Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 66626 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pangaribuan, Phillip Monang Bravery
"Latar belakang: Nefrotoksisitas merupakan penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh zat toksin atau beracun. Prevalensi nefrotoksisitas adalah 18% - 27% di Amerika Serikat dan 5% dari pasien pascakemoterapi di RSUP Dr. Sardjito. Ekstrak lunasin memiliki fungsi sebagai antioksidan dan dan antikanker yang diperlukan penelitian efek toksisitas terhadap ginjal tikus Sprague Dawley (SD) untuk memeriksa keamanannya.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode eksperimental in vivo dengan sampel ginjal tikus Sprague Dawley (SD). Tikus diberikan dosis lunasin masing-masing dengan konsentrasi 250 mg/kgBB, 500 mg/kgBB, dan 750 mg/kgBB yang selanjutnya diterminasi serta dibentuk preparat histopatologi jaringan ginjal dengan diberikan pewarnaan HE. Proses berikutnya dilakukan pengamatan melalui mikroskop dengan perbesaran 400 kali pada diameter tubulus. Pengukuran pada satu preparat dengan mengambil 5 tubulus dan masing-masing tubulus membentuk 5 garis saling memotong untuk mengukur diameter. Menggunakan aplikasi Indomicro View untuk mengolah data yang nantinya akan dimasukkan ke Microsoft Excel untuk pengumpulan data.
Hasil: Pemberian ekstrak lunasin memiliki hasil yang berbeda terhadap diameter tubulus ginjal tikus Sprague Dawley (SD). Ginjal normal tanpa pemberian ekstrak lunasin memiliki rerata diameter adalah 31,325 μm. Pada pemberian dosis 250 mg/kgBB rerata diameter adalah 31,985 μm, pada dosis 500 mg/kgBB rerata diameter adalah 33,91 μm, dan pada dosis 750 mg/kgBB rerata diameter adalah 32,02 μm. Dengan hasil yang dimiliki tidak bermakna dan tidak signifikan
Kesimpulan: Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan terdapat kenaikan diameter tubulus ginjal tikus Sprague Dawley (SD) dengan pemberian dosis ekstrak lunasin sebanyak 250 mg/kgBB dan 500 mg/kgBB, dan terdapat penurunan diameter tubulus pada pemberian lunasin dengan dosis 750 mg/kgBB. Hasil yang diperoleh tidak signifikan terhadap data yang diukur.

Introduction: Nephrotoxicity is a decrease in kidney function caused by toxic or toxic substances. The prevalence of nephrotoxicity is 18% - 27% in the United States and 5% of post-chemotherapy patients at Dr. Sardjito. The lunasin extract has antioxidant and anticancer functions which are needed to study its toxicity effect on the kidneys of Sprague Dawley (SD) rats.
Method: This study used an in vivo experimental method with Sprague Dawley (SD) rat kidney samples. The rats were terminated and histopathological preparations were made using HE staining. Furthermore, the sample was given a dose of lunasin with a concentration of 250 mg/kgBW, 500 mg/kgBW, and 750 mg/kgBW, respectively. The next process was observed through a microscope with a magnification of 400 times on the diameter of the tubules. Measurement on one preparation by taking 5 tubules and each tubule forming 5 lines to measure diameter. Using the Indomicro View application to process data which will later be entered into Microsoft Excel for data collection.
Result: The administration of lunasin extract had different results on the kidney tubule diameter of Sprague Dawley (SD) rats. Normal kidney without lunasin extract had a mean diameter of 31.325 μm. At a dose of 250 mg/kg the average diameter was 31.985 μm, at a dose of 500 mg/kg the average diameter was 33.91 μm, and at a dose of 750 mg/kg the average diameter was 32.02 μm.
Conclusion: Based on the research carried out, there was an increase in the diameter of the kidney tubules of Sprague Dawley (SD) rats with the administration of lunasin extract doses of 250 mg/kgBW and 500 mg/kgBW, and there was a decrease in tubular diameter with the administration of lunasin at a dose of 750 mg/kgBW. The results in the form of increases and decreases obtained are not significant to the measured data.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abas Suherli
"Patogenesis nefropati diabetik (ND) merupakan hasil interaksi faktor hemodinamik, metabolik dan lingkungan serta faktor genetik. ND biasanya tidak terdeteksi secara klinis sampai terjadi kerusakan ginjal yang bermakna dapat berupa glomerulosklerosis, tubular atrofi dan fibrosis interstitial. KIM-1 dapat digunakan sebagai penanda adanya kerusakan tubulus ginjal. Hubungan polimorfisme gen ACE dengan nefropati diabetes masih tidak konsisten.
