Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165867 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Filda Vionita Irene de Lima
"Peningkatan stres oksidatif pada obesitas mempercepat onset proses senescence. Biji ketumbar (Coriandrum sativum L) mengandung antioksidan alami yang dapat menurunkan stress oksidatif. Penelitian ini bertujuan menilai efek pemberian ekstrak etanol biji ketumbar terhadap stres oksidatif dan cellular senescence pada hati tikus yang diinduksi obes. Induksi obesitas pada tikus Wistar menggunakan pakan tinggi lemak dilakukan selama 12 minggu. Ekstrak biji ketumbar 100mg/kgBB diberikan selama 12 minggu pasca induksi. Berat badan, Indeks Lee, IMT dan profil lipid plasma diukur pada minggu ke 12 dan 24. Setelah nekropsi pada minggu ke 24, diperiksakan MDA hati dan plasma, uji aktvitas spesifik katalase hati, aktivitas SA-β-Gal dan p16INK4A jaringan hati serta profil lipid plasma. Pemberian ekstrak biji ketumbar tidak menurunkan parameter obesitas yaitu berat badan (p=0,44), indeks Lee (p=0,35), IMT (p=0,97) dan kolesterol (p=0,09), namun menurunkan trigliserida (p=0,04) pada tikus obes. Terjadi penurunan MDA plasma (p=0,013) dan hati (p=0,008) disertai peningkatan aktivitas spesifik enzim katalase (p=0,01) pada tikus obes yang diberikan ekstrak biji ketumbar. Peran ekstrak biji ketumbar terhadap perbaikan status stres oksidatif dapat menghambat senescence yang tampak menyebabkan penurunan p16INK4A (p=0,006) namun tidak menurunkan aktivitas SA-β-Gal (p=0,277) pada hati tikus yang diinduksi obesitas

Increased oxidative stress in obesity accelerates the onset of the senescence. Coriander seed (Coriandrum sativum L) contains natural antioxidants that can reduce oxidative stress. This study aimed to assess the effect of coriander seed ethanolic extract on oxidative stress and cellular senescence in the liver of obese rats. Obesity induction in Wistar rats using high-fat diet was carried out for 12 weeks. Coriander seed extract 100mg/kg BW was administered 12 weeks post-induction. BW, Index Lee, BMI, and plasma lipid were measured at 12nd and 24th weeks. After necropsy at 24th week MDA, catalase-specific activity test, SA-β-Gal activity and p16INK4A of liver tissue, also plasma profile lipids and MDA were examined. Coriander seed extract did not reduce BW (p=0.44), Lee's index (p=0.35), BMI (p=0.97) and cholesterol (p=0.09), but decreased triglycerides (p=0.04) in obese rats. Plasma and liver MDA was decreased (p=0,013 and p=0.008) accompanied by an increase in specific activity of the catalase enzyme (p=0.01) in obese rats given coriander seed extract. The role of coriander seed extract in improving oxidative stress status inhibits senescence which appeared to cause a decrease in p16INK4A (p=0.006) but did not decrease SA-β-Gal activity (p=0.277) in the liver of obese induced rats."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Indriani Wisnu Susanto
"Latar Belakang: pH ekstraseluler (pHe) perlu dipertahankan dalam sel normal untuk menjalankan fungsi sel dengan baik. Adanya perubahan di lingkungan seluler meliputi asidifikasi akan berdampak pada fisiologi sel dan menginduksi kematian sel. Namun, studi terntang pengaruh asidifikasi pHe terhadap stres oksidatif dan regulasinya masih terbatas. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh asidifikasi pHe PBMCs terhadap stres oksidatif dan viabilitas serta kaitannya dengan ekspresi mRNA CA9 dan HIF-1alfa.
Metode: PBMC dikultur dengan berbagai pH medium selama 24, 48, dan 72 jam. pH medium kultur diatur menjadi pH 7,4, 7,2, 7,0, dan 6,6 menggunakan 0,01 HCl. Viabilitas sel dihitung menggunakan Trypan blue. Kadar ROS diukur menggunakan DHE dan DCFH-DA probes. Ekspresi mRNA HIF-1alfa, CA9, dan MnSOD dianalisis menggunakan qRT-PCR. Aktivitas spesifik MnSOD dianalisis menggunakan RanSOD Kit dan aktivitas CAT juga dianalisis. Konsentrasi MDA diukur menggunaan metode Wills.
