Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 90934 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mendrofa, Deavina Christy Priskila
"Dengan meningkatnya investasi asing yang dilakukan oleh BUMN, terdapat permasalahan yang dihadapi oleh BUMN sebagai investor asing yang hendak menuntut haknya melalui arbitrase ICSID. Negara yang digugat oleh BUMN sering kali mengajukan keberatan yurisdiksi Majelis Arbitrase ICSID dengan dasar bahwa BUMN tidak memiliki kedudukan hukum sebagai “National of another Contracting State” sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 25 ayat (2)(b) Konvensi Washington. Penelitian dengan metode yuridis-normatif ini kemudian menemukan bahwa para Majelis Arbitrase ICSID yang dihadapkan permasalahan tersebut menggunakan Tes Broches sebagai upaya solusinya. Tes Broches dikembangkan oleh Sekretaris Jenderal ICSID pertama, Aron Broches, yang menyatakan bahwa BUMN tidak memiliki kedudukan hukum sebagai “National of another Contracting State” apabila bertindak sebagai agen dari pemerintah atau melaksanakan fungsi yang pada dasarnya pemerintahan negara asalnya. Dengan memahami perkembangan penerapan Pasal 25 ayat (2)(b), diharapkan Indonesia sebagai Negara Penandatanganan Konvensi Washington yang saat ini sedang menggencarkan program BUMN Go Global dapat mempersiapkan diri untuk permasalahan kedudukan hukum BUMN yang mungkin dihadapi di masa mendatang.

With the increase in foreign investment made by SOEs, issues are faced by SOEs as foreign investors in claiming their rights through ICSID arbitration. Countries that are sued by SOEs often object to the jurisdiction of the ICSID Tribunal on the basis that SOEs do not have legal standing as “National of another Contracting State” as required in Article 25 paragraph (2)(b) of the Washington Convention. Using the juridical-normative method, this research later found that the ICSID Tribunal who was faced with this issue used the Broches Test to solve it. The Broches Test is developed by the first Secretary General of ICSID, Aron Broches, which states that SOE does not have legal standing as a “National of another Contracting State” if it acts as an agent for the government or is discharging an essentially governmental function. By understanding the development of the implementation of Article 25 paragraph (2)(b), Indonesia, as a signatory to the Washington Convention, which is currently launching the BUMNGo Global program, may prepare itself for the potential issue of SOEs legal standing in the future. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Agnes Galuh Sekarlangit Boru
"International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) menjadi salah satu pilihan popular untuk penyelesaikan sengketa investasi internasional antara negara dengan investor. Konvensi Washington 1965, sebagai konvensi yang mengamanatkan dibentuknya forum tersebut memberi kewajiban kepada Majelis Arbitrase untuk menerapkan hukum yang berlaku sesuai dengan Pasal 42 ayat (1) Konvensi Washington, hanya saja, interpretasi pasal tersebut tidaklah tanpa kontroversi. Tulisan ini akan membahas mengenai hukum mana yang berlaku dalam perkara internasional dalam forum ICSID menurut Pasal 42 ayat (1), baik dalam perkara berdasarkan traktat maupun perkara berdasarkan kontrak, serta menganalisis metode Majelis Arbitrase pada Putusan ICSID No.ARB/10/7, Putusan ICSID No.ARB /07/26, Putusan ICSID No.ARB/09/18 dan Putusan ICSID No.ARB/06/13, dalam menafsirkan pasal tersebut dalam hal terdapat pertentangan kewajiban internasional, antara kewajiban negara sebagai host state dan kewajiban negara menurut hukum internasional selain hukum investasi internasional dalam perkara berdasarkan traktat, dan apabila hukum internasional dianggap oleh para pihak sebagai hukum yang berlaku dalam perkara berdasarkan kontrak. Tulisan ini menyimpulkan bahwa terdapat perkembangan penafsiran dari maksud perancang konvensi (travaux preparatoires) dalam 12 tahun terakhir.

