Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149337 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ghassani Shyfa Febrianti
"Latar Belakang: Kejadian stunting di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan standar yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO). Menurut beberapa penelitian terdahulu, stunting dapat menyebabkan kelainan email dan keterlambatan erupsi gigi permanen. Telah dilaporkan adanya hubungan antara status gizi stunting dengan penurunan kadar IGF-1, serta hubungan antara kadar IGF-1 dengan pertumbuhan gigi terkait dengan perkembangan email dan erupsi gigi. Pengukuran kadar IGF-1 biasanya dilakukan dengan menggunakan IGF-1 darah. Diketahui bahwa saliva mengandung biomarker yang terkandung di dalam darah, termasuk IGF-1, dalam kuantitas yang lebih rendah. Tujuan: Menganalisis hubungan antara kadar IGF-1 saliva dengan kelainan email dan waktu erupsi gigi pada anak stunting usia 6-8 tahun. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasi laboratorium dengan menggunakan 40 sampel saliva yang diambil dari sediaan biologis tersimpan dari penelitian tahun 2019 pada populasi siswa/i sekolah dasar (SD) kelas 1-2 Kecamatan Nangapanda, Ende, Nusa Tenggara Timur yang telah dikelompokkan berdasarkan status gizi stunting dan normal. Sampel saliva diuji menggunakan ELISA kit human IGF-1 untuk melihat kadar IGF-1. Kelainan email dinilai dengan cara menghitung jumlah gigi yang mengalami kelainan pada mahkota serta waktu erupsi gigi dinilai dengan menghitung jumlah gigi permanen yang telah erupsi. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan program SPSS. Hasil: Kadar IGF-1 saliva pada anak status gizi normal 7,50 ng/ml dan pada anak stunting 5,64 ng/ml. Proporsi IGF-1 terhadap total protein pada anak status gizi normal 1,04×10-2 dan pada anak stunting 8,96×10-3. Rata-rata jumlah gigi yang mengalami kelainan mahkota pada anak berstatus gizi normal 2,94 gigi dan pada anak dengan status gizi stunting 1,17 gigi. Terdapat perbedaan yang signifikan pada jumlah gigi dengan kelainan mahkota antara anak bestatus gizi normal dan stunting (p < 0,05). Rata-rata jumlah erupsi gigi permanen pada anak berstatus gizi normal 8,29 gigi dan pada anak stunting adalah 8,04 gigi. Tidak terdapat perbedaan signifikan jumlah erupsi gigi permanen antara anak berstatus gizi normal dan berstatus stunting (p > 0,05). Terdapat korelasi positif lemah yang tidak signifikan antara kadar IGF-1 dengan status gizi anak usia 6-8 tahun (r = 0,147), korelasi positif lemah yang tidak signifikan antara kadar IGF-1 dengan jumlah kelainan mahkota gigi anak usia 6-8 tahun (r = 0,219), terdapat korelasi positif lemah yang tidak signifikan antar kadar IGF-1 dengan jumlah erupsi gigi permanen anak usia 6-8 tahun (r = 0,074). Kesimpulan: Pada anak stunting usia 6-8 tahun yang secara tidak signifikan memiliki kadar IGF-1 saliva lebih rendah dan waktu erupsi lebih lambat dibandingkan anak normal tetapi erlihat frekuensi kelainan email yang lebih tinggi. Pada kelompok sampel demikian, tidak terlihat hubungan antara kadar IGF-1 saliva dengan kelainan email dan keterlambatan waktu erupsi gigi permanen.