Hasil: pHe meningkat secara bertahap pada waktu inkubasi 24, 48, dan 72 jam. Kadar ROS dan ekspresi mRNA HIF-1alfa, CA9, dan MnSOD meningkat, sementara aktivitas MnSOD menurun dan CAT meningkat. Konsentrasi MDA meningkat dan berdampak pada penurunan viabilitas sel.
Kesimpulan: Asidifikasi pHe PBMCs berdampak pada peningkatan stres oksidatif dan penurunan viabilitas sel. Selain itu, respons pada mRNA CA9 dan HIF-1alfa masih cukup baik.

Background: The extracellular pH (pHe) needs to be maintained in normal cells to carry out cell functions properly. Changes in the cellular environment including acidification affect to cell physiology and induce cell death. However, studies about effect of pHe acidification on oxidative stress and its regulation are still limited. This study aimed to analyze the effect of pHe acidification of PBMCs on oxidative stress and cell viability with expressions of CA9 and HIF-1alpha mRNA.
Methods: PBMCs were cultured with various pH medium for 24-, 48-, and 72-h. The pH of culture medium was adjusted to pH 7.4, 7.2, 7.0, and 6.6 by using 0.01 M HCl. Cell viability was calculated using trypan blue. ROS levels was measured using DHE and DCFH-DA probes. HIF-1alpha, CA9, dan MnSOD mRNA expressions were analyzed using qRT-PCR. MnSOD spesific activity was analyzed using RanSOD Kit and CAT acitivity was analyzed. MDA concentration was measured by Wilss method.
Results: pHe increased gradually at 24-, 48-, and 72-h incubation. ROS levels and HIF-1alpha, CA9, MnSOD mRNA expressions were increased, while the MnSOD spesific activity decreased and CAT activity increased. MDA concentration incease and had an impact on decreasing cell viability.
Conclusions: pHe acidification increased oxidative stress levels and decreased cell viability. In additon, PBMCs had a response to of CA9 and HIF-1alpha mRNA.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rendy Asmaradhana Sahara
"Biaya penanganan penyakit neurodegeneratif sangat tinggi. Penyebab penyakit ini adalah penuaan yang dikaitkan dengan stres oksidatif. Stres oksidatif menyebabkan kerusakan protein yang menghasilkan karbonil. Centella asiatica (CA) berpotensi sebagai antioksidan yang dapat menurunkan kejadian stres oksidatif, termasuk di otak. Penelitian eksperimental ini menggunakan 36 ekor tikus Rattus norvegicus yang dibagi menjadi enam kelompok, yaitu kelompok kontrol dan perlakuan CA usia 12, 24, serta 36 minggu. Kelompok perlakuan CA diberi ekstrak CA 300 mg/kgBB selama 30 hari. Kadar karbonil diukur menggunakan uji spektrofotometer. Kadar karbonil otak tikus 36 minggu lebih tinggi bermakna dibandingkan tikus 12 minggu (p=0,004) dan 24 minggu (p=0,016). Kadar karbonil otak tikus 24 minggu yang diberi ekstrak CA lebih tinggi bermakna dibandingkan tikus kontrol 24 minggu (p=0,026). Kadar karbonil otak tikus 12 dan 36 minggu yang diberi ekstrak CA tidak berbeda bermakna dibandingkan tikus kontrol 12 minggu (p=0,956) dan 36 minggu (p=0,602). Kadar karbonil otak tikus dipengaruhi oleh usia tikus, lebih tinggi secara bermakna pada kelompok usia 36 minggu dibandingkan dengan kelompok usia 12 dan 24 minggu. Ekstrak CA 300 mg/kgBB menyebabkan peningkatan kadar karbonil pada otak tikus usia 24 minggu, namun tidak pada usia 12 dan 36 minggu.