International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) is popular option of Investor-State Dispute Settlement. Washington Convention 1965 which laid down the foundation of the forum gives mandate to arbitral tribunal to apply the proper law as stipulated on Article 42(1) of the Convention. However, the interpretation of aforementioned article is not without controversy. This writing analyses the applicable law according to Article 42(1) Washington Convention on treaty-based dispute and contract-based dispute, and further analyses the methods used to interpreting the aforementioned article by arbitral tribunal in ICSID Award No. No.ARB/10/7, ICSID Award No.ARB /07/26, ICSID Award No.ARB/09/18 and ICSID Award No.ARB/06/13, in case of apparent conflict of international obligation  on treaty-based dispute and  in case of claim of international law as applicable law on contract-based dispute. This writing concludes that there is a development of interpretation, departing from travaux preparatoires, in the last 12 years."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Fransiska
"Perlakuan yang berbeda dalam penggunaan dasar penghitungan angsuran antara WP BUMN dan WP masuk bursa serta ketidakjelasan penggunaan tarif angsuran berpotensi menimbulkan permasalahan kepastian hukum bagi PT ABC (Persero) Tbk sebagai WP BUMN masuk bursa. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menganalisis kepastian hukum perlakuan PPh Pasal 25 bagi PT ABC serta untuk menganalisis implikasi permasalahan kepastian hukum perlakuan PPh Pasal 25 bagi PT ABC. Pendekatan yang digunakan yakni kuantitatif-deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan studi literatur. Mengacu pada konsep kepastian hukum, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan PPh Pasal 25 bagi PT ABC belum memenuhi kepastian hukum. Implikasi permasalahan tersebut bagi PT ABC, di antaranya terjadinya lebih bayar PPh Badan tahun pajak 2013; terganggunya cash flow perusahaan; sulitnya memprediksi cash flow perusahaan, serta ancaman sanksi Pasal 14 UU KUP.

Different treatment for installment tax base between SOE Taxpayers and Go Public Taxpayers also the uncertain treatment for installment tax rate potentially raise the legal certainty issue of Article 25 Income Tax treatment for PT ABC (Persero) Tbk as a Go Public-SOE Taxpayer. Therefore, the purposes of this research are to analyse the legal certainty aspect of Article 25 Income Tax treatment for PT ABC as well as to analyse the implications of legal certainty issue of Article 25 Income Tax treatment for PT ABC. This research is conducted by a quantitative approach with in-dept interview and literature study as data collection techniques. According to the legal certainty concept, the results of this research show that the Article 25 Income Tax treatment for PT ABC as a go public-SOE Taxpayer has not yet reflected the legal certainty aspect. This issue leads to several implications to PT ABC such as the over-payment of Corporate Income Tax in 2013 fiscal year; disruption to corporate’s cash flow; difficulty to predict corporate’s cash flow; and threat to administrative penalty.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S55641
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fayza Nur Muthmainnah
"Penelitian ini didasarkan pada permasalahan tentang bagaimana hukum yang hidup di Indonesia dan lingkup internasional mengatur mengenai kedudukan tindakan dan pertanggungjawaban dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang dilihat dalam praktik yang ada berdasarkan putusan arbitrase internasional dalam forum ICSID dan Permanent Court of Atrbitration (PCA). Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode doktrinal. BUMN sejatinya merupakan badan yang sering meletakkan kakinya di lingkup privat dan publik. Dalam hukum Indonesia, BUMN sendiri dilihat dari definisi BUMN dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan teori transformatif, yang menyebabkan tindakan BUMN dan pertanggungjawaban didasarkan status BUMN sebagai suatu Perseroan yang bersifat privat dan terpisah dari Negara. Dalam lingkup internasional, asas separate legal entity memang dihargai, tetapi tindakan BUMN dapat diatribusikan sebagai tindakan Negara berdasarkan prinsip-prinsip yang dirumuskan dalam International Law Commission’s Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts (ILC Articles). Dalam analisis Majelis Arbiter dalam putusan PCA Case No. 2014-11, ICSID Case No. ARB/16/38, dan ICSID Case No. ARB/14/4, ditemukan bahwa tindakan BUMN dan pertanggungjawabannya dapat diatribusikan berdasarkan ILC Articles dengan pembuktian adanya fungsi dan hakikat kegiatan BUMN yang termasuk dalam lingkup pemerintahan, adanya pengendalian yang menyebabkan otonomi BUMN menghilang, dan adanya unsur pemberian kewenangan.

