Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 167206 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kelly Nagaruda
"Paparan terhadap polutan, terutama asap rokok merupakan penyebab peradangan saluran napas kronis pada PPOK. Pada penelitian sebelumnya, piroksikam terbukti menghambat aktivasi neutrofil dan mengurangi pelepasan anion superoksida dari neutrofil melalui ikatannya dengan formyl peptide receptor (FPR) secara in vitro. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis efek antagonis FPR1 piroksikam secara in vivo terhadap parameter hematologi dan red blood’s cell distribution width (RDW). Penelitian ini menggunakan mencit betina ddY. Mencit diinduksi dengan asap rokok selama delapan minggu. Mencit yang sudah mengalami PPOK dibagi menjadi enam kelompok. Kelompok negatif diberi CMC-Na 0,5% secara oral, kelompok positif diberikan inhalasi budesonid 0,002mg/20gBB mencit/hari, serta tiga kelompok variasi dosis piroksikam dengan D1 0,026mg/20gBB mencit/hari; D2 0,052mg/20gBB mencit/hari; dan D3 0,104mg/20gBB mencit/hari secara oral. Mencit diinduksi selama delapan minggu, lalu diberikan perlakuan selama 21 hari. Parameter yang dinilai adalah hematologi serta red blood cell’s distribution width (RDW) yang diukur menggunakan hematology analyzer. Dosis 0,026mg/20gBB dan 0,104mg/20gBB memiliki efek terhadap parameter hematologi. Dosis 0,026mg/20gBB, 0,052mg/20gBB, dan 0,104mg/20gBB dapat menurunkan RDW. Berdasarkan penelitian, piroksikam memiliki efek terhadap parameter hematologi dan dapat menurunkan red blood cell’s distribution width (RDW).

Exposure to pollutants, especially cigarette smoke, is a cause of chronic airway inflammation in COPD. In a previous study, piroxicam was found to inhibit neutrophil activation and reduce the release of superoxide anion from neutrophils by binding to formyl peptide receptor (FPR) in vitro. This study was conducted to analyze the effect of the FPR1 antagonist piroxicam in vivo on hematological parameters and red blood's cell distribution width (RDW). This study used female DDY mice. Mice were induced with cigarette smoke for eight weeks. COPD Mice were divided into six groups. The negative group was given CMC-Na 0,5% orally, the positive group was given inhaled budesonide 0,002mg/20gBW mice/day, and the three variation dose groups of piroxicam with D1 0.026mg/20gBW mice/day; D2 0,052mg/20gBW mice/day; and D3 0,104mg/20gBW mice/day orally. Mice were induced for eight weeks, then given treatment for 21 days. The parameters assessed were hematology and red blood cell's distribution width (RDW) which was measured using a hematology analyzer. Doses 0.026mg/20gBW and 0.104mg/20gBW of piroxicam affect hematological parameters. Doses 0.026mg/20gBW, 0.052mg/20gBW, and 0.104mg/20gBW of piroxicam are able to reduce RDW. The results showed that piroxicam affects hematological parameters and reduces red blood cell’s distribution width (RDW).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atikah Yunda Setyowati
"Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara akibat dari kombinasi dua penyakit pernapasan, yaitu bronkitis kronis dan emfisema. Pada penelitian sebelumnya ditemukan bahwa piroksikam mengikat reseptor formil peptida-1 (FPR-1) untuk menghambat aktivasi neutrofil dan mengurangi pelepasan anion superoksida dari neutrofil yang diinduksi N-Formil-L-metionin-L-leusil-L-fenilalanin (fMLF) secara in vitro. Pada penelitian ini, dilakukan eksperimen secara in vivo pada antagonis FPR-1 yaitu piroksikam terhadap histologi paru. Penelitian ini menggunakan mencit betina DDY yang dibagi menjadi 6 kelompok: kontrol dan kontrol negatif yang diberikan CMC Na 0,5% secara oral, kontrol positif diberikan inhalasi budesonid 1mg/kg BB/hari, serta 3 kelompok variasi dosis