Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 107557 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Firyal Fairuztsana Nugraha
"Candida krusei merupakan organisme komensal pada manusia sehat, namun pada pasien dengan gangguan sistem kekebalan tubuh dapat menjadi patogen oportunistik. Candida krusei memiliki prevalensi yang rendah, namun tingkat mortalitas yang cukup tinggi sehingga diperlukan metode deteksi yang cepat dengan sensitivitas serta spesifisitas yang tinggi. Quantitative PCR berbasis intercalating dye merupakan teknik amplifikasi DNA yang mendeteksi secara real-time, namun dapat berikatan secara non-spesifik pada DNA untai ganda yang rentan terhadap kesalahan sehingga diperlukan primer yang baik dan spesifik. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode deteksi Candida krusei menggunakan qPCR berbasis intecalating dye dengan merancang primer secara in silico dengan target gen ITS yang memiliki karakteristik baik dan spesifik terhadap Candida krusei serta dilakukan uji spesifisitas primer pada beberapa spesies jamur dan uji sensitivitas pada sampel biologis (whole blood) manusia. Hasil perancangan primer yang diperoleh adalah primer Cc3 yang memiliki panjang masing-masing adalah 20 dan 18 oligonukleotida dengan karakterisasi yang baik. Hasil uji spesifisitas dengan qPCR berbasis intercalating dye pada tiga Candida sp. dan satu spesies Malassezia menunjukkan hasil yang spesifik dimana hanya dapat mendeteksi Candida krusei. Hasil uji sensitivitas pada sampel biologis (whole blood) menunjukkan bahwa qPCR berbasis intercalating dye menggunakan primer Cc3 mampu mendeteksi hingga batas 1000 sel/mL.

Candida krusei is a commensal organism in healthy humans, but in patients with immunocompromised it can become an opportunistic pathogen. Candida krusei has a low prevalence with a fairly mortality rate. Intercalating dye-based quantitative PCR is a DNA amplification technique that allows real-time detection, however it can binds to any double-stranded DNA unspecifically which is error-prone, primer with a good characteristics and specific is needed. This study aims to develop a Candida krusei detection method using intercalating dye-based quantitative PCR was carried out by primers designing in silico with the target gene for ITS which has good characteristics for Candida krusei, and specificity tests in several fungal species and sensitivity tests in human biological sample (whole blood). The primer design results obtained are primer Cc3 which has lengths of 20 and 18 oligonucleotides with good characterization. The results of the specificity tests with intercalating dye-based qPCR in three Candida sp. and one Malassezia sp. showed specific results which were only able to detect Candida krusei. The results of the sensitivity tests in whole blood sample showed that intercalating dye-based qPCR using a primer that had been designed was able to detect up to 1000 cells/mL."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Meuthia Arifin
"Candida albicans merupakan salah satu patogen umum penyebab kandidiasis invasif yang memiliki tingkat mortalitas yang cukup tinggi sehingga diperlukan metode deteksi yang cepat, sensitif, dan spesifik untuk mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang tepat. qPCR berbasis intercalating dye dapat menjadi salah satu metode yang digunakan untuk pendeteksian Candida albicans karena waktu pemrosesannya yang cepat dan dapat menggunakan volume sampel yang sedikit. Tetapi, penggunaan intercalating dye memiliki kelemahan yaitu dapat berikatan pada semua DNA untai ganda, sehingga diperlukan primer yang spesifik. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode deteksi Candida albicans menggunakan qPCR berbasis intercalating dye dengan melakukan perancangan primer spesifik untuk Candida albicans, pengujian spesifisitas primer terhadap spesies fungi lain, dan pengujian sensitivitas metode qPCR menggunakan sampel darah utuh. Hasil perancangan primer spesifik merupakan primer Ca2 yang memiliki panjang 22 dan 19 oligonukleotida untuk deteksi qPCR. Primer yang dirancang menargetkan gen ITS yang merupakan housekeeping gene untuk fungi. Hasil uji spesifisitas primer terhadap tiga spesies Candida lain dan satu spesies Malassezia menunjukkan melting curve yang memiliki puncak tunggal pada sampel yang terdapat DNA Candida albicans dan DNA campuran, yang menandakan primer secara spesifik mendeteksi Candida albicans. Hasil uji sensitivitas pada darah utuh menunjukkan hasil bahwa metode qPCR berbasis intercalating dye menggunakan primer Ca2 dapat mendeteksi DNA Candida albicans dalam sampel darah utuh hingga batas 100 sel/mL.

