Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 92842 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ariqa Nindya Luana
"Sudah menjadi hak anak untuk diakui dan memperoleh hubungan hukum dengan kedua orang tuanya, terlepas dari dalam keadaan apa pun anak tersebut dilahirkan. Pada dasarnya, pengakuan anak dikenal sebagai suatu lembaga untuk memfasilitasi pengakuan orang tua terutama ayah atas anak yang lahir di luar perkawinan. Dalam penjelasan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, pengakuan anak lebih dikenal sebagai pengakuan seorang ayah terhadap anaknya yang lahir dari perkawinan yang telah sah menurut hukum agama dan disetujui oleh ibu kandung anak tersebut. Berkaitan dengan pendefinisian tersebut, Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan mengsyaratkan adanya perkawinan antara kedua orang tua anak yang akan diakui untuk melangsungkan perkawinan yang sah secara agama. Hal tersebut menimbulkan kejanggalan tersendiri, sebab ketentuan tersebut seakan menggeser makna “anak luar kawin”, sebab menurut pemahaman umum, anak luar kawin dikenal sebagai anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah menurut hukum agama. Selain itu, ketentuan tersebut telah menutup akses hak asasi bagi anak-anak hasil perkawinan adat untuk diakui. Nyatanya dalam keadaan kongkrit, perkawinan adat berdasarkan aliran kepercayaan masih marak dilakukan di Negara Indonesia, mengingat tingkat pluralisme yang sangat tinggi dan kentalnya hukum adat dalam Sebagian titik masyarakat Indonesia. Oleh karenanya dibutuhkan suatu pemahaman komprehensif untuk dapat melaksanakan pengakuan anak hasil perkawinan adat di Negara Indonesia.

It is one of a child's rights to be acknowledged and obtain a legal relationship with his parents, regardless of the kind of situation they were born into. Child acknowledgment is an institution that facilitates parents' acknowledgment, especially fathers, for children born out of wedlock. In the elucidation of Article 49 paragraph (2) of Law Number 24 of 2013 concerning Population Administration, child recognition is better known as a father's confession to his child born from a legal marriage according to religious law and approved by the child's biological mother. In connection with this definition, Article 49 paragraph (2) of Law Number 24 of 2013 concerning Population Administration requires a marriage between the child's two parents to be recognized to carry out a religiously legal marriage. It gives rise to its peculiarity because the provision seems to shift the meaning of "children outside of wedlock." In general understanding, "children out of wedlock," commonly known as children born outside a legal marriage according to religious law. In addition, this provision has closed access to children's rights from customary marriages to be acknowledged. In fact, in concrete circumstances, customary marriages based on beliefs are still prevalent in Indonesia, given the very high level of pluralism and the thickness of customary law in some areas of Indonesian society. Therefore, a comprehensive understanding is needed to acknowledge children born from customary marriages in the State of Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kadek Rama Maheswara Putra
"Sahnya Perkawinan antar Warga Negara Indonesia yang dilangsungkan di luar negeri berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia, harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan hukum tempat dimana perkawinan dilangsungkan (lex loci celebrationis). Putusnya perkawinan karena perceraian adalah suatu hal yang sangat dihindari oleh setiap pasangan, namun jalan perceraian ini diambil karena memang ikatan suci perkawinan tersebut sudah tidak dapat lagi untuk dipertahankan karena alasan-alasan tertentu. Salah satu akibat hukum dari perceraian adalah mengenai hak pengasuhan anak. Hakim dalam menentukan pengasuhan anak, perlu untuk memperhatikan latar belakang dari masing-masing pihak, salah satunya adalah mengenai hukum adat yang masih hidup dalam sebuah masyarakat.Putusan No. 256/Pdt.G/2010/PN.Dps merupakan salah satu contoh kasus yang menggambarkan adanya pasangan antar WNI yang melangsungkan Perkawinan di Alabama, Amerika Serikat, bercerai di wilayah Indonesia, dan hakim dalam memutuskan hak pengasuhan anak menggunakan hukum adat Bali yaitu jatuh ke tangan bapak berrdasarkan prinsip kapurusan. Disinilah perlu dikaji lebih lanjut apakah hakim telah sesuai dalam menerapkan hukum-hukum yang terkait sehingga putusan ini telah dibuat dengan seadil-adilnya.