piroksikam 0,026mg/20gBB mencit/hari; 0,052mg/20gBB mencit/hari; 0,104mg/20gBB mencit/hari secara oral. Mencit dipaparkan asap rokok (6 batang rokok/hari selama 8 minggu), kemudian diobati baik dengan piroksikam atau budesonid selama 3 minggu. Dalam studi histologi, dilakukan pewarnaan Periodic acid–Schiff (PAS) dan masson’s trichrome. Berdasarkan penelitian, Dosis 0,026mg/20gBB piroksikam memberikan perbedaan bermakna pada penebalan dinding bronkus (p<0,05). Dosis 0,026mg/20gBB piroksikam memberikan perbedaan bermakna pada jumlah sel goblet (p<0,05). Dosis 0,104mg/20gBB piroksikam memberikan perbedaan bermakna pada proporsi fibrosis (p<0,05). Berdasarkan hasil penelitian, aktivitas anti-inflamasi piroksikam dapat dikaitkan dengan penurunan penebalan dinding bronkus, jumlah sel goblet, dan proporsi fibrosis.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is given by the symptoms of airway limitation of two respiratory disease, chronic bronchitis and emphysema. On the previous experiment found that piroxicam binds to formyl peptide receptor-1 (FPR-1) to inhibit neutrophil activation and reduce superoxide anion that released from neutrophil induced by N-Formyl-L-methionyl-L-leucyl-L-phenylalanine (fMLF) with in vitro method. In this study, in vivo experiments were conducted on the FPR-1 antagonist piroxicam on lung histology. This experiment is done by using female DDY mice, divided into 6 different groups: control and negative control were given CMC Na 0,5% orally, positive control was given 1mg/kg BW/day of budesonide inhalation, and three variation dose groups of piroxicam 0,026mg/20gBW mice/day; 0,052mg/20gBW mice/day; 0,104mg/20gBW mice/day orally. Mouse were exposed to CS (6 cigarettes/day for 8 weeks), then treated with piroxicam either budesonide for 3 weeks. In lung histological studies, Masson’s trichrome and Periodic acid–Schiff (PAS) staining were performed. Doses 0,026mg/20gBW piroxicam significantly reduced bronchial wall thickening (p<0,05). Doses 0,026mg/20gBW piroxicam significantly reduced number of goblet cells (p<0,05). Doses 0,104mg/20gBW piroxicam significantly reduced fibrosis proportion (p<0,05). Based on this result, the anti-inflammation activity of piroxicam may be attributed to the reduction of bronchial wall thickening, number of goblet cells, and fibrosis proportion."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niko Rianda Putra
"[Particulate Matter (PM) terutama partikel <2,5 μg/m3 atau PM2.5, adalah
komponen utama yang terkandung dalam asap dari bahan bakar biomassa. Efek
yang terkait dengan paparan jangka panjang PM2,5 meliputi peningkatan gejala
pernapasan bagian bawah, penyakit paru obstruktif kronik dan penurunan fungsi
paru. Salah satu pengguna bahan bakar biomassa yang cukup tinggi di Sumatera
Barat adalah usaha rumah makan, tujuan dari penelitian ini menganalisis asosiasi
faktor lingkungan dengan konsentrasi PM2,5 pada waktu masak di dapur rumah
makan Kota Solok dan menganalisis konsentrasi PM2,5 pada waktu masak dengan
fungsi paru pekerja dapur rumah makan. Penelitian ini adalah penelitian dekriptif
analitik dengan menggunakan desain studi cross-sectional, dengan jumlah sampel
adalah 71 orang (total sampling). Analisis multivariat hubungan faktor lingkungan
dengan PM2,5 pada waktu masak didapatkan hubungan signifikan ventilasi OR:
5,655 (95% CI: 0,780 ? 40,994) dan lama waktu masak OR: 12,013, (CI: 1,113 ?
129,714). Analisis multivariat hubungan PM2,5 pada waktu masak dengan
gangguan fungsi paru, yaitu PM2,5 OR: 3,60 (CI: 95%, 0,921 ? 14,072), Umur
OR: 1,443, (CI 95%, 0,380 ? 5,477), dan masa kerja OR: 13,854, (95% CI: 3,283
? 58,388). Terdapat hubungan bermakna antara faktor lingkungan dengan
konsentrasi PM2,5 pada waktu masak yaitu variabel lama masak dan ventilasi.
