Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139273 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sanny Kusuma Sary
"Masa yang paling rentan sepanjang kehidupan anak adalah masa neonatus dengan kematian paling banyak terjadi dalam minggu pertama kehidupan. Penyebab kematian tertinggi adalah kelahiran prematur, asfiksia, infeksi dan cacat lahir. Deteksi dini dengan pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk memahami faktor yang berpengaruh terhadap keluaran buruk dalam menentukan pengawasan ketat dan tindakan intervensi dengan segera. Pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan darah tali pusat dapat menjadi solusi. Penelitian ini menganalisa hubungan antara kadar glukosa, hemoglobin (Hb) dan nilai hematokrit (Ht) darah tali pusat dengan keluaran buruk jangka pendek neonatus yang terdiri dari skor Apgar 5 menit < 7, IVH, distres napas atau kardiovaskular yang butuh perawatan intensif, diagnosis sepsis neonatorum dan kematian neonatus. Empat puluh empat subjek yang terdiri dari 22 subjek dengan keluaran buruk dan 22 subjek tanpa keluaran buruk diikutsertakan dalam penelitian ini. Rerata kadar glukosa, Hb dan nilai Ht pada kelompok neonatus dengan keluaran buruk lebih rendah dari kelompok neonatus tanpa keluaran buruk. Terdapat hubungan antara kadar glukosa, Hb dan nilai Ht dengan tingkat kejadian keluaran buruk jangka pendek neonatus. Parameter kadar glukosa, Hb dan nilai Ht masing-masing memiliki area under curve (AUC) 70,6%; 71,1% dan 65%. Analisis regresi logistik menghasilkan model probabilitas keluaran buruk menggunakan parameter metode persalinan, usia kehamilan dan kadar Hb tali pusat dengan titik potong 15,55 g/dL.

The most vulnerable period throughout a children life is neonatal period with most deaths occurring in the first week of life. The leading cause of death are prematurity, asphyxia, infection and birth defects. Early detection using laboratory testing is needed to understand factors that influence bad outcomes and to determine intensive care or immediate intervention. Laboratory testing using umbilical cord blood sample can be a solution. This study analyzed the relationship between cord blood glucose, hemoglobin (Hb) levels and hematocrit (Ht) values with short-term neonatal bad outcomes consisting of 5-minute Apgar score less than 7, intraventricular hemorrhage (IVH), respiratory or cardiovascular distress requiring intensive care, diagnosis of neonatal sepsis and neonatal death. Forty-four subjects consisting of 22 subjects with bad outcomes and 22 subjects without bad outcomes were included in this study. The mean glucose, Hb levels and Ht values in the group of neonates with bad outcomes were lower than the group of neonates without bad outcomes. There is a relationship between glucose, Hb levels and Ht values with the incidence of short-term neonatal adverse outcomes. Cord blood glucose, Hb levels and Ht values each have an area under curve (AUC) of 70.6%; 71.1% and 65%. Logistic regression analysis showed a bad outcome probability model using delivery method, gestational age and the cord blood hemoglobin levels cut-off point of 15,55 g/dL."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gary Pradhana
"Latar belakang: Peningkatan pada hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) pada anak dengan penyakit jantung bawaan sianosis. Kondisi ini menyebabkan perubahan hemodinamik dan koagulasi yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasien. Operasi reparasi Tetralogy of Fallot (TOF) di Indonesia seringkali terlambat sehingga pasien menderita hipoksemia kronis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar Hb dan Ht pada luaran hasil operasi reparasi TOF serta mengetahui titik potong Hb dan Ht yang optimal untuk menghindari morbiditas dan mortalitas pascaoperasi.
Metode: Dilakukan suatu studi retrospektif kohort pada pasien yang menjalani operasi reparasi TOF di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dalam periode 1 Januari 2015 hingga 30 Juni 2020. Analisis statistik dilakukan pada kadar Hb dan Ht praoperasi TOF dengan luaran mortalitas, kejadian perdarahan, transfusi darah, reoperasi, dan defisit neurologis pascaoperasi untuk menilai titik potong Hb dan Ht optimal serta pengaruh pada masing-masing luaran operasi tersebut.