The validity of marriages between Indonesia citizen held abroad under the rules in force in Indonesia, must be in accordance with the provisions contained under Law Number 1 year 1974 regarding Marriage and the law of the place where the marriage took place (lex loci celebrationis). The marriage breakup as a result of divorce is something that is very avoidable by each partner, but the divorce path finally taken is because the sacred bond of marriage could not be maintained any longer due to certain reasons. One of the legal consequences of divorce is the child custody. Indonesian judges, in determining child custody, need to pay attention to the background of each party in dispute. One of the backgrounds that need to be noticed by the judges is upon customary laws which still exist in Indonesian modern society. Decision No. 256/Pdt.G/2010/PN.Dps is one example of a case that illustrates inter-citizen couples who hold marriage in Alabama, USA, sook divorce in Indonesia, and the judges who decided the child custody using customary law principles which falls to the fathers side based on kapurusan principle which still exist in Bali. Hence, there is a need to take further studies to analyze whether it was appropriate the judge to apply the relevant laws in order for the decision to be fairly made."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S54346
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azalea Lintang Setiawan
"Penelitian ini membahas mengenai putusan Pengadilan Agama mengenai penolakan Isbat Nikah terhadap pernikahan siri. Isbat Nikah dilakukan untuk membuktikan pernikahan yang dilakukan serta mendapat bukti fisik atas pernikahannya yaitu akta nikah. Pengertian pernikahan siri tidak secara jelas disebutkan dalam undang-undang, namun secara umum pernikahan siri adalah pernikahan yang dilakukan secara rahasia atau diam-diam dengan tujuan tertentu dan tidak dilakukan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN), sehingga tidak punya kekuatan hukum. Di Indonesia hingga saat ini masih banyak orang yang tidak mencatatkan perkawinannya. Banyak yang tidak mengetahui pentingnya mencatatkan perkawinan. Hal ini paling sering merugikan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Untuk anak, perkawinan yang tidak dicatatkan orangtuanya akan mengakibatkan tidak adanya nama ayah di akta kelahirannya dan anak tidak dapat memperoleh hak-hak nya sebagai anak. Metode penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini merupakan normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau sekunder belaka. Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah studi penelitian kepustakaan atau studi literatur. Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder. Dalam skripsi ini Penulis menganalisis Penetapan Nomor 49/Pdt.P/2021/PA.Mkm, dimana pertimbangan Hakim sudah tepat untuk menolak permohonan isbat nikah karena bertentangan dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan juga dalil-dalil Hukum Islam.

This research discusses the decision of the Religious Court regarding the rejection of Isbat Marriage against siri marriage. Isbat Marriage is carried out to prove the marriage and obtain physical evidence of the marriage, namely the marriage certificate. The definition of siri marriage is not clearly stated in the law, but in general siri marriage is a marriage that is carried out in secret or secretly with a specific purpose and is not carried out in front of a Marriage Registration Officer (PPN), so it has no legal force. In Indonesia until now there are still many people who do not register their marriages. Many do not know the importance of registering a marriage. This is most often detrimental to the children born from the marriage. For children, a marriage that is not registered by their parents will result in the absence of the father's name on their birth certificate and the child cannot obtain their rights as a child. The research method used in this thesis is normative, which is legal research conducted by examining library or secondary materials only. The data collection technique that the author uses is a library research study or literature study. The type of data collected is secondary data. In this thesis, the author analyzes Stipulation Number 49/Pdt.P/2021/PA.Mkm, where the Judge's consideration is correct to reject the application for isbat nikah because they are contrary to the Compilation of Islamic Law (KHI), Marriage Law Number 1 of 1974 and also the arguments of Islamic Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imansyah Auliaputra Mahidin
"Skripsi ini membahas mengenai hubungan perkawinan dengan pengakuan anak luar kawin menurut peraturan perundang - undangan di Indonesia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan metode kualitatif dan tipe penelitian deskriptif. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengubah ketentuan Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan sehingga anak yang dilahirkan di luar perkawinan dapat memiliki hubungan keperdataan tak hanya dengan ibu dan keluarga ibu namun juga dengan ayah dan keluarga ayah selama dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan / atau alat bukti lain mempunyai hubungan darah. Untuk dapat memiliki hubungan keperdataan dilakukan pengakuan anak luar kawin yang diatur oleh KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 sebagai peraturan terbaru setelah Putusan Mahkamah Konstitusi dikeluarkan. Hasil penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, pengakuan anak luar kawin tetap harus memenuhi syarat yang terdapat dalam Pasal 49 ayat 2 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2013 dan Hakim tidak konsisten menerapkan dasar hukum dalam mengabulkan Penetapan No. 175/Pdt.P/2015/PN.JKT.TIM.