Penelitian ini merupakan studi cross sectional komparasi antara dua kelompok penyandang DMT2 dengan atau tanpa nefropati yang bertujuan untuk mengetahui adanya kerusakan tubulus, polimorfisme gen ACE dan menganalisis hubungannya dengan kadar KIM-1 terhadap terjadinya kelainan tubulus. Didapatkan adanya peningkatan ekskresi KIM-1 urin pada 19 subjek pre-nefropati dengan median 1,3 (interquartile 1,5) ng/mL, 25 subjek nefropati insipien dengan median 1,6 (interquartile 2,3) ng/mL dan 12 subjek nefropati overt dengan rerata kadar KIM-1 3,1 ± 2,4 ng/mL. Terdapat polimorfisme gen ACE pada penyandang DMT2. Proporsi genotipe DD 9,3%, ID 33,3% dan II 57,4% pada kelompok NND, pada kelompok ND proporsi genotipe DD 4,7%, ID 34,1% dan genotipe II 61,2%.
Dijumpai adanya hubungan bermakna antara alel D dengan peningkatan ekskresi KIM-1 urin pada kelompok pre-nefropati (p = 0,030). Peningkatan kadar KIM-1 urin pada kelompok pre-nefropati menunjukkan adanya kerusakan tubulus yang merupakan proses awal nefropati DM. Distribusi genotipe polimorfisme gen ACE pada penelitian ini menyerupai penelitian lain di negara-negara Asia, sedangkan di negara Eropa genotipe DD lebih banyak daripada genotipe II. Hubungan bermakna alel D dengan kadar KIM-1 hanya pada kelompok prenefropati mungkin disebabkan adanya faktor lain seperti kadar glukosa, kontrol glikemik, ureum, kreatinin dan kadar trigliserida yang memengaruhi.
Simpulan: Terdapat peningkatan ekskresi KIM-1 urin pada penyandang DMT2 kelompok pre-nefropati yang meningkat secara bermakna pada penyandang DMT2 dengan nefropati overt. Peningkatan ekskresi KIM-1 urin dapat dipakai sebagai penanda kerusakan tubulus. Terdapat polimofisme gen ACE pada penyandang DMT2. Genotipe II lebih banyak dibanding genotipe ID dan DD. Dijumpai adanya hubungan alel D dengan peningkatan kadar KIM-1 urin pada penyandang DMT2 pre-nefropati.

The pathogenesis of nephropathy diabetic (ND) is the result of the interaction of haemodynamic, metabolic, environment, and genetic factors. In general, ND was clinically undetectable until kidney has been damaged significantly, in the form of glomerulosclerosis, tubular atrophy, or interstitial fibrosis. KIM-1 can be used as the initial indicator of kidney tubules damage. The relationship between ACE gene polymorphism and diabetic nephropathy was still inconsistent.
This research was a comparative cross-sectional study on two groups of DMT2 patients with and without nephropathy diabetic. The objectives of this study were to identify the tubules damage, ACE gene polymorphism, and to analyze the relationship between the degree of KIM-1 and the tubules damage. The increase of KIM-1 urine excretion was found in 19 pre-nephropathy subject (median = 1.3 with interquartile 1.5 ng/mL), in 25 incipient nephropathy subject (median = 1.6 (2.3) ng/mL), in 12 overt nephropathy subject (Mean = 3.1 ± 2,4 ng/mL). ACE polymorphism gene was found in DMT2 patients. In the NDD group, the genotype proportion of DD = 9.3%, ID = 33.3% and II = 57.4%. Whereas, in the ND group, the figures were 4.7%, 34.1% and 61.2%, respectively.
Significant relationship was found between allele D and the increase of KIM-1 urine on pre-nephropathy group (p = 0.030). The increase of KIM-1 urine on prenephropathy group shows the tubules damage which is the initial process of nephropathy diabetic. The genotype distribution of ACE gene polymorphism in this study was similar with the studies in Asian countries; however, in European countries the genotype DD is found higher than genotype II. The significant relationship between allele D and KIM-1 level in pre-nephropathy group might be the influence of other factors, such as glucose level, glycaemic control, urea, creatinine, and triglyceride level.
Conclusion: There was KIM-1 excretion increased on DMT2 pre-nephropathy group, which increase significantly in DMT2 overt nephropathy group. The increase of KIM-1 urine excretion can be used as the indicator of tubules damage. ACE gene polymorphism was found in DMT2 group, with genotype II was higher than genotype ID and DD. A significant relationship between allele D and the increase of KIM-1 urine excretion was found in pre-nephropathy group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahira Zanira
"Latar belakang: Herb-Induced Liver Injury (HILI) merupakan kondisi kerusakan hati yang disebabkan oleh obat-obatan herbal dengan prevalensi 3 kejadian per 100.000 individu. Saat ini, penggunaan produk herbal sebagai obat alternatif telah meningkat 80% sejak tiga dekade terakhir. Lunasin termasuk salah satu produk herbal yang sedang marak digunakan karena efek antikanker dan antiinflamasinya. Namun, dosis aman dari lunasin sendiri belum diketahui sehingga perlu dilakukan uji toksisitas untuk menghindari HILI akibat lunasin.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain true experimental in vivo dengan bahan biologis tersimpan jaringan hati tikus Sprague-Dawley sebanyak 40 ekor yang sebelumnya diberi perlakuan: kelompok tanpa perlakuan (N); kelompok dosis ET-Lun 250 mg/kgBB (K250); kelompok dosis ET-Lun 500 mg/kgBB (K500); kelompok dosis ET-Lun 750 mg/kgBB (K750) yang kemudian diukur luas Kiernan Triad-nya menggunakan software Indomicroview.