Sedangkan untuk konsentrasi PM2,5 pada waktu masak ada hubungan yang
bermakna dengan gangguan fungsi paru pekerja dapur dengan dikontrol oleh
umur dan masa kerja;Particulate Matter (PM), particularly inhalable particulate ( <2,5 μm), is
the main components in biomass emission. Long term exopusre of PM2,5 had
been proved to increase lower respiratory disorder, chronic obtructive pulmonary
disease (COPD), and decrease lung function. Padang Restaurant is one of the
main user of biomass fuel in west sumatera. The aim of this research was to
analize the association of PM2,5 concentration during cooking and lung function
disorder among restaurant kitchen workers. This was a cross-sectional study with
71 workers were included. There was a significant association between PM2,5
and ventilation OR: 5,655 (95% CI: 0,780 ? 40,994) and cooking duration OR:
12,013, (CI: 1,113 ? 129,714). Multivariate analysis between PM2,5 and lung
function disorder showed significant association, PM2,5 OR: 3,60 (CI: 95%, 0,921
? 14,072), age OR: 1,443, (CI 95%, 0,380 ? 5,477), and working duration
OR: 13,854, (95% CI: 3,283 ? 58,388). There was a significant association
between environmental factors (ventilation and cooking duration) and PM2,5
concentration during cooking. Meanwhile PM2,5 concentration and lung fuction
showed significant association after controled by age and working duration., Particulate Matter (PM), particularly inhalable particulate ( <2,5 μm), is
the main components in biomass emission. Long term exopusre of PM2,5 had
been proved to increase lower respiratory disorder, chronic obtructive pulmonary
disease (COPD), and decrease lung function. Padang Restaurant is one of the
main user of biomass fuel in west sumatera. The aim of this research was to
analize the association of PM2,5 concentration during cooking and lung function
disorder among restaurant kitchen workers. This was a cross-sectional study with
71 workers were included. There was a significant association between PM2,5
and ventilation OR: 5,655 (95% CI: 0,780 – 40,994) and cooking duration OR:
12,013, (CI: 1,113 – 129,714). Multivariate analysis between PM2,5 and lung
function disorder showed significant association, PM2,5 OR: 3,60 (CI: 95%, 0,921
– 14,072), age OR: 1,443, (CI 95%, 0,380 – 5,477), and working duration
OR: 13,854, (95% CI: 3,283 – 58,388). There was a significant association
between environmental factors (ventilation and cooking duration) and PM2,5
concentration during cooking. Meanwhile PM2,5 concentration and lung fuction
showed significant association after controled by age and working duration.]"
2015
T43637
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kanne, Jeffrey P., editor
"Diagnostic imaging is an essential component in the evaluation of the patient with known or suspected respiratory tract disease. While chest radiography continues to serve as the primary tool for imaging the chest, advances in computed tomography (CT) have led to a variety of applications such as high-resolution CT (HRCT), advanced 3-D airway imaging, and image-guided procedures.
The aim of this book is to deliver a clinically-oriented approach to pulmonary imaging. Each chapter of the book will provide an organized approach to the different facets of imaging of specific clinical scenarios, focusing on strengths and weaknesses of available imaging tests. High quality examples of typical imaging findings of specific conditions will supplement the text.
The target readers include practicing internists, pulmonologists, thoracic surgeons, and primary care practitioners. Other readers will include respiratory care therapists and medical students. The proposed cohort of authors represents experts in the field of thoracic radiology. These authors have experience in thoracic radiology and medical writing, each will deliver a high-quality chapter meeting the aims and scope of this book while addressing the target audience. Aside from the first three chapters, which are introductory materials, each author will be invited to select a clinician with whom they work closely to serve as a co-author in order to provide a chapter that maintains the clinical orientation of this book."
