Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 117599 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yesi Mardhatillah
"Latar belakang : Gangguan penghidu saat ini lebih disadari oleh masyarakat akibat terjadinya pandemi COVID-19. Tatalaksana gangguan penghidu pasca-virus belum disepakati secara universal meskipun beberapa obat telah diuji coba. Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran jenis dan derajat gangguan penghidu pasca-virus serta efektifitas kombinasi latihan penghidu ortonasal (LPO) dan protokol terapi penghidu terhadap perbaikan fungsi penghidu pasca-virus. Metode: Penelitian dilakukan bulan Februari – Mei 2022 di poliklinik THT-KL RSCM. Desain penelitian yang digunakan uji kuasi eksperimental 1 grup pre dan post test dengan 12 subjek gangguan penghidu yang terjadi mendadak pasca infeksi virus. Subjek penelitian dilakukan penilaian fungsi penghidu dengan uji penghidu alkohol (UPA), uji penghidu intravena (UPI) dan sniffin stick test (SST). Subjek penelitian diberikan kombinasi LPO dan protokol terapi hidung yang terdiri dari irigasi hidung, steroid intranasal, dekongestan topikal, omega-3 dan oles balsam aromatik selama 6 minggu kemudian dilakukan penilaian statistik. Hasil: Didapatkan hiposmia 8 subjek dan ansomia 4 subjek. Pada subjek hiposmia terdapat 2 subjek pantosmia dan 3 subjek parosmia, sedangkan pada subjek anosmia didapatkan 1 subjek pantosmia. Pada penelitian ini didapatkan 9 subjek jenis sensorineural dan 3 subjek jenis konduksi. Setelah dilakukan terapi didapatkan hasil siginifikan berdasarkan pemeriksaan UPA, UPI, diskriminasi, identifikasi dan total ADI (p<0,05). Kesimpulan: Karakteristik gangguan penghidu pada penelitian ini sesuai dengan jenis gangguan penghidu sensorineural dan konduksi serta derajat anosmia dan hiposmia. Kombinasi LPO dan protokol terapi hidung selama 6 minggu terbukti efektif pada gangguan penghidu pasca-virus.

Background: Postviral olfactory dysfunction is becoming more aware of the public due to the COVID-19 pandemic. The management of chronic postviral olfactory dysfunction is still unknown, although several drugs have been tried, but the treatment is not universally agreed yet. Objective: This study was conducted to describe the types and degrees of postviral olfactory dysfunction and the effectiveness of the combination of orthonasal olfactory training and nasal protocols therapy on the improvement of postviral olfactory function. Methode: The research was conducted from February to May 2022 at ENT outpatient clinic Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. The research design used was a quasi-experimental test with 1 pre and post-test group with 12 subjects with olfactory dysfunction that occurred suddenly after viral infection. The research subjects will be assessed for olfactory function using the alcohol sniff test (AST), the intravenous olfactory test (IOT) and the sniffin stick test (SST). Subjects will be given a combination of orthonasal olfactory training and a nasal protocol therapy consisting of nasal irrigation, intranasal steroids, topical decongestants, omega-3 and aromatic balsam for 6 weeks then statistical analysis was performed. Results: There were 8 subjects with hyposmia and 4 subjects with ansomia. In hyposmic subjects there are 2 phantosmia subjects and 3 parosmia subjects, while in anosmia subjects there are 1 subject with phantosmia. The types of post-viral olfactory disorders in this study were 9 sensorineural subjects and 3 conductive subjects. The results of statistical calculations of olfactory function after therapy were found to be significant based on AST, IOT, discrimination, identification and TDI (p<0.05). Conclusion: The characteristics of the olfactory dysfunction in this study are sensorineural and conduction olfactory dysfunction. The combination of orthonasal olfactory training and nasal protocol therapy for 6 weeks has been shown to be effective in improving olfactory function in postviral olfactory dysfunction."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Parmaditya Pamungkas
"Latar belakang: SARS-CoV2, virus yang menyebabkan COVID-19 merupakan masalah kesehatan terbesar yang dihadapi dunia dewasa ini. Gangguan penghidu dan pengecap saat ini telah diakui menjadi suatu entitas gejala pada COVID-19 namun studi terkait evaluasi objektif dan tata laksana gangguan ini masih sangat terbatas.