This undergraduate thesis discusses about relation between marriage and child acknowledgment according to regulations in Indonesia after Constitutional Court Order Number 46 PUU VIII 2010. This research used normative juridical and qualitative method with descriptive as type of research. The Constitutional Court Order Number 46 PUU VIII 2010 change the condition of Article 43 verses 1 Law Number 1 Year 1974 which a child born out of lawful wedlock could have civil relationships not only with the mother and her family but also with the father and his family as long as it can be proven by science and technology and or other evidence resulting a blood relation. To acquire civil relationship, child acknowledgment could be done which is regulated under Book of the Law of Civil Law, Law Number 23 Year 2006, and Law Number 24 Year 2013 as the newest regulation after the Constitutional Court Order. The conclusions are after the Constitutional Court Number 46 PUU VIII 2010, child acknowledgment still have to qualify the term regulated by Article 49 verses 2 Law Number 24 Year 2013 and panel of Judges has been inconsistent in case of applying legal basis to grant Court Order Number 175 Pdt.P 2015 PN.JKT.TIM.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anangia Annisa Putri Abdurahman
"Salah satu akibat hukum dari perkawinan adalah adanya harta bersama serta hubungan hukum antara orang tua dan anak, dimana orangtua bertanggung jawab untuk memelihara, menjaga, serta mencukupi kebutuhan hak – hak dari anak tersebut. Selain itu akibat hukum dari perkawinan akan menimbulkan status hukum dan hak perwalian terhadap seorang anak. Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan beda agama, maka akan menimbulkan akibat yang sangat berpengaruh terhadap hak dan status hukum anak tersebut. Status anak yang dilahirkan dalam perkawinan beda agama kemudian dapat menimbulkan pertanyaan apakah kedudukannya sebagai anak luar kawin atau anak sah. Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan termasuk ke dalam golongan anak luar kawin dalam arti sempit mereka tidak memiliki status dan kedudukan yang sama dalam sebuah hubungan peristiwa hukum antara orang tua dengan anak. Kemudian, apakah hal tersebut juga diperlakukan terhadap keberadaan anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama masih menjadi sebuah pertanyaan. Oleh karena itu, Penulis menggunakan dua rumusan masalah, yaitu: 1) Bagaimana pengaturan mengenai perkawinan beda agama menurut peraturan hukum di Indonesia? 2) Bagaimana analisis pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 410/Pdt.G/2022/PN Mks. terhadap anak akibat perkawinan beda agama? Penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dengan pendekatan kualitatif yang datanya dikumpulkan dari studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkawinan beda agama dapat dilakukan apabila mengajukannya ke Pengadilan dan telah dicatatkannya oleh pegawai catatan sipil sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Kemudian, mengenai perkawinan beda agama, Undang- Undang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dijelaskan secara jelas dan terperinci. Berkaitan dengan anak yang dihasilkan dari perkawinan beda agama, maka dalam hal ini kedudukannya adalah dinyatakan sebagai anak sah dari perkawinan beda agama tersebut dikarenakan secara hukum ketika perkawinan telah dicatatkan dan didaftarkan sebagaimana ketentuan perundang-undangan yang berlaku maka akibat hukum perkawinan tersebut termasuk terhadap anak dinyatakan sah secara hukum.