Background: The incidence of stunting in Indonesia is still relatively high when compared to the standards set by the World Health Organization (WHO). According to several previous studies, stunting can cause enamel defects and delayed tooth eruption. It has been reported that there is a relationship between stunting nutritional status and decreased IGF-1 levels, as well as a relationship between IGF-1 levels to enamel development and tooth eruption. Measurement of IGF-1 levels is usually done using serum IGF-1. Saliva contains biomarkers that is circulating in the blood, including IGF-1, but in much lower quantities. Objective: Analyzing the relationship between IGF-1 levels in saliva with enamel defects and the time of tooth eruption in stunted children aged 6-8 years. Method: This research was a laboratory observation study using 40 saliva samples taken from stored biological samples from a 2019 study on a population of elementary school students class 1-2 Nangapanda District, Ende, East Nusa Tenggara which has been grouped based on stunting and normal nutritional status. Saliva samples were tested using the human IGF-1 ELISA kit to see the levels of IGF-1. Enamel defects were assessed by counting the number of teeth with crown defects and the time of tooth eruption was assessed by counting the number of erupted permanent teeth. The data were then analyzed using the SPSS software. Result: Salivary IGF-1 levels in children with normal nutritional status were 7.50 ng/ml and 5.64 ng/ml in stunted children. The proportion of IGF-1 to total protein in children with normal nutritional status was 1.04×10-2 and in stunted children was 8.96×10-3. The average number of teeth with crown defects in children with normal nutritional status was 2.94 teeth and in stuntedchildren was 1.17 teeth. There was a significant difference in the number of teeth with crown defects between normal and stunted children (p < 0.05). The average number of permanent tooth eruptions in children with normal nutritional status was 8.29 teeth and in stunted children was 8.04 teeth. There was no significant difference in the number of permanent tooth eruptions in children with normal nutritional status and stunting (p > 0.05). There was a weak positive correlation that was not significant between IGF-1 levels and the nutritional status of children aged 6-8 years (r = 0.147), a weak positive correlation that was not significant between IGF-1 levels and the number of dental crown defects (r = 0.219), and a correlation between IGF-1 levels and the number of permanent teeth eruption (r = 0.074). Conclusion: Stunted children aged 6-8 years old tend to show not significant lower IGF-1 level and delayed tooth eruption compared to normal children but had significant lower frequency of enamel defect. In such samples no significant relationship between salivary IGF-1 level and tooth eruption time could be seen."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Willbert Nielson
"Latar Belakang: Prevalensi Stunting di Indonesia masih lebih tinggi dari yang ditetapkan oleh WHO. Stunting menyebabkan defisit pertumbuhan fisik anak untuk usianya, serta defisit kinerja kognitif dan akademik jangka pendek maupun jangka Panjang. Telah dilaporkan adanya hubungan antara kondisi stunting dengan penurunan kadar IGF-1, serta hubungan antara kadar IGF-1 dengan perkembangan kognitif. Pengukuran kadar IGF-1 yang dikaitkan dengan pertumbuhan dan perkembangan lazim dilakukan pada IGF-1 darah. Diketahui bahwa saliva mengandung biomarker yang terkandung di dalam darah, termasuk IGF-1, dalam kuantitas yang jauh lebih rendah. Tujuan: Menganalisis hubungan antara kadar IGF-1 saliva dengan kemampuan kognitif dan status gizi stunting pada anak-anak usia 6-8 tahun. Metode: Sampel saliva merupakan sediaan biologis tersimpan dari penelitian tahun 2019 pada populasi siswa/i sekolah dasar (SD) kelas 1-2 Kecamatan Nangapanda, Ende, Nusa Tenggara Timur yang telah dikelompokan berdasarkan status gizi stunting dan normal. Sampel saliva diuji menggunakan Bradford assay untuk melihat jumlah total proteinnya, setelah itu sampel diuji menggunakan ELISA kit human IGF-1 untuk melihat kadar IGF-1. Perkembangan kognitif dinilai berdasarkan skor Raven’s Colored Progressive Matrices. Analisis data menggunakan SPSS. Hasil: Dalam penelitian ini, total protein saliva anak normal 824,47 mg/ml dan pada anak stunting 879,45 mg/ml. Kadar IGF-1 saliva anak normal 7,50 ng/ml dan pada anak stunting 5,64 ng/ml. tidak berbeda bermakna. Proporsi IGF-1 terhadap total protein anak normal 1,04×10-2 dan pada anak stunting 8,96×10-3. Tidak ada perbedaan signifikan proposi kadar IGF-1 saliva antara anak normal dan stunting (p>0,05), dan antara skor perkembangan kognitif anak normal 4,53 dan pada anak stunting 3,04. Korelasi antara variabel adalah sebagai berikut: korelasi positif sangat lemah antar kadar IGF-1 dengan status gizi (r=0,147), korelasi positif sangat lemah antar skor perkembangan kognitif dengan status gizi (r=0,192), tidak ada korelasi antar kadar IGF-1 dengan skor perkembangan kognitif (r=-0,034). Kesimpulan: Pada anak stunting usia 6-8 tahun yang kadar IGF-1 saliva dan perkembangan kognitifnya tidak berbeda bermakna dengan anak normal, masih terlihat bahwa kondisi stunting berhubungan dengan penurunan kognitif, dan bahwa penurunan kadar IGF-1 saliva dapat mengindikasikan kondisi stunting tetapi tidak berhubungan dengan penurunan perkembangan kognitifnya.