Tujuan penelitian: Mengetahui gambaran klinis gangguan penghidu pada COVID-19 berdasarkan uji penghidu alkohol (UPA) dan uji penghidu intravena (UPI) serta efektifitas terapi hidung sebagai tambahan terapi standar pasien COVID-19 dengan gangguan penghidu.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol paralel dengan penyamaran tunggal pada 2 kelompok menggunakan 24 pasien terkonfirmasi COVID-19 yang mengalami gangguan penghidu dan dirawat di RS Cipto Mangunkusumo periode Juli-Oktober 2020. Penapisan gangguan penghidu menggunakan UPA dan dilanjutkan dengan UPI. Protokol terapi hidung yang digunakan terdiri dari steroid intranasal, cuci hidung Nacl 0,9%, dekongestan topikal dan balsam aromatik selama 2 minggu kemudian dilakukan analisis statistik perbedaan delta pada hasil pemeriksaan UPA dan UPI menggunakan Uji T independent atau Uji Mann Whitney.
Hasil: Terdapat 4 subyek yang keluar dari penelitian dan analisis akhir dilakukan hanya pada 10 subyek per kelompok. Pada pengukuran awal didapatkan rerata nilai pengukuran UPA yang terganggu (kontrol 5,13 ± 3,79; terapi 2,6 ± 2,23). Pada pemeriksaan UPI didapatkan perlambatan onset UPI {kontrol 26 (8-300); terapi :131,5 (20-300)} penurunan nilai durasi {(kontrol:111 (0-182); terapi:44 (0-70)}. Uji perbedaan delta semua variabel pasca terapi didapatkan bahwa terdapat hasil perbedaan signifikan pada onset UPI kelompok terapi (p<0,001) dibandingkan kontrol. Terdapat peningkatan persentase perbaikan semua biomarka: UPA (170,13%), onset UPI (13,45%), dan durasi UPI (32,82%) pada kelompok terapi dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan keunggulan persentase >10%.
Kesimpulan: Karakteristik gambaran gangguan penghidu pada subyek COVID-19 pada penelitian ini sesuai dengan jenis gangguan penghidu sensorineural. Subyek pada kedua kelompok mengalami perbaikan gangguan penghidu pasca follow up 2 minggu. Pemberian terapi hidung memberikan nilai tambah dengan bukti awal perbaikan pada nilai onset UPI dibanding pemberian terapi standar saja.

Background: SARS-CoV2, the virus that causes COVID-19, makes the disease biggest health problem the world facing today. Smell and taste disorders are currently recognized as a symptom entity in COVID-19, but studies related to objective evaluation and management of this disorder are still very limited.
Aim : To evaluate the clinical presentation of olfactory disorders in COVID-19 based on the alcohol sniff test (AST) and the intravenous olfaction test (IOT) and the effectiveness of the nasal therapy protocol as an adjunct to standard therapy in COVID-19 patients with olfactory disorders.
Methods: This study was a two-group single-blind randomized trial of 24 COVID-19 patients with olfactory disorders in Cipto Mangunkusumo General Hospital from July to October 2020. Assestment of olfactory function in this study was performed using AST and IOT. Screening for olfactory disorders performed using AST and followed by IOT. The nasal therapy used consisted of intranasal steroids, Nacl 0,9% nasal washing, topical decongestants and aromatic balms for 2 weeks. Statistical analysis of delta differences was carried based on the results of AST and IOT using independent T test or Mann Whitney test.