One of the legal consequences of marriage is the existence of common property and the legal relationship between parents and children, in which parents are responsible, caring for, and satisfying the needs of the rights of the child. In addition, the legal consequences of marriage will result in the legal status and custody of a child. If the child is born from a marriage of different faiths, it will have a significant impact on the rights and legal status of the child. The status of a child born in a marriage of different religions can then raise the question of whether his status as an out-of-marriage or legal child. Children born from unregistered marriages are included in the group of children outside of marriage in the narrow sense they do not have the same status and position in a legal relationship between parents and children. Then, whether it is also treated against the existence of children born from different religious marriages is still a question. Therefore, the author uses two formulas of the problem, namely: 1) How is the arrangement concerning marriage of different religions according to the laws of Indonesia? 2) How to analyze the judge’s consideration in the Makassar State Court Decision No. 410/Pdt.G/2022/PN Mks. against children due to marriage of different religions? The authors use a juridic-normative research method with a qualitative approach whose data is collected from library studies. The results of the study show that a marriage of different religions can be entered into when it is applied to the Court and has been recorded by a civil register officer as described in the Occupation Administration Act. Then, concerning the marriage of different religions, the Marriage Act and the Book of the Perdata Law are not explained clearly and in detail. Related to children born from marriages of different religions, in this case the position is to be declared as a legal child of a marriage of different religion due to the law when the marriage has been recorded and registered as the provisions of the applicable laws, then as a result of the law such marriage includes against the child declared legal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriele Griselda
"Anak naniain secara harfiah berarti “anak angkat”. Anak angkat yang dimaksud dalam skripsi ini adalah istri non-Batak Toba yang diangkat sebagai anak oleh orangtua Batak Toba sehubungan dengan perkawinannya dengan suaminya yang bersuku Batak Toba. Ia diberikan marga yang sama dengan marga orangtua angkatnya. Penelitian bersifat deskriptif. Penulis berusaha menelusuri latar belakang perlunya anak nanian diangkat, hubungan dengan orangtua angkat serta orangtua biologis, serta hak mewaris dari orangtua angkat. Hasil penelitian adalah bahwa kedudukan anak naniain adalah sah menjadi warga masyarakat adat Batak Toba. Sebagai anggota masyarakat, ia merupakan pengemban hak dan kewajiban adat Batak Toba.

Anak naniain in literal meaning is "adoptive child". Adoptive child hereinafter in this thesis will be referred to a non-Batak Toba wife adopted by one of Batak Toba parents due to her marriage with her Batak Toba spouse. She is given the same surname as her adoptive parents. Author explores the necessary anak naniain has to be adopted, her relationship with her adoptive parents and biological parents, and her right to inherit from her adoptive parents. Result is that status of anak naniain legally recognized as a member of Batak Toba society, obtaining rights and obligations in Batak Toba customary law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S58635
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vionna Karissa
"Hak waris menurut Hukum Perdata timbul pada saat seseorang meninggal dunia. Syarat utama untuk menjadi seorang ahli waris adalah adanya hubungan darah yang tercipta dari perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Hukum membedakan antara keturunan yang sah dan keturunan yang tidak sah. Keturunan yang sah didasarkan atas adanya perkawinan yang sah, sedangkan keturunan yang tidak sah didasarkan atas suatu perkawinan yang tidak sah. Perkawinan yang tidak sah terjadi manakala suatu perkawinan tidak dicatatkan pada suatu lembaga yang kita kenal sebagai lembaga catatan sipil. Dengan demikian, maka anak-anak dari perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut, tidak berhak menuntut pembagian waris. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa berdasarkan hasil Putusan Mahkamah Agung Nomor 2185 K/PDT/2008 Perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut dapat dimintakan penetapan pengadilan untuk selanjutnya perkawinan tersebut dicatatkan pada kantor catatan sipil dan selanjutnya anak-anak hasil perkawinan tersebut dinyatakan sah dan berhak atas hak waris dari orang tua mereka.