Hasil: Rerata luas Kiernan Triad mengalami peningkatan dan penurunan pada tiap kelompok. Pada struktur arteri,vena, dan duktus, secara berurutan hasil rerata luas pada kelompok perlakuan normal adalah (2 ± 0,33) μm2, (2 ± 0,30) μm2 , (2 ± 0,33) μm2. Kelompok perlakuan ET-Lun dengan dosis 250 mg/kgBB (1,99 ± 0,32) μm2, (3,19 ± 0,44) μm2, (2,04 ± 0,27) μm2. Kelompok dosis 500 mg/kgBB (2,14 ± 0,24) μm2, (3,4 ± 0,32) μm2, (2,31 ± 0,23) μm2 . Kelompok dosis 750 mg/kgBB (1,99 ± 0,21) μm2, (3,45 ± 0,25) μm2, (2,3 ± 0,34) μm2. Namun, perbedaan rerata tersebut dinyatakan tidak memiliki perbedaan yang signifikan menurut uji one-way ANOVA (p > 0,05). Hasil uji korelasi menunjukkan nilai yang signifikan antara kelompok vena dan duktus (p < 0,05). Kekuatan korelasi antara kedua kelompok tersebut tergolong kuat dengan arah korelasi positif. Kesimpulan: Pemberian ET-Lun dengan dosis 250 mg/kgBB, 500 mg/kgBB, dan 750mg/kgBB tidak menunjukkan gambaran hepatotoksisitas terhadap jaringan hati tikus, khususnya pada luas Kiernan Triadnya.

Introduction: Herb-Induced Liver Injury (HILI) is a condition of liver damage caused by herbal medicines with a prevalence of 3 events per 100,000 individuals. Currently, the use of herbal products as alternative medicine has increased 80% since the last three decades. Lunasin is one of the herbal products that is currently being used because of its anticancer and anti-inflammatory effects. However, the safe dose of lunasin itself is unknown, so it is necessary to do a toxicity test to avoid HILI due to lunasin.
Method: This study used a true experimental in vivo design with biological material stored in the liver tissue of 40 Sprague-Dawley rats that were previously treated: with no intervention (N); ET-Lun dose group 250 mg/kgBW (K250); ET-Lun dose group 500 mg/kgBW (K500); The dose group of ET-Lun was 750 mg/kgBW (K750) which was then measured for the Kiernan Triad area using Indomicroview software.
Result: The average Kiernan Triad area increased and decreased in each group. In arteries, veins, and ducts, respectively, the mean area of the normal structure treatment group was (2 ± 0,33) μm2, (2 ± 0,30) μm2 , (2 ± 0,33) μm2. ET-Lun treatment group with a dose of 250 mg/kgBW was (1,99 ± 0,32) μm2, (3,19 ± 0,44) μm2, (2,04 ± 0,27) μm2. The 500 mg/kgBW dose group was (2,14 ± 0,24) μm2, (3,4 ± 0,32) μm2, (2,31 ± 0,23) μm2. The 750 mg/kgBW dose group was (1,99 ± 0,21) μm2, (3,45 ± 0,25) μm2, (2,3 ± 0,34) μm2. However, the mean difference was stated to have no significant difference according to the one-way ANOVA test (p > 0.05). ). The results of the correlation test showed a significant value between the venous and ductal groups (p < 0.05). The strength of the correlation between the two groups was strong with a positive correlation direction Conclusion: Administration of ET-Lun at a dose of 250 mg/kgBW, 500 mg/kgBW, and 750mg/kgBW did not show hepatotoxicity in rat liver tissue, especially in the Kiernan Triad area.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Dinda Safira
"Latar belakang: Dalam dua dekade terakhir, insidensi terjadinya Herb-Induced Liver Injury (HILI) terus meningkat di seluruh dunia karena terdapat banyak produk herbal yang belum melalui uji keamanan yang baik. Saat ini, salah satu produk herbal yang banyak dikonsumsi adalah lunasin. Namun, belum banyak uji toksisitas yang dilakukan terhadap senyawa tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian lunasin terhadap luas vena sentralis hati sebagai salah satu indikator toksisitas hati. Metode: 42 ekor tikus Sprague-Dawley (SD) dibagi ke dalam empat kelompok perlakuan: kelompok normal, lunasin dosis 250 mg/kgBB, 500 mg/kgBB, dan 750 mg/kgBB. Setelah diberi perlakuan selama 90 hari, jaringan hati hewan uji diambil dan dijadikan preparat histopatologi. Pengukuran luas vena sentralis hati dilakukan menggunakan perangkat lunak Indomicro View.
