Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149139 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lisa Melita Arviany
"Tesis ini menggambarkan tentang pengaruh opini publik terhadap pengambilan keputusan DPRD DKI Jakarta yang dikaitkan dengan ketahanan politik wilayah DKI Jakarta. Dpini publik yang dimaksud adalah opini publik di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya yang banyak diterima DPRD DKI Jakarta melalui pengaduan, demonstrasi, surat atau pemyataan lain dari masyarakat. Dalam bidang politik, permasalahan yang diangkat adalah saat pemilihan gubernur DKI Jakarta yang berlangsung bulan September 2002, bidang ekonomi permasalahannya ada empat yaitu pertanahan, perpasaran, angkutan dan tenaga kerja. Sedang bidang sosial budaya diangkat pula empat permasalahan yaitu perjudian, prostitusi, narkoba dan banjir.
Temuan penting yang didapat dalam penelitian ini adalah bahwa pengaruh opini publik dalam ketiga bidang di atas, ternyata kurang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengambilan keputusan di DPRD DKI Jakarta. Dari hasil uji statistik dengan mempergunakan model regresi berganda diperoleh Y = 3.366 - 0.123701 -- 0.041X2 0.05 DO. Demonstrasi yang kerap dilakukan oleh masyarakat ternyata kurang mempunyai pengaruh yang berarti. Anggola DPRD DKI Jakarta beranggapan bahwa demonstrasi itu baik, namun tidak mempercayainya sebagai aspirasi masyarakat Jakarta. Selain itu, untuk bidang politik, yang paling berpengaruh dalam pengambilan keputusan adalah partai politik dari masing-masing fraksi.
Ditemukan pula bahwa hubungan antara pemilih dan wakilnya cenderung terputus. Artinya, anggota DPRD DKI Jakarta lebih cenderung untuk menjadi wakit parpol dibandingkan wakil rakyat. Hal ini disebabkan karena sampai saat ini tiap-tiap fraksi di DPRD DKI Jakarta belum memiliki sistem untuk mengangkat aspirasi masyarakat yang layak diterima dan dipercaya oleh lembaga legislatif tersebut. Ditemukan pula bahwa sekalipun kedudukan legisiatif sejajar dengan eksekutif menurut Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, namun pada praktiknya, eksekutif tetap sebagai lembaga yang lebih kuat posisinya. Kondisi seperti ini memberikan kontribusi yang kurang mendukung dalam pembinaan ketahanan politik di wilayah DKI Jakarta. Masyarakat Jakarta cenderung kurang puas dengan hasil kerja DPRD DKI Jakarta dan akan kerap unjuk rasa sebagai bentuk ketidakpuasan tersebut.

This thesis describes the influence of public opinion to the decision making of DPRD DKI Jakarta dealing with the political endurance of capital territory. The opinion intended is the public opinion in politics, economics and socio-cultural which DPRD DKI Jakarta received by means of complaints, demonstrations, correspondence or statement by the community. In politics, for instance the problem of election of capital governor which was conducted in September 2002, the problem of economic envolving land affairs, trading, transportation, and employment. Meanwhile, the problems in socio-cultural are namely gambling, prostitution, drugs and flood.
The most important thing in this research is the influence of public opinion in those which are mentioned above is less effective to the decision making in DPRD DKI Jakarta. It can see in the result of statistic research with tinier multiple regression as = 3.366 - 0.123XI - 0.04IX2 + 0.051X3. The demonstration which has been frequently conducted by the citizens is not really influencing. The members of DPRD DKI Jakarta argue that demonstration is fairly acceptable, howener they are not convinced that it is Jakarta's aspiration. Besides, in politics, political party from each fraction absolutely influences in decision making.