Background: The prevalence of Stunting in Indonesia is still higher than what had been determined by WHO. In addition to a deficit in a child's stature for their age, stunting has also been associated with short- and long-term deficit in cognitive and academic performance. It had been reported that there were corelations between stunting with decreased IGF-1 level and cognitive impairment. The measurement of IGF-1 level in these studies were taken from blood. Saliva contains significantly lower concentration of biomarkers that are present in blood. Objective: Analyzing the relationship between salivary IGF-1 levels with cognitive abilities and nutritional status in stunted children aged 6-8 years. Method: Saliva were taken from stored biological specimen derived from a research in 2019 at students grades 1-2 elementary schools in Nangapanda, Ende, East Nusa Tenggara, and then grouped based on stunting and normal nutritional status. Saliva samples were tested using the Bradford assay to measure the total amount of protein, the levels of IGF-1 were tested using the human IGF-1 ELISA. The cognitive development scores were measured using Raven Colored Progressive Matrices. The data were analyzed using SPSS. Result: In this study, total protein in normal children 824,47 mg/ml and in stunted children 879,45 mg/ml. Salivary IGF-1 levels in normal children 7,50 ng/ml and in stunted children 5,64 ng/ml. Proportion Salivary IGF-1 to total protein in normal children 1,04×10-2 and in stunted children 8,96×10-3. There was no significant difference between normal and stunted children. Cognitive development scores in normal children 4,53 and in stunted children 3,04. The correlations between variables were as follows: very weak positive correlation between IGF-1 levels and nutritional status (r=0.147), very weak positive correlation between cognitive development scores and nutritional status (r = 0.192), no correlation between IGF-1 levels and cognitive development scores (r = - 0.034). Conclusion: In stunted children aged 6-8 years whose salivary IGF-1 levels and cognitive development score were not significantly different from normal children, there was still an indication that stunting was associated with cognitive decline, and that a decrease in salivary IGF-1 levels could develop stunting conditions but was not associated with decline in cognitive development."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafi Ahmad Arkan
"Latar Belakang : Stunting merupakan salah satu manifestasi dari malnutrisi kronis yang ditandai dengan tinggi badan yang lebih rendah dari standar tinggi badan untuk usia individu tersebut. Salah satu faktor penyebab stunting adalah kurangnya asupan nutrisi. Kurangnya asupan nutrisi dapat menyebabkan berkurangnya kadar Hb dan IGF-1. Berkurangnya asupan nutrisi juga dapat mengganggu proses pertumbuhan dan perkembangan gigi yang dapat mempengaruhi watu erupsi gigi. Perlu dilakukan analisis untuk melihat hubungan antara stunting dengan kadar Hb, IGF-1, dan erupsi gigi. Tujuan : Menganalisis hubungan antara kadar Hb, IGF-1, dan erupsi gigi dengan kondisi stunting. Metode : Penelusuran literatur dilakukan dengan menggunakan pedoman Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analysis (PRISMA) pada tiga electronic database, yaitu : PubMed, EBSCO, dan SCOPUS. Kualitas dari literatur dinilai menggunakan QUADAS-2 tool. Hasil : Terdapat 27 artikel yang terpilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan. 19 artikel menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kadar Hb dengan stunting, dimana anak dengan kondisi stunting lebih memungkinkan untuk memiliki kadar Hb yang rendah (anemia). 4 artikel menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kadar IGF-1 dengan stunting, dimana anak dengan kondisi stunting memiliki kadar IGF-1 yang lebih rendah dibandingkan dengan anak non-stunting. 3 artikel menyatakan bahwa terdapat hubungan antara stunting dengan erupsi gigi, dimana anak dengan kondisi stunting mengalami keterlambatan erupsi gigi. 1 artikel menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara stunting dengan pertumbuhan dan perkembangan gigi. Kesimpulan : Terdapat korelasi positif antara stunting dengan kadar Hb dan IGF-1. Korelasi antara stunting dengan erupsi gigi belum dapat ditentukan dengan pasti