Hasil: Luas vena sentralis hati pada kelompok lunasin dosis 250 mg/kgBB (3,82±1,8 x 103 μm2), 500 mg/kgBB (3,35±1,34 x 103 μm2), dan 750 mg/kgBB (2,12±0,93 x 103 μm2) tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap kelompok normal (2,52±0,66 x 103 μm2) (p > 0,05). Perbedaan signifikan hanya ditemukan antara kelompok dosis 250 dan 750 mg/kgBB (p = 0,02).
Kesimpulan: Lunasin dalam dosis 250 mg/kgBB, 500 mg/kgBB, dan 750 mg/kgBB tidak menyebabkan perubahan luas vena sentralis yang signifikan terhadap kelompok normal.

Introduction: In the last two decades, the incidence of Herb-Induced Liver Injury (HILI) continues to increase worldwide because many herbal products have not been tested thoroughly for their safety. Currently, a herbal product called lunasin is widely consumed. However, not many toxicity tests have been carried out on them. This study aimed to examine the effect of lunasin administration on the hepatic central vein area as one of the indicators of hepatotoxicity.
Method: 42 Sprague-Dawley (SD) rats were divided into four treatment groups: normal group, lunasin dose of 250 mg/kgBW, 500 mg/kgBW and 750 mg/kgBW. After 90 days of treatment, the rats’ liver tissues were made into histopathological preparations. Measurement of the hepatic central vein area was performed using the Indomicro View software.
Result: The hepatic central vein area in the lunasin group at a dose of 250 mg/kgBW (3.82±1.8 x 103 μm2), 500 mg/kgBW (3.35±1.34 x 103 μm2), and 750 mg/kgBW (2.12±0.93 x 103 μm2) did not have a significant difference to the normal group (2.52±0.66 x 103 μm2) (p > 0.05). A significant difference was only found between the 250 and 750 mg/kgBW dose groups (p = 0.02).
Conclusion: Lunasin in doses of 250 mg/kgBW, 500 mg/kgBW, and 750 mg/kgBW did not cause significant changes in the central venous area of the liver.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sirma I Mada
"Latar belakang: Thalassemia merupakan kelainan hemoglobin yang diturunkan secara autosomal resesif terbanyak di dunia, termasuk di Indonesia. Eritropoiesis inefektif dan hemolisis yang mengakibatkan terjadinya anemia, disertai kelebihan besi, dan toksisitas kelasi besi dapat menganggu fungsi organ, salah satunya ginjal.
Tujuan: Mengetahui profil tubulus ginjal dan faktor yang memengaruhi pada transfusion dependent thalassemia (TDT) remaja
Metode: Penelitian deskriptif analitik yang dilakukan dengan potong lintang. Subyek adalah TDT remaja usia 10-18 tahun yang datang ke RSCM pada Januari 2024 sampai Februari 2024. Subyek diekslusi jika terdapat riwayat penyakit ginjal, demam, gejala infeksi saluran kemih, serta mendapatkan kortikosteroid, trimetoprim, aminoglikosida atau sefalosporin generasi pertama dalam 1 minggu terakhir berdasarkan anamnesis dan catatan medik. Setelah informed consent didapatkan dari orangtua, dilakukan pengambilan data demografi dasar, pengukuran status antropometri, dan pengukuran tekanan darah. Pengambilan sampel darah dilakukan sebelum transfusi rutin dan pengambilan sampel urin pertama di pagi hari untuk dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal. Hasil: Dari 55 subyek, proporsi jenis kelamin 1:1 dengan median usia 14 (10-17) tahun. Median usia terdiagnosis thalassemia adalah 24 (2-180) bulan. Mayoritas subyek adalah thalassemia-! (72,7%), sedangkan thalassemia-!/HbE 27,3%. Status nutrisi gizi baik 45,5%, gizi kurang 34,5%, dan gizi buruk 20%. Jenis kelasi besi yang diberikan antara lain, deferipron (DFP) 61,8%, deferasiroks (DFX) 29,1%, dan kombinasi (DFP dan DFX) 7,3%, sedangkan 1 pasien tanpa terapi. Rerata kadar hemoglobin adalah 8,5 (SD 1,1) g/dL dengan nilai median feritin 4.604,2 (753,86-30.472,67) ng/dL. Prevalens disfungsi tubulus ginjal adalah 96,3%, meskipun prevalens penurunan fungsi ginjal hanya 1,8%. Profil fungsi tubulus ginjal berupa hiperurikosuria (94,5%), proteinuria (39,1%), peningkatan NGAL/kreatinin urin (23,6%), hiperkalsiuria (21,8%), dan hiperfosfaturia (20%). Tidak terbukti hubungan rasio NGAL/kreatinin urin terhadap anemia pre- transfusi, status kelebihan besi, dan jenis kelasi besi. Hiperfiltrasi glomerulus terjadi pada 63,6% subyek dan NGAL/kreatinin urin dan proteinuria memiliki hubungan yang bermakna terhadap hiperfiltrasi glomerulus dini (p=0,029 dan p=0,025).