Results: Four subject were lost to follow up. The final analysis was performed on each 10 subjects per group. The initial measurement showed all subjects included in this study have decreased AST value (control: 5.13 ± 3.79; therapy: 2.6 ± 2.23). Late onset IOT {control: 26 (8-300); therapy: 131.5 (20-300)}, decreased duration {(control: 111 (0-182); therapy: 44 (0-70)}. Statistical tests of delta differences of all post-therapy variabel found that there were significant results on delta IOT latency in the treatment group (p <0.001). There were difference of the percentage improvement of AST (170.13%), IOT onset (13.45%), and duration of IOT (32.82%) in the therapy group compared to the control group. with a percentage advantage >10%.
Conclusion: The characteristics of the olfactory disorder in COVID-19 subjects in this study were in accordance with the type of sensorineural olfactory disorders. Both subject of two groups have showed improvement in two weeks follow up. The administration of a nasal therapy provides early evidence of improvement in the IOT onset value compared to standard therapy alone.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ferucha Moulanda
"Trauma kepala merupakan penyebab tersering gangguan penghidu yang masih merupakan tantangan dikarenakan belum ditemukan tatalaksana yang definitif. Gangguan penghidu dapat berupa tipe konduktif dan/sensorineural dan dapat berupa penurunan kemampuan dalam mendeteksi odoran yang disebut hiposmia atau hilangnya kemampuan mendeteksi odoran yang disebut anosmia. Tatalaksana latihan penghidu dapat berupa Latihan Penghidu Orthonasal (LPO) yaitu dengan memberikan paparan odoran berulang dari anterior hidung dalam jangka waktu tertentu dan diharapkan dapat membangkitkan sensitifitasolfaktori dan memodulasi neuroplastisitas. Latihan Penghidu Retronasal (LPO) merupakan latihan yang mengintegrasikan sistem olfaktori, gustatori dan somatosensori yang bertujuan menciptakan cita rasa yang kuat dan dapat membangkitkan memori olfaktori. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan penghidu pasca cidera kepala dan mengetahui serta membandingkan efektifitas LPO dengan kombinasi LPO dan LPR. Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol paralel 2 kelompok, dilakukan di poliklinik THT FKUI-RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan April 2019 sampai dengan September 2019 terhadap pasien yang mengalami gangguan penghidu pasca cidera kepala usia 18-50 tahun. Dari penelitian ini diketahui latihan OOT dan kombinasi OOT dan ROT sama-sama dapat meningkatkan fungsi penghidu dan tidak terdapat perbedaan efektifitas latihan OOT dengan kombinasi latihan OOT dan ROT dalam meningkatkan fungsi penghidu pasien pasca trauma.

Head injury is a challenging cause of olfactory dysfunction due to limited definitive treatment of choice. Olfactory dysfunction can be divided into conductive and/sensorineural type and also based on decrease ability or inability to detect odoran called hyposmia and anosmia. Orthonasal olfactory training (OOT) is using repeated exposure of odoran form anterior nostril within certain period time to increase the olfactory sensitivity and modulate neuroplasticity. Retronasal olfactory training (ROT) is an integrated training of olfacoty, gustatory and somatosensory systems that create a strong flavour and evokes olfactory memory. This study aimed to identify type and grade of post traumatic olfactory dysfunction and to identify and compare the efficacy of OOT with combined OOT and ROT. This 2 groups randomized clinical trial study, conducted at the ORL-HNS polyclinic FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo on April 2019 to September 2019 of post traumatic olfactory dysfunction patients between 18-50 years old. This study showed that OOT and combined OOT and ROT were both effective and wasn’t different statistically in increasing olfactory function post head injury."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzia Maulidiastuti Kusmarani