Hasil: Sebanyak 806 pasien dilibatkan sebagai sampel penelitian dengan median usia 53 bulan dan SpO2 80%. Terdapat pengaruh bermakna usia, berat badan, dan SpO2 terhadap Hb dan Ht (p<0,05). Terjadinya peningkatan risiko perawatan >72 jam sebesar 1,5 kali lipat pada Hb yang tinggi serta risiko sebesar 1,6 kali lipat pada Ht yang tinggi. Terdapat peningkatan risiko perdarahan pascaoperasi >10mL/Kg sebesar 4,6 kali lipat pada Hb yang tinggi serta peningkatan risiko sebesar 5,4 kali lipat pada Ht yang tinggi. Tidak terdapat pengaruh bermakna Hb dan Ht terhadap kematian intraperawatan, kejadian reoperasi, dan defisit neurologis pascaoperasi. Diperoleh titik potong (nilai optimal) Hb 16,75 gr/dL dan Ht 51,20% dengan kemampuan prediktor yang cukup baik (AUC Hb = 0,71; AUC Ht = 0,72).
Simpulan: Peningkatan hemoglobin dan hematokrit secara bermakna mempengaruhi durasi ICU, perdarahan pascaoperasi, dan banyaknya transfusi pascaoperasi. Untuk praoperasi TOF, diperoleh kadar optimal Hb di bawah 16,75gr/dL dan Ht di bawah 51,20%.

Introduction: Increase of hemoglobin (Hb) and hematocrit (Ht) occurs in children with cyanotic heart disease. These conditions will lead some hemodynamic and coagulation changes that can increase patient mortality and morbidity. Tetralogy of Fallot (TOF) repair surgery in Indonesia mostly in late condition, where the patient suffers from chronic hypoxemia. Aim of this study are to determine the impact of high Hb and Ht on TOF repair surgery outcome as well as to determine the optimal value of Hb and Ht to avoid postoperative morbidity and mortality.
Method: A retrospective cohort study was conducted on patients undergoing TOF repair surgery Pusat Jantung Nasional Harapan Kita from January 1, 2015 until June 30, 2020. Statistical analysis was carried out on the preoperative TOF Hb and Ht levels with mortality, bleeding incidence, blood transfusion, reoperation, and postoperative neurological deficits to find the optimal Hb and Ht cutoff point and the effect on each of these operative outcomes.
Results: A total of 806 patients were included in the study sample with median age of 53 months and an SpO2 of 80%. There was a significant effect of age, body weight, and SpO2 on Hb and Ht (p <0.05). There was an increased risk of treatment > 72 hours by 1.5 times for high Hb and a risk of 1.6 times for high Ht. There an increased risk of postoperative bleeding> 10mL / Kg by 4.6 times in high Hb and an increased risk of 5.4 times in high Ht. Transfusions> 15mL / Kg were found to increase by 1.5 times at high Hb levels and 1.7 times at high Ht levels. There was no significant effect of Hb and Ht on inhospital mortality, reoperative incidence, and postoperative neurological deficits. The cut points obtained in this study were Hb 16.75 gr / dL and Ht 51.20% with a fairly good predictor ability (AUC Hb = 0.71; AUC Ht = 0.72) on postoperative bleeding.
Conclusion: High hemoglobin and hematocrit is significantly affected the ICU duration, postoperative bleeding, and the number of transfusions. The cut-off point taken from the relationship between hemoglobin and hematocrit on postoperative bleeding has a fairly good predictor ability. Optimal hemoglobin is below 16.75 gr/dL and optimal hematocrit is below 51.20%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dannis
"Latar Belakang: Sirosis merupakan proses difus yang biasanya ditandai dengan adanya fibrosis dan terdapat perubahan dari bentuk dan fungsi hati yang normal menjadi terbentuknya suatu struktur nodul yang abnormal dan akan berkembang menjadi sirosis dan terjadi perubahan pada hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit dan leukosit. Sirosis dikelompokkan dalam 3 kelompok dengan menggunakan teknik diagnostic non-invasif menggunakan skor APRI.
Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui terdapat perbedaan yang signifikan pada hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit dan leukosit pada tingkatan sirosis hati berdasarkan skor APRI.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan 60 pasien sesuai dengan kriteria penelitian dari rekam medis pusat dan Laboratorium Patologi Klinik RSCM.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit memiliki nilai rerata 11,20; 32,94; 3,96 dan simpangan baku 2,66; 7,48; 0,90 dan jumlah leukosit median 9,66, minimum 2,01 dan maksimum 28,13 . Uji Anova menunjukkan perbedaan yang bermakna pada jumlah eritrosit p < 0,05 dan perbedaan yang tidak bermakna pada hemoglobin dan hematokrit p > 0,05 terhadap tingkat keparahan sirosis hati sesuai dengan skor APRI. Sedangkan uji kruskal-wallis menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna pada jumlah leukosit p > 0,05 terhadap tingkat keparahan sirosis hati sesuai dengan skor APRI.
Kesimpulan : Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada perbandingan jumlah eritrosit berdasarkan skor APRI dan perbedaan yang tidak bermakna pada hemoglobin, hematokrit dan jumlah leukosit berdasarkan skor APRI.

Background: Cirrhosis is a process of diffusion which is usually characterized by fibrosis and there is a change from a normal liver form and function to the formation of an abnormal nodular structure that develops into cirrhosis and causing changes in hemoglobin, hematocrit, the amount of erythrocytes and leukocytes. Cirrhosis is grouped into 3 groups using non invasive diagnostic techniques using APRI scores.
Objective: The purpose of this study was to investigate the significant differences in hemoglobin, hematocrit, amount of erythrocytes and leukocytes at the level of liver cirrhosis based on APRI scores.
Methods: This study used cross sectional design with 60 patients according to the study criteria from the central medical record and the RSCM Clinical Pathology Laboratory.
Results: The result of the research using Kolmogorov Smirnov test showed hemoglobin, hematocrit, the amount of erythrocytes had value average 11,20 32,94 3,96 and standard deviation 2,66 7,48 0,90 and leukocyte count median 9,66, minimum 2,01 and maximum 28,13 . Anova test showed a significant difference in the amount of erythrocytes p 0,05 towards the severeness staging of cirrhosis according to the APRI score. While the cruciate wallis test showed no significant difference in the number of leukocytes p 0,05 towards the severeness staging of cirrhosis according to APRI score.
Conclusion: The results of this study indicate that there is a significant difference in the number of erythrocytes based on APRI scores and the non significant differences in hemoglobin, hematocrit and leukocyte counts based on APRI scores.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapea, Meriati Elisabet Magdalena
"Diabetes Melitus Tipe 1 merupakan penyakit kronis yang melibatkan perubahan perilaku baik pola hidup maupun aktivitas dalam  sehari-hari. Tidaklah mudah untuk mencapai perubahan perilaku yang dapat secara langsung mempengaruhi pengendalian glukosa darah dan komplikasi. Serangkaian tindakan pengobatan yang rutin dipatuhi pada dasarnya bukanlah hal yang mudah untuk dijalankan. Ketidakpatuhan pada umumnya dapat meningkatkan masalah kesehatan bahkan dapat memperburuk penyakit yang dideritanya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan hubungan tingkat kepatuhan perawatan diri anak dengan DMT1 tentang pemeriksaan glukosa darah harian dan pemberian terapi insulin. Penelitian ini dilakukan secara cross sectional dengan teknik consecutive sampling terhadap 49 anak diabetes melitus tipe 1 usia 1 – 18 tahun di wilayah Jabodetabek. Data diperoleh dari pengisian logbook selama 14 hari. Analisis menggunakan spearman sesuai jenis data. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan kepatuhan pemeriksaan glukosa terhadap kadar glukosa prepandrial dan postpandrial (p>0.05). Demikian pula didapatkan tidak ada hubungan tingkat kepatuhan  terapi insulin dengan kadar glukosa prepandrial dan postpandrial (p>0,05). Namun secara univariat  didapatkan dara bahwa tingkat kepatuhan insulin sudah sesuai, tetapi tidak demikian dengan tingkat kepatuhan glukosa darah yaitu kurang baik. Hasil penelitian ini memberikan dasar ilmiah dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak diabetes melitus tipe 1, bahwa perawatan diri pada anak diabetes melitus tipe 1 harus dipantau dan ditingkatkan agar mendapatkan kualitas hidup yang baik.
