isinya. Teori yang lebih baik ialah teori yang lebih besar isi dan lebih tinggi daya penjelasannya. Suatu teori semakin besar isinya bila semakin banyak yang dilarangnya untuk terjadi. Dan dalam bandingannya dengan probabilitas (dalam pengertian probilitas kalkulus), isi suatu teori berbanding terbalik dengan probabilitasnya dan vice versa. Demikianlah maka, menurut Popper, ilmu bertujuan mencari teori yang semakin improbable..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1979
S15977
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Amin Abdullah
Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003
121 MEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Masykur Musa
Jakarta: Erlangga, 2011
320.54 ALI n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bernarda Meteray
"Disertasi ini menunjukkan bahwa perbedaan mendasar antara nasionalisme Papua dan nasionalisme Indonesia di Nederlands Nieuw Guinea (NNG, khususnya perbedaan baik yang menyangkut proses maupun karateristiknya. Penyemaian nasionalisme Papua mengalami proses panjang sejak 1925 melalui pendidikan formal berpola asrama dan secara terencana hingga akhirnya dibentuk partai politik dan Dewan Nieuw Guinea. Sebaliknya proses penyemaian keindonesiaan di NNG baru dimulai pada 1945 dengan cara yang singkat tanpa pendidikan formal dan perencanaan matang. Cara yang digunakan seperti pemberontakan, rapat-rapat dan pembentukan partai politik.
Karateristik nasionalisme Papua mengacu pada kesamaan ras yaitu, Melanesia yang secara fisik berkulit hitam dan berambut keriting serta memiliki pengalaman yang sama dan digagas oleh orang Belanda yaitu Kijne dan van Eechoud dengan tujuan mempapuanisasikan orang Papua. Sebaliknya karateristik nasionalisme Indonesia di NNG mengacu pada Bhinneka Tunggal Ika dan dengan demikian tidak mengacu pada ras tertentu. Pelaku penyemaian keindonesia yaitu Soegoro, Gerungan dan Ratulangi dengan tujuan mengindonesiakan orang Papua berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945.
Temuan ini di atas ini memperlihatkan bahwa ternyata pengalaman sejarah orang Papua berbeda dengan orang Indonesia lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, teori Renan yang selama ini digunakan oleh para negarawan, politisi dan akademisi untuk membangun nasionalisme Indonesia di NNG terlihat kelemahannya jika digunakan sebagai generalisasi yang melihat kesadaran nasional sebagai proses yang sama di setiap daerah di Indonesia. Temuan lainnya adalah bahwa konsep penyemaian dapat digunakan sebagai pendekatan untuk menjelaskan proses keberadaan dua nasionalisme di NNG dan krisis kebangsaan yang muncul baik di NNG maupun daerah-daerah lainnya di Indonesia.

This dissertation shows that there is a fundamental difference between Papua and Indonesian nationalism in Nederlands Nieuw Guinea (NNG) in terms of the proscess and charateristics. The seeding of Papua nationalism in NNG has a long proscess since 1925. This nationalism was established through formal education within a well-ordered dormitory system. The development of political parties and Nieuw Guinea council were inspired by that dormitory system. By contrast, the Indonesian nationalism proscess began in 1945 through a short and un organised system. Papua nationalism has been influenced by the experience of her people who feel themselves as part of Melanesian race as it was promulgated by Kijne and van Eechoud.
Papua nationalism aimed to increase the awareness of Papuan as being different form Indonesians. Indonesian nationalist activists fought for Indonesian nationalism's motto which is unity in diversity (Bhinneka Tunggal Ika) to include the Papuans. Indonesian nationalist activists were assigned to accomplish the mission were Soegoro, Gerungan and Ratulangi. The disssertation draws its conclusion that the use of Renan's theory in developing the sense of nationalism in Papua as undivided part of Indonesia by politicians, academicians and statemen can no longger prevailed.
