Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154224 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lalitya Nada Tamaranny
"Sejak kurang lebih 3000 tahun yang lalu, muncul sebuah budaya pernikahan unik di Cina, yaitu pernikahan roh atau yang dikenal dengan sebutan Ming Hun (冥婚). Pada awalnya budaya ini memiliki makna dan esensi yang baik, yaitu harapan agar orang yang meninggal sebelum menikah bisa memiliki pasangan sehingga rohnya tenang di alam sana. Namun, di zaman modern seperti sekarang, karena pemikiran masyarakat yang sudah modern sehingga sudah tidak banyak yang mempercayai budaya Ming Hun. Pada akhirnya, budaya tersebut mengalami pergeseran makna dan komodifikasi, karena bagi beberapa masyarakat yang masih mempercayai dan menjalankan budaya tersebut kesulitan untuk mendapatkan jenazah baru yang akhirnya dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang melakukan praktik jual-beli jenazah hingga timbul kriminalitas pencurian jenazah di Cina. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pemaparan deskriptif secara menyeluruh melalui tulisan terdahulu dan berita untuk mengetahui pergeseran makna serta komodifikasi budaya Ming Hun di Cina pada zaman modern.

Since approximately 3000 years ago, a unique marriage culture emerged in China, namely spirit marriage or known as Ming Hun (冥婚). At first this culture had a good meaning and essence, namely the hope that people who died before married could have a partner so that their spirit was calm in the spirit world. However, in modern times like nowadays, due to modern people's thinking, not many people believe in Ming Hun culture. In the end, the culture experienced a shift in meaning and commodification, because for some people who still believe in and practice this culture, it is difficult to get new bodies which are eventually used by people who carry out the practice of buying and selling corpses so that the crime of theft of bodies in China arises. This study uses a qualitative method with comprehensive descriptive exposure through previous writings and news to find out the shift in meaning and commodification of Ming Hun culture in China in modern times."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Kharisma Putri
"Kelenteng Tjoe Hwie Kiong merupakan bangunan bersejarah yang didirikan sejak tahun 1817 di Pecinan Pakelan di Kota Kediri, Provinsi Jawa Timur. Kehadiran kelenteng ini memberikan dampak positif pada masyarakat di sekitarnya sekaligus menyimpan banyak potensi untuk menjadi destinasi pariwisata budaya di Kota Kediri. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kondisi Kelenteng Tjoe Hwie Kiong kepada masyarakat luas terutama tentang potensinya sebagai destinasi pariwisata budaya. Kemudian dampak apa yang ditimbulkan Kelenteng Tjoe Hwie Kiong terhadap Pecinan Pakelan dan Kota Kediri.

Kelenteng Tjoe Hwie Kiong is a historical building established since 1817 in Chinatown Pakelan in Kediri City, East Java Province. The presence of this temple has a positive impact on the surrounding community as well as holds a lot of potential to become a cultural tourism destination in Kediri City. This research aims to provide an overview of the condition of the Tjoe Hwie Kiong Temple to the wider community, especially about its potential as a cultural tourism destination. Then what impact does Tjoe Hwie Kiong Temple have on Pakelan Chinatown and Kediri City."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Kharisma Putri
"Kelenteng Tjoe Hwie Kiong merupakan bangunan bersejarah yang didirikan sejak tahun 1817 di Pecinan Pakelan di Kota Kediri, Provinsi Jawa Timur. Kehadiran kelenteng ini memberikan dampak positif pada masyarakat di sekitarnya sekaligus menyimpan banyak potensi untuk menjadi destinasi pariwisata budaya di Kota Kediri. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kondisi Kelenteng Tjoe Hwie Kiong kepada masyarakat luas terutama tentang potensinya sebagai destinasi pariwisata budaya. Kemudian dampak apa yang ditimbulkan Kelenteng Tjoe Hwie Kiong terhadap Pecinan Pakelan dan Kota Kediri.

