Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 69817 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rita Ingewaty Wijaya
"Paparan radiasi pengion dosis rendah (<0,5 Gy) dapat menyebabkan gangguan sirkulasi. Namun, belum diketahui apakah paparan radiasi pengion dosis rendah dapat menyebabkan hipertensi. Seorang petugas radiologi berjenis kelamin laki-laki yang berusia 27 tahun menanyakan tentang hasil pemeriksaan berkalanya dimana hasilnya menyatakan ia mengidap hipertensi. Dia juga menyebutkan bahwa pada tahun sebelumnya, hasil pemeriksaan EKG-nya tidak baik, tetapi dia tidak dapat mengingat apa yang dikatakan oleh dokter spesialis jantung. Apakah hipertensi pada pekerja radiologi disebabkan oleh paparan radiasi pengion di tempat kerja? Pencarian literatur dilakukan melalui PubMed, Scopus dan Cochrane. Didapatkan sebuah artikel yang relevan, yang memenuhi kriteria inklusi. Sebuah studi kohort oleh Preetha R, et al (2015) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara risiko hipertensi dan paparan FGIP. Penelitian ini valid dan dapat diterapkan pada pasien saya karena metodenya sesuai dan cukup baik. Selain itu, populasi dalam penelitian ini memiliki kemiripan dengan pasien saya. Namun, hanya ada satu artikel yang ditemukan. Hal ini mungkin dikarenakan kurangnya penelitian mengenai hal ini. Oleh karena itu, hubungan sebab akibat masih belum dapat dibuktikan. Dianjurkan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan pengukuran paparan dan hasil yang lebih baik.

Exposure to low dose ionising radiation (<0.5 Gy) can cause circulation disorders. It is not yet known whether exposure to low dose ionising radiation can cause hypertension. A 27-year-old male radiologist asked about the result of his periodic examinations in which written hypertension. He also said that in the previous year, his ECG examination resulted in no good, but he couldn’t remember what the cardiologist said. Does hypertension in radiology workers due to exposure to ionising radiation at work? The literature searches were conducted through PubMed, Scopus and Cochrane. A relevant article, which fitted the inclusion criteria, was found. A cohort study by Preetha R, et al (2015) suggested that there is a relationship between the risk of hypertension and FGIP exposure. This study is valid and applicable to my patient because the method is quite good and suitable. Also, the population in the study is similar to my patient. However, there was only one article found which might be due to the lack of research on this subject. Hence, the causal relationship still cannot be proven. Further research is recommended with a better measurement of exposure and outcome."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Riyanto
"Radiografer secara umum mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan pasien secara radiografi meliputi pemeriksaan untuk radiodiagnostik termasuk kedokteran nuklir dan ultrasonografi (USG) dan melakukan tindakan proteksi radiasi dalam mengoperasikan peralatan radiologi. Penelitian ini bertujuan memprakirakan risiko pajanan radiasi sinar-X pada pekerja radiasi di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo. Dalam perhitungan prakiraan risiko pajanan radiasi sinar-X, dosis pajanan radiasi sianr-X radiografer diperoleh dari hasil pengukuran film badge. Data pola aktifitas (lama kerja, frekuensi pajanan dan masa kerja) diperoleh berdasarkan hasil wawancara pada 35 radiografer di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, nilai rata-rata Excess Cancer Risk (ECR) lifetime (4,8E-2) dan realtime (1,9E-2). Karena secara teoretis karsinogenisitas tidak mempunyai nilai ambang atau non threshold, maka prakiraan risiko dinyatakan unacceptable (dosis tidak dapat diterima) bila ECR < E4. Kisaran angka E-4 diperoleh dari nilai default karsinogenistas yang digunakan oleh US-EPA (1990). Berdasarkan perhitungan ECR lifetime dan ECR realtime diperoleh gambaran prakiraan risiko efek karsinogenik yang terjadi pada radiografer di Departemen Radiologi RSUPN CM, dinyatakan aceptable pada risiko kanker baik pada ECR lifetime maupun realtime.