The cost of treating neurodegenerative diseases is very high. The cause of this disease is aging caused by oxidative stress. Oxidative stress causes the breakdown of proteins that produce carbonyls. Centella asiatica (CA) may be an antioxidant that can reduce oxidative stress, including in the brain. This experimental study used 36 Rattus norvegicus rats which were divided into six groups, namely the control group and the CA treatment group aged 12, 24, and 36 weeks. The brain carbonyl levels of 36 weeks rats were higher than those of 12 weeks (p=0.004) and 24 weeks (p=0.016) rats. Brain carbonyl levels of 24 weeks rats that were given CA extract were higher than those of 24 weeks control rats (p=0.026). Brain carbonyl levels of rats 12 and 36 weeks given CA extract were not significantly different from control rats at 12 weeks (p=0.956) and 36 weeks (p=0.602). Brain carbonyl levels were affected by the age of the rats, significantly higher in the 36 weeks age compared to the 12 and 24 weeks age. CA extract 300 mg/kgBW caused an increase in carbonyl levels in the brains of rats aged 24 weeks, but not at the age of 12 and 36 weeks."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rivelino Dewanto Cittra
"Latar Belakang Jumlah penduduk dengan obesitas semakin meningkat setiap tahunnya di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Obesitas dikaitkan dengan banyak gangguan kesehatan seperti inflamasi, gangguan metabolik, jantung dan menimbulkan stres oksidatif. Karbonil merupakan salah satu penanda biologis yang digunakan untuk mengukur tingkat stres oksidatif. Ketumbar diduga memiliki efek antioksidan dan berpotensi menjadi terapi dalam stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak ketumbar (Coriandrum sativum L.) terhadap kadar karbonilasi protein pada jaringan jantung tikus Rattus norvegicus dengan obesitas. Metode Studi ini merupakan studi eksperimental. Tikus wistar diberikan pakan tinggi lemak selama 12 minggu pertama. Selanjutnya tikus diberikan 100 mg/kgBB ketumbar 12 minggu berikutnya. Jaringan jantung tikus diambil dan dihomogenasi. Pengukuran karbonil menggunakan reagen 2,4-dinitrofenilhidrazin dan dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 390 nm. Data kemudian dianalisis dengan IBM SPSS dengan nilai acuan p=0,05. Hasil Terdapat peningkatan tidak signifikan (p>0,999) kadar karbonil pada kelompok diet normal dengan ketumbar dibanding kelompok kontrol. Terdapat penurunan tidak signifikan (p>0,999) kadar karbonil pada kelompok diet tinggi lemak dengan ketumbar dibandingkan kelompok diet tinggi lemak. Penurunan signifikan (p=0,009) tampak pada kadar karbonil kelompok diet tinggi lemak dengan ketumbar dibandingkan kelompok diet normal dengan ketumbar. Kesimpulan Pemberian ketumbar tidak memberikan perbedaan signifikan pada kadar karbonilasi protein baik pada kondisi diet normal maupun diet tinggi lemak. Diet tinggi lemak mungkin mampu meningkatkan efektivitas kerja ketumbar sebagai antioksidan.

Introduction
The number of people with obesity is increasing every year throughout the world, including Indonesia. Obesity is associated with many health disorders such as inflammation, metabolic disorders, heart disease and oxidative stress. Carbonyl is a biomarker of oxidative stress. Coriander (Coriandrum sativum L.) is thought to have antioxidant effects and potentially therapeutic to oxidative stress. This study aims to determine the effect of administering coriander extract on protein carbonylation levels in the heart tissue of obese rats.
Method
This study was an experimental study. Wistar rats were given a high-fat diet for the first 12 weeks. Next, rats were given 100 mg/kgBW of coriander for the next 12 weeks. Rat heart tissue was acquired and homogenized. Carbonyl were measured with 2,4-dinitrophenylhydrazine reagent and read on a spectrophotometer at a wavelength of 390 nm. The data was then analyzed using IBM SPSS using p=0.05.
Results
Carbonyl levels increased non-significantly (p>0.999) in the normal diet group fed with coriander compared to the control group. Carbonyl levels decreased non-significantly (p>0.999) in the high-fat diet group fed with coriander compared to the high-fat diet group. A significant decrease (p=0.009) was seen in the carbonyl levels of the high fat diet group fed with coriander compared to the normal diet group fed with coriander.
Conclusion
Coriander consumption did not make a significant difference in protein carbonylation levels either under normal diet or high fat diet conditions. A high-fat diet might increase the effectiveness of coriander as an antioxidant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabrielle Ophelia Kusuma
"Latar belakang: Kondisi hiperglikemi pada diabetes mellitus dapat menyebabkan stress oksidatif akibat ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan. Pada hati, komplikasi terberat dari stres oksidatif adalah non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). Hingga saat ini, metformin merupakan drug of choice pengobatan diabetes mellitus tipe 2 (DMT2), namun dapat menimbulkan efek samping yang menurunkan kepatuhan berobat pasien seperti mual, muntah, dan diare.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk menilai aktivitas antioksidan α-mangostin terhadap kadar malondialdehid (MDA) dan glutation (GSH) hati tikus dengan DMT2 sebagai kandidat obat alternatif metformin untuk menangani stres oksidatif pada DMT2.