New York: Springer, 2012
e20425873
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Dhela Amelia Nugroho
"Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan penyakit paru-paru kronis progresif yang menyebabkan sesak napas dan mengancam nyawa. PPOK tidak dapat diobati, namun gejalanya dapat ditangani dan mengurangi risiko kematian. PPOK merupakan salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia, yang menyebabkan sebanyak 3,17 juta kematian secara global pada tahun 2015 dan diestimasikan akan menjadi penyakit tiga teratas yang menyebabkan kematian di seluruh dunia pada tahun 2030. PPOK juga merupakan salah satu penyebab kematian utama semua kelompok usia di Indonesia pada tahun 2014 dengan persentase sebesar 4,9%. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko, salah satunya adalah pencemaran udara partikulat. DKI Jakarta merupakan salah satu wilayah dengan udara tercemar di Indonesia dengan Jakarta Pusat sebagai kota yang memiliki jumlah parameter kritikal PM2.5 dan PM10 terbanyak dibandingkan dengan kota Jakarta lainnya. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kualitas udara ambien (PM2.5 dan PM10), Faktor Individu, dan Faktor Meteorologi dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) di Jakarta Pusat tahun 2018-2020. Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi berdasarkan waktu (time trend). Hasil studi menunjukkan adanya korelasi yang lemah dengan pola positif antara konsentrasi PM2.5, PM10, dan suhu udara dengan kejadian PPOK di Jakarta Pusat tahun 2018-2020 (r= 0,172, r= 0,056, r= 0,147). Hubungan korelasi yang lemah dengan pola negatif antara kelembaban udara dengan kejadian PPOK di Jakarta Pusat tahun 2018-2020 (r= - 0,248). Hubungan korelasi yang kuat dengan pola positif antara usia ≤ 44 tahun dan jenis kelamin perempuan dengan kejadian PPOK di Jakarta Pusat tahun 2018-2020 (r= 0,534, r= 0,738). Hubungan korelasi yang kuat atau sempurna dengan pola positif antara usia 45-59 tahun, usia > 59 tahun, dan jenis kelamin laki-laki dengan kejadian PPOK di Jakarta Pusat tahun 2018-2020 (r= 0,882, r= 0,958, r= 0,897). Pada penelitian ini hanya ditemukan hubungan yang signifikan antara usia ≤ 44 tahun (p= 0,001), usia 45-59 tahun (p= 0,000), usia >59 tahun (p= 0,000), jenis kelamin laki-laki (p= 0,000), dan jenis kelamin perempuan (p= 0,000) dengan kejadian PPOK di Jakarta Pusat tahun 2018-2020.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a progressive chronic lung disease that causes shortness of breath and is life threatening. COPD cannot be treated, but symptoms can be managed and reduce the risk of death. COPD is one of the leading causes of death worldwide, causing 3.17 million deaths globally in 2015 and it is estimated that it will become the top three disease causing death worldwide by 2030. COPD is also one of the leading causes of death for all age group in Indonesia in 2014 with a percentage of 4.9%. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) can be influenced by various risk factors, one of which is particulate matter. DKI Jakarta is one of the areas with air pollution in Indonesia with Central Jakarta as the city that has the highest PM2.5 and PM10 pollution compared to other Jakarta administrative cities. In general, this study aims to determine the correlation between ambient air quality (PM2.5 and PM10), Individual Factors, and Meteorological Factors with Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) in Central Jakarta in 2018-2020. This research uses an ecological study design based on time (time trend). The results of the study show a weak correlation with a positive pattern between concentrations of PM2.5, PM10, and air temperature with the incidence of COPD in Central Jakarta in 2018-2020 (r= 0.172, r= 0.056, r= 0.147). Weak correlation with a negative pattern between relative humidity and the incidence of COPD in Central Jakarta in 2018-2020 (r= - 0.248). a strong correlation with a positive pattern between the age of ≤ 44 years and female with the incidence of COPD in Central Jakarta in 2018-2020 (r = 0.534, r = 0.738). a strong or perfect correlation with a positive pattern between the age of 45-59 years, age > 59 years, and male with the incidence of COPD in Central Jakarta in 2018-2020 (r = 0.882, r = 0.958, r = 0.897). In this study age ≤ 44 years (p = 0.001), age 45-59 years (p = 0.000), age >59 years (p = 0.000), male (p = 0.000), and female (p= 0.000) were significantly correlated with the incidence of COPD in Central Jakarta in 2018-2020."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marscha Iradyta Ais
"Latar Belakang: Jumlah kasus KPKBSK diperkirakan 85% dari seluruh kasus kanker paru dan 40% diantaranya adalah jenis adenokarsinoma. Sebanyak 10%-30% pasien adenokarsinoma mengalami mutasi EGFR dan mendapatkan terapi EGFR-TKI. Mayoritas pasien KPKBSK memiliki respons dan toleransi baik terhadap terapi EGFR- TKI tetapi sebagian kecil pasien mengalami penyakit paru interstisial akibat EGFR- TKI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi gambaran penyakit paru interstisial pada pasien KPKBSK dengan terapi EGFR-TKI di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendeketan kohort retrospektif yang dilakukan bulan Januari 2021 hingga Juni 2022. Subjek penelitian adalah pasien KPKBSK yang mendapatkan terapi EGFR-TKI. Subjek penelitian dipilih sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan data melalu data sekunder berupa rekam medis dan hasil CT scan toraks pasien yang kontrol di poliklinik onkologi RSUP Persahabatan.