Candida albicans is a common pathogen that can cause invasive candidiasis which has a fairly high mortality rate so a fast, sensitive, and specific detection method is needed to get the right diagnosis and treatment. Intercalating dye-based qPCR can be one of the methods used for the detection of Candida albicans because of its fast-processing time and use of a small volume sample. However, the use of intercalating dye has a disadvantage, as it can bind to all double-stranded DNA, so a specific primer is needed. This study aims to develop a Candida albicans detection method using intercalating dye-based qPCR by designing a specific primer for Candida albicans, testing the primer specificity for other fungal species, and testing the sensitivity of the qPCR method using whole blood samples. The results of the design of specific primers are Ca2 primers which have lengths of 22 and 19 oligonucleotides for qPCR detection. The primers are designed to target the ITS gene which is a housekeeping gene for fungi. The results of the primer specificity test for three other Candida species and one Malassezia species showed a melting curve that had a single peak in the sample containing Candida albicans DNA and mixed DNA, which indicated that the primer specifically detected Candida albicans. The results of the sensitivity test showed that the intercalating dye-based qPCR method using Ca2 primers could detect Candida albicans DNA in whole blood samples up to a limit of 100 cells/mL."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachma Allysa Vidya Putri Augustine
"Candida sp. merupakan jamur komensal penyebab infeksi invasif kandidiasis. Candida albicans memiliki sifat dominan sehingga Candida lain sulit untuk dideteksi dan dapat mengarah pada kesalahan terapi. Candida non-albicans seperti Candida krusei juga memiliki resistensi terhadap obat antijamur. Metode deteksi menggunakan qPCR dapat mempersingkat waktu untuk diagnosis dan memiliki spesifisitas deteksi yang baik untuk deteksi kandidiasis invasif. Namun penggunaan metode ini memerlukan primer spesifik. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi spesifisitas novel primer Ca2 yang mendeteksi Candida albicans dan Cc3 yang mendeteksi Candida krusei serta membedakan keduanya dari spesies Candida dan jamur lainnya. Pengujian spesifisitas dilakukan menggunakan metode qPCR berbasis intercalating dye SYBR Green dengan suhu annealing 60℃ untuk primer Ca2 dan 58℃ untuk primer Cc3, masing-masing sebanyak 40 siklus. Pengujian dilakukan terhadap sebelas spesies jamur Candida termasuk C. albicans dan C. krusei; satu spesies teleomorf jamur Candida, Clavispora lusitaniae; dan dua spesies jamur dari genus lain, yaitu Malassezia dan Aspergillus. Hasil uji primer Ca2 menunjukkan nilai Ct 25,23 dan Tm 83,58 untuk Candida albicans, sedangkan primer Cc3 menunjukkan nilai Ct 35,00 dan Tm 88,24 untuk Candida krusei serta Ct 23,41 dan Tm 88,80 untuk Clavispora lusitaniae. Primer Ca2 spesifik mendeteksi C. albicans. Sementara itu primer Cc3 tidak spesifik mendeteksi Candida krusei, namun dapat mendeteksi Clavispora lusitaniae. Walaupun demikian, primer Cc3 masih dapat digunakan untuk penggunaan klinis karena rendahnya infeksi Clavispora lusitaniae di Indonesia.

Candida sp. are commensal yeasts that can result in invasive infection such as Candidiasis. Candida albicans-dominant characteristic caused medication error due to difficulty of other Candida detection. Candida non-albicans such as Candida krusei has high resistance against antifungi drugs. Detection method using qPCR offers shorter amount of time for diagnosis and has high specificity for detecting invasive candidiasis. However, this method requires specific primers. In this study, we evaluate specificity of novel primer Ca2 for detecting Candida albicans and Cc3 for detecting Candida krusei and differentiate both species from other Candida and yeast species. The specificity test was done in qPCR with intercalating dye SYBR Green applying 40 cycles and annealing temperature at 60 ℃ for Ca2 and 58℃ for Cc3. Samples are eleven Candida species including C. albicans and C. krusei; one species of Candida in a teleomorph form, Clavispora lusitaniae; and two species of another genus, Malassezia and Aspergillus. Primer Ca2 identified Candida albicans with Ct value 25,23 and Tm 83,58. Primer Cc3 identified Candida krusei with Ct value 35,00 and Tm 88,24 as well as Clavispora lusitaniae with Ct value 23,41 and Tm 88,80. Primer Ca2 specific for detecting C. albicans and primer Cc3 not specific for detecting Candida krusei, but also able to detecting Clavispora lusitaniae.However, the primer still acceptable for clinical use due to low prevalence of Clavispora lusitaniae infection in Indonesia."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Apsari
"Candida adalah jamur oportunistik yang umum ditemukan pada kasus HIV/AIDS. Penurunan jumlah CD4+ pada infeksi HIV mempengaruhi sifat Candida sp. dari komensal menjadi patogen. Penelitian ini merupakan studi potong lintang untuk mencari hubungan antara jumlah CD4+ dengan jumlah koloni Candida sp. pada rongga mulut anak terinfeksi HIV. Tiga puluh lima anak dengan infeksi HIV dibagi menjadi 3 kelompok sesuai jumlah CD4+. Isolasi Candida sp. ditemukan pada 27 sampel subjek(77,1%). Total koloni Candida sp. pada anak dengan CD4+ rendah sebesar 1315(30-2100)CFU/ml dan CD4+ normal sebesar 30(0-1020)CFU/ml. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara jumlah CD4+ dengan jumlah koloni Candida sp.