Metode: Penelitian dilakukan terhadap tikus Wistar jantan (usia 10-12 minggu) dan dibagi menjadi enam kelompok uji: normal, normal+α-mangostin 200mg/kgBB, DMT2, DMT2+metformin 200mg/kgBB, DMT2+α-mangostin 100mg/kgBB, dan DMT2+α-mangostin 200mg/kgBB. Kelompok DMT2 diinduksi dengan diet tinggi lemak dan glukosa, lalu diinjeksi streptozotocin. Kadar MDA dan GSH kemudian diukur dengan kit pemeriksaan pada jaringan hati yang telah disimpan dalam suhu -80°C setelah tikus-tikus di-sacrifice.
Hasil: α-mangostin 100 mg/kgBB memberikan hasil paling baik, yaitu selisih terbesar kadar biomarker dibandingkan keadaan DMT2, di mana terjadi penurunan kadar MDA yang signifikan (p=0.038 vs DMT2) dan peningkatan kadar GSH signifikan (p=0.029 vs DMT2).
Kesimpulan: α-mangostin mampu mempengaruhi kadar MDA dan GSH pada hati tikus dengan DMT2.

Background: The hyperglycaemic condition in diabetes mellitus causes oxidant and antioxidant imbalance, leading to oxidative stress. In the liver, the worst possible complication of oxidative stress is non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). So far, metformin is the drug of choice for treating type 2 diabetes mellitus (T2DM), but it has possibilities of causing nausea, vomiting, and diarrhoea, thereby disrupting patient compliance.
Objectives: This study aims to investigate α-mangostin’s antioxidant activity towards malondialdehyde (MDA) and glutathione (GSH) levels in T2DM rats’ liver as a candidate alternative of metformin to treat oxidative stress in T2DM.
Methods: Research is conducted towards male Wistar rats (age 10-12 weeks) separated into six groups: normal, normal+α-mangostin 200mg/kgBW, T2DM, T2DM+metformin 200mg/kgBW, T2DM+α-mangostin 100mg/kgBW, and T2DM+α-mangostin 200mg/kgBW. T2DM groups were induced with high fat-high glucose diet and streptozotocin injection. MDA and GSH levels were obtained with the appropriate assay kit of liver tissues (refrigerated at -80°C) after the rats were sacrificed.
Results: 100mg/kgBW dose of α-mangostin yields the best results (highest biomarker levels difference than T2DM group). It significantly decreased MDA levels (p=0.038 vs T2DM) and significantly increased GSH levels (p=0.029 vs T2DM).
Conclusion: α-mangostin is able to affect MDA and GSH levels in T2DM rats’ liver.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pamela Basuki
"Latar belakang: Penurunan stress oksidatif intraseluler merupakan salah satu mekanisme resistensi sorafenib pada sel karsinoma hepatoseluler. Alfa mangostin, senyawa xanthone dari Garcinia mangostana, memiliki sifat antikanker dan dual efek antioksidan/prooksidan diduga dapat menjadi sumber terapi adjuvan untuk meningkatkan efektivitas sorafenib. Pemberian α-mangostin diduga mampu meningkatkan ekspresi MnSOD dan GPx pada dosis rendah tetapi menurunkannya pada dosis mendekati konsentrasi sitotoksik.
Tujuan: Mengetahui potensi alfa mangostin sebagai bahan terapi tambahan pada sorafenib pada tatalaksana karsinoma hepatoseluler lanjut yang ditinjau dari mekanisme stress oksidatif.
Metode: Galur sel karsinoma hepatoseluler, HepG2, dibagi menjadi 6 kelompok yang diinkubasi dalam: (A) DMSO-DMSO 0,01% (kelompok kontrol), (B) DMSO-alfa mangostin 20 μM, (C) sorafenib 10 μM-DMSO (kelompok tahan sorafenib), (D) sorafenib-sorafenib 10 μM (E) sorafenib 10 μM-alfa mangostin 20 μM, (F) sorafenib 10 μM - sorafenib 10 μM + alfa mangostin 20 μM selama 24 jam dan 24 jam berikutnya. Sel kemudian diambil dan diisolasi RNAnya. Analisis ekspresi mRNA MnSOD dan GPx dilakukan dengan metode qRT-PCR.
