Ditemukan 188525 dokumen yang sesuai dengan query
Ivania Evelin Adelia Antony
"Menurut Pasal 1868 KUH Perdata, akta autentik ialah suatu akta yang dibuat sesuai ketentuan undang-undang atau dibuat di hadapan pejabat umum yang berwenang di tempat akta dibuat. Sebelum melakukan pembuatan akta, PPAT wajib melakukan pengenalan penghadap dengan memeriksa identitas data diri dan dokumen dari penghadap. Kewajiban ini dilakukan sebatas pada kebenaran formil saja. Meskipun pengenalan penghadap telah dilakukan, masih dijumpai permasalahan hukum terkait akta PPAT. Salah satu permasalahan yang mungkin terjadi dalam pembuatan akta adalah pemalsuan identitas dan dokumen, yang terlihat dari adanya tanda tangan palsu (spurious signature) pada akta. Hal ini menjadi permasalahan terhadap PPAT yang lalai dalam melakukan pengenalan penghadap sehingga digugat karena dianggap dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum bersama-sama dengan penghadap. Oleh sebab itu, penelitian ini akan menganalisis mengenai tanggung jawab serta perlindungan hukum bagi PPAT terhadap pemalsuan tanda tangan (spurious signature) yang terdapat di dalam akta jual beli. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan jenis data sekunder, yang hasilnya bersifat eksplanatoris-analitis. Apabila PPAT melakukan kelalaian dalam pengecekan identitas penghadap, maka PPAT telah melanggar syarat formil dan syarat materiil pembuatan akta serta dapat dikenai tanggung jawab administratif. Namun, kurang tepat jika karena kelalaiannya yang bersifat administratif PPAT digugat atas dasar perbuatan melawan hukum dan ditempatkan sebagai tergugat. PPAT hanya bertugas mengkonstantir kehendak dari para penghadap dan tidak mengetahui adanya pemufakatan jahat yang terjadi, maka lebih tepat bila ditempatkan sebagai pihak turut tergugat. Berdasarkan hal tersebut seorang PPAT dapat meminta perlindungan yaitu pendampingan dalam proses persidangan dari Majelis Pembinaan dan Pengawasan maupun Majelis Kehormatan IPPAT.
According to Article 1868 of the Indonesian Civil Code, an authentic deed is a deed made in accordance with the provisions of the law or made before an authorized public official at the place where the deed was made. Prior to the creation of an authentic deed, Indonesian Land Deed Officer (PPAT) is required to identify the requesting party by checking their identity from personal data and documents. This obligation is carried out to the extent of fulfilling the formal truth. Despite identification has been carried out, there are still legal problems related to the authentic deed made by PPAT. One of the problems that might happen is falsification of identities and documents, which can be seen from the existence of a fake signature (spurious signature) on the deed. This is a problem for Land Deed Officer (PPAT) who was negligent in identifying the requesting party where they could be sued to have intentionally committed unlawful acts together with the requesting party. Therefore, this study will analyze the responsibility and legal protection for Land Deed Officer (PPAT) against forgery of signatures (spurious signature) contained in the creation of sales and purchase authentic deed. This research is a normative juridical research using secondary data types, the results of which are explanatory-analytical. If Land Deed Officer (PPAT) is negligence in checking the identity of the requester, then the Land Deed Officer (PPAT) has violated the formal and material requirements for making the deed and is subject to administrative responsibility. However, it is not appropriate if due to administrative negligence, Land Deed Officer is sued on the basis of an unlawful act and placed as a defendant since Land Deed Officer is only tasked with constituting the will of the parties and does not know that there is an evil consensus that has occurred, so it is more appropriate to be placed as a co-defendant party. Based on this, Land Deed Officer can ask for protection, namely assistance in the trial process from the Guidance and Supervision Council and the Land Deed Officer Honorary Council."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Jami Allaidin