Radiographer in general have a duty and responsibility to audit includes examined patients for radiodiagnostic including nuclear medicine and ultrasonography (USG), and radiation protection in radiology and operating equipment. This study aims to estimated the risk of X-ray radiation exposure to radiographer in the Department of Radiology RSUPN Cipto Mangunkusumo using Environmental Health Risk Analysis (ARKL). In calculating the estimated risk forecasts ARKL, risk of X-ray radiation exposure dose radiographer obtained from measurements of the film badge. Data patterns of activity (duration of work, frequency of exposure and years of work) obtained based on the results of a survey of 35 radiographers in the Department of Radiology RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Based on the calculations performed, the average value of Excess Cancer lifetime Risk (ELCR) is 4,8E-2 and the value of Excess Real-time Cancer Risk (ERRC) the average is 1,9E-2. Because theoretically carcinogenicity has non-threshold value, then the forecast is declared unacceptable when ECR < E-4. Range of numbers obtained from the E-4, carcinogenicity default values used by the US-EPA (1990). Based on the calculation of the ELCR and ERCR forecasts illustrate the risk of carcinogenic effects that occur in the radiographers in the Department of Radiology RSUPN CM, acceptable on cancer risk both in the ELCR and ERRC.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T43374
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wida Setiawati
"Tujuan: menilai prevalensi katarak terinduksi radiasi, serta menghubungkannya dengan dosis paparan radiasi dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi.
Metode: Studi potong lintang dan studi kasus-kontrol. Seratus delapan puluh subyek
berpartisipasi dalam penelitian. Prevalensi katarak terinduksi radiasi dinilai menggunakan analisis Scheimpflug pada alat Pentacam® Oculus. Dosis paparan radiasi kumulatif dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi pada subyek diidentifikasi melalui kuesioner dan personal dosimeter"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wida Setiawati
"Tujuan: menilai prevalensi katarak terinduksi radiasi, serta menghubungkannya
dengan dosis paparan radiasi dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi.
Metode: Studi potong lintang dan studi kasus-kontrol. Seratus delapan puluh subyek
berpartisipasi dalam penelitian. Prevalensi katarak terinduksi radiasi dinilai
menggunakan analisis Scheimpflug pada alat Pentacam®-Oculus. Dosis paparan
radiasi kumulatif dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi pada subyek
diidentifikasi melalui kuesioner dan personal dosimeter.
Hasil: Prevalensi katarak terinduksi radiasi sebanyak 16.7%. Median dosis radiasi
kumulatif berdasarkan kuesioner menunjukkan median 0,8 (0.1- 35.6) Gy. Hubungan
korelasi positif didapatkan antara dosis radiasi kumulatif dengan densitas lensa (R
Spearman= 0.64). Sebanyak 83.9% subyek menggunakan tabir pada 71-100% masa
kerjanya, tetapi mayoritas subyek penelitian (40.6%), tidak menggunakan kacamata
pelindung. Peningkatan risiko katarak terinduksi radiasi meningkat secara bermakna
seiring dengan kepatuhan penggunaan proteksi radiasi yang kurang. Subyek dengan
proteksi tabir radiasi 31-50% dari masa kerjanya meningkatkan risiko katarak 10.80
kali lipat (IK 95% 1.05-111.49, p=0.044). Sementara itu, kelompok proteksi tabir
radiasi 51-70% meningkatkan risiko katarak 8.64 kali lipat (p=0.001). Subyek yang
tidak memakai kacamata pelindung memiliki OR 164.3 (IK 95% 19.81-1363)
dibandingkan dengan kelompok pengguna kacamata pelindung.
Kesimpulan: Katarak terinduksi radiasi pada pekerja radiasi bidang kardiologi
intervensi tergantung pada dosis paparan radiasi dan penggunaan proteksi radiasi.
Oleh karena itu, kepatuhan pekerja radiasi perlu ditingkatkan sesuai ketentuan
proteksi radiasi.

Objectives: to determine the prevalence of radiation-induced cataract and correlate
with radiation exposure dose and radiation protection use among radiation workers of
interventional cardiology.