Kesimpulan: Disfungsi tubulus banyak ditemukan pada TDT remaja. Tidak terbukti hubungan rasio NGAL/kreatinin urin terhadap anemia pre-transfusi, status kelebihan besi, dan jenis kelasi besi. Pemeriksaan fungsi ginjal sebaiknya dilakukan secara rutin pada TDT remaja.

Background: Thalassemia is the most common hemoglobin disorder in Indonesia. Ineffective erythropoiesis and haemolysis result in anemia, accompanied by iron overload, and iron chelation toxicity can disrupt organ function, one of which is the kidneys.
Objective: To determine renal tubule function and its contributing factors in transfusion dependent thalassemia (TDT) adolescents.
Method: This is an analytical descriptive study in cross-sectional. Subjects were TDT adolescent aged 10-18 years who came to RSCM from December 2023 to January 2024. Subjects were excluded if they had a history of kidney disease, fever, symptoms of urinary tract infection, and received corticosteroids, trimethoprim, aminoglycosides or first generation cephalosporins within the last 1 week based on anamnesis and medical records. Informed consent was obtained from the parents and basic demographic data, anthropometric status measurements and blood pressure measurements were taken. Blood samples are taken before routine transfusions and first morning urine samples are taken to check kidney function.
Results: Of the 55 subjects, the gender proportion was 1:1 with a median age of 14 (10- 17) years. The median age at diagnosis was 24 (2-180) months. The majority of subjects were !-thalassemia (72.7%), while !-thalassemia/HbE was 27.3%. The nutritional status was normal 45.5%, wasting 34.5%, and severe wasting 20%. The types of iron chelation given included deferiprone (DFP) 61.8%, deferasirox (DFX) 29.1%, and combination (DFP and DFX) 7.3%, while 1 patient had no therapy. The mean hemoglobin level was 8.5 (SD 1.1) g/dL with a median ferritin value of 4,604.2 (753.86-30,472.67) ng/dL. The prevalence of renal tubular dysfunction is 96.3%, although the prevalence of decreased renal function is only 1.8%. The renal tubular function profile consisted of hyperuricosuria (94.5%), proteinuria (39.1%), increased urinary NGAL/creatinine (23.6%), hypercalciuria (21.8%), and hyperphosphaturia (20%). There is no correlation between the urine NGAL/creatinine ratio and pre-transfusion anemia, iron overload status, and type of iron chelation. Glomerular hyperfiltration occurred in 63.6% subjects and urinary NGAL/creatinine and proteinuria had a significant correlation to early glomerular hyperfiltration (p=0.029 and p=0.025).
Conclusion: Tubular dysfunction is often found in adolescent TDT. There is no relationship between the urine NGAL/creatinine ratio and pre-transfusion anemia, iron overload status, and type of iron chelation. Kidney function evaluation should be carried out routinely in adolescent TDT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Karina
"Chronic kidney disease adalah suatu kondisi kerusakan ginjal atau seseorang dengan nilai eGFR kurang dari 60 ml/min/1.73m2 pada setidaknya dua kali pemerikasaan klinis dengan rentang waktu 90 hari. Metode UUO merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk hewan uji model chronic kidney disease. Salah satu mekanisme UUO dalam menggambarkan kondisi CKD pada hewan uji adalah melalui pembentukan ROS secara molekuler. Ekstrak etanol daun binahong diketahui memiliki senyawa antioksidan berupa kuersetin yang dapat melindungi ginjal dari kerusakan. Penelitian tentang efek pemberian ekstrak etanol daun binahong pada tikus model UUO masih jarang diakukan. Tujuan dilakukan percobaan kali ini adalah membuat hewan model UUO dan mengetahui dosis optimum dari ekstrak etanol daun binahong berdasarkan nilai serum kreatinin. Hewan yang digunakan pada percobaan kali ini adalah tikus galur Sparague-dawley sebanyak 21 ekor yang dibagi kedalam 7 kelompok, yaitu kelompok normal, kontrol negatif, kontrol positif, kontrol pembanding, kelompok dosis 1, kelompok dosis 2, kelompok dosis 3. Parameter serum kreatinin diketahui setalah perlakuan UUO dan pemberian bahan uji dilakukan selama 14 hari. Dosis 150 mg/kg BB sebagi kelompok dosis 2 memiliki kemampuan yang optimum dalam mengurangi nilai serum kreatinin pada hewan model UUO.

