Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 107089 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Evan Tonggo Palito
"Peradilan koneksitas merupakan prosedur beracara yang aturan dasarnya tercantum pada Pasal 89 s.d. 94 KUHAP jo. Pasal 198 s.d. 203 UU Peradilan Militer. Berdasarkan aturan dasar tersebut diketahui bahwa dalam mengadili perkara pidana koneksitas haruslah diadili bersama-sama di pengadilan di bawah badan peradilan umum atau badan peradilan militer. Penelitian ini akan membahas mengenai bentuk pelaksanaannya pada masa kini yang mana dalam mengadili perkara pidana koneksitas para penegak hukum memilih untuk memisahkan berkas perkara (Splitsing) yang akibatnya para terdakwa diperiksa dan diadili di pengadilan sesuai yurisdiksi yang berlaku pada masing-masing terdakwa. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif serta dengan melakukan wawancara pada narasumber. Adapun pertanyaan penelitian dalam topik ini ialah bagaimana penyelesaian perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama oleh anggota masyarakat sipil dan anggota militer serta bagaimana kewenangan pengadilan Tipikor dalam mengadili tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh anggota militer. Hasil dari penelitian ini, menyimpulkan bahwa dalam mengadili perkara koneksitas dilakukan secara terpisah (Splitsing) untuk menjamin kesederhanaan, cepat dalam proses persidangan serta menjamin kepastian hukum. Serta menegaskan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak memiliki kewenangan mengadili tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh anggota militer.

Connectivity trial is a procedural procedure whose basic rules are contained in Articles 89 to 94 of the Criminal Procedure Code jo. Articles 198 to 203 of the Military Court Law. Based on these basic rules, it is known that in adjudicating criminal cases, the connection must be tried together in courts under the general judiciary or military courts. This thesis will discuss the current form of implementation which in adjudicating criminal cases of connectivity, law enforcers choose to separate the case files (Splitting) which results in the defendants being examined and tried in courts according to the jurisdiction that applies to each defendant. This study uses a normative juridical method as well as by conducting interviews with informants. The research questions in this topic are how to resolve cases of criminal acts of corruption carried out jointly by members of civil society and members of the military and how the authority of the Corruption Court in adjudicating corruption crimes committed by members of the military. The results of this study conclude that in adjudicating connectivity cases, they are carried out separately (Splitting) to ensure simplicity, speed in the trial process and guarantee legal certainty and emphasize that the Corruption Court does not have the authority to adjudicate corruption crimes committed by members of the military."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa karena dapat mengguncang kestabilan sosial politik di pemerintahan. Kendati lanjutan pemberantasan korupsi sangat tinggi, faktanya penegak hukum belum mampu menghapuskan korupsi. Beberapa ktor korupsi, motifnya korupsinya bersumber pada wewenang yang dimiliki. Tulisan ini berfokus pada situasi dimana pejabat publik tersangka korupsi dituduh melakukan kejahatan karena kuasa diskresinya. Hal ini karena korupsi yang dituduhkan kepadanya merupakan konsekuensi dari wewenang pengambilan keputusan. Terperangkap oleh kuasa diskresinya, kategori tertuduh semacam ini dikenai dakwaan korupsi meski uang atau fasilitas yang diperoleh tidak dinikmati secara pribadi."
MIMBAR 28:2 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Hartanti
Jakarta: Sinar Grafika, 2007
345.023 EVI t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal Putra Sabila
"Hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil harus dipenuhi dalam melaksanakan penegakan hukum di Indonesia sehingga aparat penegak hukum tidak boleh melanggar hak siapapun dalam menjalankan kewenangannya. Salah satu metode yang melanggar hak seseorang adalah metode penjebakan dalam tindak pidana korupsi. Metode penjebakan dalam tindak pidana korupsi tidak memiliki ketentuan dalam ketentuan khusus tindak pidana korupsi dan metode tersebut melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sehingga pertimbangan seorang hakim diharapkan dapat menilai metode tersebut dengan cermat. Metode penjebakan ditemui dalam putusan Nomor 03/PID.B /TPK/2005/PN. JKT.PST dan Nomor 34/Pid.Sus-TPK/2020/PN. Bdg disertai dengan pertimbangan hakim yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini akan menganalisis mengenai pertimbangan hakim pada kedua kasus tersebut terhadap pelaksanaan metode penjebakan dalam tindak pidana korupsi.