Methods: A cross-sectional and retrospective case-control study. One hundred and
eighty subjects were included. Prevalence of radiation-induced cataract was assessed
using Scheimpflug analysis on the Pentacam®-Oculus. Individual cumulative
radiation exposure dose and radiation protection use of subjects were identified from
questionnaire and personal dosimeter.
Results: The prevalence of radiation-induced cataract was 16.7%. Median cumulative
radiation dose was 0.8 (0.1-35.6) Gy. A positive correlation was found between
cumulative radiation dose and lens density (RSpearman=0.64). This study showed that
83.9% of subjects used ceiling-suspended shield in 71-100% of their working period,
however the majority of subjects (40.6%) did not wear protective eyewear.
Statistically significant increasing risk of cataract was found along with unresponsive
use of radiation protection. The subjects using ceiling-suspended shield in 31-50% of
their working period were increasing their cataract risk by 10.80 times (95% CI 1.05-
111.49, p=0.044). Meanwhile, the subjects using protective eyewear in 51-70% of
their working period were increasing their cataract risk by 8.64 times (p=0.001).
Subjects who did not wear protective eyewear had an OR 164.3 (95% CI 19.81-1363)
compared to those who wore protective eyewear.
Conclusion: Radiation-induced cataract among radiation workers of interventional
cardiology was depend on radiation exposure dose and radiation protection.
Therefore, the compliance of radiation safety recommendation should be improved."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Asima
"Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran pajanan radiasi sinar X pada petugas Radiologi di unit Radiologi RS Paru Dr.H.A.Rotinsulu Bandung dengan menggunakan analisis deskriptif kuantitatif. Penelitian dilakukan terhadap 11 responden pada bulan April?Mei 2014 menggunakan desain cross-sectional, data primer berupa kuesioner,observasi, pemeriksaan kelenjar Tiroid dengan USG,pemeriksaan hematologi, pemeriksaan sel darah tepi pada seluruh petugas Radiologi, dan pengukuran dosis paparan radiasi di unit Radiologi,data sekunder berupa hasil pengukuran dosis paparan radiasi pada petugas Radiologi dan gambaran desain ruang Rontgen dan ruang pesawat CT Scan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 45 % petugas radiologi yang menderita Nodul Tiroid, dimana frekuensi kejadian Nodul Tiroid tinggi pada petugas Radiologi : berusia lebih dari 40 tahun (60%), memiliki masa kerja lebih dari 5 tahun (55,60%), tidak terproteksi (75%). Untuk menindaklanjuti adanya kejadian Nodul Tiroid pada petugas Radiologi, dan mencegah terjadinya dampak kesehatan yang tidak diinginkan, perlu dilakukan pemeriksaan kesehatan yang lebih lanjut pada seluruh petugas Radiologi RS Paru Dr.H.A.Rotinsulu.

This study aims to provide an overview of the exposure to X-ray radiation at the officers in the unit Radiology Radiology Dr.HARotinsulu Lung Hospital using quantitative descriptive analysis. The study was conducted on 11 respondents in the April-May 2014 using cross-sectional design, the primary data in the form of questionnaires, observation, examination of the thyroid gland with ultrasound, hematology examination, examination of peripheral blood cells in whole officer Radiology, radiation exposure and dose measurements in units of Radiology, secondary data from the results of measurements of radiation exposure dose to the official description of the design room of Radiology and Xray and CT scan space shuttle.