"Tesis ini meneliti tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) terhadap akta jual beli atas sertipikat yang dibatalkan pendaftaran peralihan haknya. Pembatalan pendaftaran peralihan sertipikat hak atas tanah akibat adanya cacat administrasi dan/atau cacat hukum didasari peralihan dari akta jual beli yang dalam pembuatannya terdapat perbuatan melawan hukum oleh salah satu penghadap, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada PPAT akan tetapi harus diperhatikan batasan pertanggungjawaban PPAT. Rumusan permasalahan yang diangkat adalah tanggung jawab PPAT terhadap akta jual beli atas sertipikat yang dibatalkan pendaftaran peralihan haknya oleh Badan Pertanahan Kota Jakarta Selatan berdasarkan Putusan Nomor 550/Pid.B/2021/PN Jkt/Sel. dan akibat pembatalan peralihan hak yang dilakukan oleh Badan Pertanahan terhadap pihak pembeli. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian doktrinal, sehingga data yang digunakan adalah studi kepustakaan yang didukung oleh wawancara pada narasumber dan penelitian ini bersifat deksriptif-analitis. Hasil dari penelitian ini adalah PPAT tidak bertanggung jawab atas pembatalan peralihan hak, karena telah menjalankan prosedur dengan memeriksa objek hak atas tanah dan dokumen secara formil. Akibat hukum dari pembatalan ini adalah akta jual beli yang dibuat oleh PPAT batal demi hukum karena tidak memenuhi asas-asas dan syarat-syarat sah jual beli sehingga pembatalan pendaftaran peralihan hak berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dengan mengembalikan hak atas tanah ke keadaan seperti semula sebelum adanya perbuatan melawan hukum terjadi.
This thesis examines the responsibilities of Land Deed Drafting Officials (hereinafter referred to as PPAT) regarding sale and purchase deeds of certificates whose transfer of rights registration has been cancelled. Cancellation of the registration of the transfer of a land title certificate due to administrative defects and/or legal defects based on the transfer of a sale and purchase deed in which there was an unlawful act by one of the parties, cannot be held accountable to the PPAT, but the limits of PPAT's liability must be taken into account. The formulation of the problem raised is the PPAT's responsibility for sale and purchase deeds for certificates whose transfer of rights registration was canceled by the South Jakarta City Land Agency based on Decision Number 550/Pid.B/2021/PN Jkt/Sel. and the consequences of the cancellation of the transfer of rights carried out by the Land Agency against the buyer. The research method used is a doctrinal research method, so the data used is a literature study supported by interviews with informants and this research is descriptive-analytical in nature. The result of this research is that PPAT is not responsible for the cancellation of the transfer of rights, because it has carried out procedures by formally examining land rights objects and documents. The legal consequence of this cancellation is that the deed of sale and purchase made by the PPAT is null and void because it does not fulfill the principles and conditions of legal sale and purchase, so the registration of the transfer of rights is canceled based on the Decree of the Head of the Regional Office of the National Land Agency by returning the land rights to their original state. as before the unlawful act occurred."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Jhagad Jhelank Devitrita Wibowo
"Akta Pengakuan Hutang merupakan suatu akta autentik yang mengikat para pihak dan seharusnya tidak dapat dijadikan dasar dari adanya Akta Jual Beli tanah yang belum dibayar secara lunas. Pembuatan Akta Jual Beli yang diikuti dengan Akta Pengakuan Hutang atas dasar jual beli tanah yang belum lunas masih kerap terjadi di kehidupan masyarakat dikarenakan adanya ketidaktahuan mereka sebagai masyarakat awam yang kurang memahami ketentuan hukum yang berlaku dan adanya PPAT yang lalai dalam menerapkan hukum, sehingga ditemukan adanya satu kasus yang berkaitan dengan hal ini yaitu pada kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 180 K/PDT/2024. Penelitian ini mengangkat tentang kekuatan hukum Akta Jual Beli yang pada kenyataannya dibalut dengan Akta Pengakuan Hutang terhadap pembeli yang tidak beritikad baik dan tanggung jawab hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah terhadap Akta Jual Beli yang belum lunas. Penelitian doktrinal yang dilakukan di sini mengumpulkan bahan-bahan hukum melalui studi kepustakaan yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dinyatakan bahwa kekuatan hukum Akta Jual Beli yang pada kenyataannya dibalut dengan Akta Pengakuan Hutang terhadap pembeli yang beritikad tidak baik adalah batal demi hukum karena Akta Jual Beli tersebut dibuat dengan pembayaran yang belum lunas, sehingga tidak memenuhi asas terang dan tunai menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Adapun tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut adalah berupa tanggung jawab administratif dalam bentuk teguran atau pemberhentian sementara.