Candida is an opportunistic fungi that is commonly found in HIV/AIDS patients. Decrease in CD4+ count in HIV infection, affects the nature of Candida sp. from commensal be pathogenic. This was a cross-sectional study to find out the relationship between CD4+ count and the number of Candida sp. from oral cavity in HIV children. Thirty-five children with HIV infection were divided into 3 groups according to CD4+ count. Isolation of Candida sp. were found in 27 samples of subjects (77.1%). The total colony Candida sp. was 1315(30-2100)CFU/ml in children with lower CD4+ count and 30(0-1020)CFU/ml in children with normal CD4+ count. The results showed a significant relationship between CD4+count and the number of Candida sp.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syarifah Miftahul El Jannah
"Latar belakang penelitian: Identifikasi spesies Candida penting untuk diagnosis, penentuan jenis obat dan prediksi kepekaan jamur terhadap obat anti fungal. Selama ini identifikasi dilakukan dengan uji konvensional: fisiologi-morfologi, yang relatif lama, hingga diagnosis dini sukar ditegakkan. Mengatasi masalah tersebut telah dikembangkan medium kromogenik yang mampu membedakan beberapa spesies Candida berdasarkan warna koloni. medium kromogenik yang saat ini tersedia di Indonesia adalah CHROMagar-Candida.
Tujuan penelitian: Membandingkan cara identifikasi Candida spp. dengan metode konvesional dan medium kromogenik CHROMagar Candida, serta mengetahui spesifisitas dan sensitivitasnya
Metodologi penelitian: Penelitian merupakan uji diagnostik. Sebanyak 134 sampel ditanam pada agar Sabouraud Dekstrosa dan dipurifikasi (340 isolat). Setiap isolat diidentifikasi dengan CHROMagar Candida, uji fisiologi dan morfologi (agar tajin/tepung jagung-Tween 80, dan uji pembentukan germ tube).
Hasil dan kesimpulan: Dengan CHROMagar-Candida, dapat diidentifikasi 148 (43,5%) isolat, 192 (56,7%) tidak dapat diidentifikasi. Spesies yang teridentifikasi: C. tropicalis (21,5%) koloni berwama ungu di tengah pucat di tepi, C. albicans (11,8%) warna koloni hijau terang, C parapsilosis (5,9%) koloni berwarna putih hingga merah jambu pucat, C glabrata (2,1%) koloni merah jambu pucat dengan permukaan koloni halus, C krusei (0,3%) koloni merah jambu pucat dengan permukaan koloni kasar dan Trichosporon sp (2,1%) koloni berwarna abu-abu dengan tipe koloni halus dan kasar. Yang tidak dapat
diidentifikasi, C pelliculosa, C. guilliermondii, C. langeroni, C Intermedia, C mogii, C lusitaniae, C utilis, C fennica, C obtuse, C sphaerica, C famata dan R. rubra.
Spesifisitas dan sensitivitas CHROMagar-Candida untuk identifikasi C trop/calls 80,8% dan 27,8%, C albicans 99,3% dan 65,5%, C parapsilosis 96,9% dan 100%, Trichosporon sp 100% dan 21,8%. CHROMagar-Candida tidak dapat menggantikan uji konvensional dalam mengidentifikasi Candida spp, terutama Candida non-C albicans.