The results showed that there was a 45% radiology staff who suffer from thyroid nodules, Thyroid nodules in which the high frequency of occurrence in the officer Radiology: over the age of 40 years (60%), has a life of over 5 years (55.60%), are not protected (75%). To follow up on a similar incidence of Thyroid Nodules Radiology officers, and prevent the occurrence of undesirable health effects, is necessary to further medical examinations on all officers Dr.HARotinsulu Radiology Lung Hospital.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fita Rahmasari
"Pendahuluan Timbal merupakan salah satu bahan penting yang banyak digunakan di industri. Industri baterai timbal-asam menggunakan timbal dalam jumlah besar yang meningkatkan pajanan timbal ditempat kerja dan diperkirakan dapat mempengaruhi tekanan darah selama bertahun-tahun. Tujuan dari laporan ini adalah untuk menyajikan bukti tentang pengaruh pajanan timbal ditempat kerja terhadap kejadian hipertensi pada pekerja. Metode Pencarian literatur dilakukan melalui basis data elektronik dari PubMed, Scopus dan Cochrane. Kriteria inklusi yang diterapkan yaitu tinjauan sistematis, meta analisis, studi kohort, studi kasus kontrol, studi potong lintang, pekerja dengan pajanan timbal ditempat kerja dan dampak hipertensi atau tekanan darah tinggi. Artikel terpilih kemudian dinilai secara kritis menggunakan kriteria yang relevan dari Oxford Centre for Evidence-Based Medicine. Hasil Tiga studi potong lintang yang relevan disertakan. Studi oleh Thongsringklee M. dkk, Singamsetty dkk serta Sudjaroen dkk menunjukkan bahwa pekerja dengan paparan timbal secara langsung memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadi hipertensi dibandingkan dengan pekerja dengan paparan tidak langsung (OR adj 1.38, 95% CI 1.01-1.89; OR 1.97, 95% CI 1.96-2.17; dan OR 1.4, 95% CI 0.97-1.73, secara berurutan) dan bermakna secara statistik, meskipun studi oleh Sudjaroen dkk tidak. Kesimpulan dan rekomendasi Bukti saat ini tidak memberikan bukti yang kuat untuk mengkonfirmasi bahwa paparan timbal dapat menyebabkan hipertensi pada pekerja. Disarankan bagi pekerja yang terpapar timbal secara langsung untuk lebih waspada karena dua dari tiga studi melaporkan kemungkinan timbal meningkatkan risiko hipertensi. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan desain penelitian yang lebih baik untuk memberikan bukti yang kuat bahwa paparan timbal dapat meningkatkan risiko hipertensi pada pekerja.

Background Lead is still one of the essential materials in many industries. The lead-acid battery industry consumes the largest amount of lead which make lead exposure increases at the workplace and has been suspected to influenced blood pressure for many years. The aim of this evidence-based case report is to present the evidence about the effect of occupational lead exposure on the incidence of hypertension in worker. Method The literature searching was conducted through PubMed, Scopus and Cochrane Library. The inclusion criteria were Systematic Review, Meta-Analysis, Cohort Study, Case- control Study, Cross-sectional Study, worker with occupational lead exposure, and hypertension or high blood pressure outcome. The selected articles were then critically appraised using relevant criteria by the Oxford Center for Evidence-Based Medicine. Result Three relevant cross-sectional studies were included. Studies by Thongsringklee M. et al, Singamsetty et al. and Sudjaroen et al. showed that workers with direct-lead exposure have more risk for hypertension than workers with indirect-lead exposure (OR adj 1.38, 95% CI 1.01-1.89; OR 1.97, 95% CI 1.96-2.17; and OR 1.4, 95% CI 0.97-1.73, respectively) and significant statistically, although the last study wasn’t. Conclusion and recommendation The current evidences do not show strong evidence to ensure that lead exposure can cause hypertension in worker. It is recommended to be more alert for workers with direct-lead exposure because two out of three studies reported the possibility that lead increase the risk of hypertension in worker. Further research with better study design is needed to provide strong evidence that lead exposure can increase the risk of hypertension in worker."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Susryandini Novraswinda
"Penelitian ini bertujuan untuk gambaran perilaku pekerja radiasi di Unit Radiologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RSPAD Gatot Soebroto. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilakukan pada periode November-Desember2014 dengan jumlah responden 41 orang. Analisis data dengan menggunakan uji statistik Chi-Square yang menunjukan ada hubungan antara sikap pekerja terhadap kepatuhan penggunaan APD (p-value = 0,011), fasilitas APD (p-value = 0,000), pengawasan penggunaan APD (pvalue = 0,000), pelatihan (p-value = 0,011), dan penerapan peraturan (0,000). Sebaliknya, tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang APD (pvalue = 0,938) dengan kepatuhan penggunaan APD pada pekerja radiasi di Unit Radiologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RSPAD Gatot Soebroto.Untuk meningkatkan kepatuhan penggunaan APD pada pekerja radiasi harus dilakukan pelatihan tentang pentingnya penggunaan APD, pengawasan, serta perlunya Alat Pelindung Diri untuk dimodifikasi agar lebih nyaman dalam penggunaannya.