Hasil: Pada penelitian ini diperoleh 73 subjek penelitian, pasien KPKBSK dengan mutasi EGFR yang mendapatkan terapi EGFR-TKI di RSUP Persahabatan. Sebanyak 12 dari 73 subjek penelitian mengalami gambaran ILD yang dievaluasi berdasarkan CT scan toraks RECIST I dan II dengan karakteristik jenis kelamin laki-laki (22,2%), kelompok usia 40-59 tahun (19,4%), perokok (24,1%), indeks brinkman berat (42,9%) dan mendapatkan terapi afatinib (26,1%). Proporsi gambaran ILD pada pasien KBPKBSK dengan terapi EGFR-TKI adalah opasitas retikular (58,3%), parenchymal band (33,3%), ground-glass opacities (25%), traction bronchiectasis (25%) dan crazy paving pattern (8,3%). Hasil analisis bivariat dan multivariat menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara faktor-faktor seperti jenis kelamin, usia, jenis EGFR-TKI, riwayat merokok, indeks brinkman, riwayat penyakit paru dan tampilan status terhadap gambaran ILD.
Kesimpulan: Gambaran ILD pada pasien KPKBSK dengan terapi EGFR-TKI meliputi opasitas retikular, parenchymal band, ground-glass opacities, traction bronchiectasis dan crazy paving pattern. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara faktor-faktor yang memengaruhi terhadap gambaran ILD.

Background: The number of cases of NSCLC is estimated around 85% of all lung cancer cases and 40% among them are adenocarcinoma. Approximately 10%-30% of adenocarcinoma patients have EGFR mutations and receive EGFR-TKI therapy. The majority of NSCLC patients have a good response and tolerance to EGFR-TKI therapy, but a small group of patients experience EGFR-TKI induced interstitial lung disease. This study aims to determine the proportion of features of interstitial lung disease ini NSCLC patients treated with EGFR-TKI at Persahabatan Hospital.
Methods: This study was an analytic observational with a retrospective cohort approach that was conducted from January 2021 until June 2022. The subject were NSCLC patients who received EGFR-TKI treatment. The inclusion and exclusion criteria were used to determine which subjects will be included in the study. Data collection through secondary data from medical record and chest CT scan results of patients controlled at oncology polyclinic at Persahabatan Hospital.
Result : In this study, there were 73 subjects of NSCLC with EGFR mutations and received EGFR-TKI therapy at Persahabatan Hospital. There were 12 out of 73 subjects had ILD features which were evaluated based on RECIST I and II chest CT scan with predominant of male (22.2%), age group 40-59 years old (19.4%), smokers (24.1%), severe Brinkman index (42.9%) and received afatinib (26.1%). The proportion of ILD features in NSCLC patients with EGFR-TKI therapy are reticular opacities (58.3%), parenchymal bands (33.3%), ground-glass opacities (25%), traction bronchiectasis (25%) and crazy paving pattern (8.3%). The results of bivariate and multivariate analyzes showed that there was no differences between factors such as sex, age, type of GEFR-TKI, smoking history, Brinkman index, history of lung disease and performance status with features of ILD.
Conclusion: Features of ILD in NSCLC patients with EGFR-TKI therapy include reticular opacities, parenchymal bands, ground-glass opacities, traction bronchiectasis and crazy paving pattern. There is no statistically significa
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Leleulya, Marlond Rainol
"Gangguan fungsi seksual dapat terjadi pada laki-laki di segala usia, suku dan latar belakang budaya. Diperkirakan lebih dari 152 juta laki-laki di dunia menderita disfungsi ereksi pada tahun 1995 dan jumlahnya terus meningkat sehingga diperkirakan akan mencapai 322 juta di tahun 2025. Pengetahuan tentang fisiologi, patofisiologi fungsi seksual laki-laki dan melode diagnostik serta pengobatan dalam 3 dekade terakhir mengalami kemajuan bermakna. Keterlibatan fisiologi, sifat dan elemen-elemen yang terlibat dalam respons seksual normal dan aktiviti fungsional struktur penis telah berhasil diketahui. Mekanisme pasti komponen sistem saraf yang terlibat dalam proses ereksi jugs telah dapat dimengerti. Dalam bidang patofisiologi perkiraan kontribusi relatif faktor psi kogenik dan organik diketahui menjadi penyebab disfungsi ereksi pada laki-laki serta banyak faktor risiko yang menjadi penyebab disfungsi ereksi berhasil diidentifikasi. Pemeriksaan fisis dan laboratorium berkembang dengan pesat dengan berbagai pemeriksaan psikometri, hormonal, vaskular dan neurotogis.