The Debt Acknowledgment Deed is an authentic deed that binds the parties involved and should not serve as the basis for a Land Sale and Purchase Deed that has not been fully paid. However, in practice, the creation of the Sale and Purchase Deed followed by a Debt Acknowledgment Deed based on an unsettled land sale continues to occur in society due to the ignorance of the general public, who lack understanding of the applicable legal provisions, as well as the negligence of the PPAT in enforcing the law. This has led to a case related to this issue, specifically in the Supreme Court of the Republic of Indonesia Decision No. 180 K/PDT/2024. This research highlights the legal force of the Sale and Purchase Deed, which is in fact accompanied by a Debt Acknowledgment Deed, concerning buyers who act in bad faith and the legal responsibilities of the Land Deed Official regarding Sale and Purchase Deeds that remain unsettled. The doctrinal research conducted here collects legal materials through library research, which are subsequently analyzed qualitatively. From the analysis, it can be concluded that the legal force of the Sale and Purchase Deed, which is in fact accompanied by a Debt Acknowledgment Deed for buyers acting in bad faith, is null and void because the Sale and Purchase Deed was created with a payment that has not been settled, thus failing to meet the principles of clarity and cash payment according to Law No. 5 of 1960 on Basic Agrarian Principles. The responsibility of the Land Deed Official in this regard is in the form of administrative responsibility, which may include reprimands or temporary suspension."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Patrecia Kakiay
"Akta jual beli yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merupakan suatu akta yang dapat dijadikan sebagai pertanggungjawaban dalam penjaminan hukum bahwa telah terlaksananya perbuatan hukum peralihan suatu hak atas tanah melalui cara jual beli. Namun pada realitanya AJB belum tentu dapat dijamin mengenai keterangan yang tertuang didalamnya, seperti adanya pembuatan AJB kosong sebagaimana ditemukan dalam kasus yang ada pada Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 65/PDT/2022/PT.YYK. Pembuatan AJB kosong berdasarkan pembubuhan sidik jari pada draft AJB menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak mencerminkan sifat keautentikan dari suatu akta yang dibuat oleh PPAT. Permasalahan dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan tanggung jawab PPAT atas pembuatan AJB berdasarkan pembubuhan sidik jari pada akta jual beli kosong maupun kuitansi kosong serta akibat hukum dari AJB kosong yang dibuat oleh PPAT. Penelitian hukum doktrinal digunakan untuk menjawab kedua permasalahan tersebut. Data sekunder yang dikumpulkan melalui alat studi kepustakaan, selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian terhadap permasalahan pertama adalah tanggung jawab PPAT dapat berupa tanggung jawab etik dan tanggung jawab hukum. Mengacu pada putusan hakim pada Pengadilan Tinggi Yogyakarta tanggung jawab PPAT atas AJB yang tidak sesuai dengan ketentuan dikenakan pertanggungjawaban secara hukum melalui ganti kerugian terhadap pihak yang dirugikan. Namun jika melihat dalam peraturan mengenai jabatan PPAT seorang PPAT yang tidak menjalankan kewajibannya sehingga menerbitkan yang tidak sesuai dengan peraturan dan keinginan para pihak dapat diberhentikan secara tidak hormat karena telah melanggar kewajiban dan larangan sebagai seorang pejabat umum. Terhadap permasalahan kedua, pembuatan AJB yang tidak sesuai dengan ketentuan pembuatan AJB dianggap cacat hukum, tidak berlaku, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ketidakhati-hatian oleh seorang PPAT atas suatu akta yang dibuatnya tanpa memeriksa dan meneliti mengenai kebenaran dokumen dan data yang berkaitan dengan pembuatan AJB, sehingga tidak memenuhi syarat dalam jual beli dan dinyatakan bahwa perbuatan hukum jual beli yang dilalukan berlandaskan itikad tidak baik maka dalam kasus yang ada dalam putusan baik Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) maupun AJB dianggap sebagai cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum terikat.