This study aims to illustrate the behavior of radiation workers in the Radiology Unit RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo and Gatot Subroto Army Hospital. This research is a descriptive cross sectional analytic approach. This research was conducted in the period from November to December 2014, with the number of respondents 41 people. Data analysis using Chi - Square statistical test that showed no relationship between worker attitudes towards compliance use of PPE ( p - value = 0.011 ), facilities APD ( p - value = 0.000 ), monitoring the use of PPE ( p - value = 0.000 ), training ( p - value = 0.011 ), and the application of regulation ( 0.000 ). In contrast , there was no significant relationship between knowledge of PPE ( p - value = 0.938 ) with the use of PPE in compliance with radiation workers in the Radiology Unit RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo and Gatot Subroto Army Hospital. To improve compliance with PPE use in radiation workers should be trained on the importance of the use of PPE, supervision, and the need for personal protective equipment to be modified to make it more comfortable to use."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
S58183
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Vitamin A berperan dalam diferensiasi sel sehingga memodulasi diferensiasi sel TH2 menjadi IL-4.Infeksi A.lumbricoides merupakan suatu penyakit yang menginduksi dominansi respons imun sel TH2.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin A pada ibu hamil terinfeksi A.lumbricoidesterhadap sitokin IL-4.Penelitian ini menggunakan desain eksperimental analitik berdasarkan data sekunder.Total sampel yang digunakan adalah 39 sampel, terbagi menjadi dua kelompok, yaitu plasebo (21) dan vitamin A (18). Pemeriksaan telur per gram tinja (TPG) dilakukan dengan metode Kato-Katz, sedangkan konsentrasi IL-4 serum diperiksa dengan metode ELISA.Pemeriksaan tersebut dilakukan sebelum dan setelah intervensi.Sebelum intervensi, rerata konsentrasi IL-4 pada kelompok vitamin A 70,7 pg/mL, sedangkan kelompok plasebo 60,6 pg/mL.Setelah intervensi didapatkan perubahan konsentrasi IL-4 yang bernilai positif(p=0,000) pada kelompok vitamin A (53,98 pg/mL) dan plasebo (99,55 pg/mL). 16 dari 18 subjek penelitian di kelompok vitamin A mengalami peningkatan konsentrasi IL-4.Hal tersebut disertai penurunan telur per gram tinja (TPG) pada 17dari 18 subjek, namun secara statistik tidak bermakna (p=1,000).Pada kelompok plasebo, seluruh subjek penelitian mengalami peningkatan konsentrasi IL-4, akan tetapipenurunan TPG hanya terjadi pada 4 dari 21 subjek (p=1,000). Kesimpulan pada penelitian ini yaitupemberian vitamin A secara bermakna mempengaruhi perubahan konsentrasi sitokin IL-4 yang bernilai positif sehingga berdampak terhadap penurunan TPG A.lumbricoides pada ibu hamil terinfeksi., Vitamin A plays a role in cells differentiation so that it modulates TH2 differentiation into IL-4. A.lumbricoides infection generates a modified TH2 immune response during its course. The aim of this study is to know the effect of vitamin A supplementation among A.lumbricoides infected pregnant women on IL-4 serum concentration. This is a experimentalstudy based on a secondary data. Total sample used is 39 which divided into two groups, placebo(21) and vitamin A(18). Egg per gram (EPG) of feces is measured by using Kato-Katz method before and after intervention. ELISA is used to measure IL-4 serum concentration. After intervention, there was a significant differentiation (p=0,000) between the alteration of IL-4 serum concentration in vitamin A (mean=53,98 pg/mL) and placebo (mean=99,55 pg/mL) group. 16 of 18 subjects in vitamin A group had an increasing level of IL-4 serum concentration, followed by the reduction of EPG (p=1.000) in 17 of 18 subjects. On the other hand, IL-4 serum concentration increased in all subjects in placebo group but the reduction of EPG only happened in 4 of 21 subjects (p=1.000). The conclusion of this study is vitamin A supplementation significantly affect the alteration of IL-4 serum concentration. Besides, IL-4 may play a role to decrease EPG in A.lumbricoides infected pregnant women.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raesha Dwina Malika