Background : Stunting is a manifestation of chronic malnutrition which is characterized by a lower height than the individual's age standard. One of the primary cause of stunting is the lack of nutritional intake. Lack of nutritional intake can cause reduced Hb and IGF-1 levels. Lack of nutritional intake can also interfere with the process of growth and development of the teeth which can affect the timing of tooth eruption. An analysis is needed to see the relationship between stunting and levels of Hb, IGF-1, and the timing of tooth eruption. Objective : To analyze the relationship between Hb levels, IGF-1 levels, and the timing of tooth eruption with stunting. Method : Literature research was carried out using the Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analysis (PRISMA) guidelines on three electronic databases, namely: PubMed, EBSCO, and SCOPUS. The quality of the literature was assessed using the QUADAS-2 tool. Results : There are 27 articles that were selected based on predetermined inclusion and exclusion criteria. 19 articles state that there is a relationship between Hb levels and stunting, where stunted children are more likely to have low Hb levels (anemia). 4 article states that there is a relationship between IGF-1 levels and stunting, where stunted children have lower IGF-1 levels compared to non-stunted children. 3 The article states that there is a relationship between stunting and tooth eruption, where stunted children experience delays in tooth eruption. 1 article states that there is no relationship between stunting and dental growth and development Conclusion : There is a positive correlation between stunting and Hb and IGF-1 levels. The correlation between stunting and tooth eruption cannot be determined with certainty."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hartati Poerwanto
"Pemasangan mahkota logam pada gigi sulung dikawatirkan karena kebersihan mulut anak umumnya buruk dan sering dijumpai gingivitis. Untuk itu perlu diteliti bagaimana pengaruh pemasangan mahkota logam pada gigi sulung terhadap kesehatan gingiva, serta untuk mengetahui bagian permukaan gigi yang banyak terakumulasi plak dan bagian gingiva yang mengalami gingivitis.
Sebagai subyek adalah murid SD di Kelurahan Grogol Selatan. Pada awal penelitian seluruh murid kelas I & II diberi pendidikan cara melakukan kebersihan mulut. Pada subyek dilakukan oral profilaksis kemudian dipasang mahkota logam pada 30 gigi molar satu bawah sulung dengan karies dentin. Jenis gigi yang sama pada sisi yang berlawanan digunakan sebagai kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara gigi dengan mahkota logam dan gigi kontrol terhadap akumulasi plak serta terjadinya gingivitis. Gingivitis lebih banyak dijumpai pada permukaan lingual dan akumulasi plak lebih banyak pada permukaan distofasial dan lingual dibanding dengan permukaan mesiofasial dan fasial. Oleh karena itu pads anak dengan mahkota logam supaya lebih meningkatkan kebersihan mulut pada seluruh permukaan giginya terutama daerah yang sukar dibersihkan. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raphaeli, Steffi
"Latar Belakang: Mahkota tiruan penuh metal porselen masih sering digunakan karena mempunyai kelebihan dibandingkan dengan mahkota tiruan penuh all-porcelain yaitu mempunyai sifat mekanis metal dan sifat estetis porselen. Jenis base metal alloy yang sering digunakan adalah Nickel-Chromium dan Cobalt-chromium. Cobalt-chromium lebih disarankan digunakan sebagai coping mahkota tiruan penuh metal porselen karena mempunyai sifat biokompatibilitas yang baik pada pasien dengan alergi Nikel. Ketepatan tepi servikal merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu mahkota tiruan penuh metal porselen dari faktor biologis.