Identification Of Candida Species From Clinical Specimens, Using Chromogenic Medium, Physiology And Morphology Test.Background : Species identification of Candida is important to establish to diagnosis, to determine the medicine needed and also to predict susceptibility of fungi to antifungal drugs. Up to now, identification is conducting using conventional method i.e. physiology-morphology which is time consuming. Thus early diagnosis could not be established. To offer come this problem chromogenic medium has been develop to distinguish species of Candida based on the colour of colony. Chromogenic medium that find on Indonesia is CHROMagar-Candida.
Aim :To compare CHROMagar Candida and conventional method in identification of Candida spp. specificity and sensitivity of CHROMagar Candida was also determined. Research Methodology: This study diagnostic investigation using cross sectional design. Those were 134 samples plated on Sabouraud Dektrosa Agar/SDA than purified that yields 340 isolates. It is isolate was identified by CHROMagar Candida and conventional method.
Result and Conclusions: Using CHROMagar 148 (43.5%) isolates can be identified were as 192 (56.7%) could not be identified. Species that can be identify were : C. tropicalis (21.5%) with purple colour in the centre and pale purple at the edge of colony, C alb/cans (11.8%) with bright green colour, C parapsilosis (5.9%) with white to pale pink, C. glabrata (2.1%) has a pale pink colour and smooth surface, C krusei (0.3%) is pale pink and rough surface, and Trichosporon sp. (2.1%) is gray with smooth or rough surface. Species that can not be identified by CHROMagar-Candida were : C pelliculosa, C guilliermondii, C langeroni, C intermedia, C mogii, C.lusitaniae, C utilis, C fenica, C. obtuse, C. sphaerica, C fanata, and R. rubs
Specificity and sensitivity CHROMagar Candida identifying C. tropicalis is 80.8% and 27.8%, C. alb/cans is ' 99.3% and 65.5%, C.parapsllosis is 96.9% and 100%, Trichosporon sp is 100% and 21.8% consecutively. Although conventional can not replace by CHROMagar Candida especially for Candida non C alb/cans identifications.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13662
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesti Adininggar
"Ruang Lingkup dan Cara penelitian : Kandidosis bukan disebabkan oleh Candida albicans saja, dapat pula disebabkan oleh C. krusei, C. parepsilosis, C. lusitaniae, C. tropicalis, C. glabrata, C. stellatoidea, C. kefyr dan C. guilliermondii. Penentuan spesies Candida penyebab kandidosis di laboratorium umumnya ditegakkan dengan uji germ tube, CMT, EMB dan agar glukosa 0,1 %. Baik uji germ tube, CMT dan EMB maupun agar glukosa 0,1 % tidak dapat membedakan spesies-spesies Candida tersebut. Oleh karena itu diperlukan metode yang mampu mengidentifikasi semua spesies Candida. Untuk penentuan spesies tersebut dilakukan dengan uji fermentasi dan asimilasi deret gula yang merupakan uji Baku. Identifikasi pasti diperoleh bila tidak terdapat kontaminasi baik oleh bakteri maupun spesies Candida lain. Maka kepastian bahwa jamur yang diuji terdiri dari satu spesies saja harus terpenuhi. Selain mencegah kontaminasi, banyaknya macam deret gula yang diujikan juga perlu dipenuhi. Apabila macam deret gula yang diuji kurang dan ditemukan pola yang sama maka identifikasi pasti spesies tidak terpenuhi. Untuk memperoleh basil identifikasi spesies pasti maka dilakukan uji koloni-satu-spora sebelum uji fermentasi dan asimilasi deret gula dilakukan. Uji koloni-satu-spora yaitu pemumian koloni dengan Cara memisahkan spora-spora. Pada penelitian ini 9 isolat yang diperiksa berasal dari penelitian sebelumnya (Mulyati, tesis) dengan hasil "meragukan" dan 6 isolat dengan identifikasi spesies pasti, sebagai kontrol. Semua isolat pada penelitian ini diambil masing-masing 16 spora dengan perincian diambil 4 spora dan dilakukan sebanyak 4 kali. Koloni hasil pemumian yang tumbuh kemudian diidentifikasi dengan uji fisiologis deret gula, yaitu : glukosa, laktosa, maltosa, sukrosa, galaktosa, trehalosa, raffinosa dan cellobiosa.