Kata kunci : Diabetes melitus tipe 1, kepatuhan pemeriksaan glukosa, kepatuhan insulin

Type 1 Diabetes is a chronic disease involving changing behaviour in both lifestyle and daily activities. Series of treatment that routinely obeyed in fact not easy to follow. Nonadherence in general can increase health problem even worsen his ilness. The Research aimed to find out correlation between level of adherence self-treatment with type 1 diabetes mellitus about checking daily blood glucose and giving therapy of insulin. The research used cross sectional design with consecutive technique sampling to 49 children suffering type 1 diabetes mellitus aged 1 – 18 years old in Jabotabek areas. Data was collected from filling out logbook for 14 days. Analysis used Spearman method according to the type of databased on type of data. The result of the study showed that there was no compliance relationship of blood glucose examination with prepandrial blood glucose level (p>0,05). It was found that there was no association with the level of insulin compliance with prepandrial blood glucose levels (p>0,05). Nevertheless, univariate data showed that the level of insulin compliance was appropriate, but not so with the level of blood glucose adherence that is not good. This research gives scientific basis in giving nursing care to children with type 1 diabetes that self care in children with type 1 diabetes mellitus must be monitored and increased to get good quality of life.
Key words : Type 1 diabetes mellitus, adherence of glucose checkup, insulin adherence
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siskawati Suparmin
"Komplikasi kronik diabetes, seperti penyakit kardiovaskular, ulkus diabetikum, penyakit ginjal, dan kerusakan mata dapat disebabkan oleh merokok. Akhir-akhir ini dikatakan bahwa merokok dapat meningkatkan resiko terjadinya diabetes mellitus tipe 2. Meskipun mekanisme pastinya belum dipahami sepenuhnya, diduga bahwa resistensi insulin yang disebabkan oleh nikotin, pada orang yang merokok tembakau berhubungan dengan peningkatan jumlah orang yang menderita diabetes mellitus tipe 2. Penelitian ini dirancang untuk meneliti beda kadar glukosa darah pada pria perokok dan bukan perokok tembakau usia 20-60 tahun di Salemba tahun 2009-2010.
Data dari 32 orang pria perokok dan 32 orang pria bukan perokok yang diambil secara consecutive sampling diperoleh dari pengisian angket dan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dengan teknik tindik jari . Hasilnya adalah nilai rerata kadar glukosa darah puasa pada kelompok bukan perokok adalah 102,0 (86-150) mg/dL, sedangkan rerata kadar glukosa darah puasa pada kelompok perokok adalah 118,6 (SD 25,2) mg/dL. Dengan uji Mann-Whitney, didapatkan nilai p=0,002. Dengan demikian, terdapat perbedaan bermakna kadar glukosa darah kelompok perokok dan bukan perokok tembakau.

Chronic complications of diabetes such as cardiovascular disease, diabetic ulcers, kidney disease, and retinopathy can be caused by smoking. Recently, it has been said that smoking can increase the risk of diabetes type 2. Although the mechanism has been not clear, it has been suspected that insulin resistance caused by nicotine in tobacco smokers is related with increasing number of people who have type 2 diabetes mellitus. This research was designed to investigate the difference of blood glucose level in 20-60 years old male tobacco smokers and non-smokers in Salemba in 2009-2010.