This research questions how Indonesian law sees the acts of State-Owned Enterprise (SEO) and its liability and how it compares to the international law and doctrines, by studying international arbitration awards in the ICSID and Permanent Court of Arbitration (PCS) forums. The methodology used in this research paper is the doctrinal method. The result of this paper shows that Indonesian law sees SEO as a private and separate entity from the State based on the definition of SEO in Law Number 19 of 2003 and the transformative theory of SEO, in which the legal status of SEO as private entity implies the act and its liability as private act and should be liable as such. It is different from the practices in international scope where the principles of separate legal entities principle is respected. Still, the actions of SOEs are attributable to the State based on the principles of SOE formulated in the International Law Commission's Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts (ILC Articles). The PCA Case No. 2014-11, ICSID Case No. ARB/16/38, and ICSID Case No. ARB/14/4 shows that the actions of SOE and its liability can be attributed based on ILC Articles by proving the elements of governmental function and nature of SEO's act, the State's control that overrides the SOE's autonomy, and authority granted by the State."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Hesky Ondo
"Skripsi ini dilatarbelakangi oleh permasalahan adanya inkonsistensi putusan dan perdebatan para ahli terkait pengaturan mengenai hukum yang berlaku dalam Pasal 42 Konvensi ICSID. Hal ini menjadi semakin rumit dengan dipengaruhinya penerapan Pasal 42 Konvensi ICSID dalam sengketa ICSID yang didasarkan pada Investment Treaty. Untuk membahas permasalahan ini, maka akan digunakan penelitian hukum normatif dengan analisa yuridis-normatif. Hasil dari penelitian ini adalah, adanya fungsi dari investment treaty untuk memberlakukan hukum internasional ketika digunakan sebagai dasar arbitrase. Selain itu, investment treaty juga dapat menjadi metode pilihan hukum dalam sengketa ICSID sesuai dengan Pasal 42 Konvensi ICSID.

This study is motivated by the inconsistency of awards and scholars debate regarding the applicable law in investment disputes under Article 42 of the ICSID Convention. Such situation became more complex when a dispute is initiated under an investment treaty. This affects the application of Article 42 of the Convention. This study uses normative legal research and juridical-normative analysis to address the issue. The outcome of this study is to point out the proper functionality of investment treaties to enforce international law when investment treaty is used as a basis for arbitration. Furthermore, such an investment treaty can also be applied as a choice of law method in ICSID disputes in accordance with Article 42 of the ICSID Convention."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S53830
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rotua Anastasianovita
"Pasal 41 ayat 5 Peraturan Arbitrase ICSID memberikan kewenangan kepada Majelis Arbitrase untuk menyaring perkara yang memenuhi unsur "manifestly without legal merit." Penulis melakukan kajian terhadap tiga dari dua puluh lima putusan yang telah dijatuhkan oleh Majelis Arbitrase ICSID terhadap keberatan yang diajukan berdasarkan Pasal 41 ayat 5 Peraturan Arbitrase ICSID. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dalam penulisannya. Penelitian ini Penulis lakukan untuk menjelaskan secara jelas dan lengkap aspek Hukum Perdata Internasional dan hasil interpretasi Majelis Arbitrase ICSID terhadap Pasal 41 ayat 5 Peraturan Arbitrase ICSID, khususnya terhadap unsur "manifestly without legal merit," pada perkara Global Trading Resource Corporation and Globex International, Inc. v. Ukraine Perkara ICSID Nomor ARB/09/11 , Rachel S. Grynberg, Stephen M. Grynberg, Miriam Z. Grynberg and RSM Production Corporation v. Grenada Perkara ICSID Nomor ARB/10/6 , dan Accession Mezzanine Capital L.P. and Danubius Keresked h z Vagyonkezel Zrt. v. Hungary Perkara ICSID Nomor ARB/12/3.