The deed of sale and purchase before the Land Deed Official (PPAT) is a deed that can be used as accountability in the legal assurance that the legal act of transferring a land right through sale and purchase has been carried out. However, in reality, AJB cannot necessarily be guaranteed regarding the information contained therein, such as the making of a blank AJB as found in the case found in the Yogyakarta High Court Decision Number 65/PDT/2022/PT.YYK. Making a blank Deed of Sale (AJB) based on affixing fingerprints on the draft AJB creates legal uncertainty and does not reflect the authenticity of a deed made by a PPAT. The problem in this research relates to the PPAT's responsibility for making AJB based on affixing fingerprints on a blank sale and purchase deed or receipt and the legal consequences of a blank AJB made by a PPAT. Doctrinal legal research is used to answer these two problems. Secondary data was collected through literature study tools, then analyzed qualitatively. The result of the research on the first problem is that the responsibility of PPAT can be in the form of ethical responsibility and legal responsibility. Referring to the judge's decision at the Yogyakarta High Court, PPAT's responsibility for AJB which is not in accordance with the provisions is subject to legal liability through compensation for the injured party. However, if you look at the regulations regarding the position of PPAT, a PPAT who does not carry out his obligations so that he issues an AJB that is not in accordance with the regulations and the wishes of the parties can be dishonorably dismissed because he has violated his obligations and prohibitions as a public official. Regarding the second problem, the making of AJB that is not in accordance with the provisions for making AJB is considered legally defective, invalid, and has no binding legal force. Carelessness by a PPAT over a deed he made without examining and scrutinizing the correctness of documents and data related to the making of AJB, so that it does not fulfill the conditions in the sale and purchase and it is stated that the sale and purchase legal action carried out is based on bad faith, so in the case in the decision both the Sale and Purchase Bond Agreement (PPJB) and AJB are considered legally defective and have no binding legal force."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Natasya Rizki Asti
"Peralihan hak atas tanah dapat dilakukan salah satunya dengan cara jual beli, syarat agar dapat melakukan pendaftaran peralihan hak melalui jual beli di kantor pertanahan adalah menggunakan bukti Akta Jual Beli yang dibuat di hadapan PPAT yang berwenang. Namun masih banyak masyarakat yang tidak melakukan proses balik nama atau perubahan kepemilikan sertipikat hak atas nama dari pemilik hak yang lama (penjual) kepada penerima hak (pembeli). Adanya kewajiban untuk mendaftarkan setiap perubahan data fisik maupun data yuridis tanah tanpa adanya sanksi bagi yang melanggar membuat penyelenggaraan tertib administrasi terhambat dan tidak terpenuhinya asas publisitas. Kekuatan pembuktian pemilikan hak atas tanah yang telah dibuat akta jual beli namun belum didaftarkan di kantor pertanahan serta urgensi penegakan kewajiban balik nama demi terselenggaranya tertib administrasi pemerintahan serta asas publisitas pun dipertanyakan. Penelitian menggunakan metode doctrinal dengan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian yang diperoleh adalah kekuatan pembuktian pemilikan hak atas tanah yang akta jual belinya belum didaftarkan pada kantor pertanahan adalah akta tersebut memiliki kekuatan pembuktian sempurna sebagai akta autentik tetapi kehilangan asas publisitasnya. Selanjutnya penegakan kewajiban melakukan balik nama atas sertipikat tanah yang dibeli menggunakan akta jual beli demi terselenggaranya tertib administrasi pertanahan dan asas publisitas sangat dibutuhkan supaya mengurangi resiko terjadinya sengketa di kemudian hari dan melindungi pihak ketiga yang memiliki itikad baik untuk membeli tanah yang peralihan haknya belum didaftarkan tersebut. Sanksi yang dapat diberlakukan dapat merupakan sanksi administratif seperti teguran ataupun denda dengan jumlah tertentu.