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh pengayaan olfaktori terhadap perilaku adaptif populasi harimau sumatra di Taman Margasatwa Ragunan (TMR).  Pengayaan olfaktori yang diberikan berupa feses babi hutan (Sus scrofa) dan rusa sambar (Rusa unicolor).  Pengamatan berlangsung selama tujuh pekan efektif dengan komposisi tiga pekan pengamatan awal, dua pekan pengayaan, dan dua pekan pascapengayaan.  Pengambilan data seluruhnya menggunakan ethogram digital sebagai upaya peningkatan efisiensi penelitian.  Data utama berupa jenis, durasi, dan frekuensi perilaku untuk penghitungan time budget.  Data tambahan berupa pola interaksi dan penggunaan ruang digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam analisis.  Peningkatkan efisiensi pengambilan data tercapai melalui sistem pencatat otomatis untuk perilaku, waktu, posisi, dan objek interaksi.  Analisis statistika menunjukkan perbedaan signifikan pada persentase perilaku adaptif antara periode pengamatan awal (9,772 ± 1,920%) dan periode pengayaan (1,128 ± 0,289%).  Penurunan persentase perilaku adaptif diikuti oleh peningkatan perilaku eksplorasi positif.  Eksplorasi positif ditandai dengan perilaku interaksi dan lokomosi.  Peningkatan perilaku lokomosi bertahan hingga pemberian pengayaan dihentikan.  Perubahan level perilaku timbul karena adanya fluktuasi pada stimulus dalam kandang.  Dapat disimpulkan bahwa penggunaan ethogram digital mampu mempermudah proses observasi perilaku langsung.  Kesimpulan lain yang dapat ditarik dari penelitian ini yaitu pemberian pengayaan olfaktori dapat mengurangi prevalensi kemunculan perilaku adaptif harimau sumatra di TMR.


This research observed the effects of olfactory enrichments on the adaptive behavior of captive Sumatran tigers at Ragunan Zoological Park.  Olfactory enrichment was given in form of fresh prey feces obtained from Ragunan herbivore enclosures.  Observation ran for seven weeks with three weeks of baseline observation, two weeks of enrichment, and two weeks of post-enrichment observation.  The data collection process was entirely done through digital ethogram as an effort to optimize the research.  Core data consisted of behavior type, duration, and frequency.  Additional data included spatial mapping and interactions between tigers and objects.  Efficiency of data collection process was successfully improved through automatic recording of time, behavior, tiger position in the enclosure, and interaction targets.  Statistical analysis of time budget revealed significant differences between the prevalence of adaptive behavior pre-enrichment (9.8 ± 1.92%) and during enrichment (1.1 ± 0.29%).  Lowered levels of adaptive behavior is followed by an increase in positive exploratory behavior.  Positive exploratory behavior consists of behaviors from Interaction and Locomotion categories.  The increase in locomotion is observed even after enrichment ceased to be given.  Changes in behavior resulted from fluctuation of stimulus that the tigers were exposed to within the enclosure.  It can be concluded that digital ethogram increases the efficiency of data recording in direct observation and that olfactory enrichment influences the prevalence of Sumatran tiger adaptive behavior at Ragunan Zoological Park.

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
T52413
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mescher, Anthony L.
Jakarta: EGC, 2017
611.018 MES h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Mescher, Anthony L.
Jakarta: EGC, 2014
611.018 MES h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Tissa Indriaty
"ABSTRAK
Diagnosis gangguan penghidu memerlukan pemeriksaan yang akurat. Saat ini Departemen THT-KL RSUPN Cipto Mangunkusumo menggunakan Sniffin? Sticks sebagai pemeriksaan rutin. Uji penghidu intravena (UPI) merupakan pemeriksaan penghidu sederhana yang dapat melengkapi pemeriksaan Sniffin? Sticks dalam menilai jalur retronasal dan prognosis. Tujuan: Mengetahui sebaran nilai normal ambang penghidu berdasarkan UPI pada subjek dewasa tanpa gangguan penghidu. Metode: Penelitian potong lintang deskriptif yang dilakukan di Unit Rawat Jalan Terpadu THT-KL RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Januari-Februari 2016 dengan melibatkan 55 subjek normosmia. Hasil: Rerata (± simpang baku) nilai normal ambang berdasarkan UPI adalah 16,29 ± 5,52 detik dengan persentil 5 pada 9,46 detik dan persentil 90 pada 22,99 detik. Tidak terdapat korelasi antara hasil pemeriksaan ambang penghidu berdasarkan UPI dengan ambang penghidu maupun skor total pemeriksaan Sniffin? Sticks. Kesimpulan: Uji penghidu intravena dapat diaplikasikan dalam evaluasi fungsi penghidu sebagai pelengkap Sniffin? Sticks.