We can find that the correlation between the representatives and their followers is prone to disconnect. This means that DPRD DKI Jakarta members tend to represent their political party rather than citizens. This is just because every fraction in DPRD DKI Jakarta doesn't have the system for bringing the citizen's aspirations which can be fairly accepted and convinced by this legislative institution. We also find that although legislative position in equal to executive based on costitution no. 22, 1999 about region autonomy, but in fact, executive has more power. This condition conveys the unconstructive contribution in training the political defence in DKI Jakarta territory. Jakartans are prone to be unsatisfied with the result of DPRD DK1 Jakarta's work and still keep todo demonstratings as the reflection of dissatisfaction."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 10879
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muh. Nursaman
"Pemberlakukan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dapat dianggap sebagai tonggak dimulainya otonomi daerah di Indonesia. Salah satu substansi otonomi daerah tersebut adalah pemberdayaan rakyat yang diwakili oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Setelah otonomi berjalan kurang lebih satu tahun, perlu diselidiki bagaimana dampak pemberdayaan DPRD terhadap ketahanan daerah. Harapannya, melalui pemberdayaan DPRD, kinerja pembangunan daerah akan meningkat sehingga ketahanan daerah dapat terwujud.
Untuk tujuan tersebut dilakukan penelitian di DPRD Jakarta dengan mengambil 43 orang responden yang dianggap mengetahui proses pemberdayaan DPRD Jakarta. Pengumpulan data dilakukan melalui wawacara, observasi, dan studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan DPRD Jakarta relatif sangat kuat karena dalam kedudukannya sebagai anggota DPRD Jakarta tidak tergantung pada pihak manapun, termasuk partai yang mencalonkannya dalam pemilu (tidak dapat di-recall). Kedudukan DPRD Jakarta juga relatif lebih kuat dibanding kepala daerah. Kuatnya kedudukan DPRD Jakarta pada hakekatnya adalah daerah wajib bertanggung jawab kepada DPRD amanat rakyat di daerah. Dengan kata lain keberhasilan otonomi daerah juga berarti meningkatkan ketahanan nasional.
Salah satu esensi yang termuat dalam otonomi daerah adalah modal bagi terwujudnya kemakmuran rakyat. Persoalannya adalah tidak ada jaminan bahwa anggota DPRD Jakarta memiliki komitmen bagi kepentingan rakyat banyak. Hasil penelitian memperlihatkan kecenderungan merosotnya kepercayaan publik epada DPRD Jakarta akibat sikap dan perilaku anggota DPRD Jakarta yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya.
Keprihatinan atas pemberdayaan DPRD Jakarta semakin mendalam mengingat DPRD Jakarta hampir-hampir tidak dapat dikontrol oleh pihak manapun, termasuk oleh publik. Desakan publik yang disampaikan melalui pers maupun yang disampaikan langsung tidak berkorelasi dengan keputusan DPRD Jakarta. Legitimasi yang diperoleh DPRD Jakarta melalui pemilu 1999 cenderung menjadi kekuasaan absolut. Oleh karena itu kecil harapan bahwa DPRD Jakarta saat ini dapat memperkuat ketahanan daerah.
Untuk menghadapi kebuntuan ini, rakyat harus mengambil inisiatif. Pendidikan politik publik perlu ditingkatkan agar publik dapat mengambil sikap dan tindakan yang nyata dengan menghukum anggota DPRD Jakarta yang tidak mempedulikan aspirasi rakyaL Cara demokratis yang harus dilakukan adalah tidak lagi memilih orang atau partai yang kinerjanya lemah dalam pemilu 2004 mendatang.

The implementation of Act No. 22 Year 1999 on Regional Administrations can be considered as the point of departure for the initiation of regional autonomy in Indonesia. An essence of the regional autonomy is the empowerment of the people, represented by the Regional House of Representatives (DPRD). After the regional autonomy has been implemented for more than two years, it is necessary to conduct a research on the impacts of the empowerment of DPRD on the regional resilience. It is hoped that through the empowerment of DPRD the regional performance in the development will be improved, and consequently the regional resilience will be realized.
For that purpose a research is conducted at DPRD Jakarta, by including 43 respondents deemed to have the knowledge on the empowerment process of DPRD Jakarta; the data collection is conducted through interviews, observation, and library research.
The finding of the research indicates that the position of DPRD Jakarta is relatively strong since in their capacity as members of DPRD Jakarta they do not depend on any party, including the party which nominates them in the General Election (they cannot be recalled); the position of DPRD Jakarta is relatively stronger than that of the Governor.
The fact that DPRD Jakarta has a strong position means that every region shall be responsible for the regional security. In other words, the success of regional autonomy also means improving the national resilience.