Inheritance rights under civil law arise when someone dies. The main requirement to be an heiress is created from a relationship of marriage between a man and a woman. Law distinguishes between legitimate descendants and illegitimate descendants. Legitimate descendants based on the existence of a valid marriage, while the illegitimate descendants based on an invalid marriage. Unauthorized marriage occurs when a marriage is not registered in an institution we know as civil institutions. Thus, the children of the marriage that is not recorded, has no right to demand the distribution of inheritance. However, it should be noted that based on the Supreme Court Decision No. 2185 K/PDT/2008 Marriage is not registered can be requested court order for the marriage subsequently listed on the registry office and then the children of the marriage declared valid and entitled to the rights inheritance from their parents."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42688
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Agung Ayu Vania Utami
"Perkawinan adat Bali dipengaruhi oleh sistem kekerabatan patrilineal yang berlaku di masyarakat. Berdasarkan sistem kekerabatan tersebut, laki-laki berkedudukan sebagai purusa yang memiliki tanggung jawab serta memegang peranan utama dalam keluarganya. Perkembangan jaman membawa dampak bagi bentuk perkawinan adat Bali yaitu bukan hanya laki-laki yang memiliki kedudukan sebagai purusa, namun perempuan juga dapat berkedudukan sebagai purusa di keluarganya dan menarik laki-laki untuk menjadi bagian keluarga perempuan, dengan status sebagai perempuan predana . Persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan terlihat dari bentuk perkawinan pada gelahang. Dalam perkawinan tersebut, laki-laki dan perempuan adalah sebagai purusa di keluarganya masing-masing. Namun, bentuk perkawinan ini belum sepenuhnya diakui oleh masyarakat Bali, maka perlu diketahui lebih lanjut tentang pengaturan serta akibat hukum dari dilakukannya perkawinan pada gelahang tersebut. Selain itu, perlu juga diketahui mengenai perkembangan dari perkawinan pada gelahang di masyarakat Bali dewasa ini. Berdasarkan kondisi diatas, penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan library research yang datanya bersumber dari bahan kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa bentuk perkawinan pada gelahang merupakan perkawinan alternatif bagi keluarga yang hanya memiliki satu anak anak tunggal , sehingga dapat mencegah putusnya keturunan dalam keluarganya. Kemudian, melalui perkawinan ini terdapat kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan sebagai purusa di keluarganya masing-masing.

Marriage customs of Bali are influenced by the patrilineal kinship system prevailing in society. According to the kinship system, men as the ldquo purusa rdquo has a responsibility and as a leading figure in his family. The development in this era brings impact to type of Balinese marriage that is not only men who has a position as purusa, however women can also hold the position as purusa in her family and pulled a men to become part of her family with status as a women predana . Equality of position between men and women can be seen from the form of pada gelahang marriage. In that marriage, men and women have a position as purusa in their own family. However, this form of marriage has not been fully recognized by the Balinese society, so it is necessary to know more about the rules and legal effects of pada gelahang marriage. Moreover, it should also be known about the development of pada gelahang marriage on Balinese society in present times. Based on the condition above, the author using the library research method for this research, whose data are come from literature materials. The result of this research stated that form of pada gelahang marriage is an alternative marriage for families who only have one child, so to prevent the loss of the family rsquo s line. Afterwards, through this marriage, men and women can have the same position as purusa in their own family.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69270
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pricillia Putri
"Perkawinan dapat dikatakan sah jika memenuhi syarat dan ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Salah satunya ialah larangan perkawinan. Apabila perkawinan telah berlangsung dan larangan perkawinan tersebut dilanggar maka akibat hukum yang terjadi adalah pembatalan perkawinan. Pembatalan perkawinan tidak hanya berakibat hukum bagi suami dan istri tetapi juga anak yang telah lahir dari perkawinan tersebut. Hal ini menimbulkan permasalahan terhadap harta bersama suami dan istri juga kedudukan anak yang lahir. Maka dari itu, penelitian ini membahas mengenai analisis akibat pembatalan perkawinan sedarah dalam kaitannya dengan harta bersama dan kedudukan anak berdasarkan studi kasus Putusan Pengadilan Agama Lubuklinggau Nomor 80/Pdt.G/2017/PA.LLG. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum normatif dan analisis dilakukan secara deskriptif analitis. Analisis didasarkan pada pengaturan Hukum Perkawinan dan Kewarisan terutama dalam Hukum Perkawinan dan Kewarisan Islam mengenai harta bersama dan kedudukan anak pasca terjadinya pembatalan perkawinan. Hasil analisis mengungkapkan bahwa tidak adanya pengaturan secara eksplisit mengenai harta bersama setelah terjadinya pembatalan perkawinan menyebabkan pengaturan pembagian harta bersama dilakukan menurut prinsip keadilan dan musyawarah untuk mufakat. Selain itu, anak juga tetap berkedudukan sebagai anak sah dengan adanya pengecualian keberlakuan pembatalan perkawinan terhadap kedudukan anak pada Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Tidak adanya perubahan kedudukan anak mengakibatkan anak tetap memiliki hak untuk mendapatkan pemeliharaan dari orang tua serta memperoleh hak warisnya sebesar bagian yang telah ditentukan dalam Kompilasi Hukum Islam.