The data from 32 male smokers and 32 male non-smokers taken by consecutive sampling was collected from questionnaire and measuring fasting blood glucose level by finger prick technique. The average value of fasting blood glucose in non-smokers group was 102,0 (86-150) mg/dL and in smokers group was 118,6 (SD 25,2) mg/dL. With Mann-Whitney test, it was known that p=0,002. So, there was a significant difference of blood glucose level in male tobacco smokers and non-smokers.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Edenia Saumi
"Hiperglikemia merupakan gejala metabolik berupa peningkatan glukosa darah melebihi batas normal, yang dikaitkan dengan diabetes melitus (DM). Modifikasi gaya hidup yang lebih sehat, seperti dilakukannya restriksi kalori dengan metode fasting-mimicking diet (FMD) dapat dilakukan sebagai alternatif pendekatan untuk pengendalian DM tipe 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh FMD berbahan nabati yang tersedia di Indonesia, terhadap kadar glukosa darah dan resistensi insulin. Penelitian dilakukan terhadap tikus jantan galur Sprague-Dawley model hiperglikemia yang dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan (n=16), yakni kelompok hiperglikemia (high fat diet[HFD]-streptozotosin[STZ] 35 mg/kgBB dan CMC Na 0,5%), kelompok metformin (HFD-STZ 35 mg/kgBB dan metformin 250 mg/kgBB), kelompok FMD (HFD-STZ 35 mg/kgBB dan FMD), dan kelompok normal diet (ND) (CMC Na 0,5%). Pemberian perlakuan dilakukan selama 28 hari. Tikus dilakukan pengecekan glukosa darah puasa (GDP) dan berat badan setiap minggu perlakuan dan dikorbankan untuk diambil sampel darahnya setelah perlakuan berakhir. Homeostasis model assessment of insulin resistance (HOMA-IR) digunakan untuk mengukur resistensi insulin. Hasil penelitian menunjukkan penurunan kadar GDP dengan adanya pemberian FMD, walaupun tidak terdapat perbedaan signifikan antara GDP pra-perlakuan dengan GDP minggu ke-4 perlakuan (p>0,05). Hasil penelitian juga menunjukkan nilai HOMA-IR kelompok FMD mendekati nilai HOMA-IR kelompok ND dan lebih rendah secara signifikan dibandingkan nilai HOMA-IR kelompok hiperglikemia (p<0,05), yang berarti pemberian FMD pada tikus hiperglikemia menghasilkan tingkat resistensi insulin yang lebih rendah dibandingkan dengan tikus hiperglikemia yang tidak diberikan FMD. Sebagai kesimpulan, pemberian FMD dapat menurunkan GDP dan menghasilkan tingkat resistensi insulin yang lebih rendah pada tikus model hiperglikemia.

Hyperglycemia is a metabolic symptom in the form of an increase in blood glucose exceeding normal limits, which is associated with diabetes mellitus (DM). Healthy lifestyle modifications, such as calorie restriction with the fasting-mimicking diet (FMD) method, can be used as an alternative approach to controlling type 2 diabetes. This study aims to determine the effect of FMD using plant-based ingredients available in Indonesia on blood glucose levels and insulin resistance. The study was conducted on male rats of the Sprague-Dawley strain model of hyperglycemia, which were divided into 4 treatment groups (n = 16), namely the hyperglycemic group (high fat diet [HFD]-streptozotocin [STZ] 35 mg/kgBW and CMC Na 0.5%), the metformin group (HFD-STZ 35 mg/kgBW and metformin 250 mg/kgBW), the FMD group (HFD-STZ 35 mg/kgBW and FMD), and the normal diet (ND) group (CMC Na 0.5%). The treatment was carried out for 28 days. Rats were checked for fasting blood glucose (FBG) and body weight every week of treatment and sacrificed for blood samples after the treatment ended. Homeostasis model assessment of insulin resistance (HOMA-IR) was used to measure insulin resistance. The results showed a decrease in FBG levels with the administration of FMD, although there was no significant difference between pre-treatment FBG and FBG at the 4th week of treatment (p>0,05). The results also showed that the HOMA-IR value of the FMD group was close to the HOMA-IR value of the ND group and was significantly lower than the HOMA-IR value of the hyperglycemic group (p<0,05), which means that administering FMD to hyperglycemic rats resulted in lower levels of insulin resistance than the hyperglycemic rats that were not given FMD. In conclusion, administration of FMD can reduce FBG and result in lower levels of insulin resistance in hyperglycemic rats."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Mahavira