The transfer of rights to land can be done one way by buying and selling. The requirement to be able to register rights through buying and selling at the land office is to use proof of the Sale and Purchase Deed made before the authorized PPAT. However, there are still many people who do not carry out the process of changing names or changing ownership of title certificates in the name of the old rights owner (seller) to the rights recipient (buyer). The existence of an obligation to register every change in physical and juridical land data without any sanctions for those who violate it makes the implementation of administrative order hampered and publicity is not fulfilled. The strength of proof of ownership of land rights for which a sale and purchase deed has been made but has not been registered at the land office as well as the urgency of enforcing the obligation to transfer names for the sake of maintaining orderly government administration and the principle of publicity are also examined. The research uses doctrinal methods with qualitative analysis methods. The research results obtained are that the strength of proof of ownership of land rights for which the sale and purchase deed has not been registered at the land office is that the deed has perfect proof power as an authentic deed but loses its publicity. Furthermore, enforcing the obligation to transfer names to land certificates purchased using a sale and purchase deed in order to maintain orderly land administration and the principle of publicity is very necessary to reduce the risk of future incidents and protect third parties who have good faith in purchasing land whose rights protection has not been registered. . Sanctions that can be imposed can be in the form of administrative sanctions such as warnings or fines of a certain amount."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Nandira Vinzka Cahyagita
"Penelitian ini membahas dan menganalisis mengenai kekuatan hukum kuasa mutlak dalam peralihan hak atas tanah. Permasalahan dalam penelitian mengenai kekuatan hukum kuasa mutlak serta bagaimana tanggung jawab Notaris/PPAT terhadap akta jual beli yang dibuat berdasarkan kuasa mutlak tersebut. PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik satuan rumah susun, atau membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang akan dijadikan dasar pendaftarannya. PPAT seharusnya lebih cermat dan teliti dalam memeriksa dokumen sebelum pembuatan akta tersebut. Pokok permasalahan dalam penelitian ini bahwa PPAT membuat akta jual beli berdasarkan kuasa mutlak sehingga perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang dikarenakan perbuatan tersebut merupakan penyelundupan hukum. Metode penelitian yang digunakan dalam adalah yuridis normatif yang dilakukan dengan menganalisis dan menelaah norma hukum yang relevan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peralihan hak atas tanah melalui akta jual beli yang dibuat berdasarkan kuasa mutlak menjadi batal demi hukum dan Notaris/PPAT harus bertanggung jawab dengan sanksi yang dapat diberikan.
This study discusses and analyzes the legal power of absolute power in the transfer of land rights. Problems in research regarding the legal power of absolute power of attorney and how is the responsibility of the Notary/PPAT regarding the sale and purchase deed made based on this absolute power of attorney. PPAT is a public official who is authorized to make authentic deeds regarding certain legal actions regarding land rights or apartment ownership rights, or to make evidence regarding certain legal actions regarding land rights that will be used as the basis for registration. PPAT should be more careful and thorough in checking documents before making the deed. The main problem in this study is that the PPAT makes a sale and purchase deed based on absolute power of attorney so that the act is a prohibited act because the act is legal smuggling. The research method used in this research is normative juridical which is carried out by analyzing and examining relevant legal norms. The results of this study indicate that the transfer of land rights through a sale and purchase deed made based on absolute power of attorney is null and void and the Notary/PPAT must be responsible for the sanctions that can be given."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Hutadjulu, Dara Nabila
"Keberadaan Notaris/PPAT sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Karena Notaris/PPAT memberikan jaminan kepastian hukum pada masyarakat menyangkut pembuatan akta autentik yang dibutuhkan masyarakat. Dalam peraturannya masing-masing telah diatur bahwa tidak diperbolehkan membuat Akta Jual Beli apabila di dalamnya terdapat salah satu anggota keluarga. Namun, penulis menemukan terdapat pelanggaran yang dilakukan Notaris selaku PPAT membuat Akta Jual Beli untuk anggota keluarga. Sehingga permasalahan yang dikemukakan dalam tesis ini adalah bagaimana peran kode etik PPAT terhadap pelanggaran jabatan Notaris selaku PPAT dalam pembuatan Akta Jual Beli untuk keluarga serta bagaimana akibat hukum terhadap akta yang dibuat oleh Notaris selaku PPAT tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah tipe penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis.