ABSTRACT
Background: The diagnosis of olfactory loss needs accurate examinations. At this moment, Department of Otolaryngology Head and Neck Surgery (ORL-HNS) has used Sniffin? Sticks as a routine examination. Intravenous olfaction test (IOT) is a simple examination to complement the Sniffin? Sticks examination( due to its ability to evaluate retronasal pathway and prognosis. Objective: To investigate the normative value of olfactory threshold using the IOT in adult subjects without olfactory loss. Method: This research is a cross sectional, descriptive study took place at ORL-HNS Outpatient Clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital included 55 normosmia subjects in January-February 2016. Results: Normative value of olfactory threshold using IOT was 16,29 ± 5,52 seconds (mean ± standard deviation) with the 5th percentile on 9,46 seconds and 90th percentile on 22,99 seconds. There was no correlation between the olfactory threshold results based on IOT with the olfactory threshold or the overall score of Sniffin? Sticks. Conclusion: Intravenous olfactory test is applicable for the evaluation of olfactory function, complementing the Sniffin? Sticks examination."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Adinda Janatry
"Keong tutut (Bellamya javanica) telah lama dikenal oleh masyarakat tradisional di Indonesia sebagai alternatif untuk mengobati penyakit kuning yang merupakan gejala penyakit hati, terutama karena kandungan asam amino yang diduga terdapat dalam keong tutut, khususnya asam amino glutamat, glisin, dan sistein. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh pemberian daging keong tutut sebagai hepatoprotektor melalui pengamatan histopatologi hati dan pengukuran aktivitas alkali fosfatase (ALP) dalam serum menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Sejumlah 36 ekor tikus putih jantan Sprague-Dawley dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan, yaitu kontrol normal, kontrol negatif, kontrol positif, dosis 1, dosis 2, dan dosis 3. Kelompok kontrol normal dan kontrol negatif diberikan CMC 0,5%, kontrol positif diberikan silymarin dosis 9,45 mg/200 g bb tikus sedangkan untuk kelompok dosis diberikan serbuk daging keong tutut dengan dosis berturut-turut 56 mg/200 g bb tikus, 112 mg/200 g bb tikus, dan 224 mg/200 g bb tikus selama 14 hari. Pada hari ke-15, semua kelompok kecuali kelompok kontrol normal diinduksi hepatotoksik dengan CCl4 untuk mendapatkan kondisi kerusakan hati kemudian semua tikus dipuasakan makan dengan tetap diberikan minum. Setelah 24 jam induksi CCl4, dilakukan pengukuran aktivitas ALP serum dan pembedahan untuk mengambil organ hati. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa pemberian daging keong tutut dosis 112 mg/200 g bb tikus dan 224 mg/200 g bb tikus mempunyai efek hepatoprotektor dalam mencegah kerusakan hati dibandingkan dengan kontrol negatif. Selain itu, terdapat perbedaan efek pada pemberian tiga varian dosis serbuk daging keong tutut. Dosis yang memiliki efek potensial sebagai hepatoprotektor adalah dosis 224 mg/200 g bb tikus (p < 0.05).