Pedoman yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2003 menyatakan PPOK adalah penyakit paru obstruktif kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun dan berbahaya. Pertambahan jumlah perokok, perkembangan industrialisasi dan polusi udara akibat penggunaan slat transportasi meningkatkan jumlah penderita PPOK dan menimbulkan masalah kesehatan. Diperkirakan 14 juta orang menderita PPOK di Amerika Serikat pada tahun 1991, meningkat 41,5 % dibandingkan tahun 1982 sedangkan mortalitinya menduduki peringkat ke-4 penyebab kematian terbanyak yakni 18,6 per 100.000 penduduk pada tahun 1991 dan angka kematian ini meningkat 32,9 % dari tahun 1979 sampai 1991. Laki-laki dan perempuan mempunyai angka mortaliti yang sama sebelum usia 55 tahun sedangkan laki-laki usia 70 tahun angka kematian meningkat dua kali dari perempuan. Studi pada 12 negara di Asia Pasifik oleh Chronic Obstructive Pulmonary Disease Working Group mendapatkan prevalens PPOK bervariasi mulai dari 3,5% di Hong Kong dan 6,7% di Vietnam sedangkan di Indonesia sebesar 5,6%. World Health Organization (WHO) memperkirakan prevalens PPOK akan meningkat pada tahun 2020 dari peringkat 12 ke 5 penyebab penyakit tersering di seluruh dunia.
Koitus merupakan proses alamiah dan dibutuhkan manusia. Penyakit kronik selain mengganggu kemampuan menikmati hidup jugs mengganggu fungsi seksual. Disfungsi ereksi yang terjadi berkisar dari gangguan kecii sampai bencana bagi keluarga. Hudoyo dkk. menemukan disfungsi ereksi pada penderita PPOK mencapai 62,5%. Selama ini layanan medis dalam penanganan penderita PPOK terbatas pada keluhan-keluhan penderita yang berhubungan dengan sesak napas, faktor-faktor penyulit dan komplikasinya sedangkan masalah psikososial kurang mendapat perhatian. Walaupun masalah psikososial secara langsung tidak mempengaruhi angka harapan hidup, tetapi kondisi ini sangat mempengaruhi kualiti hidup penderita beserta pasangannya."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, M. Yusuf Hanafiah
"Saat ini kasus kanker paru meningkat jumlahnya dan menjadi salah satu masalah kesehatan di dunia juga di Indonesia. Data yang dikemukakan World Health Organization (WHO) menunjukkan kanker pare adalah penyebab utama pada kelompok kematian akibat keganasan, bukan hanya pada laki-laki tetapi juga pada perempuan. Di Indonesia kanker paru menduduki peringkat ke-3 atau ke-4 di antara tumor ganas yang paling sering ditemukan di beberapa rumah sakit. Jumlah penderita kanker paru di RS Persahabatan 239 kasus pada tahun 1996, 311 kasus tahun 1997 dan 251 kasus di tahun 1998. Lebih dari 90% penderita kanker paru datang berobat pada keadaan penyakit yang sudah lanjut, hanya 6% penderita masih dapat dibedah.
Prognosis buruk penyakit ini mungkin berkaitan erat dengan penderita yang jarang datang ke dokter ketika penyakitnya masih berada dalam tahap awal. Hasil penelitian pada penderita kanker pare pascabedah menunjukkan bahwa rerata angka tahan hidup 5 tahun stage 1 jauh berbeda dengan mereka yang dibedah setelah stage II, apalagi jika dibandingkan dengan penderita kanker pare stadium lanjut. Masa tengah hidup penderita kanker part stage lanjut yang diobati adalah 9 bulan.
Kanker pare adalah salah satu jenis penyakit paru yang memerlukan penanganan dan tindakan yang cepat dan terarah. Penegakan diagnosis ini membutuhkan keterampilan dan sarana yang tidak sederhana serta memerlukan pendekatan multidisiplin kedokteran. Penyakit ini membutuhkan kerjasama yang erat dan terpadu antara ahli pare dengan ahli radiologi diagnostik, ahli patologi anatomi, ahli radioterapi, ahli bedah toraks dan ahli-ahli lainnya. Pengobatan atau penatalaksanaan penyakit ini sangat tergantung pada kecekatan ahli paru untuk mendapatkan diagnosis pasti. Penemuan kanker part pada stage dini akan sangat membantu penderita dan penemuan diagnosis dalam waktu lebih cepat memungkinkan penderita memperoleh kualiti hidup yang lebih baik.
