Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108885 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khairil Anwar
"Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tentang desentralisasi asimetris di Indonesia pasca reformasi berupa bagaimana penerapannya dan bagaimana bentuk ideal yang seharusnya diterapkan. Teori yang digunakan adalah teori Agus Brotosusilo yang bersumber dari Pancasila yang barasal dari hukum adat nusantara berupa dominannya sikap komunal dari individual, spiritual daripada materialisme dan romatisme dari rasionalisme. Selain itu digunakan juga teori lainnya berupa teori konflik Dahrendorf. Hasil penelitian ini mengungkap terjadi resentralisasi dari daerah ke pusat berupa diambilnya kewenangan pada UU Ciptakerja untuk keseluruhan daerah dan perubahan Otsus Papua, Papua Barat dan Aceh bagi daerah asimetris. UU Sapu jagat didapati resentralisasi; pertama, perizinan usaha ditentukan dan dimiliki pusat, kedua, wewenang penataan ruang terpusat, ketiga, amdal dipermudah, keempat, sanksi dimiliki pusat dan dipermudah, dan kelima, pajak ditarik pusat. Sedangkan pada perubahan Otsus Papua didapati; pemekaran Papua dipermudah, perubahan UU otsus tidak perlu persetujuan DPRP dan MRP, pengawasan domain pusat, pendirian parpol oleh Orang Papua dihilangkan dan kewajiban konsultasi parpol ke MRP dan DPRP disunat, dan jabatan wagub dapat diisi. Sementara pada Aceh tidak dipenuhinya Pengatutan lambang Aceh dan pengaturan suku bunga. Tidak terdapat harmonisasi sebagaimana teori Agus Brotosusilo karena pusat sangat mendominasi dengan terjadinya resentralisasi sehingga daerah merasa tidak dimanusiakan. Preskriptif yang ditawarkan adalah mewujudkan harmonisasi dan memperluas penerapan desentralisasi asimetris. Kesimpulannya adalah dari skema tujuan desentralisasi terdapat kemiripan antara orde baru dengan masa kini yaitu menguatnya resentralisasi.

This study aims to answer about asymmetric decentralization in post-reform Indonesia in terms of how it is implemented and how the ideal form should be implemented. The theory used is Agus Brotosusilo's theory which comes from Pancasila which comes from the customary law of the archipelago in the form of the dominant communal attitude of the individual, spiritual rather than materialism and romanticism from rationalism. In addition, other theories are also used in the form of Dahrendorf's conflict theory. The results of this study reveal that there has been recentralization from the regions to the center in the form of the taking of authority in the Job Creation Law for the entire region and changes to the Special Autonomy for Papua, West Papua and Aceh for asymmetric regions. The Sweeping Universe Law is found to be recentralized; first, business licenses are determined and owned by the center, second, the authority for spatial planning is centralized, third, amdal is facilitated, fourth, sanctions are owned and facilitated by the center, and fifth, taxes are levied by the center. Meanwhile, in the changes to the Special Autonomy for Papua, it was found; The expansion of Papua was facilitated, changes to the Special Autonomy Law did not require the approval of the DPRP and MRP, central domain supervision, the establishment of political parties by Papuans was eliminated and the obligation to consult political parties to the MRP and DPRP was circumcised, and the position of deputy governor could be filled. Meanwhile, in Aceh, the acknowledgment of the Aceh symbol and interest rate arrangements was not fulfilled. There is no harmonization like Agus Brotosusilo's theory because the center dominates with the recentralization so that the regions feel they are not being humanized. The prescriptive offered is to realize harmonization and expand the application of asymmetric decentralization. The conclusion is that from the scheme for the purpose of decentralization, there are similarities between the new order and the present, namely the strengthening of recentralization."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurrahman Al-Fatih Ifdal