"Latar belakang: Hubungan antara kadar gula darah yang tinggi dan thrombolysisin myocardial infarction TIMI flow pra/pascaprosedur angioplasti primerterhadap mortalitas 1 tahun belum banyak dieksplorasi.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan kadar gula darahsaat admisi dan TIMI flow pra/pascaprosedur terhadap mortalitas 1 tahun pasieninfark miokard akut disertai elevasi segmen ST IMA-EST yang menjalaniintervensi koroner perkutan primer IKPP .Metode: 856 pasien IMA-EST yang dilakukan IKPP pada Januari 2014 hinggaJuli 2016 dianalisis secara retrospektif. Cut-off yang digunakan untuk kadar guladarah tinggi pada studi ini adalah ge;169 mg/dL. Kesintasan 1 tahun dinilai denganmetode Kaplan-Meier.Hasil: Pasien dengan kadar gula darah ge;169 mg/L N=307 mempunyai proporsiTIMI flow akhir 0 ndash; 1 yang lebih tinggi [3.3 vs. 0.5 ; adjusted odds ratio OR = 5.58, 95 confidence interval CI 1.30 ndash;23.9; p=0.02] dan mortalitas 1 tahun lebih tinggi [16.3 vs. 6 ; adjusted hazard ratio HR = 1.9, 95 CI1.12 ndash;3.23, p=0.017] dibanding pasien dengan kadar gula darah rendah N=549 .TIMI flow akhir 0 ndash; 1 merupakan prediktor independen mortalitas 1 tahun HR= 7.0, 95 CI 3.23 ndash;15.15;

Background The association of high blood glucose level and Thrombolysis InMyocardial Infarction TIMI flow before after primary angioplasty with 1 yearmortality has not much been explored.Objective This study sought to determine the association of blood glucose level BGL on admission and pre post procedural TIMI flow with 1 year mortality inpatients with ST segment elevation myocardial infarction STEMI undergoingprimary percutaneous coronary intervention PCI .Methods 856 patients with STEMI and treated with primary PCI betweenJanuary 2014 and July 2016 were retrospectively analyzed. The cut off used for ahigh BGL in this study was ge 169 mg dL. Survival at 1 year was assessed byKaplan Meier method.Results Patients with BGL ge 169 mg dL N 307 had higher proportion of finalTIMI flow 0 1 3.3 vs. 0.5 adjusted odds ratio OR 5.58, 95 confidenceinterval CI 1.30 to 23.9 p 0.02 and higher 1 year mortality 16.3 vs. 6 adjusted hazard ratio HR 1.9, 95 CI 1.12 to 3.23, p 0.017 compared withlower BGL patients N 549 . Final TIMI flow 0 1 was an independent predictorof 1 year mortality HR 7.0, 95 CI 3.23 to 15.15 p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ziyad
"Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit yang paling banyak diderita oleh manusia. Salah satu tipe DM adalah diabetes tipe 1 yang disebabkan oleh rusaknya sel beta pada pankreas sehingga tubuh tidak dapat menghasilkan insulin untuk meregulasi konsentrasi glukosa dalam darah. Penderita DM tipe 1 harus melakukan terapi insulin dengan memberikan suntik insulin eksternal untuk meregulasi konsentrasi glukosa di dalam darah. Selain itu, penderita DM tipe 1 harus melakukan kontrol secara kontinu terhadap konsentrasi glukosa di dalam darahnya. Pada sebuah penelitian, terdapat sebuah alat yang dapat memantau glukosa secara berkelanjutan yang disebut dengan Continuous Glucose Monitoring (CGM). Pada penelitian ini, dilakukan simulasi dengan sebuah model matematika yang menggambarkan regulasi glukosa-insulin dalam tubuh saat makanan dicerna di dalam tubuh, yaitu model hovorka, untuk diimplementasikan ke dalam CGM. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa model dari hovorka dapat menunjukkan regulasi glukosa insulin di dalam tubuh. Namun untuk evaluasi terhadap model ini dilakukan sebuah fitting terhadap parameter model hovorka dan didapatkan hasil yang kurang baik sehingga perlu dilakukan fitting ulang dengan data yang lebih baik.