A marriage can be considered as legal after fulfilling the terms and conditions which are regulated within the laws and regulations. One of the laws and regulations that is important to comply with is the prohibitions of marriage. If a marriage has occured and this specific prohibition of marriage is violated, thus, the legal consequence resulted would be the annulment of such marriage. The annulment of marriage does not only result in legal consequences for husband and wife but also the child born as a result of the marriage. This could make problem in accordance with their joint property and the child born status. Therefore, this research is conducted to analyze the legal consequences of consanguineous marriage in accordance with their joint property and the child status based on the Study of Case Verdict Lubuklinggau Religious Court Number 80/Pdt.G/2017/PA.LLG). To settle with the said matter, this research use normative research method as well as descriptive analytical research. Analysis is based on the Marriage and Inheritance Law especially in the Islamic Marriage and Inheritance Law in accordance with joint property and the status of the child born after the annulment of the marriage. The results of the analysis reveal that the absence of an explicit Laws regarding joint property after the annulment of the marriage causes the distribution of joint property to be carried out according to the principles of justice and deliberation for consensus. In addition, the child also remains as a legitimate child with legal protection in the Marriage Law and the Compilation of Islamic Law. As a legitimate child, this child will still have the right of child care and inheritance as much as the part has been determined by the Compilations of Islamic Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jasmine Priscilla
"ABSTRACT
Anak yang dilahirkan dalam perkawinan orang tua yang tidak dicatatkan akan membawa konsekuensi bagi anak tersebut, yaitu menjadi seorang anak luar kawin. Akibat dari kedudukan seorang anak sebagai anak luar kawin adalah tidak adanya hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 menjadi solusi dari permasalahan kedudukan anak luar kawin. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ditentukan bahwa anak luar kawin dapat mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya apabila dapat dibuktikan mempunyai hubungan darah berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum. Dalam penelitian ini akan dikaji mengenai kedudukan yang dilahirkan dalam perkawinan orang tua yang tidak dicatatkan pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dengan melihat penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam Penetapan Nomor 126/PDT.P/2014/PN.JKT.TIM dan juga Penetapan Nomor 229/PDT.P/2015/PN.KDL. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang bertujuan mengidentifikasi norma hukum tertulis dan hasil penelitian disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 anak yang dilahirkan dalam perkawinan orang tua yang tidak dicatatkan juga dapat mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya dan tidak hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Selain itu, berdasarkan dua penetapan yang dianalisis dalam penelitian ini, dapat dilihat adanya perbedaan fokus dalam pertimbangan hakim dalam menentukan kedudukan anak yang dilahirkan dalam perkawinan orang tua yang tidak dicatatkan. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu peraturan pelaksanaan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 untuk menghindari ketidakpastian dan permasalahan dalam penerapannya.

ABSTRACT
Children born in marriages of parents who are not registered will have consequences for the child, namely being a child out of wedlock. The result of the position of a child as a child out of wedlock is the absence of civil relations between children outside of marriage with their biological father. The decision of the Constitutional Court Number 46 / PUU-VIII / 2010 is the solution to the problem of the position of the child outside of marriage. In the Decision of the Constitutional Court Number 46/PUU-VIII/2010 it is determined that out-of-wedlock children can have civil relations with their father if it can be proven to have blood relations based on science and technology and/or other evidence according to the law. In this study, we will examine the position of being born in a parent's marriage which is not listed after the issuance of the Constitutional Court Decision Number 46 / PUU-VIII / 2010 by observing the application of the Constitutional Court Decision Number 46 / PUU-VIII / 2010 in the Determination of  Number 126/PDT.P/2014/PN.JKT.TIM and also Determination Number 229/PDT.P/2015/PN.KDL. The research method used in this study is normative juridical research that aims to identify written legal norms and the results of the study are presented descriptively. The results of this study concluded that after the Decision of the Constitutional Court Number 46 / PUU-VIII / 2010 children born in marriages of unregistered parents can also have civil relations with their biological fathers and not only have civil relations with their mothers and families. In addition, based on the two determinations analyzed in this study, it can be seen that there is a difference in focus in judges judgment in determining the position of children born in the marriage of parents who are not registered. Therefore, it is necessary to have an implementing regulation from the Constitutional Court Decision Number 46 / PUU-VIII / 2010 to avoid uncertainty and problems in its implementation."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>