This study shows that conceptual generalizations are in need to be more qualified. As a matter of fact, the development of nationalism in each region has its own characteristics which is particular and cannot be generalized. This study also shows that the concept of 'penyemaian' (seeding) can be made as an alternative approach to explain and distinguish two forms of nationalism that co-exist within NNG and other parts of Indonesia.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
D1174
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
J. Sudarminta
Yogyakarta: Kanisius, 2002
121 SUD e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
J. Sudarminta
Yogyakarta: Kanisius, 2002
121 SUD e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Suparto
"Keberadaan epistemologi, sebagai bagian dari filsafat sistematis, adalah untuk mengkaji pengetahuan manusia secara mendasar, menyeluruh dan umum. Dalam sejarah perkembangan filsafat, sudah banyak aliran epistemologi yang muncul. Kemunculan suatu aliran epistemologi mencoba untuk memperbaiki keberadaan teori epistemologi yang telah ada. Hal ini adalah perkara yang alamiah. Karena pada hakikatnya pengetahuan manusia itu merupakan kumpulan/akumulasi dari pengetahuan-pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Artinya pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para pendahulu akan memberi sumbangan yang berarti bagi pengetahuan manusia pada masa selanjutnya. Hal ini tidak harus selalu dipahami bahwa pengetahuan yang telah ada itu senantiasa diterima sebagai suatu kebenaraan yang sudah jadi, tetapi lebih kepada bentuk kebenaran yang masih sedang menjadi (becoming truth). Masih terdapat peluang untuk menjadikan pengetahuan yang telah ada tersebut menjadi pengetahuan yang memiliki nilai benar yang lebih baik. Usaha ini dilakukan oleh manusia sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang senantiasa ingin mengetahui sesuatu yang baru yang belum pernah mereka ketahui. Hal ini akan senantiasa terjadi dalam sejarah peradaban manusia, dalam bidang apapun. Immanuel Kant adalah seorang filosof zaman modem yang mencoba mengkritisi pemikiran yang sedang berkembang pada masanya. Rasionalisme adalah aliran filsafat (terutama epistemology) yang sedang berada di puncak kejayaan pada masa itu yang banyak diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Jarman. Sementara diseberang lautan (di Inggris), empirisme juga sedang mengalami hal yang sama. Mereka masing-masing mengklaim sebagai pihak yang paling benar dalam hal epistemologi. Namun demikian Immanuel Kant tidak mengikatkan diri kepada salah satu aliran tersebut. Kant mengambil jarak dengan keduanya. Ia memutuskan untuk mengkaji batas-batas kemampuan rasio manusia untuk mampu mengetahui. Ia menamakan hal ini dengan filsafat kritis (critical philosophy), Itulah salah satu yang menyebabkan ia berbeda dengan filosof yang lain. Immanuel Kant menyatakan bahwa rasio manusia hanya mampu menangkap hal-hal yang bersifat gejala (fenomena) saja. Rasio manusia hanya mampu memahami sesuatu yang berada dalam jangkauan ruang dan waktu. Sementara sesuatu yang berada di luar jangkauan ruang dan waktu, rasio manusia tidak mampu menangkapnya. Namun demikian, rasa pesimisme yang dimiliki oleh Immanuel Kant terhadap potensi rasio ini tidak berarti bahwa rasio itu tidak penting. Rasio memiliki tempat yang sangat panting dalam filsafat Kant. Rasio merupakan sarana yang dengannya manusia mampu menemukan dirinya sebagai manusia yang merdeka, manusia yang terbebaskan, dan manusia yang tercerahkan. Dengan rasiolah manusia mampu berpikir. Dengan rasiolah manusia mampu memberi atribut terhadap sesuatu yang datang kepadanya. Dengan rasiolah manusia mampu keluar dari belenggu_-belenggu yang ada di dalam dirinya. Penggunaan rasio di wilayah yang memungkinkan kita untuk tidak tersubordinasi oleh pihak lain,oleh Kant dinamakan penggunaan rasio secara publik (public use); sementara penggunaan rasio pada saat kita tersubordinasi oleh sebuah sistem, oleh Kant disebut penggunaan rasio secara prifat (private use). Pada tataran kita tersubordinasi oleh sebuah sistem, Kant tidak menyarankan kepada kita untuk menurut begitu saja terhadap pemikiran yang dimunculkan oleh sistem