Diabetes Mellitus (DM) is one of the most common diseases suffered by humans. One type of DM is Type 1 diabetes caused by the destruction of beta cells in the pancreas so that the body can not produce insulin to regulate the concentration of glucose in the blood. Patients with Type 1 diabetes have to do insulin therapy by giving external insulin injections to regulate the concentration of glucose in the blood. In addition, patients with Type 1 diabetes must continuously control the concentration of glucose in their blood. In one study, there was a tool that can monitor glucose continuously called Continuous Glucose Monitoring (CGM). In this study, a simulation with a mathematical model that describes the regulation of glucose-insulin in the body when food is digested in the body, the Hovorka model, to be implemented into CGM. The results of this study show that the model from hovorka can demonstrate the regulation of insulin glucose in the body. However, for the evaluation of this model, a fitting was made to the parameters of the hovorka model and poor results were obtained so that re-fitting with better data was necessary."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riswandi
"Latar Belakang: Pelumpuh otot merupakan obat anestesia yang sering digunakan dalam praktik anestesia umum sehari-hari. Atrakurium, yang merupakan golongan pelumpuh otot benzilisoquinolium, dapat meningkatkan kadar histamin dalam darah dibandingkan obat pelumpuh otot lainnya. Peningkatan kadar histamin dapat menghambat Glucose Induce Insulin Secretion (GIIS) yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah. Hiperglikemia perioperatif dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas baik pada pasien diabetik maupun nondiabetik. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan perubahan kadar gula darah setelah pemberian atrakurium dengan rokuronium.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode uji klinis prospektif acak tersamar ganda pada 80 pasien yang menjalani operasi dengan pembiusan umum. Pasien dibagi menjadi dua kelompok yaitu rokuronium dan atrakarium. Protokol anestesia sama pada kedua kelompok, kecuali pada penggunaan pelumpuh otot. Kadar gula darah dan hemodinamik inisial, 5 menit, 15 menit dan 30 menit setelah pemberian pelumpuh otot dicatat dan diukur. Hasil yang didapat dianalisis secara statistik menggunakan uji t tidak berpasangan.
Hasil: Kedua kelompok menunjukkan adanya penurunan yang signifikan pada rerata kadar gula darah dari waktu ke waktu. Tetapi, perubahan rerata kadar gula darah pada kelompok rokuronium dibandingkan dengan atrakurium di tiap waktu pengukuran menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (nilai P secara berurutan adalah 0,649, 0,473 dan 0,931). Untuk perbandingan perubahan denyut jantung dan MAP pada kedua kelompok juga menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan.
Simpulan: Baik rokuronium maupun atrakurium dapat mempengaruhi perubahan kadar gula darah pada pasien nondiabetik, tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan diantara keduanya

Background: Muscle relaxant drugs are often used in daily general anesthesia practices. Atracurium, a class of benzilisoquinolium muscle relaxant, can increase the level of histamine in the blood than other muscle relaxant drugs. This increment inhibits Glucose Induce Insulin Secretion (GIIS) which can increase blood glucose levels. Perioperative hyperglycemia can increase morbidity and mortality in both diabetic and nondiabetic patients. This study aims to compare blood sugar levels change after the administration of atracurium and rocuronium.
Method: This is a double blind randomized prospective clinical trial on 80 patients who underwent general anesthesia. Patients were divided into two groups: rocuronium and atracurium. The anesthesia protocol was the same in both groups, except for the use of muscle relaxants. Initial blood sugar and hemodynamic levels were recorded and measured on the 5th minutes, 15th minutes and 30th minutes after the administration of muscle relaxants. The results obtained were then analyzed statistically using unpaired t test.
Results: Both groups showed a significant decrease in blood sugar levels over time. However, the mean change in blood sugar levels in the rocuronium group compared to atracurium at each measurement time showed no significant differences (P values ​​in sequence were 0.649, 0.473 and 0.931). For comparation, changes in heart rate and MAP in both groups also showed no significant differences.