Simpulan dari penelitian dalam tesis ini adalah telah dibuatnya kode etik PPAT terbaru 27 April 2017 dan di dalamnya disebutkan bahwa IPPAT telah membentuk badan/lembaga tersendiri bernama Majelis Kehormatan untuk mengurusi apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan Notaris selaku PPAT. Dan akibat hukum terhadap akta yang dibuat Notaris selaku PPAT dalam pembuatan Akta Jual Beli untuk keluarga dalam kasus ini yang tidak dikenakan sanksi maka akta tersebut tetap merupakan akta autentik dan mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat selama tidak ada pihak lain yang menuntut. Walaupun hal tersebut merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan.
The existence of Notary PPAT is very important in public life. Because the Notary PPAT provides legal certainty to the public regarding the making of authentic deed required by the community. In their respective regulations, it is stipulated that it is not permissible to make a Deed of Sale if there is a family member in it. However, the authors found there were violations committed by Notary as PPAT made the Deed of Sale and Purchase for family members. So the problem presented in this thesis is how the role of the code of ethics of PPAT against violation of the position of Notary as PPAT in making the Deed of Sale and Purchase for the family and how the legal effect on the deed made by the Notary as PPAT. The research method used in this thesis is a type of normative juridical research with the type of descriptive analytical research. The conclusion of the research in this thesis is the making of the latest PPAT code of ethics April 27, 2017 and in it is mentioned that IPPAT has established a separate body institution named Honorary Council to deal if there is a violation made by Notary as PPAT. And the legal consequences of the deed made by Notary as PPAT in the making of Deed of Sale and Selling for families that are not subject to sanction then the deed is still an authentic deed and has a strong strength of proof as long as no other party is demanding. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T49389
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Prima Dienta Putra
"Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam membuat Akta Jual Beli Tanah harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Didalam Akta Jual Beli Tanah terdapat penjelasan mengenai luas, letak, dan batas-batas tanah sesuai dengan Surat Ukur Kantor Pertanahan yang dicantumkan dalam Akta Jual Beli Tanah. Namun terdapat kasus Akta Jual Beli Tanah yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah tidak menggunakan Surat Ukur Kantor Pertanahan melainkan menggunakan Surat Ukur yang dikeluarkan oleh Staf Kelurahan. Penelitian doktrinal ini menggunakan bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Pengumpulan data yang digunakan didalam penelitian ini adalah menggunakan studi dokumen yang dianalisis secara mendalam untuk mendapatkan hasil penelitian yang akurat. Hasil analisis didalam penelitian ini terbagi menjadi dua. Hasil penelitian yang pertama adalah Akta Jual Beli Tanah yang Surat Ukur nya tidak memakai Surat Ukur yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kota Surabaya menjadi cacat hukum dan akta tersebut menjadi batal demi hukum. Kelurahan Buntaran yang merupakan bagian dari wilayah Kota Surabaya tidak memiliki fungsi untuk melakukan pengukuran dan pemetaan suatu tanah yang maka dari itu Staf Kelurahan Buntaran tidak memiliki wewenang untuk mengeluarkan Surat Ukur. Sedangkan Kantor Pertanahan memiliki fungsi yaitu salah satunya adalah melakukan pengukuran dan pemetaan bidang tanah sehingga Data Fisik dan Data Yuridis dari tanah tersebut akurat sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di lapangan. Untuk hasil penelitian kedua adalah OS sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah yang membuat Akta Jual Beli dalam kasus ini seharusnya memberikan penyuluhan hukum kepada SG terkait Surat Ukur Staf Kelurahan Buntaran tidak bisa dipakai dalam pembuatan Akta Jual Beli dan OS dapat bertanggung jawab secara administrasi dan/atau memberikan ganti rugi.