Kelenteng Tjoe Hwie Kiong is a historical building established since 1817 in Chinatown Pakelan in Kediri City, East Java Province. The presence of this temple has a positive impact on the surrounding community as well as holds a lot of potential to become a cultural tourism destination in Kediri City. This research aims to provide an overview of the condition of the Tjoe Hwie Kiong Temple to the wider community, especially about its potential as a cultural tourism destination. Then what impact does Tjoe Hwie Kiong Temple have on Pakelan Chinatown and Kediri City."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jasmine Kartika
"ABSTRAK
Revolusi Kebudayaan Cina 1966-1976 merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Cina. Revolusi Kebudayaan adalah kebijakan yang dicetuskan oleh Mao Zedong ??? . Mao mencetuskan Revolusi Kebudayaan ini untuk menghilangkan pengaruh Kapitalis di Cina, Berdasarkan dinamika yang terjadi dalam peristiwa ini maka sering kali digunakan menjadi latar di berbagai film Cina. Salah satu film yang mengambil latar pada saat Revolusi Kebudayaan adalah film Sh?nzh?sh Zh? Li n Under The Hawthorn Tree . Film ini menceritakan kisah cinta seorang gadis bernama Zhang Jingqiu, dan pemuda bernama Sun Jianxin pada masa Revolusi Kebudayaan. Penelitian ini berusaha mencari korelasi apa saja aspek simbol dan kebijakan apa yang muncul sebagai cerminan Revolusi Kebudayaan. Selain itu bagaimanakah aspek-aspek tersebut mencerminkan Revolusi Kebudayaan dalam film.

ABSTRACT
The Chinese Cultural Revolution 1966-1976 was one of the most important events in Chinese history. The Cultural Revolution is a policy initiated by Mao Zedong ??? . Mao sparked this Cultural Revolution to eliminate the influence of Capitalists in China. Based on the dynamics of this event, it is often used as a backdrop for various Chinese films. One of the films that took place during the Cultural Revolution was the Sh?nzh?sh Zh? Li n Under The Hawthorn Tree film. The film tells the love story of a girl named Zhang Jingqiu, and a young man named Sun Jianxin during the Cultural Revolution. This research seeks to find out what correlation aspects of symbols and policies emerge as a reflection of the Cultural Revolution. In addition, how these aspects reflect the Cultural Revolution in the film. "
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Frans Joshua Lundu
"Bagi masyarakat Tiongkok, mianzi (面子) lebih dari sebuah konsep, mianzi berperan besar dalam segi sosial, ekonomi, bahkan politik Tiongkok. Mianzi dapat diartikan sebagai status dan kehormatan yang dimiliki setiap orang atau yang dalam konteks negara bisa diartikan sebagai kejayaan, kedaulatan dan pengakuan dari negara lain. Memperoleh dan menjaga status dan kehormatan tentu merupakan tanggung jawab penting, terlebih bagi negara yang pernah melalui masa kejayaannya, seperti Tiongkok pada era huihuang shengshi. Namun, peristiwa Perang Candu membuat status dan kehormatan Tiongkok itu harus hilang bahkan membawa mereka ke dalam “era humiliasi”. Oleh karena itu, tak heran melihat para pemimpin Tiongkok terus menggagas usaha mewujudkan kebangkitan kembali kejayaan Tiongkok, salah satunya adalah gaige kaifang pada era Deng Xiaoping. Gaige kaifang ‘memaksa’ rakyat Tiongkok untuk mengembangkan usaha sendiri melalui program xiahai. Dari sini berkembanglah industri shanzhai yang identik dengan barang imitasi, namun berhasil mendorong tumbuhnya kreativitas masyarakat. Usaha mewujudkan kebangkitan kembali kejayaan Tiongkok terus dilanjutkan hingga era Xi Jinping di mana ia memformulasikan Zhongguomeng dan merilis kebijakan Made in China 2025. Made in China 2025 adalah realisasi atas strategi Tiongkok untuk mengembangkan sektor industri mereka dengan mengikuti inovasi teknologi guna dapat bersaing dengan perusahaan skala global. Dari sisi prinsip pelaksanaan kebijakan yang digunakan, industri shanzhai dan Made in China 2025 merupakan dua hal yang bertolak belakang yakni antara imitasi dan inovasi. Kontradiksi semakin terlihat dari sisi mianzi, di mana proses imitasi dan inovasi memiliki pengaruh yang berbeda dalam membentuk kehormatan suatu negara dan pandangan dari negara lain. Namun, nyatanya keduanya dapat menambah kehormatan/zengjia mianzi bagi Tiongkok. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa hubungan antara industri shanzhai dan Made in China 2025 dan pandangannya dari sudut pandang konsep mianzi.