Chronic kidney disease is a condition of kidney damage or someone with an eGFR value of less than 60 ml/min/1.73m2 at least twice the clinical examination with a span of 90 days. The UUO method is one method that can be used for animal models of chronic kidney disease. One mechanism of UUO in describing CKD conditions in test animals is through molecular formation of ROS. The ethanol extract of binahong leaves is known to have antioxidant compounds in the form of quercetin which can protect the kidneys from damage. Research on the effects of the administration of binahong leaf ethanol extract in UUO model mice is still rarely conducted. The purpose of this experiment is to make an animal model of UUO and find out the optimum dose of binahong leaf ethanol extract based on serum creatinine values. The animals used in this experiment were Sparague-Dawley strain rats with 21 animals divided into 7 groups, namely normal group, negative control, positive control, comparison control, dose group 1, dose group 2, dose group 3. Serum creatinine serum parameters it is known after the UUO treatment and the provision of test material carried out for 14 days. The dosage of 150 mg/kg body weight as group 2 has the optimum ability to reduce serum creatinine values in animal models of UUO."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Utami Susilowati
"Latar Belakang: Transplantasi ginjal telah menjadi pilihan utama terapi bagi pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir, baik yang berasal dari donor hidup maupun donor jenazah. Transplantasi ginjal memiliki risiko yang lebih rendah baik untuk mortalitas maupun kejadian kardiovaskular, serta memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan pasien yang menjalani dialisis kronis, baik hemodialisis maupun dialisis peritoneal. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasan transplantasi ginjal di RSUPN Ciptomangunkusumo tahun 2010-2017.
Metode: Penelitian Desain penelitian ini adalah kohort retrospekstif menggunakan data rekam medis pasien transplantasi ginjal. Sampel penelitian adalah resipien transplantasi ginjal ≥ 18 tahun di di RSUPN Ciptomangunkusumo tahun 2010-2017, yaitu sebanyak 548 pasien.
Hasil: penelitian probabilitas kesintasan resipien transplantasi ginjal selama pengamatan 5 tahun adalah 84,1% Hasil analisis dengan regresi cox menunjukkan bahwa resipien dengan donor yang berusia ≥ 40 tahun lebih cepat 1,487 kali untuk meninggal dibandingkan resipien dengan donor yang berusia < 40 tahun, resipien yang berusia ≥ 45 tahun lebih cepat 2,356 kali untuk meninggal dibandingkan pasien yang berusia <45 tahun, lama hemodialisis ≥ 24 bulan lebih cepat 2,356 kali untuk meninggal dibandingkan pasien yang lama hemodialisisnya < 24 bulan, skor charlson > 1 lebih cepat 2,861 kali untuk meninggal dibandingkan pasien yang skor charlson ≤ 1, resipien yang memiliki DM lebih cepat 2,947 kali untuk meninggal dibandingkan dengan yang tidak DM.
Simpulan: Kesintasan lima tahun di Indonesia cukup baik. Insiden kematian relatif tinggi, menyebabkan penurunan kelangsungan hidup pasien lima tahun. Namun, hasil keseluruhan masih sebanding dengan negara-negara berkembang lainnya.

Background: Kidney transplantation has become the main choice of therapy for patients with end-stage kidney disease, both from living donors and donor bodies. Kidney transplantation has a lower risk for both mortality and cardiovascular events, and has a better quality of life than patients who undergo chronic dialysis, both hemodialysis and peritoneal dialysis. This study aims to determine the factors that influence the survival of kidney transplants in Ciptomangunkusumo Hospital in 2010-2017.
Methods: A retrospective cohort study with total consecutive sampling is performed on all kidney transplant recipients in Cipto Mangunkusumo Hospital from March 2019 until May 2019. Data is acquired by analysing medical records and contacting patients directly. Each recipient is followed from the day of transplant until death or december 2018, whichever comes first. Five-year death and patient survival is documented. Kaplan-Meier Curve is used to describe patient survival until the end of study and analysis with Cox regression.
Result: which was as many as 548 patients. The results of this study indicate the probability of survival of kidney transplant recommendations during the 5-year observation was 84.1%. The results of the analysis with Cox regression showed that donors aged ≥ 40 years were 1,487 faster to die than recipients with donor aged <40 years, prescriptions aged ≥ 40 years 2,356 times faster to die than patients aged <40 years, duration of hemodialysis ≥ 24 months faster 2,356 times to die compared to patients with long hemodialysis <24 months, Charles score> 1 faster 2,861 times to die than patients who score charlson ≤ 1, the recipients who have DM are 2.97 times faster to die compared to those without DM.
Conclusions: The outcome of five-year death in Indonesia is very satisfactory. The incidence of death is relatively high, causing a decline in five-year patient survival. However, the overall results are still comparable to other developing countries.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53713
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Sirojul Millah
"Latar belakang: Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi dan mortalitas yang meningkat dalam tiga dekade terakhir. PGK dipicu oleh kerusakan sebagian nefron dan menyebabkan peningkatan beban kerja nefron lainnya. Proses ini memicu aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (SRAA) yang menyebabkan peningkatan tekanan kapiler glomerulus, stress oksidatif, dan mediator inflamasi sehingga berujung pada kerusakan nefron yang lebih luas. Angiotensin receptor blocker (ARB) sebagai obat penghambat SRAA yang telah menjadi lini pertama terapi PGK. Statin merupakan obat antihiperlipidemia yang memiliki efek antiinflamasi dan digunakan untuk mencegah komplikasi kardiovaskular pada PGK. Kerusakan ginjal pada PGK dapat diamati dengan adanya perubahan struktur histologis pada glomerulus dan tubulus ginjal. Belum banyak penelitian yang membahas pengaruh ARB dan statin terhadap perbaikan PGK ditinjau dari perbaikan histologi glomerulus dan tubulus nefron ginjal.