An essence of regional autonomy is that it constitutes a point of departure for the realization of social welfare. The problem is that there is no guarantee that members of DPRD Jakarta have a commitment for the interest of the people. The findings of the research indicate that there is a declining public trust in DPRD Jakarta as a result of the attitude and behavior of members of DPRD Jakarta who have vested interest.
The empowerment of DPRD Jakarta has become a matter of considerable public concern in view of the fact that DPRD Jakarta practically cannot be controlled by any party, even by the public. The public pressures conveyed either through the mass media or directly do not have any correlation with the resolutions of DPRD Jakarta. The legitimacy obtained by DPRD Jakarta through 1999 General Election tends to become an absolut< power. Therefore, it is very unlikely that the current DPRD Jakarta can reinforce the national resilience.
To deal with this deadlock the people must take the initiative. It is necessary to increase the political education for the public so that the public may take stronger measures by punishing members of DPRD Jakarta who neglect the public aspiratton. The democratic measures which can be taken in the General Election of 2004 shall be in the form of the refusal to elect individuals or parties that have weak performance."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 10867
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jolda Garda Nagara
"Penelitian ini melihat bagaimana aktivitas representasi kelas pekerja yang dilakukan oleh Nyumarno sebagai anggota DPRD Kab. Bekasi periode 2014-2019. Hal ini sangat berkaitan dengan terpilihnya Nyumarno sebagai salah satu wakil rakyat yang berlatarbelakang sebagai buruh. Terpilihnya Nyumarno ini menjadi kali pertama dalam sejarah perwakilan di Indonesia, seorang buruh menduduki kursi wakil rakyat. Dalam penelitian ini, aktivitas representasi kelas pekerja oleh Nyumarno diidentifikasi menggunakan konsep representasi yang dikemukakan oleh Hannah Pitkin. Konsep representasi ini selanjutnya digunakan untuk menjelaskan cara wakil rakyat mendapatkan legitimasi di lembaga legislatif hingga aktivitas representasi yang dilakukan kepada konstituen utamanya. Temuan dalam penelitian ini memperlihatkan bagaimana Nyumarno secara substantif menjadi representasi dari kelas pekerja, baik di ruang parlemen maupun di ruang publik. Penelitian ini berkesimpulan bahwa aktivitas representasi kelas pekerja oleh Nyumarno secara substantif meningkatkan kualitas representasi kelas pekerja dari sebelum Nyumarno terpilih menjadi wakil rakyat.

This study looks at how the working class representation activities carried out by Nyumarno as a member of the DPRD Kab. Bekasi 2014-2019 period. This is very related to the election of Nyumarno as one of the representatives of the people who has a background as laborers. The election of Nyumarno was the first time in the history of representatives in Indonesia, a worker occupied the seat of peoples representatives. In this study, the representation activity of the working class by Nyumarno was identified using the concept of representation proposed by Hannah Pitkin. This concept of representation used to explain the way peoples representatives get legitimacy in the legislature until representation activities are carried out to its main constituents. The findings in this study show how Nyumarno was substantively a representation of the working class, both in the parliamentary space and in the public sphere. This study concluded that the representation activity of the working class by Nyumarno substantively improved the quality of representation of the working class from before Nyumarno was elected as the peoples representative."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yobel Manuel Oktapianus
"Skripsi ini membahas mengenai upaya untuk memastikan keterlibatan anggota MPR yang melaksanakan fungsi representasi secara kewilayahan (regional/territorial representation) dalam proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia. Proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden Indonesia sebagaimana diatur saat ini cenderung mengadopsi pendekatan congressional model. Pendekatan ini mengilhami bahwa anggota parlemen dari seluruh kamar parlemen wajib diikutsertakan dalam proses pemberhentian tersebut. Namun, proses penelitian dalam skripsi ini justru menemukan kecenderungan bahwa pengambilan keputusan terkait pemberhentian pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia dapat dilakukan oleh anggota MPR yang