"Perjanjian Indonesia-Portugal mengenai Masalah Timor Timur merupakan objek penelitian yang mengandung aspek intermestik sehingga kajian desentralisasi asimetris yang terlibat di dalamnya juga perlu membahas mengenai diskursus kebijakan politik luar negeri. Penelitian ini hendak mengaitkan diskursus desentralisasi beserta faktor-faktor terkait lainnya dengan struktur desain konstitusional yang termuat dalam Perjanjian Indonesia-Portugal mengenai Masalah Timor Timur. Penelitian ini menilai bahwa kebijakan politik luar negeri cenderung ditetapkan dengan skema ‘kepala menghadap ke luar’. Artinya, kebijakan politik luar negeri difokuskan untuk memberikan respons terhadap faktor-faktor eksternal yang berasal dari luar. Padahal, adanya kebijakan desentralisasi ditentukan untuk menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada daerah otonom sehingga timbul hak untuk mengatur dan mengurus sendiri kekuasaan pemerintahan yang diserahkan. Di sisi lain, kebijakan politik luar negeri melalui perjanjian bilateral antara dua negara dan desentralisasi sejatinya secara inheren tidak memiliki arah pendekatan yang tertuju pada titik temu yang sama. Kebijakan politik luar negeri memiliki domain tujuan mengatasi masalah internasional, sedangkan desentralisasi memiliki domain tujuan mengatasi masalah lokal. Namun, penelitian ini berargumen bahwa keduanya sama-sama memiliki tujuan jangka panjang untuk mencapai stabilitas nasional guna memenuhi kebutuhan nasional. Dengan demikian, penelitian ini hendak menguraikan bagaimana skema konsep desentralisasi asimetris dikonstruksikan dalam suatu negara; mengulas dan mengeksplorasi konstruksi konsep desentralisasi asimetris dalam suatu negara yang lahir dari sebuah perjanjian bilateral antarnegara; dan menjabarkan penerapan konsep desentralisasi asimetris yang lahir dari sebuah perjanjian bilateral antarnegara, dengan berkaca pada Perjanjian Indonesia-Portugal mengenai Masalah Timor Timur.

The Agreement between the Republic of Indonesia and the Portuguese Republic on the Question of East Timor is an object of research that contains an intermestic aspect, in which the study of asymmetric decentralization involved in it also needs to discuss foreign policy discourse. This research seeks to relate the decentralization discourse and other related factors to the constitutional design structure contained in the Indonesia-Portugal agreement. This study assesses that foreign policy tends to be determined with a 'head facing out' scheme. That is, foreign policy is focused on providing a response to external factors that come from outside. In fact, decentralization is determined to transition government power into autonomous regions so that the right to regulate and manage the government power is handed over. On the other hand, decentralization and foreign policy, through bilateral agreements between two countries, inherently do not have an approach directed at the same meeting point. Foreign policy has a domain of overcoming international problems, while decentralization has a domain of overcoming local problems. However, this study argues that both of them have a long-term goal of achieving national stability in order to meet national needs. Thus, this study aims to describe how the concept of asymmetric decentralization is constructed in a country; review and explore the construction of the concept of asymmetric decentralization in a country that was born from a bilateral agreement between countries; and describes the operational application of the concept of asymmetric decentralization that was born from a bilateral agreement between countries, by studying the case of the Agreement between the Republic of Indonesia and the Portuguese Republic on the Question of East Timor."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ambarita, Indra Gunawan
"Skripsi ini merupakan penelitian lanjutan yang dilakukan untuk menganalisis dampak pemberlakuan desentralisasi terhadap penurunan tutupan hutan yang terus terjadi di Indonesia. Dengan menggunakan data citra satelit MODIS periode 2000-2008, penelitian ini ingin melihat dampak pemberlakuan desentralisasi kehutanan dan pemekaran daerah terhadap ekstraksi kayu dari hutan. Selain itu, penelitian ini ingin melihat pengaruh sektor-sektor ekonomi dan keuangan daerah terhadap deforestasi. Penelitian ini menggunakan tiga metode estimasi secara ekonometris terhadap data panel yaitu fixed effect, random effect, dan generalized least squares. Penelitian ini menemukan bahwa 1) desentralisasi kehutanan dan pemekaran daerah positif mendorong ekstraksi kayu yang lebih tinggi; 2) peningkatan kapasitas fiscal dibarengi dengan peningkatan deforestasi dan 3) peningkatan kesejahteraan masyarakat (diukur dalam Indeks Pembangunan Manusia) berkorelasi negatif dengan tingkat deforestasi.