Hasil: Penambahan alfa mangostin meningkatkan ekspresi mRNA MnSOD dan GPx secara signifikan (p<0,05) dibandingkan kontrol dan sel tahan sorafenib pada kelompok perlakuan sorafenib + alfa mangostin (SOR+AM) dan sorafenib + sorafenib-alfa mangostin (SOR+SORAM).
Simpulan: Alfa mangostin bersifat antioksidan pada galur sel karsinoma hepatoseluler HepG2 yang tahan sorafenib sehingga dapat meningkatkan ekspresi MnSOD dan GPx.

Introduction: Intracellular oxidative stress reduction is one of the sorafenib resistance mechanisms in hepatocellular carcinoma cells. Alpha mangostin, xanthone substance from Garcinia mangostana, has anticancer and dual effect antioxidant/prooxidant properties that might be a source of adjuvant therapy, increasing sorafenib effectivity. Administration of alpha mangostin presumably can increase MnSOD and GPx expression in low dose but decrease the expression when given nearing cytotoxic concentration dosage.
Purpose: To find out alpha mangostin potential as adjuvant therapy to sorafenib in management of advanced hepatocellular carcinoma in the view of oxidative stress.
Method: Hepatocellular carcinoma cell line, HepG2 cells, were divided into 6 groups incubated in: (A) DMSO-DMSO 0,01% (control group), (B) DMSO-alpha mangostin 20 μM, (C) sorafenib 10 μM-DMSO (sorafenib-surviving group), (D) sorafenib-sorafenib 10 μM (E) sorafenib 10 μM-alpha mangostin 20 μM, (F) sorafenib 10 μM - sorafenib 10 μM + alpha mangostin 20 μM for 24 hours and another 24 hours. Then, the cells were harvested and the RNA were isolated. Expression of MnSOD and GPx mRNA were analyzed using qRT-PCR.
Result: Administration of alpha mangostin increased MnSOD and GPx mRNA expression significantly (p<0,05) compared to control and sorafenib-surviving cells in sorafenib + alpha mangostin (SOR+AM) group and sorafenib + sorafenib-alpha mangostin (SOR+SORAM) group.
Conclusion: Alpha mangostin is an antioxidant for hepatocellular carcinoma cell line, HepG2 cell, increasing MnSOD and GPx expression.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Asri
"Besarnya proporsi pegawai perempuan dengan status menikah yang bekerja di puskesmas Padasuka menghadapi tekanan dari berbagai aspek sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam kinerja pegawai. Penelitian bertujuan mengidentifikasi kinerja pegawai perempuan menikah yang mempunyai anak dipengaruhi oleh konflik peran ganda dan stres kerja. Jenis penelitiannya kuantitatif dan kualitatif, teknik pengumpulan data primer dan sekunder pada bulan april-mei 2014. Sumber informasi 11 orang. Hasil penelitian didapatkan informan mengalami konflik ringan pekerjaan–keluarga 36,4% dan keluarga-pekerjaan 27,3%, mengalami stres kerja ringan yang berasal dari pekerjaan 36,4% dan luar pekerjaan 27,3% sehingga menyebabkan kinerja menjadi rendah. Diharapkan pimpinan melibatkan pegawai dalam mengambil strategi untuk mengatasi konflik ini.