Conclusion: Both rocuronium and atracurium can decrease blood sugar levels in nondiabetic patients, with no significant differences among the two."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shania Octaviani Salim
"Latar Belakang: Keterbatasan obat antidiabetes menjadi salah satu rintangan dalam upaya mengatasi masalah diabetes di Indonesia. Kekayaan tumbuhan medikasi Indonesia dapat menjadi solusi dalam mengatasi masalah tersebut, termasuk pengembangan Tithonia diversifoliasebagai antidiabetes.
Tujuan: Mengetahui efek ekstrak daun Paitan Tithonia diversifolia terhadap kadar glukosa darah dan perubahan histologis pankreas pada tikus Sprague dawleyyang diinduksi aloksan.
Metode: Sebanyak 24 tikus Sprague dawley, yang bergula darah normal, dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu kelompok normal tanpa perlakuan, kelompok kontrol positif yang diberikan Metformin, kelompok kontrol negatif yang diberikan aquades, serta tiga kelompok perlakuan lainnya yang diberikan ekstrak daun Paitan Tithonia diversifolia dengan dosis 200mg/kgBB, 400mg/kgBB, 600mg/kgBB. Aloksan dengan dosis 120mg/kgBB disuntikan secara intraperitoneal kepada semua tikus kecuali kelompok normal. Setelah 4 hari, kadar gula darah puasa GDP tikus diperiksa. Tikus dengan kadar GDP >200mg/dL akan diberikan perlakuan sesuai dengan kelompoknya selama 16 hari. Pemeriksaan kadar GDP dilaksanakan pada hari ke 4, 8, 12, dan 16. Selanjutnya, pankreas tikus akan diambil untuk pemeriksaan histologi secara kualitatif dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin. Data kadar GDP yang diperoleh dianalisis dengan one way ANOVA.
Hasil: Penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak daun paitan Tithonia diversifolia dapat menurunkan kadar GDP dari tikus yang diabetes. Dosis yang paling efektif dalam menurunkan kadar GDP tikus adalah 200mg/kgBB. Sedangkan, ekstrak daun paitan Tithonia diversifolia dengan dosis 600mg/kgBB mampu memperbaiki struktur histologi pankreas dari tikus.
Kesimpulan: Ekstrak daun paitan Tithonia diversifolia mampu menurunkan kadar GDP tikus dan memperbaiki struktur histologi pankreas pada tikus.

Background: The limitation of antidiabetic medication is one of the obstacles to overcome diabetes problem in Indonesia. The wealth of Indonesian medical plants can be a solution to solve that problem, including the development of Tithonia diversifolia as an antidiabetic agent.
Objective: Determining the effect of Paitan Tithonia diversifolia leaf extract on blood glucose levels and histological changes in alloxan induced Sprague dawley rats pancreas.
Methods: There were 24 Sprague dawley rats, with normal blood glucose levels, divided into 6 groups, namely normal group without any intervention, positive control group was treated with Metformin, negative control group was treated with aquades, and other three groups were treated with Paitan extract at dose of 200mg/kgBB, 400mg/kgBB, 600mg/kgBB. Alloxan with a dose 120mg/kgBB injected via intraperiotenal to all rats, except the normal group. After 4 days, the rats blood glucose level were checked. Rats with fasting blood glucose FBG level>200mg/dL treated according to their groups for 16 days. FBG checked on day 4, 8, 12, and 16. Then, pancreas of the rats will be taken for qualitative histological examination with Hematoxilin Eosin staining. The FBG level were analyzed with one way ANOVA test.
Results: This research showed Paitan Tithonia diversifolia leaf extract could decrease FBG level of diabetic rats. The most effective dose to reduce rats FBG level was 200mg/kgBB. Extract of paitan (ithonia diversifolia leaf at 600mg/kgBB was able to improve histological structure of rats pancreas.
Conclusion: Extract of paitan Tithonia diversifolia leaf was able to decrease diabetic rats FBG level and improve the histological structure of rats pancreas.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>