Tujuan: Menganalisis pengaruh pemberian ARB dan statin terhadap histopatologi ginjal tikus model PGK dengan 5/6 nefrektomi (5/6 Nx).
Metode: Penelitian ini melakukan uji eksperimental dengan menggunakan bahan biologis tersimpan ginjal tikus Sprague-Dawley untuk melihat pengaruh ARB, statin, dan kombinasi ARB + statin pada hipertrofi glomerulus dan kerusakan tubulus ginjal tikus PGK dengan 5/6 Nx. Sediaan histologi menggunakan pewarnaan H&E dan dilakukan pengamatan terhadap diameter glomerulus dan tubular injury score. Analisis data menggunakan SPSS dengan uji anova satu arah dan post hoc bonferroni untuk diameter glomerulus dan uji Kruskal-Wallis dengan post hoc Mann-Whitney untuk tubular injury score.
Hasil: Pada pengukuran diameter glomerulus, hasil menunjukkan bahwa kelompok 5/6 Nx mempunyai diameter glomerulus yang lebih besar signifikan dibanding kelompok lainnya. Kelompok ARB, statin, dan kombinasi ARB + statin menunjukan diameter glomerulus yang lebih kecil secara signifikan dibandingkan kelompok 5/6 Nx. Tidak ada perbedaan signifikan antar kelompok pemberian obat. Kombinasi ARB+statin memiliki skor tubular injury lebih kecil signifikan dibandingkan kelompok 5/6 Nx. Monoterapi ARB atau statin menunjukkan tren lebih kecil pada skor tubular injury dibandingkan 5/6 Nx namun tidak signifikan secara statistik.
Kesimpulan: Kombinasi Angiotensin receptor blocker dan statin dapat menghambat kerusakan histologi ginjal tikus model penyakit ginjal kronis dengan 5/6 nefrektomi.

Background: Chronic kidney disease (CKD) is a global health problem with increased prevalence and mortality in the last three decades. CKD is started by damage of nephrons that causes an increase in the workload of the remaining nephrons. This process triggers activation of the renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS) which causes increased glomerular capillary pressure, oxidative stress, and inflammatory mediators, leading to more extensive nephrons damage. Angiotensin receptor blocker (ARB) as an inhibitor of RAAS has become the first line of CKD therapy. Statins are antihyperlipidemic drugs that have anti-inflammatory effects and are used to prevent cardiovascular complications in CKD. Renal damage in CKD can be observed with changes in the histological structure of the glomerulus and renal tubules. However, there are few studies that discuss the effect of ARBs and statins on the improvement of CKD in terms of the histology of glomerular and tubular renal nephrons.
Aim: Analyzing the effect of ARB and statin administration on kidney histopathology of CKD-model rats with 5/6 nephrectomy (5/6 Nx).
Method: This study is an experimental study using stored biological material of Sprague-Dawley rat kidney. This study want to see the effect of ARB, statin, and ARB + statin combination on glomerular hypertrophy and renal tubular damage in CKD rats with 5/6 Nx. Histology slides are stained with H&E staining and glomerular diameter and tubular injury score are observed. Data analysis using SPSS with one-way ANOVA test and bonferroni hoc post test for glomerular diameter and with Kruskal-Wallis test and Mann-Whitney post hoc test for tubular injury score.
Result: in comparison with control, the 5/6 Nx group significantly had a larger glomerular diameter. The ARB, statin, and combination groups showed significantly smaller glomerular diameter than the 5/6 Nx group. There were no significant differences between the drug administration groups. The ARB + statin combination group significantly had a smaller tubular injury scores compared to the 5/6 Nx group. ARB or statin monotherapy groups showed a smaller tubular injury scores compared to 5/6 Nx but was not statistically significant.