berasal dari kamar parlemen dengan karakteristik fungsi representasi ideologi politik (political representation) semata. Hal ini berpotensi menimbulkan suatu akibat bahwa pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia dapat dilakukan tanpa keterlibatan anggota MPR dari fungsi keterwakilan secara kewilayahan sama sekali. Untuk mencegah timbulnya dominasi dari anggota MPR yang menjalankan fungsi keterwakilan ideologi politik terhadap proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia, diperlukan suatu mekanisme untuk melembagakan kehadiran anggota MPR yang menjalankan fungsi keterwakilan wilayah dalam proses pemberhentian tersebut. Upaya ini dapat dikontekstualisasikan dengan penerapan prinsip double majority vote, yaitu mekanisme pengambilan keputusan melalui pemungutan suara dimana indikator tercapainya mayoritas suara harus memenuhi aspek kualitatif maupun kuantitatif. Secara komparatif, konstitusi Kazakhstan yang merumuskan konsep ketatanegaraan layaknya Indonesia telah memuat penerapan prinsip ini secara implisit dalam pengaturan proses pemberhentian presidennya. Dalam rangka merumuskan ide guna menyelesaikan serangkaian permasalahan sebagaimana diuraikan sebelumnya, penulis melakukan penelitian dengan berbasis pada pendekatan yuridis normatif dan pendekatan perbandingan. Hasil penelitian dalam skripsi ini berkesimpulan bahwa prinsip ini dapat diterapkan sebagai syarat pengambilan keputusan dalam konteks penyelenggaraan sidang rapat paripurna MPR yang membahas usulan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden.

This undergraduate thesis discusses efforts to ensure the involvement of MPR members, who perform the function of regional/territorial representation, in the process of removing the President and/or Vice-President in Indonesia. The process of removing the President and/or Vice-President of Indonesia, as currently regulated, tends to adopt the congressional model. This approach implies that members of parliament from all houses of parliament must be involved in the impeachment process. However, the research process in this undergraduate thesis found a tendency that the decision making in relation to the removal of the President and/or Vice-President in Indonesia can be made by members of the MPR who come from parliamentary chambers characterized by the function of political ideological representation alone. This could potentially mean that the impeachment of the President and/or Vice-President in Indonesia could be carried out without the involvement of MPR members from the territorial representation function. In order to prevent the dominance of MPR members who function as political ideological representatives in the process of dismissing the President and/or Vice-President in Indonesia, a mechanism is needed to institutionalise the presence of MPR members who function as regional representatives in the impeachment process. This effort can be contextualised through the application of the double majority vote principle, which is a decision-making mechanism through voting in which the indicators for achieving a majority of votes must meet both qualitative and quantitative aspects. By comparison, the constitution of Kazakhstan, which formulates a constitutional concept similar to that of Indonesia, already implicitly includes the application of this principle in the regulation of the process of dismissing the president. In order to formulate ideas for solving the problems described above, the author conducted research based on a normative legal approach and a comparative approach. The results of the research in this undergraduate thesis conclude that this principle can be applied as a decision-making requirement in the context of holding a plenary session of the MPR to discuss the proposal to dismiss the President and/or Vice-President."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Slamet Effendy Yusuf
"Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam bentuk keputusan Pimpinan Fraksi-fraksi dan keputusan Pimpinan DPR yang meminta Presiden Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia periode 1998-2003 merupakan fenomena politik yang menarik dikaji. Betapa tidak, Presiden Soeharto sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar dan Panglima Tertinggi ABRI memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI yang jumlahnya di parlemen mencapai 400 kursi atau 80 persen dari jumlah keseluruhan anggota DPR. Ketika Presiden Soeharto didesak mundur oleh mahasiswa dan masyarakat, ia dengan keyakinan yang sangat besar menyerahkan sepenuhnya persoalan itu kepada DPR. Pimpinan dan anggota DPR menganggap pernyataan Presiden Soeharto merupakan "bola panas" yang dilempar ke DPR, karena itu bola panas tersebut dikembalikan ke Cendana dalam bentuk surat resmi pimpinan DPR meminta Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Berangkat dari fenomena tersebut, masalah pokok yang diangkat dalam peneiitian ini adalah sejauh mana pengaruh desakan kelompok penekan terhadap keputusan DPR meminta Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Secara terinci, penelitian ini menggambarkan : 1) Kelompok penekan mana yang mempengaruhi lahirnya keputusan DPR. 2) Bagaimana bentuk desakan yang dilakukan kelompok penekan kepada DPR, serta 3) Bagaimana tanggapan DPR terhadap tuntutan kelompok penekan yang menghendaki Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan kualitatif ini, secara metodologis mempergunakan teknik observasi partisipasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi untuk menjaring datanya. Di antara sejumlah kesimpulan temuan penelitian yang perlu digaris bawahi adalah bahwa kelompok penekan dengan berbagai ragam motif atau kepentingan, basis sosial, saluran akses, dan intensitas desakannya, dalam realitasnya memiliki kontribusi besar dan determinatif dalam proses pengambilan keputusan DPR yang meminta pengunduran diri Presiden Soeharto dari jabatannya. Presiden Soeharto menanggapi keputusan DPR dengan cara mundur dari jabatannya dan mengalihkan kepada B.J Habibie. Secara prosedural, peralihan kekuasaan tersebut merupakan efek konkret dari desakan yang diperankan kelompok penekan kepada DPR. Pendek kata, peranan kelompok penekan kepada DPR mempengaruhi proses pengambilan keputusan DPR untuk meminta Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T10258
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Iva Maduratna Soerjo
"ABSTRAK
Sungguh tidak disangka Komite Nasional Indonesia yang kemudian menjadi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang merupakan penasehat presiden, berubah menjadi perwakilan dalam arti yang tidak saja membuat undang-undang melainkan juga menerima pertanggungjawaban kabinet, malah membentuk Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menurut konstitusi (UUD 1945) merupakan tugas MPR, lembaga tertinggi negara di atas DPR .dan Presiden. Perwakilan yang terwujud dalam parlemen sepanjang tahun 1950-an, menggambarkan arti pelaksanaan demokrasi yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat dan peluang pembuktian kerja kabinet dengan program-program tertentu. Kehadiran dan eksistensi parlemen begitu tampil ke depan yang bukan berarti bertentangan dengan UUD Sementara, malah memperkuat sendi-sendi demokrasi yang dapat dikembangkan dalam masyarakat. Kedudukan.dan peranan parlemen dalam tahun 1960-an, sudah terbelenggu baik karena pembentukan pengisian dan tata tertib yang diputuskan oleh eksekutif (baca: Presiden). Kehidupan politik yang berpusat pada pribadi Presiden mendorong keotoriterian dalam kehidupan politik yang ada.
Kedudukan dan peranan parlemen sejak tahun 1970-an berada dalam keperluan "pembangunan" yang di pastikan arti maksud dan makna, termasuk menjadi rumusan politik, (political formula) dari rezim yang berkuasa. Dalam pembatasan tertentu itu parlemen terperangkap pada hal-hal yang bersifat protokoler, administratif dan birokratisasi dalam lembaga terhormat itu."
Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1993
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Sukmo Hadi Nugroho
"Lembaga legislatif pada umumnya memiliki 3 (tiga) fungsi utama pertama adalah fungsi legislatif atau pembuatan peraturan, kedua adalah fungsi budgetair atau keuangan, dan ketiga adalah fungsi pengawasan atau kontrol.
DPRD Kabupaten Purworejo periode masa bakti Tahun 1971-1977 sampai dengan Tahun 1997-1999 dan periode masa bakti Tahun 1999-2004 juga memiliki fungsi-fungsi tersebut. Fungsi-fungsi itu melekat pada hak-hak dewan yang pengaturan pengunaannya tertuang dalam Tata Tertib DPRD.
Pokok permasalahan penelitian ini adalah pertama, bagaimana sejarah DPRD Kabupaten Purworejo, khususnya periode 1971-1999, kedua adalah faktor-faktor apa yang menjadi kendala bagi DPRD untuk melaksanakan fungsinya, dan ketiga adalah bagaimana upaya pemberdayaan DPRD periode Tahun 1999-2004 menurut Perspektif Ketahanan Nasional dalam rangka menunjang pelaksanaan otonomi daerah sesuai Undang-Undang No.22 Tahun 1999.
Teori yang digunakan dalam penelitian adalah teori fungsi badan perwakilan, perkembangan Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah yang mengatur kedudukan DPRD dan Teori Ketahanan Nasional.