The right to obtain fair legal certainty must be ensured in the enforcement of law so the officials must not violate anyone's rights in carrying out their authority. One method that violates an individual's rights is the entrapment method in corruption offenses. The entrapment method in corruption offenses is unregulated for specific provisions of corruption offenses, and this method violates the rules stipulated in Article 28D of the UUD RI 1945, thus requiring a judge's careful assessment of such a method. The entrapment method found in the verdict with Case Number 03/PID.B/TPK/2005/PN. JKT.PST and Case Number 34/Pid.Sus-TPK/2020/PN. Bdg, accompanied by different considerations from the judges. Based on these issues, this paper will analyze the judges' considerations regarding implementation of entrapment method in corruption offenses."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Samudera
Jakarta: Departemen hukum dan hak asasi manusia RI, 2008
345.023 TEG a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Mahmud
Jakarta: Sinar Grafika, 2020
345.023 ADE p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Janathul Firdaus Tirtayasa
"ABSTRAK
Saat ini korupsi di Indonesia tidak hanya terjadi dalam lingkungan sipil, melainkan juga sudah masuk ke dalam lingkungan militer, yang melibatkan para prajurit TNI. Permasalahannya adalah pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi belum dapat dilaksanakan secara optimal. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan mengkaji pengaturan mengenai tindak pidana korupsi, TNI, peradilan militer serta peradilan umum. Konsep Peradilan Koneksitas yang tidak optimal dijalankan, penegakan hukum yang menjadi permasalahan di institusi militer serta posisi peradilan militer yang tidak independen membuat perdebatan bagaimana peradilan militer masih relevan dijalankan untuk penyelesaian tindak pidana korupsi yang dilakukan anggota militer. Adanya TAP MPR No. VII/2000 dan UU No.34 Tahun 2004 yang menetapkan anggota militer yang melakukan tindak pidana korupsi akan diselesaikan di pengadilan tindak pidana korupsi belum dapat dijalankan apabila belum ada UU Peradilan Militer yang baru.

ABSTRACT
Currently, corruption in Indonesia does not only occur in the civil environment, but also has entered into the military environment, involving TNI soldiers. The problem is that the eradication of corruption is not optimally implented. The method used is normative legal research by reviewing the regulation on corruption, TNI, military justice and general justice. The concept of unfairly executed Justice Connection, law enforcement that is a problem in military institutions and the position of an independent military court makes debate on how military justice is still relevant for the settlement of criminal acts of corruption committed by members of the military. The existence of MPR Decree No. VII 2000 and Law No.34 of 2004 which stipulates that members of the military who commit corruption will be resolved in the court of corruption can not be executed if there is no new Military Justice Act. "
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T50264
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Direktorat Jendral Hukum, 1983
345.023 TER
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Syskia Dannia
"Dalam kasus tindak pidana korupsi yang diajukan ke pengadilan, dakwaannya kerapkali menyangkut penyertaan (deelneming) khususnya mengenai turut serta melakukan (medeplegen). Adanya perbedaan pendapat tentang konsep pengertian dan makna ajaran turut serta melakukan (medeplegen) yang tidak dijelaskan pengertiannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, telah menimbulkan perbedaan penafsiran oleh pakar, jaksa, hakim dan advokat dalam penerapannya, sehingga mengakibatkan putusan hakim berbeda-beda dalam kasus yang sama.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memperoleh gambaran tentang persyaratan yang harus dipenuhi untuk adanya turut serta melakukan (medepl.egen) dalam suatu tindak pidana serta tentang dapat tidaknya seseorang yang tidak memiliki kedudukan atau kualitas tertentu sebagai pelaku peserta.Dalam beberapa kasus terlihat bahwa Majelis hakim memutuskan tidak sesuai dengan konsep dan pengertian ajaran turut serta (niedeplegen) karena bagaimana mungkin seorang pelaku peserta terbukti melakukan perbuatan turut serta melakukan perbuatan korupsi dengan orang yang telah dilepas dari segala tuntutan hukum. Oleh karena itu nyatalah di sini bahwa semua pelaku peserta melakukan (medeplegers) harus diadili sekaligus agar tidak terjadi putusan yang saling bertentangan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16598
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Beban pembuktian adalah bagian dalam sistem hukum pembuktian. Hukum pembuktian tindak pidana
korupsi mengenal system beban pembuktian terbalik. Pertama, mengenai pembuktian tindak pidananya.
Namun terbatas pada tindak pidana menerima suap gratifikasi yang nilainya Rp 10 miliar atau lebih
[Pasal 12B (1a)]. Kedua, mengenai harta benda terdakwa yang belum didakwakan (Pasal 38B). Tidak
banyak manfaatnya untuk membuktikan tindak pidana selain kedua objek tersebut. Untuk membuktikan
tindak pidana korupsi selain yang disebutlkan pertama, menggunakan sistem biasa ialah dibebankan
pada jaksa. Dalam praktik dapat menimbulkan persoalan, yakni pertentangan antara hasil pembuktian
beban pembuktian terbalik antara objek yang pertama dan yang kedua. "
340 ARENA 6:3 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>