Conclusion: The combination of angiotensin receptor bocker and statin inhibit renal histological damage in chronic kidney disease rat model with 5/6 nephrectomy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Yura Addina
"Latar belakang: Kanker payudara merupakan kanker tersering dengan mortalitas kematian kelima tertinggi di dunia. Tamoksifen, terapi hormon lini pertama kanker payudara ditemukan kasus resisten pada sel kanker dengan ekspresi c-myc yang tinggi. C-myc adalah faktor transkripsi yang menginduksi proliferasi, diferensiasi, serta metastasis sel kanker. Penelitian terbaru telah menemukan lunasin, protein dari ekstrak kedelai yang dinilai memiliki berbagai efek antikanker. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah lunasin dapat menurunkan ekspresi protein c-myc pada sel kanker payudara. Metode: Desain penelitian adalah true-experimental laboratorium dengan sampel preparat jaringan kanker payudara tikus tersimpan. Kelompok sediaan terdiri kelompok normal, kontrol negatif, kontrol positif, terapi kombinasi (lunasin dan tamoksifen) dan lunasin. Jaringan diwarnai secara imunohistokimia dengan diaminobenzinidie (DAB) dan antibodi anti-c-myc. Sediaan dipotret dengan mikroskop cahaya perbesaran 400 kali sebanyak 5 lapang pandang secara acak. Hasil berupa H-score ekspresi c-myc yang dihitung menggunakan software ImageJ dengan plugin immunohistochemistry (IHC) Profiler. Hasil: Kelompok dengan indeks H-score tertinggi berurutan adalah kontrol negatif (174), terapi tamoksifen, (149,4), terapi lunasin (146,6), kombinasi (138,6), dan normal (129,4). Ekspresi c-myc pada seluruh kelompok berbeda signifikan dibandingkan dengan kontrol negatif. Perbandingan setiap dua kelompok juga berbeda signifikan kecuali antara kelompok kontrol positif dengan lunasin. Kesimpulan: Lunasin dari ekstrak kedelai menghambat ekspresi protein c-myc pada sel kanker payudara tikus yang diinduksi DMBA. Lunasin dan tamoksifen masing-masing mampu menurunkan ekspresi protein c-myc. Terapi kombinasi lunasin dan tamoksifen paling efektif menurunkan ekspresi c-myc sel kanker payudara

Introduction: Breast cancer is the most prevalent and the fifth leading cause of death in the world. Tamoxifen, the first-line hormone therapy, which is found to be resistant to breast cancer cells with high c-myc expression. C-myc is a transcription factor that induces the proliferation, differentiation, and metastasis of cancer cells. Recent research has discovered lunasin, protein derived from soybean extract that have anticancer activities. The aim of this study was to determine whether lunasin can reduce c-myc protein expression in breast cancer. Method: The study design is a true-experimental laboratory with stored rat breast cancer tissue samples. The group was consisted of normal group, negative control, positive control, combination therapy (lunasin and tamoxifen) and lunasin. Tissues were stained with anti-c-myc adnd was photographed with a light microscope equipped with a 400x magnification camera with 5 fields of view at random. The result is an H-score of c-myc expression which is calculated using Image J software with the immunohistochemistry profiler plugin. Result: The groups with the highest H-score value to the lowest, respectively, are negative control (174), positive control (149,4), lunasin therapy (146,6), combination therapy (138,6), and normal (129,4). The C-myc expression in all groups is significantly different compared to the negative control. Conclusion: Lunasin inhibits the expression of c-myc protein in DMBA-induced rat breast cancer. Lunasin and tamoxifen are each able to reduce c-myc expression. The most effective way to reduce c-myc expression on breast cancer cells is combination therapy (lunasin and tamoxifen)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boediono
"Dengan meningkatnya kasus kecelakaan lalu lintas, makin meningkat pula korban yang datang ke Instalasi Gawat Darurat.Bila a kita lihat laporan dari kepolisian yang menyebutkan jumlah kecelakaan lalu lintas dari bulan Januari 1985 sampai dengan Maret 1986 di daerah DKI Jakarta Raya sebesar 8.641 kasus yang menghasilkan korban sebesar 8.560 baik luka ringan, berat, ataupun korban meninggal, maka trauma tumpul ginjal yang merupakan bagian dari trauma tumpul secara keseluruhan akan cukup tinggi juga angkanya [2]. Sebagai gambaran j uml ah trauma tumpul ginjal di RSCM selama tahun 1984 dan 1985 sejumlah 42 kasus [13], tahun 1986 sejumlah 41 kasus, sedangkan tahun 1987 terdapat 52 kasus.
Untuk menegakkan diagnosis trauma tumpul ginjal selain di pert ukan pemeriksaan fisik yang cermat di perlukan juga pemeriksaan pembantu berupa laboratorium terutama sedimen urine dan pemeriksaan radiologi yang sangat penting artinya. PETERSON dan SCHULZE (1986) menyebutkan bahwa suatu yang mahal dan menunda waktu saja bila melakukan pemeriksaan radiologis secara menyeluruh pada kasus-kasus trauma dengan hematuria [II].
MAKSUD DAN TUJUAN, Maksud tulisan ini adalah meninjau beberapa kepustakaan tentang trauma tumpul ginjal, mengevaluasi gejala klinis hematuria baik secara mikro ataupun gross dengan tanda syok ataupun tidak yang mengikuti trauma tumpul ginjal di RSCM selama tahun 1987 dengan tujuan mencari hubungan antara kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan BNO-IVP dan derajat cedera ginjal yang terjadi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T860
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>