Tipe penelitian ini adalah diskriptif analitis. Sumber data diperoleh melalui penelitian dokumen tertulis yang didukung oleh data kepustakaan dan wawancara dengan mantan Anggota DPRD dan Anggota DPRD Periode 1999-2004.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara upaya pemberdayaan DPRD dan peningkatan Ketahanan Wilayah/Daerah dimana pada gilirannya akan meningkatkan Ketahanan Nasional."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T11095
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teti Andriastuti
"Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara Utusan Daerah dengan Dewan Perwakilan Daerah, serta peran Dewan Perwakilan Daerah dalam bidang legislasi terhadap Dewan Perwakilan Rakyat. Penelitian ini bersifat normatif dengan studi kepustakaan dengan pendekatan secara komparatif dengan membandingkan sistem ketatanegaraan di Indonesia sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945 serta membandingkan dengan sistem parlemen negara lain. Majelis Permusyawaratan Rakyat sebelum adanya perubahan UUD 1945 terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, setelah perubahan UUD 1945 Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Utusan Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah merupakan perwakilan kedaerahan (representative regional) namun mempunyai Utusan Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah mempunyai perbedaan yaitu sistem pemilihannya, anggota yang terpilih dan kewenangannya. Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah mempunyai kewenangan legislasi, anggaran, konsultatif, dan pengawasan. Namun sebenarnya kewenangan Dewan Perwakilan Daerah terbatas dibandingkan dengan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat termasuk pada kewenangan legislasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T19137
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.Mohammad Askar Pejuang Langit Sasongkojati
"Ketidakpercayaan politik adalah suatu hal yang penting guna melihat implementasi kebijakan penanganan pandemi Covid-19 yang membutuhkan partisipasi dari warga negaranya. Pada masa pandemi Covid-19, kepercayaan terhadap pemerintah dapat meningkatkan ketaatan dan kemauan masyarakat untuk patuh terhadap kebijakan kesehatan pemerintah, menurunkan persepsi risiko terhadap Covid-19, dan mengurangi angka mortalitas. Sebaliknya, ketidakpercayaan politik akan meningkatkan ketidakpatuhan dan menyebabkan instabilitas yang berakibat negatif bagi penanganan pandemi Covid-19. Data menunjukkan adanya tren yang sama dalam ketidakpercayaan politik di Jerman dan Indonesia selama penularan pandemi Covid-19 dari Maret 2020-Juli 2021. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data berupa studi pustaka, investigasi media daring, dan hasil survei untuk mengkaji dan membandingkan tren ketidakpercayaan politik masyarakat terhadap pemerintah Jerman pada masa kekanseliran Angela Merkel dan pemerintah Indonesia pada masa kepresidenan Joko Widodo. Dengan menggunakan teori ketidakpercayaan politik Bertsou yang menjelaskan mengenai faktor-faktor kemunculan ketidakpercayaan politik masyarakat terhadap pemerintah, penelitian ini berargumen bahwa tingkat kompetensi, transparansi, dan kepentingan menjadi faktor penting dalam mengkaji ketidakpercayaan politik masyarakat selama masa pandemi. Sebab, tingginya ketidakpercayaan politik berkorelasi terhadap efektivitas kebijakan pandemi.

Political distrust is an important factor in policy implementation to handle the Covid-19 pandemic which requires citizen participation. During the Covid-19 pandemic, trust in government can increase public willingness to comply with government health policies, reduce the risk perception for Covid-19, and reduce mortality rates. On the other hand, political distrust will increase disobedience and lead to instability which has a negative impact in any attempts to handle the Covid-19 pandemic. The data shows a same trend in political distrust in Germany and Indonesia during the spread of the Covid-19 pandemic from March 2020-July 2021. This study will use a qualitative approach with data collection methods in the form of literature studies, online media investigations, and survey results to assess and compares the trend of citizen’s political distrust of the German government during the chancellorship of Angela Merkel and the Indonesian government during the presidency of Joko Widodo. By using Bertsou's theory of political distrust which explains the factors in the emergence of political distrust for the government, this study argues that the level of competence, transparency, and interest are important factors in assessing citizens political distrust during the pandemic as high political distrust correlates with the effectiveness of pandemic health policies."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>