"ABSTRAK
Kaptopril diketahui memiliki efek menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan sensitivitas insulin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kaptopril pada tikus diabetes yang diinduksi diet tinggi lemak dan streptozotocin dosis rendah. Penelitian ini menggunakan 42 ekor tikus Sprague-Dawley jantan yang dikelompokkan menjadi enam kelompok (n = 7). Satu kelompok normal tidak diobati dan lima kelompok (negatif, positif, dan tiga kelompok variasi dosis kaptopril) diinduksi dengan diet tinggi lemak dan streptozotocin dosis rendah. Kelompok negatif diberi CMC 0,5%, kelompok positif diberi dosis Metformin 90 mg / 200g / hari secara oral, dan tiga kelompok kaptopril dosis bervariasi 25 mg / kg BB / hari tikus / hari secara oral; 50 mg / kg berat badan tikus / hari secara oral; 100 mg / kg BB secara oral. Tikus diinduksi dengan diet tinggi lemak (diet standar: kuning telur puyuh: mentega: sirup jagung fruktosa tinggi, 50%: 30%: 10%: 10%) selama 28 hari, dan kemudian disuntik dengan streptozotocin dosis rendah ( 30 mg / kg BB ip), kemudian dievaluasi pada hari ke 35, dilanjutkan dengan pemberian oral bahan uji dan standar selama 14 hari, dan dievaluasi setiap 7 hari. Semua dosis kaptopril menurunkan kadar glukosa secara signifikan (p <0,05). Kekuatan kaptopril mirip dengan metformin untuk menurunkan kadar glukosa, kaptopril dan metformin dapat menurunkan kadar glukosa darah kembali normal. Berdasarkan hasil tersebut, kaptopril memiliki efek potensial sebagai agen anti hiperglikemik.
ABSTRACT
Captopril is known to have the effect of lowering blood glucose levels by increasing insulin sensitivity. This study aims to determine the effect of captopril on diabetic rats induced by a diet high in fat and low dose of streptozotocin. This study used 42 male Sprague-Dawley rats which were divided into six groups (n = 7). One untreated normal group and five groups (negative, positive, and three groups of captopril dose variation) were induced with a high-fat diet and low-dose streptozotocin. The negative group was given 0.5% CMC, the positive group was given a dose of Metformin 90 mg / 200g / day orally, and the three groups of captopril had varied doses of 25 mg / kg BW / day rats / day orally; 50 mg / kg body weight of rats / day orally; 100 mg / kg BW orally. Rats were induced on a high-fat diet (standard diet: quail egg yolk: butter: high fructose corn syrup, 50%: 30%: 10%: 10%) for 28 days, and then injected with a low dose of streptozotocin (30 mg / kg BW ip), then evaluated on day 35, followed by oral administration of the test material and standard for 14 days, and evaluated every 7 days. All captopril doses decreased glucose levels significantly (p <0.05). Captopril strength is similar to metformin to lower glucose levels, captopril and metformin can lower blood glucose levels back to normal. Based on these results, captopril has a potential effect as an anti-hyperglycemic agent."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prieta Adriane
"Latar Belakang: Disfungsi ginjal prabedah meningkatkan risiko gagal ginjal dan kematian pada pasien bedah jantung. Studi yang meneliti efek proteksifurosemid pada bedah jantung sebagian besar dilakukan pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi efek furosemid dosis rendah profilaksis pada pasien bedah jantung dengan disfungsi ginjal ringan-sedang.