Fresh water snail (Bellamya javanica) has been known by traditional communities in Indonesia as an alternative to treat jaundice which is a liver disease symptoms, especially because its amino acid compounds, in particular, glutamic acid, glysine, and cysteine that can be found in tutut snail. This study aimed to observe the effect of fresh water snail flesh as hepatoprotector through liver histopathology and alkaline phosphatase (ALP) activities measurements in serum using UV-Vis spectrophotometer. A total of 36 white male rats of Sprague-Dawley were divided into 6 groups: normal control, negative control, positive control, dose 1, dose 2, and dose 3. Normal and negative control groups were received CMC 0,5%, positive control group were received silymarin dose 9,45 mg/200g bw rats and for dose groups were received fresh water snail flesh powder, consecutively, dose 56 mg/200g bw rats, dose 112 mg/200 g bw rats, and dose 224 mg/200 g bw rats for 14 days. On day-15, all groups, except normal control group, are hepatotoxicity induced by CCl4 to obtain liver damage in rats and were not allowed to eat for 24 hours. After 24 hours of CCl4 induced, ALP activities in serum was measured and the rats were being dissected to take the liver. The results showed that fresh water snail flesh powder at a dose of 112 mg/200 g bw and 224 mg/200 g bw give a hepatoprotective effect when being compared to negative control. In addition, there are variance effect in 3 doses and the potential effect as a hepatoprotector is given by dose 224 mg/200 g bw (p < 0.05).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
S59220
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asrafi Rizki Gatam
"ABSTRAK
Pendahuluan. Penggunaan autograft dalam fusi interkorpus tulang belakang masih menjadi pilihan utama, tetapi jumlah yang terbatas dan morbiditas pada tempat donor mendorong penggunaan substitusi tulang. Kombinasi HA dan DBM menjadi pilihan utama selain autograft dalam fusi interkorpus, namun hasil yang ada menunjukan variasi diantara jenis DBM. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi luaran klinis dan radiologis fusi interkorpus lumbal menggunakan kombinasi DBM dan HA.
Metode Penelitian. Penelitian ini merupakan prospektif cohort pada 35 pasien yang terbagi atas 18 pasien kelompok autograft dan 17 pasien kelompok kombinasi HA dan DBM. Pasien merupakan pasien spondilosis lumbal yang diindikasikan untuk tindakan operatif. Evaluasi klinis pada masing-masing kelompok pasca operasi menggunakan VAS, JOA dan ODI yang dinilai pada bulan ke-3, 6 dan 12. Evaluasi radiologis pada masing-masing berupa fusi di evaluasi dengan ct scan pada bulan ke-12. Karakteristik pasien seperti jenis kelamin, usia, riwayat merokok, level operasi, dan BMI juga dievaluasi.
Temuan Penelitian. Dua orang ahli bedah orthopaedi tulang belakang melakukan operasi stabilisasi posterior dan TLIF. Terdapat 55 pasien (27 kelompok autograft, 28 kelompok kombinasi HA dan DBM) yang masuk ke dalam kriteria, 9 pasien dari masing-masing kelompok di eksklusi karena tidak dapat di follow up sampai 12 bulan. Perbandinagn skor VAS, JOA dan ODI diantara kedua kelompok tidak menunjukan perbedaan yang bermakna dengan nilai p masing-masing 0,599, 0,543 dan 0,780. Perbandingan fusi antara kelompok autograft dan kombinasi HA dan DBM menunjukan nilai p 1,000, sehingga tidak bermakna secara statistik.
Simpulan Hasil luaran klinis dan radiologis pada penggunaan kombinasi HA dan DBM dalam fusi interkorpus tidak menunjukan inferioritas bila dibandingkan dengan autograft. Kombinasi HA dan DBM dapat dipertimbangkan sebagai alternatif bagi pasien spondilosis lumbal yang diindikasikan untuk tindakan operatif.

ABSTRACT
Introduction The use of autograft still remains a gold standard in lumbar interbody fusion surgery, but the limited amount and donor site morbidity encourages the use of bone substitute. Combination of HA and DBM become a main choice other than autograft in lumbar interbody fusion, however there were variable result between DBM product. These research was aimed to evaluate the clinical and radiological outcome of interbody fusion using combination of DBM and HA.