tersebut, tetapi kita wajib untuk menyesuaikannya dengan fungsi rasio secara publik. Dalam perkembangan selanjutnya, dalam tataran praksis, fungsi rasio mengalami penyimpangan. Rasio dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk merasionalkan sesuatu yang sebenamya tidak rasional. Rasio yang semula sebagai pemandu manusia untuk keluar dari keterkungkungan terhadap hal-hal yang tidak rasional, kini ia telah menjadi belenggu Baru bagi manusia. Manusia telah memitoskan rasio. Suatu keadaan yang paradoksal. Pada tataran praksis yang lain dimana kemajuan ilmu pengetahuan demikian pesat, berdampak terhadap sikap manusia dalam mengambil keputusan. Manusia, ada kalanya, dalam mengambil keputusan tidak lagi berdasarkan kepada putusan-putusan rasionalnya , tetapi lebih tergiur kepada citra yang disajikan dan dimunculkan oleh media. Hal ini bermakna bahwa manusia yang hidup pada masa pencerahan tidak dengan sendirinya memiliki pikiran yang tercerahkan, kalau rasio sebagai parameter tercerahkan atau tidak tercerahkannya manusia."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S16035
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halomoan, Bernardo Gyorgy
"ABSTRAK
Skripsi ini bertujuan untuk mengangkat dan memperjelas permasalahan justifikasi epistemik. Descartes, pada kedua buku tersebut, diasumsikan memiliki argumentasi yang mendasari pengetahuan-pengetahuan yang ia temui. Beberapa dari pengetahuan tersebut adalah eksistensi diri, distingsi mind-body, dan realitas objektif. Epistemologi Descartes berangkat dari fondasi 'aku berpikir'; pengetahuan tersebut niscaya benar dan indubitable. Dari situ, Descartes mengetahui bahwa substansi ada dua: mind dan body. Setelah itu, ia mendeduksi (non-silogistik) bahwa pengetahuan mengenai realitas objektif bukan direpresentasikan oleh sensasi, melainkan direpresentasikan oleh ide-ide bawaan di dalam mind. Dari penelitian saya, saya berkesimpulan tiga hal. Yang pertama Descartes melakukan kekeliruan (invaliditas) ketika ia mengetahui eksistensi diri. Descartes keliru mencampur knowing-how dan knowing-that, dan menganggap 'aku berpikir' sebagai objek, hal yang dihipotesiskan tidak luput dari Evil Genius. Yang kedua pengetahuan mengenai distingsi mind-body inkoheren. Hal ini dikarenakan kekeliruan kategoris yang ia lakukan. Yang ketiga prakondisi pengetahuan Descartes mengenai realitas objektif tidak mencukupi. Hal ini dikarenakan justifikasi realitas formal dengan realitas objektif sama, dan akhirnya pengetahuan tersebut bergantung pada natural light. Oleh karena ketiga hal tersebut, argumentasi Descartes, dalam kedua buku tersebut, mengenai eksistensi diri, distingsi mind-body, dan realitas objektif tidak justified.

ABSTRACT
This undergraduate thesis aims to clarify the issues raised about the problem of epistemic justification. Descartes, on both of this book, is assumed to have underlying arguments on the knowledge he discovered. Some of these knowledge are self-existence, the mind-body distinction, and objective reality. Descartes‘ epistemology started from the foundation of 'I think'; such knowledge is necessarily true and indubitable. Descartes recognized that there are two substances: mind and body. Then, he deduced (non-syllogistically) that the knowledge of objective reality is not represented by sensation, but rather by the innate ideas inside of the mind. From my research, I concluded three things. First, Descartes committed an invalid deduction when he discovered self-existence. Descartes mistakenly mixed 'knowing-how' and 'knowing-that', and thought that 'I think' as an object, things which is hypothetically couldn't escape from the Evil Genius. Second, the mind-body distinction is incoherent. This is caused by categorical error that he committed. Third, Descartes' precondition of knowledge about objective reality is not sufficient. This is because in Descartes formal reality and objective reality is the same, and ultimately the knowledge depend on natural light. Because of these three notions, Descartes' arguments inside the two books, about the existence of self, mind-body distinction, and the objective reality are not justified."
Lengkap +
2014
S54464
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>