This thesis is conducted to analyze the impact of decentralization on declining forest cover in Indonesia. By using MODIS satellite data between the year 2000 and 2008, this study wanted to see the impact of forestry decentralization and regional autonomy, sectoral development and the size of regional budgets on deforestation. This study uses three econometric approaches to analyzing panel data, i.e. fixed effect, random effect, and generalized least squares. The three main findings from the study are 1) that decentralized forest management function and the devolving number of local governments accompany higher timber extractions; 2) local fiscal capacity seems to be positively correlated with timber extraction, i.e. the higher the fiscal capacity, the higher the deforestation rate; and 3) improved welfare (as measured by the Human Development Index) is negatively correlated with deforestation.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
S56785
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Gigir Wicaksono
"ABSTRAK
Perlu disadari bahwa pembangunan nasional, termasuk sektor energi dan sumber daya mineral, merupakan proses tanpa henti (never-ending process) yang perlu dijaga kesinambungan dan arahnya menuju sasaran utama, yaitu mendukung dan berkontribusi demi terwujudnya Tujuan Nasional (masyarakat adil, makmur dan sejahtera) sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, pendekatan Lima Pilar Program Pembangunan tsb masih sahih (valid) dan retevan dalam pembangunan sektor energi dan sumber daya mineral untuk kurun waktu 5 (Lima) tahun ke depan. Dalam Program Kerja pemerintah dalam 100 Hari Pertama dibagi atas 3 (tiga) subsektor utama, yaitu migas, ketenagalistrikan, dan mineral. Dalam hal ini penulis lebih memfokuskan pembahasan kepada program mineral yang didalamnya termasuk pertambangan umum. Kaitannya Usaha pemerintah di dalam meningkatnya investasi di bidang pertambangan umum seperti Batubara merupakan upaya strategis didalam pembangunan ekonomi diantaranya dengan merencanakan kembali pelaksanaan investasi di subsektor mineral yang melibatkan 13 (tigabelas) perusahaan pertambangan bahan mineral di 9 provinsi. Beberapa program lainnya yang mempunyai kaitannya dengan Otonomi Daerah adalah pemerintah berupaya menyelesaikan pembangunan 9 (sembilan) pabrik briket batubara yang berlokasi di Sumatera Barat, Bengkulu, Bangka, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Setatan, Jawa Barat, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai upaya diversifikasi energi dalam mengantisipasi penghapusan subsidi harga BBM dan kelangkaan BBM untuk menggerakan pembangkit tenaga tistrik. Kebijakan diatas tidak terlepas dari UU Otonomi Daerah yang menginginkan adanya peningkatan PAD Daerah yang diharapkan dapat menyerap tenaga kerja langsung sekitar 32 ribu orang sehingga pada gilirannya akan dapat mensejahterakan masyarakat daerah itu sendiri. Untuk merealisasikan pembangunan ekonomi tersebut pemerintah perlu merencanakan roadmap Pertambangan Umum kepada pemerintah daerah, sehingga perlu adanya sosialisasi terhadap pemahaman UU Otonomi Daerah yang berkaitan dengan rencana pemerintah pusat. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasat 33 ayat (2) dan (3) bahwa sumber daya (kekayaan) alam dalam hal ini pertambangan umum dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kebijakan pemanfaatan sumber daya mineral sebetumnya tebih berorientasi pada kekuasaan Negara sehingga menciptakan kebijakan yang sentralistis dan monopolistis. Sejak era reformasi dan sesuai Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Daerah diberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab untuk mengelola secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan somber daya nasional yang berkeadiian. Di samping itu penyeLenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. "
2007
T 17040
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Kurnia Warman, 1971-
Jakarta: KITLV, 2010
340.57 KUR h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>