Hasil dan Kesimpulan : Hasil identifikasi spesies Candida dari 15 isolat dengan uji fermentasi dan asimilasi 5 deret gula saja diperoleh 6 spesies Candida. Sedangkan hasil identifikasi spesies Candida dari isolat yang sama setelah dilakukan uji kolonisatu-spora sebanyak masing-masing 4 X 4 spora dan uji fisiologis 8 macam deret gula diperoleh 9 spesies Candida, 3 spesies tersebut adalah C. lusifaniae, C. kefyr dan C. guilliermondii. Baik pada isolat "meragukan" maupun kontrol ternyata dapat terdiri lebih dari satu spesies Candida. Maka hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa penentuan spesies pasti Candida memerlukan uji koloni-satu-spora lalu uji fermentasi dan asimilasi dengan delapan macam deret gula."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Rozaliyani
"Ruang lingkup dan cara penelitian:
Sejak awal 90an frekwensi kandidosis sistemik meningkat tajam, mortalitasnya mencapai 40-60%. C. albicans masih menjadi penyebab terbanyak, meskipun dilaporkan terjadinya pergeseran profil infeksi oleh spesies lain. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi dan profil infeksi, faktor risiko yang diduga berperan, prevalensi resistensi dan profil sensitivitas resistensi Candida spp yang diisolasi dari darah neonatus dengan dugaan kandidemia terhadap flukonazol dan itrakonazol, serta hubungan antara clinical outcome dengan hasil uji resistensi. Hasil penelitian bermanfaat dalam menentukan panduan pencegahan dan penanganan infeksi. Penelitian ini bersifat cross sectional. Sampel penelitian adalah 68 isolat berbagai spesies Candida dan Trichosporon dan darah 52 neonatus dengan kondisi sepsislberpotensi sepsis di Sub-bagian Perinatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSUPNCM dan merupakan koleksi Bagian Parasitologi FKUI yang telah diidentifikasi. Uji resistensi dilakukan dengan metode Etest.
Hasil dan kesimpulan:
Prevalensi kandidemia pada neonatus dengan kondisi sepsislberpotensi sepsis dalam penelitian ini mencapai 62,96%. Profit infeksi memperlihatkan C. tropicalis sebagai penyebab terbanyak (48,5%), diikuti T. variabile (19,1%), C. guilliermondii (14,7%), C. albicans (11,8%), C. glabrata (4,4%) dan C. lusitaniae (1,5%). Faktor risiko pasti kandidemia belum dapat dijawab dalam penelitian ini. Faktor risiko yang diduga berperan antara lain kelahiran prematur dan/BBLR, penggunaan kateter intravenalinfus, antibiotik sistemik, underlying diseases, kemungkinan infeksi dari petugas kesehatan dan adanya sumber infeksi dari berbagai peralatan kesehatanlperalatan penunjang lain. Prevalensi resistensi terhadap flukonazol lebih rendah (3,8%) dibandingkan terhadap itrakonazol (9,6%). Secara in vitro sensitivitas Candida spp terhadap flukonazol lebih baik dibandingkan terhadap itrakonazol. Clinical outcome dart hasil pemeriksaan resistensi Candida spp. Tidak menunjukkan hubungan bermakna."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13630
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyati
"Candida merupakan genus jamur yang saring menginfeksi organ tubuh manusia dan merupakan jamur oportunis. Akhir-akhir ini sering dilaporkan adanya penurunan efektifitas obat golongan azol terhadap beberapa spesies Candida sehingga menyulitkan dalam pengobatan kandidosis. Walaupun di Indonesia belum pernah dilaporkan adanya resistensi terhadap obat golongan azol, akan tetapi untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya resistensi, maka perlu peningkatan diagnosis laboratorium hingga spesies secara dini. Umumnya metoda identifikasi ditujukan khusus untuk mengidentifikasi spesies C. albicans, karena spesies ini terbanyak ditemukan sebagai penyebab kandidosis serta metoda yang digunakan adalah metoda morfologi. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk membandingkan apakah metoda identifikasi berdasarkan morfologi memberikan hasil yang sama dengan metoda berdasarkan fisiologi yaitu uji fermentasi dan asimilasi karbohidrat.
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah 132 isolat Candida yang berasal dari bahan klinik tersangka penderita kandidosis. Isolat kemudian dimurnikan dengan membiak Ulang ke dalam medium baru agar Sabouraud dekstrosa dan setelah koloni berumur 2 hari kemudian dilakukan pembiakan kedalam medium putih telur, agar tepung jagung dan medium cair Beret gula untuk melihat karakteristik morfologi dan fisiologi.