Tujuan: Untuk mengukur besarnya celah antara tepi servikal gigi subyek yang telah dipreparasi dengan tepi servikal mahkota tiruan penuh metal porselen dengan coping Co-Cr sebelum dan sesudah proses pembakaran porselen.
Metode: Subjek adalah 16 pasien yang memerlukan perawatan dengan mahkota tiruan penuh metal porselen di RSKGM FKG Universitas Indonesia yang diambil secara consecutive sampling. Pengukuran celah tepi servikal marginal gap pada tiap mahkota tiruan penuh metal porselen dengan coping Co-Cr sebelum dan sesudah proses pembakaran porselen dilakukan pada empat titik, yaitu bukal, distal, mesial, palatal dengan mikroskop optik Olympus BX41 dengan perbesaran 50x.
Hasil: Uji statistik diperoleh nilai p

Background: Metal porcelain crown is still commonly used because of the strength properties of the metal and the esthetic of the porcelain. Base metal alloys that used as copings of metal porcelain crowns are nickel chromium and cobalt chromium. Cobalt chromium is preferable because it has better biocompatibility for patients that have allergy to nickel. Marginal gap is one of the important factor that determine the success of a metal porcelain crowns.
Objective: To measure the marginal gap between the cervical margin of the prepared tooth and the cervical margin of metal porcelain crown with Co Cr coping before and after porcelain firing.
Method: The subjects are sixteen teeth that need to be treated with metal porcelain crowns at RSKGM Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia by using consecutive sampling method. Marginal gap of metal porcelain crowns with Co Cr coping, before and after porcelain firing are measured with the impression replica technique at four surfaces, buccal, mesial, distal palatal using optic microscope Olympus BX41 with a magnification of 50x.
Result: Statistical analyses reveals that there is significant difference p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Sofyan Hidayat
"Terlepasnya mahkota tiruan saat mengunyah merupakan masalah yang sering dijumpai pada pemakai mahkota tiruan atau gigi tiruan jembatan. Terutama pada mahkota gigi yang kecil, pendek dan konus. Penyebab utamanya adalah faktor retensi dan resistensi yang kurang pada gigi penyangga. Salah satu metode untuk meningkatkan retensi dan resistensi pada praparasi mahkota adalah pembuatan groove. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan resistensi mahkota tiruan penuh logam dengan berbagai bentuk preparasi groove. Penelitian dilakukan secara eksperimental laboratoris menggunakan 24 spesimen, yang terdiri dari 6 spesimen preparasi mahkota tanpa groove, 6 spesimen dengan groove bentuk box, 6 spesimen dengan groove bentuk V dan 6 spesimen dengan groove bentuk half round pada masing-masing spesimen tesebut dilakukan uji kompresi. Nilai rerata gaya melepaskan mahkota tiruan logam pada groove berbentuk box (27,97 kgF+SD 1,08), bentuk V (6,15 kgF+SD 0,22), half round (1,77 kgF+SD 0,22) dan tanpa groove (0,95 kgF+SD 0,13). Preparasi groove bentuk box adalah terbaik resistensinya, diikuti bentuk V, half round dan tanpa groove. Penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi untuk pemilihan bentuk groove bila para klinisi menjumpai kondisi gigi molar yang pendek dan konus.