Diagnosis pasti penyakit kanker ditentukan oleh basil pemeriksaan patologi anatomi. Dasar pemeriksaan patologi anatomi adalah pemeriksaan mikroskopik terhadap perubahan sel atau jaringan organ akibat penyakit. Terdapat dua jenis pemeriksaan patologi anatomi yaitu pemeriksaan histopatologi dan sitologi. Pemeriksaan histopatologi bertujuan memeriksa jaringan tubuh, sedangkan pemeriksaan sitologi memeriksa kelompok sel penyusun jaringan tersebut. Pemeriksaan histopatologi merupakan diagnosis pasti (baku emas). Pemeriksaan sitologi mampu memeriksa sel kanker sebelum tindakan bedah sehingga bermanfaat untuk deteksi pertumbuhan kanker, bahkan sebelum timbul manifestasi klinis penyakit kanker.
Diagnostik kanker paru memang tidak mudah khususnya pada lesi dini. Pemeriksaan sitologi sputum merupakan satu-satunya pemeriksaan noninvasif yang dapat mendeteksi kanker pare tetapi nilai ketajamannya rendah. Pengambilan bahan pemeriksaan sel/jaringan pare banyak dilakukan dengan cara invasif seperti biopsi pare tembus dada (transthoracic biopsy/TTB), bronkoskopi atau torakoskopi. Teknik ini jauh lebih noninvasif dibandingkan biopsi pare terbuka dengan cara pembedahan yang sudah banyak ditinggalkan. Di RS Persahabatan jumlah penderita kanker paru yang dapat dibedah masih dibawah 10%, angka ini masih sangat kecil dibandingkan negara lain yang dapat mencapai angka sekitar 30%. Data yang belum dipublikasi dari bagian bedah toraks RS Persahabatan dari tahun 2000-2004 mencatat 33 kasus kanker paru yang dibedah, rata-rata hanya sekitar 6-7 pasien pertahun, itupun bukan untuk tujuan diagnostik tetapi untuk penatalaksanaan. Hal ini menjadikan pemeriksaan sitologi masih akan tetap menjadi alat utama untuk diagnostik kanker paru.
Berbagai teknik pemeriksaan sitologi dan histopatologi memberikan akurasi basil yang berbeda-beda dan umumnya tidak membandingkan akurasi berbagai teknik pemeriksaan sitologi tersebut dengan baku emas pemeriksaan histopatologi. Perbandingan akurasi basil berbagai teknik pemeriksaan tersebut akan berguna untuk menentukan pilihan pemeriksaan yang paling efektif dan efisien."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18032
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febri Syahida
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektifitas biaya antara Puskesmas yang menerapkan PAL dengan yang tidak menerapkan PAL dalam penanganan Tuberkulosis Paru di Wilayah Kota Administratif Jakarta Timur, dengan melakukan perhitungan menggunakan metode Activity Based Costing (ABC) untuk mendapatkan biaya per aktifitas. Penilaian efektifitas berdasarkan perbandingan antara penjumlahan komponen biaya pada masing-masing alternatif dengan output penelitian yang meliputi efektifitas pengobatan, Quality Adjusted Life Years (QALY's) serta Kegagalan/drop out yang dapat dihindari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Puskesmas PAL lebih efektif dalam penanganan Tuberkulosis Paru berdasarkan output kegagalan/drop out yang dapat dihindari.