Hasil yang diperoleh dengan uji fermentasi dan asimilasi karbohidrat, memperlihatkan pola distribusi beberapa spesies Candida dengan jumlah yang berbeda yaitu C. albitan 68,18%, C. glabrata 12,12%, C. krusei 6,06%, C, tropicalls 3,79%, C. parapsilosis 3,03%, C. stellatoidea, C. guilliermodi dan Trichosporon cutaneum masing-masing 2,27% dari 132 isolat Candida. Metode morfologi yang digunakan untuk identifikasi spesies C. albicans/C.stellatoidea adalah uji pembentukan germ-tube dalam medium putih telur (uji GT) serta uji pembentukan klamidospora pada biakan agar tepung jagung Tween-BO (uji CMT). Pada uji GT isolat Candida yang berhasil membentuk germ-tube sebanyak 66 isolat {50%) sedangkan dengan uji CMT isolat yang berhasil membentuk klamidospora berjumlah 74 isolat (56,06%) dari 132 isolat. Dengan uji morfologi tidak dapat membedakan antara C. albicans dengan C. stellatoidea, karena kedua spesies ini mempunyai morfologi yang hampir same. Uji CMT selain digunakan untuk identifikasi spesies C.albir_ans/C.steIlatoidea, dapat pula mengidentifikasi spesies Candida yang lainnya dengan melihat susunan hifa semu yang spesifik. Dari 132 isolat yang dibiak dalam medium CMT, 21 isolat (15,9'/.) mempunyai susunan hifa semu yang tidak spesifik untuk spesies tertentu sehingga kesalahan identifikasi dapat terjadi dan 22 isolat atau 16,67% hanya membentuk blastospora, sehingga penentuan spesies tidak dapat dilakukan. Isolat-isolat ini kemudian dibiakan dalam medium cair deret gula dan spesies Candida yang tidak teridentifikasi dengan uji morfologi, ternyata dengan uji deret gula ini dapat ditentukan spesiesnya.
Perbandingan hasil identifikasi antara biakan CMT dengan uji deret gula memberikan perbedaan yang sangat bermakna dengan rumus McNemar (X2= 11,25; P < 0,05 untuk uji fermentasi dan X2 = 16,06; P < 0,05 untuk uji asimilasi karbohidrat). Demikian pula perbandingan hasil identifikasi antara uji GT dengan uji deret gula memberikan perbedaan yang sangat bermakna (x2 = 18,89; p < 0,05 untuk uji fermentasi dan x2 = 24,04; p < 0,05 untuk uji asimilasi). Ini membuktikan bahwa spesies Candida yang berhasil diidentifikasi dengan uji deret gula tidak semuanya dapat diidentifikasi dengan uji morfologi (uji GT dan CMT). Berarti hipotesis yang diajukan dapat diterima.
Jumlah spesies Candida yang berhasil diidentifikasi dengan uji fermentasi adalah 88 isolat C. albicans dan 5 isolat C. stellatoidea, sedangkan dengan uji asimilasi berhasil diidentifikasi 90 isolat C. albicans dan 3 isolat C. stellatoidea. berarti dengan uji fermentasi ada 2 isolat C.albicans yang tidak teridentifikasi karena tidak dapat memfermentasi sukrosa, laktosa dan galaktosa sehingga dimasukkan ke dalam pola C. stellatoidea. Dari 90 isolat C. albicans yang terdeteksi dengan uji asimilasi ternyata mempunyai pola fermentasi yang berbeda-berbeda pada karbohidrat sukrosa. 27 isolat dengan fermentasi sukrosa (-), 2a isolat hanya terjadi perbbahan warna saja pada sukrosa atau 3(A) dan 35 isolat tidak terjadi fermentasi atau S(-). Perbedaan pola fermentasi ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan sifat dari dari setiap strain C, albicans yaitu C. albicans tipe A dan tipe B.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa metoda morfologi tidak dapat mendeteksi seiuruh spesies Candida serta tidak dapat membedakan antara C. albicans dengan C. steIlatoidea. Terdapat perbedaan hasil identifikasi antara uji fermentasi dan asimilasi karbohidrat (uji fisiologi) dengan uji GT dan CMT (uji morfologi).

Candida is an opportunistic fungus and can cause diseases in human body. At present it was reported that there is the decrease of effectivity of azole derivatives to some species of Candida. Though in Indonesia there is no report of resistency against Candida spp but it is necessary to anticipate by increasing laboratory diagnostic in order to make early species identification. In general the morphological identification method was aimed to identify C.albicans, due to its bigest role in causing the disease. The aim of this study is to compare weather morphological based identification method has the same result with physiological based method such as fermentation and assimilation of carbohydrate.