Dental crown or bridges can occasionally come loose or come off from the tooth while chewing. Especially on small, short and conus teeth.The main cause is lack of retention and resistance to the teeth. There are several methods to increase retention and resistance on crown, inlay and onlay preparation, which is parallelism, groove preparation, crown buildup and surface roughness. The aim of this study wasto know the resistance differences of a full metal crown with various forms of groove preparation. This was experimentall laboratories, study using compressive strength test in 24 specimens in which 6 specimens without grooves preparation, 6 specimens with box-shaped groove, 6 specimens with V-shaped groove and 6 specimens with half round grooves. The mean value of metal crown that come off during test on box-shaped Groove (27,97 kgF+SD1,08), V-shaped (6,15 kgF+SD 0,22), half round (1,77 kgF+SD 0,12) and without groove (0,95 kgF+SD 0,13). It is concluded that resistance is best in box-shaped, followed by V-shaped, half round and without groove. When clinicians find short and conus molar teeth, it is recommended the use of groove to increase the resistance of the crown.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
T39302
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aninda Novira
"Latar belakang: Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak yang muncul dari akumulasi nutrisi buruk dan paparan infeksi berulang dalam 1000 hari pertama kehidupan. Stunting dicirikan dengan tinggi badan anak di bawah rata-rata dan ditemukan menyebabkan kelainan email karena berkurangnya massa jaringan email (hipoplasia) atau berkurangnya konten mineral di dalam email (hipomineralisasi). Kadar hemoglobin rendah masih menjadi kontroversi apakah ciri dari stunting karena faktor etiologinya yang serupa sering dijumpai pada kasus stunting. Tujuan: Menganalisis potensi kelainan email dan kadar hemoglobin sebagai prediktor kondisi stunting. Metode: Sampel penelitian adalah data pemeriksaan tahun 2019 pada siswa/i sekolah dasar (SD) kelas 1-2 Kecamatan Nangpanda, Ende, Nusa Tenggara Timur. Hasil: Kelainan email dan kadar hemoglobin secara statistik tidak mampu menjadi prediktor kondisi stunting (p>0,05). Tidak terdapat perbedaan bermakna pada frekuensi kelainan email dan kadar hemoglobin antara anak normal dan anak dengan stunting (p>0,05). Korelasi antara frekuensi kelainan email dengan kadar hemoglobin secara statistik memiliki korelasi sedang negatif (p<0,05; r =-0,403). Tidak terdapat korelasi secara statistik antara variabel stunting dengan frekuensi kelainan email dan kadar hemoglobin (p>0,05). Kesimpulan: Pada anak 6-8 tahun, kelainan email dan kadar hemoglobin tidak mampu menjadi prediktor stunting, meskipun terdapat hubungan antara kelainan email dengan kadar hemoglobin.

Background: Stunting is an impaired growth and development in children arises from the accumulation of poor nutrition and repeated infections in the first 1000 days of a child's life. Characterized by height below their age peer’s average height and been reported caused defect on enamel structure, due to lack of tissue mass (hypoplasia) or lack of mineral content (hypomineralization). Meanwhile, low haemoglobin levels as for now is still a controversy as to whether the characteristic of stunting or not. Objective: To analyse the potency of enamel defects and haemoglobin levels as predictors of stunting. Methods: Examination data in 2019 from elementary school students of grades 1-2 (6-8 years old) at Nangpanda District, Ende, East Nusa Tenggara. Results: Enamel defects and haemoglobin levels were unable to predict stunting (p>0.05). There was no significant difference in enamel defects and haemoglobin levels between normal and stunted children (p>0.05). The frequency of enamel defects and haemoglobin levels has a statistically moderate negative (p<0.05; r=-0.403), there is no statistical correlation between stunting and the frequency of enamel defects and haemoglobin levels (p>0.05). Conclusion: Enamel defects and haemoglobin levels are not able to predict stunting, although there is a relationship between enamel abnormalities and haemoglobin levels."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ninda Putri Wahyuni
"Ukuran gigi merupakan informasi penting dalam bidang antropologi ragawi, forensik kedokteran gigi serta kedokteran gigi klinis. Ukuran mahkota gigi dapat diukur secara mesiodistal dan bukolingual. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi dan perbedaan ukuran mesiodistal dan bukolingual mahkota gigi molar satu sulung (dm1) dan molar dua sulung (dm2) rahang atas dan rahang bawah pada model studi anak laki-laki dan perempuan. Metode: Metode penelitian ini adalah deskriptif analitik pada 60 anak laki-laki dan 70 anak perempuan dengan teknik sampling menggunakan rumus analitik numerik tidak berpasangan, dengan uji t tidak berpasangan. Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna pada ukuran mesiodistal gigi dm1 rahang atas dan pada ukuran bukolingual gigi dm2 rahang atas (p<0,05). Didapatkan variasi ukuran mahkota dm1 dan dm2 laki-laki dan perempuan dalam bentuk tabel presentil. Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara ukuran mesiodistal dan bukolingual gigi anak laki-laki dan perempuan kecuali pada mesiodistal gigi dm1 rahang atas dan bukolingual gigi dm2 rahang atas. Variasi ukuran mesiodistal dan bukolingual gigi dm1 dan dm2 anak laki-laki lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan yang ditampilkan dalam bentuk tabel persentil yang dapat menjadi referensi ukuran mahkota.