The Land Deed Official, in making the Deed of Sale and Purchase of Land, must pay attention to the applicable laws and regulations. In the Deed of Sale and Purchase of Land, there is an explanation regarding the land's area, location, and boundaries following the Measurement Letter of the Land Office stated in the Deed of Sale and Purchase of Land. However, there are cases where the Deed of Sale and Purchase of Land made by the Land Deed Official uses the Measurement Letter of the Land Office instead of the Measurement Letter issued by the Sub-District Staff. For this reason, this doctrinal research uses primary, secondary, and tertiary legal materials. The data collection used in this research uses document studies which are analyzed in depth to obtain accurate research results. The results of the analysis in this study are divided into two. The first research result is the Deed of Sale and Purchase of Land, where the Measurement Letter does not use the Measurement Letter issued by the Land Office of the City of Surabaya, becomes legally invalid, and the deed becomes null and void. The Buntaran Sub-District, which is part of the Surabaya City area, does not have the function of measuring and mapping a piece of land. Therefore, the Buntaran Sub-district Staff does not have the authority to issue a Measurement Letter. While the Land Office has a function, one of which is to measure and map land parcels so that the Physical Data and Juridical Data from the land are accurate in accordance with the actual conditions in the field. For the results of the second study, Co-Defendant I, as the Land Deed Making Officer who made the Sale and Purchase Deed in this case, should have provided legal counselling to the Plaintiff regarding the Buntaran Village Staff Measurement Letter, which could not be used in making the Sale and Purchase Deed and Co-Defendant I could be administratively responsible and/or provide compensation."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Reizky Samara Putra
"Penunjukan camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS) ialah untuk melayani pembuatan akta tanah di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pemberian tugas dan kewenangan camat sebagai PPATS bersifat sementara karena secara ex officio, seorang camat merupakan kepala dari suatu kecamatan. Pasca berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, muncul kekaburan norma atas kedudukan camat sebagai PPATS dalam pembuatan akta autentik di bidang pertanahan. Dalam kenyataannya masih banyak PPATS dilantik meskipun di wilayah kerjanya sudah ada cukup PPAT. Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah a quo yang menjelaskan tentang pengangkatan camat sebagai PPATS oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. Oleh karena itu masalah yang diangkat dalam penelitian untuk tesis ini adalah mengenai pengaturan peran PPATS menurut hukum yang berlaku di Indonesia dan tanggung jawab camat sebagai PPATS terhadap akta yang dibuatnya. Penelitian doktrinal ini dilakukan melalui studi dokumen untuk mengumpulkan data sekunder berupa bahan-bahan hukum hukum yang relevan dengan masalah penelitian. Di samping itu dilakukan pula wawancara sebagai data primer untuk mendukung data sekunder yang didapat dari studi dokumen. Dari hasil analisis, dapat dinyatakan bahwa pengaturan tentang peran PPATS dalam hukum di Indonesia, memunculkan ketidakpastian hukum karena ada pertentangan antara pasal a quo dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah yang sama, di mana pasal tersebut menjelaskan tentang larangan suatu profesi yang diemban oleh seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) termasuk PPAT, sedangkan dalam Pasal 5 ayat (3) dinyatakan bahwa camat (yang dalam hal ini tentunya merupakan seorang PNS) diangkat sebagai PPATS. Adapun tanggung jawab PPATS terhadap akta yang dibuatnya adalah sama seperti tanggung jawab PPAT, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah a quo.