Metode: Delapan puluh tujuh pasien bedah jantung elektif dengan disfungsi ginjal ringan -sedang (LFGe30-89 mL/min/1,73 m2), terdaftar dalam kelompok furosemid (n = 43) atau kontrol (n = 44). Furosemid (2 mg/jam) atau NaCl 0,9% 2 cc/jam diberikan setelah induksi dan dilanjutkan selama total 12 jam. Kami memeriksa sampel darah pada 12, 24, 48, dan 120 jam setelah infus mulai mengukur perubahan LFGe. Penurunan LFGe>20% dianggap sebagai perburukan fungsi ginjal, sedangkan peningkatan LFGe>20% dianggap sebagai pemulihan fungsi ginjal. Kami membandingkan kebutuhan infus furosemid terapeutik dan terapi penggantian ginjal pada kedua kelompok.
Hasil: Dari 90 subjek yang direkrut, 3 subjek drop out(1 subjek data tidak lengkap dan 2 subjek dipasangintra-aortic balloon pump/IABPsaat pembedahan), hanya 87 subjek yang diikutsertakan dalam analisis. Insiden penurunan LFGepada jam ke-12, ke-24 dan ke-48 lebih banyak terjadi pada kelompok kontrol, berbedasignifikan pada sampel jam ke-48 (p value0,047). Proporsi peningkatan LFGe>20% pada sampel 120 jam hampir sama pada kedua kelompok. Subyek dalam kelompok furosemid membutuhkan lebih sedikit pemberian infus furosemid dosis terapeutik (p<0,05). Namun, penggunaan terapi pengganti ginjal lebih banyak ditunjukkan pada kelompok furosemid daripada kelompok kontrol meskipun tidak signifikan. Lama rawat di ICU dan rumah sakit lebih lama pada kelompok furosemid dibandingkan dengan kontrol, sedangkan angka kematian ditunjukkan sama antara kedua kelompok.
Simpulan: Furosemid dosis rendah dapat mengurangi kejadian perburukan fungsi ginjal, dan kebutuhan infus terapeutik furosemid, tetapi tidak mencegah kebutuhanuntuk terapi pengganti ginjal. Penggunaan infus furosemid dosis rendah perioperatif dapat dipertimbangkan karena menunjukkan efek yang menguntungkan.

Background: Preoperative renal dysfunction increases the risk of postoperative renal failure and mortality in cardiac surgery patients. Studies investigated the protective effect of furosemide in cardiac surgery mostly conducted in patients with normal renal function. This study aim to evaluate the effect of prophylactic low-dose furosemide in cardiac surgery patients with mild to moderate renal dysfunction.
Methods: Eighty-seven patients of elective cardiac surgery with mild to moderate renal dysfunction (eGFR 30-89 mL/min/1.73 m2), were enrolled in either furosemide (n = 43) or control (n = 44) groups. Furosemide (2 mg/h) or 0.9% NaCl is administered after induction and continued for a total of 12 hours. We examined blood samples on 12, 24, 48, and 120 hours after infusion started to measure the change in eGFR. A >20% decrease in eGFR was considered as worsening of renal function, while >20% increase in eGFR as recovering of renal function. We compared the requirement for therapeutic furosemide infusion and renal replacement therapy in both groups. 
Results: 90 subjects recruited, 3 were dropped out (1 subject's data incomplete and 2 subjects underwent intraoperativeintraaortic balloon pump/IABP installation), only 87 subjects were included in the analysis. The incidence of decreasing of GFR at the 12th, 24th and 48th hour was shown more likely in control group, more significantin 48 hours (p value 0.047). The proportion of >20% GFR increase in the 120-hour sample was almost the same in both groups. Subjects in furosemide group required less administration of therapeutic dose furosemide infusion (p<0.05). However, use of renal replacement therapy was shown more in the furosemide group than the control group although is not significant. The length of stay in ICU and hospital were longer in the furosemide group compared to  control, while the mortality rate were shown to be equal between two groups.
Conclusions: Low-dose furosemide can reduce the incidence of  worsening renal function, and the need for a therapeutic furosemide infusion, but does not prevent the usage for renal replacement therapy. Continuous low-dose furosemide perioperative can be considereddue to beneficial effects proven.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>