For Chinese people, mianzi (面子) is more than just a concept; it plays a significant role in China’s social, economic, and even political aspects. Mianzi is the status and honor that each person possesses, or in the context of a country, it can be interpreted as glory, sovereignty, and recognition from other countries. Obtaining and maintaining status and honor is undoubtedly an important responsibility, especially for a country that has experienced its own era of glory, such as China during the huihuang shengshi. However, the events of the Opium War caused China to lose its status and honor, plunging them into “century of humiliation”. Therefore, it is not surprising to see China’s leaders continuously proposing efforts to revive China's glory, one of which was the gaige kaifang during Deng Xiaoping’s era. Gaige kaifang "forced" the Chinese people to develop their own businesses through the xiahai program. From this, the shanzhai industry, which refers to imitation products industry, developed but managed to drive the growth of creativity in China society. Efforts to revive China's glory continued into the Xi Jinping’s era, where he formulated the Zhongguomeng and released the Made in China 2025 policy. Made in China 2025 is the realization of China's strategy to develop its industrial sector by embracing technological innovation to compete with global-scale companies. From the implemented policy principles, the shanzhai industry and Made in China 2025 are two contrasting things: imitation versus innovation. The contradiction becomes more apparent in terms of mianzi, where the processes of imitation and innovation have different impacts on shaping a country's honor and the perceptions of other countries. However, both can indeed add the honor/zengjia mianzi for China. The purpose of this study is to analyze the relationship between the shanzhai industry and Made in China 2025 and the views from the perspective of the mianzi concept."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Ishardanti
"Studi ini membahas mengenai identitas hibrid Cina-Banyumas. Pertama, akan bercerita mengenai ruang, agen dan relasi seperti apa yang berperan dalam rekonstuksi identitas. Ketiga hal tersebut akan bekerja dalam kerangka berpikir Berger. Kemudian, relasi sosial seperti apa yang terbentuk antara kedua etnik ini dan bagaiamana bentuk-bentuk relasi ini berkontribusi dalam rekonstruksi identitas. Dari hasil rekonstruksi identitas ini, maka identitas hibrid seperti apa yang akan muncul. Rekonstruksi identitas dibangun dengan beberapa tahapan yang dalam penelitian ini dilihat melalui kerangka berpikir dari konstruksi sosial yang diungkapkan Berger dan Luckmann, yang memiliki tiga proses utama dalam rekonstruksinya yaitu proses eksternalisasi, obyektifikasi, dan internalisasi. Di dalam proses-proses rekonstruksi identitas ini penuh dengan proses yang disebut dengan Bhaba mimikri, dimana etnis Cina-Banyumas melakukan peniruan-peniruan dan imitasi sebagai upaya untuk mengambil nila-nilai lokal Banyumas. Karena proses-proses imitasi yang terjadi berulang-ulang, mengakibatkan batasan antara nilai lokal dan Cina-Banyumas menjadi kabur. Batasan-batasan yang menjadi tidak jelas ini melahirkan identitas hibrid yang baru. Adapun temuan lapangan dari studi ini ada beberapa nilai dan simbol yang berperan dalam membentuk karakter hibrid Cina-Banyumas, seperti karakter Bawor dari wong Banyumas, nilai konfusius dari Tionghoa. Agen sosialisasi juga bervariasi dari mulai kelompok kecinaan, keluarga, tokoh masyarakat dan agama.

These studies about Chinese-Banyumas identity. First, will talk about the social space, agents and relations that play a role in the reconstruction of identity. These three things will work within the framework of Berger. Then, identify relations form between these two ethnic groups and how these relationships contribute to the reconstruction of identity. From the results of reconstruction of this identity, then hybrid identity will appear. Reconstruction of identity is built with several stages in this research viewed through the framework of social construction by Berger and Luckmann, which has three main processes. There are process of externalization, objectification, and internalization. In the processes of identity reconstruction, Bhaba said is filled with mimicry processes, where the ethnic Chinese-Banyumas imitate the local values of Banyumas. Since imitation processes that occur repeatedly, resulting in the boundaries between local and Chinese-Banyumas become blurred. Boundaries became unclear who gave birth to a new hybrid identity. The field findings from this study: there are some values and symbols that play roles in shaping the character of the hybrid Chinese-Banyumas, like the character of Wong Banyumas, Bawor, the Confucius of China. Also, Agents of socialization varies from the Chinese group, family, community and religious leaders."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tawalinuddin Haris