Methods A cohort prospective research was conducted in 35 patients that were divided into 18 autograft group patients and 17 combination of HA and DBM group patient. All the patients were diagnosed with lumbar spondylosis and indicated for surgery. Clinical evaluation on each group was evaluated using VAS, JOA and ODI on the 3rd, 6th and 12th month post operatively. Radiologic outcome of fusion was evaluated using ct scan on the 12th month. Other patient characteristic such as sex, age, smoking history, level operation dan BMI were also evaluated in this research.
Results Two orthopaedic spine surgeon conducted the posterior stabilization and TLIF procedure. There were 55 patients (27 autograft group patients, 28 combination of HA and DBM group patients) that was included according to the criteria, 9 patients on each group were excluded due to loss of follow up below 12 months. Comparison of VAS, JOA and ODI score between the two group did not show any difference that significant statiscally with the p value was 0.599, 0.543, and 0.780 each. Comparison of fusion rate between the two groups showed p value of 1.000 which was not significant statiscally.
Conclusions Clinical and radiological outcome of combination of HA and DBM in lumbar interbody fusion did not show inferiority compared with autograft. Combination of HA and DBM can be considered as an alternative in lumbar spondylosis patient that need operative procedure"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Satrio Prabowo
"ABSTRAK
Latar Belakang: Proses penuaan dapat menyebabkan perubahan fisiologis pada jaringan gigi dan mulut, termasuk fungsi pada sendi temporomandibula. Mastikasi merupakan salah satu fungsi sistem stomagtonati yang dapat dipengaruhi oleh gangguan sendi temporomandibula (Temporomandibula Disorders). Tujuan: Menganalisis hubungan antara gangguan sendi temporomandibula terhadap kemampuan mastikasi, serta menganalisis pengaruh faktor sosiodemografi terhadap gangguan sendi temporomandibula dan kemampuan mastikasi. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan desain cross sectional pada 100 pasien Puskesmas Kecamatan Kramat Jati berusia 60 tahun ke atas. Dilakukan pencatatan diri responden, pemeriksaan klinis intraoral, dan wawancara menggunakan kuesioner kemampuan mastikasi dan ID-TMD. Hasil penelitian: Gangguan sendi temporomandibula memiliki hubungan (p < 0,05) terhadap kemampuan mastikasi. Terdapat hubungan antara usia dengan gangguan sendi temporomandibula, tetapi tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin, tingkat pendidikan dan status ekonomi dengan gangguan sendi temporomandibula. Terdapat hubungan antara usia, tingkat pendidikan, dan status ekonomi dengan kemampuan mastikasi, tetapi tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kemampuan mastikasi. Kesimpulan: Terdapat pengaruh gangguan sendi temporomandibula terhadap kemampuan mastikasi pada lansia.

ABSTRACT
Background: Aging process involve physiological changes in the teeth and mouth tissues, including temporomandibular joint function. Mastication is one of the main functions of the stomatognathic system that may be affected by temporomandibular disorders. Objectives: To analyze the relationship between temporomandibular disorder towards masticatory ability, to analyze sociodemographic factors (age, gender, educational level, and economic status) towards temporomandibular disorder and masticatory ability. Methods: Cross-sectional study was conducted on 100 patients of Puskesmas Kramat Jati aged 60 years and over. Subject's data and oral examination were obtained, and interview for masticatory ability and ID-TMD were conducted. Results: There was correlation (p < 0.05) between temporomandibular disorder towards masticatory ability. There was correlation between age towards temporomandibular disorder, but there was no correlation between gender, educational level and economic status towards temporomandibular disorder. There was correlation between age, educational level, and economic status towards masticatory ability, but there was no correlation between gender towards masticatory ability. Conclusion: This study shows that temporomandibular disorders negatively influence masticatory ability in elderly."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>