The appointment of the subdistrict head as the Temporary Land Deed Making Officer (PPATS) is to serve the making of land deeds in areas where there are not enough Land Deed Making Officer (PPAT). The assignment and authority of sub-district heads as PPATS are temporary because ex officio, a sub-district head is the head of a sub-district. After the enactment of Government Regulation Number 24 of 2016 concerning Amendments to Government Regulation Number 37 of 1998 concerning Regulations for the Position of Officials for Making Land Deeds, a blurring of norms emerged regarding the position of sub-district head as PPATS in making authentic deeds in the land sector. In reality, there are still many PPATS appointed even though there are already enough PPATs in their working areas. This of course contradicts the provisions of Article 5 paragraph (3) of the a quo Government Regulation which explains the appointment of sub-district heads as PPATS by the Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/Head of the National Land Agency in making deed in areas where there are not enough PPATs. Therefore the problem raised in the research for this thesis is regarding the regulation of the role of the PPATS according to Indonesian law and the responsibility of the sub-district head as a PPATS for the deed he made. This doctrinal research was carried out through document studies to collect secondary data in the form of legal materials relevant to the research problem. In addition, interviews were also conducted as primary data to support secondary data obtained from document studies. From the results of the analysis, it can be stated that the regulation regarding the role of PPATS in Indonesian law raises legal uncertainty because it is contrary to the provisions of Article 7 paragraph (2) of the same Government Regulation, in which the article explains the prohibition of a profession carried out by a Civil Servant. (PNS) including PPAT. The responsibilities of the PPATS for the deed he made are the same as the responsibilities of the PPAT as stipulated in Article 12 of the a quo Government Regulation."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Ayu Islamy
"Penelitian ini membahas mengenai Putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor 12/Pdt.G/2021/PN.Wno dimana Putusan tersebut menyatakan bahwa Akta Jual Beli yang ditandatangani oleh Para Pihak dibuat Secara Melawan hukum dan membuat status hukum Akta Jual Beli tersebut menjadi Akta Di bawah Tangan dan bagaimana akibat hukum dari akta yang dibuat secara melawan hukum serta peran dari Notaris dan PPAT. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal, dengan menggunakan tipologi penelitian deskriptif analitis. Kesimpulan dari Penelitian ini bahwa Putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor 12/Pdt.G/2021/PN.Wno dimana Ratio decidendi hakim sebagai dasar dalam memberikan putusan atas gugatan konvensi telah tepat. Pertimbangan hakim tersebut didasarkan pada fakta materiil yang dihubungkan dengan ketentuan hukum yang relevan. Oleh karenanya, tindakan yang dilakukan oleh Tergugat Konvensi II telah tepat untuk dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum karena membuat AJB Nomor 17-2018 secara bertentangan dengan norma hukum serta pelanggaran atas kebenaran formal akta memiliki akibat hukum akta autentik tersebut kehilangan keautentisitasannya. Selanjutnya saran dari Penelitian ini adalah PPAT dalam Pembuatan Akta Jual Beli perlu memperhatikan syarat sah pembuatan akta jual beli sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan Hakim dalam memberikan amar putusan sepatutnya didasari atas ratio decidendi yang disusun secara sistematis, sehingga suatu putusan memiliki nilai yang mengandung keadilan dan kepastian hukum.
This research discusses the Wonosari District Court Decision Number 12/Pdt.G/2021/PN.Wno in which the Decision states that the Sale and Purchase Deed signed by the Parties was made unlawfully and made the legal status of the Sale and Purchase Deed a Deed Under Hand and what are the legal consequences of a deed made unlawfully as well as the role of Notary and PPAT. This research uses doctrinal method, using analytical descriptive research typology. The conclusion of this research is that the Wonosari District Court Decision Number 12/Pdt.G/2021/PN.Wno where the judge's Ratio decidendi as the basis for giving a decision on the convention lawsuit is correct. The judge's consideration is based on material facts linked to relevant legal provisions. Therefore, the actions taken by the Defendant Convention II are appropriate to be declared as an unlawful act because they made AJB Number 17-2018 contrary to legal norms and violations of the formal truth of the deed have the legal effect of the authentic deed losing its authenticity. Furthermore, the suggestions from this research are that the PPAT in making a Sale and Purchase Deed needs to pay attention to the legal requirements for making a sale and purchase deed as stipulated in the provisions of laws and regulations and the Judge in giving a verdict should be based on a ratio decidendi that is systematically arranged, so that a decision has a value that contains justice and legal certainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library