The materials used in this study were 132 isolates originated from clinical specimen from candidosis patients. The purification was done by inoculation onto fresh Sabourand dextrose agar and after 2 days was inoculated to white egg medium, corn meal agar and carbohydrate solution to get the morphological and physiological characteristic.
The distribution of Candida spp according to fermentation and assimilation test was 68,18% C.albicans, 12,12% C.glabrata, 6,06% C.krusei, 3,79% C.tropicalis, 2,27% C.= tel latoidea, 2,27% C.gui Ilier?mondi i and 2,27% Trichosporon cutaneum. The morphological tests used for identification of C.albican5/C.stellatoidea were germ-tube formation test in white egg medium and chlamidospare formation test in corn meal Tween-BO agar. Out of 132 isolates, 66(50%) produces germ--tube and 74(56,06%) produces chlamidaspare. Morphological test could not differ C.albicans and C.stelIatoidea. The formation of pseudo-hyphae in corn meal Tween-8O agar could be use to identify other Candida spp. From 132 isolates inoculated in the CMT medium, 21(15,9%) has no specific pseudo-hyphae formation that could result in misidentification and 22 isolates grows as blastospore which made the identification impossible. All those isolates were inoculated in sugars medium and can be identified.
The comparison between the result of CMT and fermentation test is highly significant (McNemar X2 = 11,25 and p<0,05) and also for assimilation test (McNemar x2 = 16,06 and p<0,05). The comparison between germ-tube formation test and fermentation test is highly significant (McNemar X2 = 1B,89 and p<0,05) whereas the comparison with assimilation test showed the same result (x2 = 24,04 and p<0,05). It was proven that sugar fermentation and assimilation test iliere better than morphological test. It means that the proposed hypothesis was accepted.
Using the fermentation test 80 isolates were identify as C.albicans whereas 5 were identify as C.stellatoidea. The result of assimilation test were as follows, 90 isolates identify as C.albicans and 3 isolates as G_stellatoidea. There are two isolates .in the fermentation test with could not be identify as C.albicans due to lack: of capability in fermenting sucrose, lactose and galactose, so they were included to C.stellatoidea. The assimilation test of the 90 isolates of C.albicans shows different pattern in the assimilation of sucrose. Twenty seven isolates were capable of sucrose fermentation, 28 shows color changes only and 35 isolates does not capable of fermenting sucrose. The differences here may be due to the serotype A and B of C.albicans.
It can be concluded that morphological based method could not detect all of the species of Carzdida and could not differ between C.albicans and C.stellatoidea. There are significance differences between morphological based test and physiological based test.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyati Sutarto
"ABSTRAK
Candida dikenal sebagai khamir yang bersifat komensal di dalam tubuh manusia dan infeksi dapat terjadi bila pada tubuh pejamu terdapat faktor predisposisi dan beberapa spesies Candida dapat sebagai penyebab kandidosis. Penentuan spesies secara dini dapat membantu dalam pemberian obat secara tepat. Metodologi identifikasi biasanya berdasarkan pada morfologi dengan teknik biakan tipis dengan menggunakan agar tepung jagung atau agar tajin. Pada penelitian ini ingin dicoba medium dengan bahan dasar kacang hijau untuk identifikasi spesies Candida dengan tujuan untuk mencari medium alternatif yang dapat menggantikan mendium agar tepung jagung .
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 87 isolat Candida yang berasal dari biakan. Bahan klinik dan spesies Candida ditentukan berdasarkan uji fermentasi dan asimilasi karbohidrat. Terhadap isolat tersebut dilakukan pembiakan ke dalam medium agar tepung kacang hijau, agar tepung jagung dan medium cair putih telur.
Hasil identifikasi dari 87 isolat Candida didapatkan 55 isolat C. albicans, 17 isolat C.parapsilosis, 8 isolat C.glabrata, 3 isolat C.tropicalis, 2 isolat C.guilliermondii dan 1 isolat masing-masing C.krusei dan Trichosporon. Hasil biakan tipis dari 55 isolat C.albicans pada medium agar tepung kacang hijau didapatkan 42 isolat dapat membentuk klamidospora,sedangkan pada medium agar tepung jagung 45 isolat yang dapat membentuk klamidospara. Setelah dilakukan pengujian statistik dengan McNemar ternyata tidak terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai X2= 0.235, p > 0.05. Ini berarti bahwa medium tepung kacang hijau sama baiknya dengan medium tepung jagung untuk identifikasi spesies Candida.