Dental size is important for physical anthropology, forensic dentistry and clinical dentistry. The size of the crown tooth can be measured in the dimension of mesiodistal and bucolingual. Aim: This study aims to determine the variation and difference of mesiodistal and bucolingual size of maxillary and mandibullary primary first molar and primary second molar of boys and girls’s study model. Method: The method of this study is descriptive analytic in 60 boys and 70 girls and above chosen with unpaired numerical analytic formula and analyzed using unpaired t-test. Results: The mesiodistal size of maxillary primary first molar and the buccolingual size of maxillary primary second molar was significantly different (p< 0.05). The variations of mesiodistal and buccolingual crown size of boys and girls organized by percentile table. Conclusions: There was no significant differences of mesiodistal and buccolingual crown size between boys and girls except the mesiodistal size of maxillary primary first molar and the buccolingual size of maxillary primary second molar. The mesiodistal and buccolingual variations of boys are greater than girls and organized by percentile table which can be use as a reference for dental crown size."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heidy Diandra Ciptaninggita
"Latar Belakang: Stunting merupakan salah satu bentuk dari malnutrisi dengan prevalensi paling tinggi. Kondisi ini terjadi di berbagai negara salah satunya di Indonesia dengan prevalensi terbesar berada di NTT. Dampak dari stunting bermacam-macam seperti meningkatkan resiko penyakit non-communicable pada saat dewasa, serta meningkatkan resiko obesitas pada saat dewasa. Pertumbuhan dipengaruhi oleh berbagai hormon, salah satunya adalah leptin. Leptin dapat diproduksi dalam jumlah sedikit pada kelenjar saliva mayor. Namun, penelitian yang menunjukan hubungan stunting dengan kadar leptin masih terbatas khususnya dalam penelitian yang menggunakan saliva sebagai sampel. Tujuan: Menganalisis perbedaan kadar leptin pada saliva anak usia 6-8 tahun pada anak-anak berkategori stunting dan non-stunting serta menganalisis korelasinya. Metode: Penelitian ini menggunakan 84 sampel saliva anak usia 6-8 tahun di NTT yang dikategorikan menjadi stunting dan non-stunting. Saliva diteliti menggunakan BioEnzy© ELISA kit untuk melihat kadar leptin lalu dilakukan kuantifikasi menggunakan ELISA reader dengan panjang gelombang 450 nm. Dari pembacaan tersebut didapatkan nilai absorbance dan konsenterasi sampel saliva. Selanjutnya konsenterasi leptin sampel saliva dianalisis secara statistik menggunakan SPSS untuk mengetahui nilai komparasi dan korelasi dengan status stunting dan non-stunting. Hasil: Rata-rata kadar leptin saliva anak-anak 6-8 tahun stunting ditemukan lebih tinggi daripada anak-anak non-stunting. Terdapat hubungan linear negatif sedang yang bermakna antara kadar leptin saliva anak 6-8 tahun dengan status stunting (r = -0,287, p < 0,05). Kesimpulan: Terdapat perbedaan dan hubungan antara kadar leptin pada saliva anak usia 6-8 tahun dengan status stunting dan non-stunting. Hal ini dapat terlihat dari rata-rata kadar leptin pada saliva yang lebih tinggi pada anak-anak berstatus stunting daripada non-stunting.