This research purposes to compare cost effectivity between Center of Health which implements PAL and Non PAL in treatment Pulmonary Tuberculosis on administrative district East Jakarta. It uses Activity Based Costing (ABC) method to obtain cost per activity. The effectivity evaluation is based on comparison between total cost component at each alternatives with output consists of medical treatment effectiveness, Quality Adjusted Life Years (QALY's) and prevented failure/drop out. The result shows that Puskesmas with PAL is more effective in Pulmonary Tuberculosis treatment based on prevented failure/drop out.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T36762
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umar Soh
"ABSTRAK
Banyak studiBanyak studi epidemiologi, klinis dan in vitro terakhir menunjukkan hubungan antara vitamin
D dengan tuberkulosis (TB) paru. Kadar 25-hidroksivitamin D (25(OH)D) yang rendah
berhubungan dengan penyakit TB paru aktif dan laten. Namun, sampai saat ini belum ada data
mengenai hubungan kadar 25(OH)D dan status vitamin D dengan derajat lesi TB paru. Tujuan
penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan hubungan antara proporsi status vitamin D dan
kadar 25(OH)D dengan derajat lesi TB paru ringan, sedang dan berat. Desain penelitian
potong lintang, terdiri dari 137 pasien TB paru terbagi menjadi kelompok derajat lesi TB paru
ringan, sedang dan berat masing-masing 46, 47 dan 44 pasien. Diagnosis TB paru
berdasarkan Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Derajat lesi TB paru dinilai secara radiologis berdasarkan klasifikasi dari National
Tuberculosis and Respiratory Disease Association, New York. Status vitamin D ditetapkan
menurut rekomendasi Holick. Pada ketiga kelompok dicatat data karakteristik subjek dan
dilakukan pemeriksaan 25(OH)D. Status vitamin D pada subjek penelitian ini didapatkan
sebanyak 122(89,1%) defisiensi dan 15(10,9%) insufiensi vitamin D. Proporsi defisiensi dan
insufisiensi vitamin D kelompok TB paru ringan, sedang dan berat tidak didapatkan
perbedaan bermakna, masing-masing dengan 84,8% dan 15,2%; 91,5% dan 8,5%; 90,9% dan
9,1%. Kadar 25(OH)D kelompok TB paru ringan, sedang dan berat tidak berbeda bermakna,
masing-masing dengan rerata 12,96 (SB±5,83)ng/mL, 12,42 (SB±5,13)ng/mL, dan 11,29
(SB±5,61)ng/mL. Kami menyimpulkan status vitamin D dan kadar 25(OH)D tidak
berhubungan dengan derajat lesi TB paru. Proporsi defisiensi dan insufisiensi vitamin D
kelompok TB paru ringan, sedang dan berat tidak didapatkan perbedaan bermakna, masingmasing
dengan 84,8% dan 15,2%; 91,5% dan 8,5%; 90,9% dan 9,1%.

ABSTRACT
Most recent epidemiological, clinical and in vitro studies indicate that there is a the
relationship between vitamin D and pulmonary tuberculosis (TB). Low concentration of 25-
hydroxyvitamin D (25(OH)D) is associated with active and latent pulmonary TB disease.
Nevertheless, there is no data about the relationship between vitamin D status and
concentrations of 25(OH)D with severity of pulmonary TB. The aim of this study was to
obtain the relationship between proportions of vitamin D and concentrations 25(OH)D with
mild, moderate and severe degrees of pulmonary TB lesions. This was a cross-sectional study,
137 patients with pulmonary TB and 46, 47 and 44 patients each of mild, moderate and severe
degree of pulmonary TB lesions, respectively. Diagnosis of pulmonary TB was based on
National Tuberculosis Control Guideline, Ministry of Health of the Republic of Indonesia.
The degree of pulmonary TB lesion was radiologically assessed based on classifications of the
National Tuberculosis and Respiratory Disease Association, New York. Vitamin D status was
defined according to Holick recommendations. Baseline characteristics of subjects were
recorded and 25(OH)D concentrations were measured in subjects of each groups. Vitamin D
status of the subjects were 122 (89.1%) deficiency and 15 (10.9%) insufficiency of vitamin D.
The proportions of vitamin D deficiency and insufficiency at mild, moderate and severe
degree of pulmonary TB lesions were also not significantly different, i.e. 84.8% and 15.2%,
91.5% and 8.5%, 90.9% and 9.1%, respectively. Concentrations of 25 (OH) D in each group
of mild, moderate and severe pulmonary TB lesions were not significantly different, with a
mean (SD) 12.96 (5.83)ng/mL, 12.42 (5.13)ng/mL, and 11.29 (5.61)ng/mL respectively. It is
concluded that vitamin D status and serum 25 (OH) D were not related to the degree of
pulmonary TB lesion. The proportion of vitamin D deficiency and insufficiency at mild,
moderate and severe degree of pulmonary TB lesions were also not significantly different, i.e.
84.8% and 15.2%, 91.5% and 8.5%, 90.9% and 9.1%, respectively."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>