Kesimpulannya adalah medium alternatif agar tepung kacang hijau dapat dipakai untuk identifikasi spesies Candida dan dapat menggantikan medium agar tepung jagung.

ABSTRACT
Candida is a comensal organism in human, body and infection can be occur when there is predisposing factors and several Candida app are able to cause candidosis. Rapid identification of Candida species can exactly help in the treatment. The method of identification usually based on morphology by using the slide-culture technique (corn meal and rice cream agar media). In this research was to try to use green pea medium to identify Candida species and the aim of this research is to look for the alternative medium that can be substitute corn meal agar medium.
87 isolates of Candida from clinical material culture have been identified to Candida species using fermentation and assimilation carbohydrate test. And then from these isolates were cultured on green pea agar, corn meal agar and egg-white media.
The result of identification by using carbohydrate test were 55 C.albicans, 17 C.parapsilosis, 8 C.giabrata, 3 C. tropicalis, 2. C.guilliermondii, 1 C.krusei and 1 Trichosporon. From 55 isolates C.albicans by using green pea agar medium culture, 42 isolates were positive to form chlamidospora; whether by using corn meal agar 45 isolates were positive to form chlamidospora. There was no significant difference between green pea agar and corn meal agar (McNemar x2 = 0.235, p > 0.05).
Conclusion: green pea agar is an alternative medium can be used to identify Candida species and can substitute corn meal agar."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyati
"Candida merupakan jamur yang dapat hidup sebagai saprofit di saluran pernapasan, saluran cerna dan kotoran di bawah kuku orang sehat. Selain sebagai komensal jamur tersebut juga dapat menyebabkan infeksi atau kandidosis baik superfisial maupun sistemik. Perubahan dari bentuk saprofit menjadi patogen terjadi bila ada faktor predisposisi yang biasanya merupakan penurunan imunitas tubuh. Salah satu keadaan dengan penurusan sistem imunitas adalah HIV/AIDs yang dapat mengubah sifat jamur yang semula komensal menjadi patogen. Pada penderita AIDS biasanya terjadi kandidosis oral atau esofagitis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui spesies Candida yang diisolasi dari tinja penderita HIV/AIDS dengan diare. Bahan penelitian yang digunakan adalah 95 sampel tinja penderita HIV/AIDS yang menderita diare. Tinja penderita dibiak pada medium SDA kemudian dilanjutkan dengan identifikasi spesien secara morfologis dan biakan dengan Chromagar. Pada isolasi didapatkan 71 (&4,74%) dari95 biakan tumbuh koloni khamir yang terdiri dari Candida 42 (44.21%), Geotichum (25.26%), campuran Candida danGeotrichum 3 (3.16%), Rhodotorula dan Trichosporon masing masing 1 (1.05%). Identifikasi species Candida menghasilkan tujuh spesies yaitu C. albicans, C. tropicalis, C. krusei, C. guilliermondii, C. glabrata, C. lusitaniae dan C. kefyr. Ternyata dari tinja penderita HIV AIDS dapat diisolasi berbagai spesies khamir. Dengan penelitian ini memang belum dapat dipastikan peran khamir di atas sebagai penyebab penyakit, namin perlu diingat bahwa salah satu petanda masuknya seorang pengandung HIV menjadi AIDS adalh infeksi Candida superfisial, jadi kemungkinan peran Candida sebagai penyebab diare tidak dapat disingkirkan.

Candida is asaprophyte in the human respiratory tract, gastro intestinal tract and also in the debris under the nail. In patients with compromised immunity such as HIV-AIDS, Candida is able to cause infection, in this case oral candidosis or esophagitis. In this study fungi were isolated from the stools of HIV/AIDS patients. Samples consisting of 95 diarrheic stools from HIV/AIDS patients were investigated for the yeast especially Candida spp. The stools were inoculated onto Sabouraud dextrose agar then the fungi were identified using morphological methods and Chromaga medium. Yeast colonies were found in 71 (74.74%) out od 95 samples from which Candida was 42 (44.21%), Geotrichum 24 (25.26%), and mixed of Candida and Geotrichum 3 (3.16%), Rhodotorula and Trichosporon 1 (1.05%) each. Species of Candida were identified as C. albicans, C.tropicalis, C. kruesei, C. guilliermondii, C. glabrata, C. lusitaniae dan C. kefyr. Although Candida could be isolated from the diarrheic stolls of HIV/AIDS patients but its role on the cause of diarrhea is still questionable."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, 2002
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>