Background: Stunting is a form of malnutrition with the highest prevalence. This condition occurs in various countries, one of which is Indonesia, with the greatest prevalence in NTT. The impact of stunting varies, such as increasing the risk of non-communicable diseases as adults and increasing the risk of obesity as adults. Growth is influenced by various hormones, one of which is leptin. Leptin can be produced in small amounts in the major salivary glands. However, research showing the relationship between stunting and leptin levels is still limited, especially in studies using saliva as a sample. Objectives: Analyzing the differences between salivary leptin levels in children aged 6-8 years in the stunting and non-stunting groups and analyzing the correlation between salivary leptin levels in children aged 6-8 years with stunting. Method: This study used 84 saliva samples of children aged 6-8 years in NTT who were categorized as stunting and non-stunting. Saliva was examined using the BioEnzy© ELISA kit to see leptin levels and then quantified using an ELISA reader with a wavelength of 450 nm. From the readings, the absorbance and concentration values of the saliva samples were obtained. Furthermore, the leptin concentration of saliva samples was analyzed statistically using SPSS. Results: The average salivary leptin level of stunted children aged 6-8 years was found to be higher than the non-stunted children. There was a significant negative linear correlation between salivary leptin levels in children aged 6-8 years and stunting status (r = -0.287, p <0.05). Conclusion: There is a significant difference between leptin levels in the saliva of children aged 6-8 years with stunting and non-stunting status. There is also a significant correlation between leptin levels in the saliva of children aged 6-8 years with stunting and non-stunting status. This can be seen from the average leptin level in saliva which is higher in stunted children than non-stunted children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pradita Sari
"Berdasarkan kriteria WHO, menurut Departemen Kesehatan (2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar 27,5% anak Indonesia kurang gizi, 19,2% anak Indonesia mengalami gizi kurang dan 8,3% anak Indonesia mengalami gizi buruk. Salah satu asupan gizi yang diperlukan dalam masa pertumbuhan dan perkembangan anak adalah kalsium. Kurangnya asupan kalsium pada anak-anak akan meningkatkan risiko rapuhnya tulang pada anak, sehingga anak tidak dapat mencapai pertumbuhan tulang secara optimal.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui status gizi anak sekolah usia 10-12 tahun dan hubungannya dengan asupan kalsium dari makanan sebagai salah satu upaya pencegahan dan penanganan masalah gizi.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data antopometri untuk mengetahui status gizi dan wawancara survei konsumsi makanan (FFQ) untuk mengetahui asupan kalsium serta subjek penelitian yang dipilih adalah 68 anak sekolah usia 10-12 tahun di SDN X, Kampung Serang, Bekasi. Persentil status gizi dan asupan kalsium dianalisis dengan menggunakan uji Fisher untuk mengetahui hubungan antara status gizi dan asupan kalsium dari makanan.
Dari penelitian di dapatkan data bahwa responden yang memiliki gizi kurang sebanyak 51,5% (BB/U), 50% (TB/U) dan 22,1% (IMT/U). Hampir seluruh responden yaitu sebanyak 67 anak memiliki asupan kalsium dari makanan yang kurang. Berdasarkan uji Fisher didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara status gizi berdasarkan indikator BB/U, TB/U dan IMT/U dengan asupan kalsium dari makanan.

Based on WHO criteria and Ministry of Health (2004), in 2003, there are about 27.5% Indonesian's children who lack of nutrition, 19.2% who suffer nutrition deficiency, and 8.3% who suffer malnutrition. One of the nutrition needed in the period of growing for children is calcium. The lack of calcium in children will increase the risk of bone fragility, so they can not reach the bone growth optimally.
The objective of this research is to know the nutrition status in 10-12 years old-students and the relation with calcium intake from food as one of the way to prevent and handle the nutrition problem.
This research uses cross sectional design. Data needed by this research are anthopometry data to know the nutrition status and also FFQ to know the calcium intake. The subjects of this research are 68 students between 10-12 years old in SDN X, Kampung Serang, Bekasi. Nutrition status percentile and calcium intake are analyzed by using Fischer test to know the relation between them.
This research gets that respondents who lack of nutrition are about 51.5% (BB/U), 50% (TB/U), and 22.1% (IMT/U). Almost all respondents about 67 children, lack of calcium intake from food. Fischer test gets that there is no meaningful relationship between nutrition status by BB/U, TB/U, and IMT/U indicator with calcium intake from food.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>