"Berdasarkan catatan sejarah, hubungan dagang antara Cina dengan Jawa telah berlangsung cukup lama, yaitu sejak abad ke 5 Masehi. Hubungan tersebut ditopang pula oleh jalur-jalur pelayaran yang telah dikenali oleh orang orang Cina untuk sampai dan singgah di kepulauan Nusantara. Peningkatan aktivitas di bidang perdagangan dan pelayaran di daerah kepulauan Nusantara, mengakibatkan tumbuh dan berkembangnya tempat atau pos-pos pedagang Cina yang kemudian menjadi pemukiman-pemukiman khusus orang Cina (pecinan) di sejumlah daerah di kepulauan Nusantara. Akibat lebih lanjut, sudah tentu terjadi interaksi sosial budaya antara orang (pedagang) Cina dengan orang setempat (pribumi). Latar belakang tersebut, yang mendorong penelitian ini dilakukan dengan fokus masalah pada pengaruh budaya Cina pada daerah pesisir utara Jawa dan Madura Tujuan yang dikehendaki adalah terungkapnya dan teridentifikasinya pengaruh budaya Cina serta latar sejarah keberadaan unsur-unsur budaya Cina tersebut. Upaya mengungkapkan budaya Cina tersebut dilakukan melalui kajian arkeologis historis dengan sasaran penelitian pada aspek tinggalan arkeologisnya yang terdapat pada daerah yang diteliti yaitu Cirebon, Semarang, Gresik dan Madura. Hasilnya menunjukan bahwa orang-orang Cina total dijumpai keberadaannya di seluruh Jawa dan Madura sejak masa lampau. Mereka bermukim di kota-kota pelabuhan di daerah pesisir atau muara muara sungai besar yang menjadi pusat perdagangan dan sarana transportasi yang menghubungkan daerah pantai dengan pedalaman. Pilihan lokasi atau tempat tinggal orang Cina di suatu kota, mungkin tampaknya berkaitan dengan kegiatan usaha di sektor perdagangan. Keberadaan orang Cina di daerah pesisir ditandai pula dengan hadirnya pemukiman Cina (Pecinan). Pengaruh budaya Cina tampak kentara dijumpai pada sejumlah tinggalan arkeologis yang ditemui di daerah yang menjadi lokasi penelitian."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Gondomono
Jakarta: UI-Press, 1997
PGB 0467
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Aura Nuryasmin
"Perilisan film Mulan (2020) telah memicu perdebatan berkelanjutan mengenai bagaimana film live-action tersebut kurang merepresentasikan kebudayaan Cina meskipun telah menyatakan niatnya untuk memberikan penggambaran yang akurat demi memuaskan penonton-penonton di Tiongkok. Tulisan ini mengkaji karakter, cerita, dan bahasa visual dalam film Mulan (2020) sehingga menghasilkan sebuah kajian tekstual yang komprehensif dengan berfokus pada Konfusianisme sebagai latar budaya dari film tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana identitas gender dan konsep kehormatan menurut kebudayaan Cina direkonstruksi agar selaras dengan ajaran Konfusianisme yang autentik. Penelitian dilakukan melalui pendekatan teoretis Feminisme Konfusius menggunakan konsep Jen dan teori yin-yang. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa konsep kehormatan bertransformasi menjadi sejalan dengan karakteristik kepribadian seorang Jen, sebuah konsep jati diri dalam Konfusianisme yang didasarkan oleh nilai-nilai kemanusiaan. Identitas gender Mulan menyimbolkan maskulinitas dan feminitas yang selaras dengan konsep murni dari yin-yang, yang menitikberatkan pada harmoni dibandingkan ketidaksetaraan gender. Oleh karena itu, film ini berhasil merekonstruksi pemikiran Konfusianisme yang mengembalikan aspek fundamentalnya sebagai filosofi yang mendukung ideologi feminisme.

The release of Mulan (2020) has incited an undergoing debate that the live-action movie still lacks Chinese cultural representation despite its original intention to show accurate depiction to please Chinese audiences. This paper examines the characters, the story, and the visual language in the movie Mulan (2020) resulting in a comprehensive textual analysis that focuses on Confucianism as the cultural setting of the movie. It aims to explore how gender identity and the notion of honor according to Chinese culture are reconstructed to align with the authentic Confucianism teachings. The research is conducted through Confucian Feminism theoretical approach with the concept of Jen and yin-yang to frame the findings. This research finds that the notion of honor is changed in a way that is still in line with what it means to be a person of Jen, a concept of self in Confucianism that fundamentally emphasizes humanness. Mulan’s gender identity that embodies masculinity and femininity fits the original yin-yang concept, which offers harmony rather than gender inequality. Therefore, it can be concluded that this movie redefines Confucianism to its original ideal as a philosophy that encourages feminist ideology."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>