The magnitude proportion of women employees with the status married who work in health centers Padasuka face pressure from various aspects, giving rise to some problems in the performance of employees. The research aims to identify the performance of employees married who have children affected by the conflict and the dual role of work stress. Types of quantitative and qualitative research, techniques of primary and secondary data collection in April-May 2014. Sources of information from 11 people. The results showed the informant suffered a mild work-family conflict by 36.4% and 27.3% family-work, light work stress stemming from work 36.4% and 27.3% outside of work, causing the performance to be low. It is expected that leaders engage employees in taking the strategy to resolve this conflict.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S56037
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amita Rahma Shintyar
"Stres kerja adalah kondisi yang menyebabkan karyawan merasa tertekan, bosan, dan tidak nyaman dalam melakukan pekerjaannya. Sekitar 50-60% dari hari kerja yang hilang disebabkan oleh stres kerja dan jumlah ini cenderung meningkat di Eropa. Semenjak merebaknya COVID-19, seluruh negara di dunia mulai memberlakukan Work from Home (WFH) atau bekerja dari rumah. Oleh karena situasi yang mendesak, WFH dapat berpotensi menjadi stressor bagi pekerja. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat stres kerja dan hubungan antara karakteristik pekerja serta penerapan WFH pada pekerja PT LTI yang bekerja dari rumah selama masa pandemic COVID-19. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional dengan menggunakan kuesioner stres kerja NIOSH Generic Job Stres Questionnaire dan kuesioner pelaksanaan WFH dari ILO yang didistribusikan secara daring kepada 62 responden. Sebanyak 66,1% responden mengalami stres kerja ringan. Variabel karakteristik pekerja yang terbukti signifikan memiliki hubungan dengan stres kerja pada penelitian ini adalah jumlah anak, usia anak dan lokasi kerja. Pada variabel penerapan WFH variabel yang terbukti signifikan memiliki hubungan dengan stres kerja adalah kesejahteraan dan produktivitas pekerja yaitu pada elemen pertanyaan: digitalisasi dan implikasi hukum serta kontrak kerja. Hambatan dalam bekerja memiliki hubungan yang signifikan sedangkan variabel kepercayaan dan budaya organisasi tidak memilki hubungan yang signifikan dengan stres kerja.

Job stress is a condition that causes employees to feel pressured, bored, and uncomfortable when doing work. About 50-60% of all lost workdays are caused by work stress and this number is increased in Europe. Since the outbreak of COVID-19, all countries in the world have started implementing WFH (work from home). Due to the urgency of the situation, WFH can potentially be a stressor for workers. This study aims to analyze the level of work stress and the relationship between worker characteristics and the application of WFH to PT LTI Work From Home Worker’s during pandemic COVID-19. This study used a cross sectional approach using the NIOSH Generic Job Stress Questionnaire and the ILO's WFH implementation questionnaire distributed using G-form to 62 respondents. As many as 66,1% of respondents experienced mild work stress. Variables of worker characteristics that were shown to have a significant relationships with work stress in this study were the number of children, children's age and work location. Meanwhile, in the variable of WFH implementation that were shown to have a significant relationship with work stress are the well-being and productivity of workers, on the question elements: digitalization, legal and contractual implications. The work obstacles have a significant relationship, while trust and organizational culture don’t have a significant relationship with work stress."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurusysyarifah Aliyyah
"Hipertensi merupakan salah satu kondisi medis yang cukup serius karena dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, otak, ginjal dan penyakit lainnya. Wilayah di DKI Jakarta dengan prevalensi hipertensi tertinggi berdasarkan diagnosis dokter yaitu Kota Jakarta Pusat sebesar 12,16%. Partikulat meter organik dan komponen partikulat meter dapat memicu proinflammatory effects pada paru-paru karena kemampuannya mengakibatkan stress oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model pengaruh pajanan PM2,5 di udara ambien terhadap kejadian hipertensi melalui stress oksidatif dan sitokin inflamasi pada penduduk di Jakarta Pusat. Penelitian dilakukan pada penduduk dewasa (18-65 tahun) di Kota Jakarta Pusat dengan disain studi hybrid cross sectional ecology. Pengumpulan data secara cluster random sampling dengan analisis data dilakukan melalui pemodelan regresi logistik multilevel dan cox regresi proporsional hazard.
Hasil analisis menunjukkan terdapat asosiasi antara PM2,5 di udara ambien dengan biomarker stress oksidatif (IOR PM2,5: 2,185173-2,185176) dan dengan biomarker sitokin inflamasi (IOR PM2,5: 1,21-1,91). Pemodelan multivariat dengan cox regresi proporsional hazard menunjukkan bahwa variabel umur dan indeks massa tubuh merupakan confounder hubungan antara stress oksidatif dengan hipertensi dan antara sitokin inflamasi dengan hipertensi dengan nilai Rasio Prevalens adjusted (95% CI) masing-masing sebesar 1,19 (0,69-2,03) dan 0,99 (0,58-1,72). Dapat disimpulkan bahwa variabel konsentrasi PM2,5 di udara ambien memiliki peran terhadap terjadinya hipertensi, stress oksidatif dan sitokin inflamasi pada penduduk di Jakarta Pusat.

Hypertension is a serious medical condition that can increase the risk of heart, brain, kidney and other diseases. The area in DKI Jakarta with the highest prevalence of hypertension based on doctor diagnosis is Central Jakarta city about 12.16%. Organic particulate matters and particulate matter components can trigger proinflammatory efects in the lung due to their ability to cause oxidative stress. This study aims to develop a model of the Influence of PM2,5 Exposure in Ambient Air on Hypertension Occurrence through Oxidative Stress and Inflammatory Cytokines among residents in Central Jakarta. The study was conducted among adult residents (age 18-65 years) in Central Jakarta with hybrid cross sectional study design. Data collected using cluster random sampling with data analysis carried out through multilevel logistic regression modeling and cox proportional hazard regression.
Results show there is an association between PM2.5 in ambient air with oxidative stress biomarkers (IOR PM2.5: 2.185173-2.185176) and with inflammatory cytokine biomarkers (IOR PM2.5: 1.21-1.91). Multivariate modeling with Cox regression proportional hazard shows that age and body mass index are confounders of the relationship between oxidative stress with hypertension and between inflammatory cytokines with hypertension with an adjusted prevalence ratio (95% CI) value of 1.19 (0.69-2.03) and 0.99 (0.58-1.72). It can conclude that concentration of PM2.5 in ambient air has a role on hypertension, oxidative stress and inflammatory cytokine among residents in Central Jakarta.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riyanto
"Stress kerja pada perawat merupakan hal yang sering kali terjadi. Terutama pada perawat di IGD, ICU, dan rawat inap. Dalam melayani pasien seringkali muncul stress kerja, dalam hal ini pada rumah sakit yang tidak memungut biaya apapun pada pasien yang berkunjung untuk berobat. Setiap kegiatan pekerjaan di ruangan dapat menjadi stressor bagi perawat karena mereka selalu dalam ruangan rawat yang merupakan jumlah terbesar dalam sebuah rumah sakit. Tujuan penelitian mengetahui hubungan tipe karakteristik individu dan karakteristik pekerjaan dengan Stres Kerja di Rumah Sehat Terpadu Dompet Dhuafa Republika. Rancangan survey ini bersifat survey analitik yang memberikan gambaran terhadap stress kerja dan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan antara katakteristik individu dan karakteristik pekerjaan dengan stress kerja. Populasi dalam penelitian ini sebanyak 36 orang dan sampel adalah keseluruhan dari populasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 38,9% perawat mengalami stress dan 61,1% perawat tidak mengalami stress. Hasil uji Chi Square dengan taraf keyakinan ? = 0,05 menunjukkan: terdapat hubungan yang signifikan jenis kelamin (Pvalue 0,020), peran dalam organisasi (Pvalue 0,042 ), dan gaji (Pvalue 0,020) dengan stress kerja. Belum terdapat hubungan yang signifikan antara usia, pendidikan, status perkawinan, masa kerja, beban kerja, bahaya kerja, shif kerja, rutinitas kerja, promosi, iklim dan struktur organisasi dengan stress kerja.Diperlukan pengendalian stres kerja dari pihak rumah sakit dan juga dari perawat itu sendiri. Sebagai upaya pengendalian dan pencegahan terhadap terjadinya penyakit akibat kerja.

Job stress is often happen in the nurses. Especially among nurses in ER, ICU, and hospitalization. Each activity work in the room can be a stressor for nurses because they are always in a hospital room that is the largest number in a hospital. Each activity to handle in room sometimes potential to become stressor for nurses. The objective of this study is to know the relationship of individual and job characteristics around nurses to their job stress in Rumah Sehat Terpadu Dompet Dhuafa Hospital. The design of this survey is an analytical survey that provides an overview of the stress of work and to determine whether there is a significant relationship between the individual and job characteristics with job stress. Population to this research summed 36 respondents and the sample is all total of population. Collecting data conducted by observation to the working condition and by questionnaire about the individual and job characteristics. The results showed that 38.9% of nurses experienced stress and 61.1% of nurses do not experience stress. The result of Chi Square test with confidence level of ? = 0.05 showed: existing a significant relationship sex (p value 0.020), role in the organization (p value 0.042), and salary (p value 0.020) with the job stress. There is no found a significant relationship between age, education, marital status, years of service, workload, occupational hazards, shift work, work routines, promotion, climate and organizational structure with job stress. It is required institutional control over working stress by the management and also to those nurses, this way is aimed to control and preserve it over resulting any illness on working. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>