Rule 41 (5) of ICSID Arbitration Rules gives Tribunal the authority to dismiss a case which is manifestly without legal merit. This thesis contains the analysis on three out of twenty five award or decisions rendered by Tribunal on the objection which invoked Rule 41 (5) of ICSID Arbitration Rules. The research for this thesis is conducted in a normative legal research method. It is the intention of this thesis to describe the aspects of Private International Law and the outcome of Tribunal's interpretation on Rule 41 (5) of ICSID Arbitration Rule, specifically regarding the element of "manifestly without legal merit," in the cases of Global Trading Resource Corporation and Globex International, Inc. v. Ukraine ICSID Case No. ARB/09/11, Rachel S. Grynberg, Stephen M. Grynberg, Miriam Z. Grynberg and RSM Production Corporation v. Grenada (ICSID Case No. ARB/10/6), dan Accession Mezzanine Capital L.P. and Danubius Kereskedohaz Vagyonkezelo Zrt. v. Hungary (ICSID Case No. Nomor ARB/12/3)."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S68944
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valdi Setiawan
"Independensi dan imparsialitas arbitrator merupakan hal yang harus dimiliki oleh anggota Majelis Arbitrase dalam mengadili dan memutus perkara, sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 14 ayat 1 Konvensi ICSID. Apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi, para pihak yang berperkara diberikan kesempatan untuk mengajukan permohonan diskualifikasi atas anggota Majelis Arbitrase dalam
perkara yang bersangkutan berdasarkan Pasal 57 Konvensi ICSID. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pihak berwenang dalam lembaga ICSID menerapkan Pasal 57 Konvensi ICSID dalam mengadili dan memutus permohonan diskualifikasi anggota Majelis Arbitrase. Penelitian dilakukan dengan metode penelitian normatif yang dianalisis secara kualitatif yang disampaikan bentuk
laporan deskriptif. Penulis menyimpulkan bahwa dalam penerapannya, pihak berwenang dalam lembaga ICSID merujuk pada frasa manifest lack di dalam Pasal 57 Konvensi ICSID atas kualitas yang termuat pada frasa may be relied upon
to exercise independent judgment yang disyaratkan untuk dimiliki oleh anggota Majelis Arbitrase di dalam Pasal 14 Konvensi ICSID dalam memutus permohonan diskualifikasi anggota Majelis Arbitrase pada suatu perkara. Ketentuan frasa manifest lack tersebut secara umum dianggap terpenuhi apabila terdapat fakta atau bukti yang dapat menimbulkan keragu-raguan (reasonable doubt) terhadap
sikap independen dan imparsialitas anggota Majelis Arbitrase yang bersangkutan, sehingga anggota Majelis Arbitrase tersebut dapat didiskualifikasi sebagai anggota
Majelis Arbitrase dalam perkara yang diadilinya.

Independency and impartiality of an arbitrator that serves as member of an Arbitral Tribunal are required pursuant to Article 14 Paragraph 1 of ICSID Convention. If such requirements are not fulfilled, ICSID Convention provides a mechanism that allows both parties in a dispute to request a disqualification of member of an
Arbitral Tribunal pursuant to Article 57 of ICSID Convention. The purpose of this research is to analyze how authorized party in ICSID institution apply Article 57 of ICSID Convention in deciding a request of disqualification of member of an Arbitral Tribunal. This research is carried out in a normative research principle. The writer concludes that in its application, authorized party in ICSID institution relies on manifest lack of qualities in may be relied upon to exercise independent judgment that are required of member of an Arbitral Tribunal. It is widely accepted that manifest lack of such qualities is considered to be fulfilled if there are any facts or proofs that raise a reasonable doubt towards independency and impartiality of such member of an Arbitral Tribunal, hence disqualifying such Arbitral Tribunal member would be an appropriate thing to do.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Faisol Soleh
"Keterlibatan BUMN dan BUMD sebagai badan hukum publik pada beberapa perkara korupsi mengindikasikan bahwa bukan hanya individu pengurusnya saja yang dapat melakukan korupsi, namun juga badan itu sendiri. Dengan demikian maka seharusnya pemberantasan korupsi juga dapat menjerat badan hukum publik tersebut sebagai korporasi. Penelitian ini akan menjawab beberapa permasalahan seputar; pertama, landasan penerapan pertanggungjawaban pidana BUMN dan BUMD sebagai badan hukum publik pada perkara korupsi; kedua, problematika pengaturan dalam penerapan pertanggungjawaban pidana BUMN dan BUMD sebagai badan hukum publik; dan ketiga, pengaturan ideal pertanggungjawaban pidana BUMN dan BUMD sebagai badan hukum publik pada perkara korupsi. Penelitian ini merupakan bentuk penelitian hukum normatif dengan data sekunder yang didukung dengan data primer serta dianlisis secara deskriptif-kualitatif. Pendekatan dalam penelitian ini ialah pendekatan konseptual, perundang-undangan dan perbandingan. Hasil dari penelitian ini ialah; pertama, penerapan pertanggungjawaban pidana BUMN dan BUMD sebagai badan hukum publik memiliki landasan yang kuat baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis; kedua, problematika pengaturan pertanggungjawaban pidana BUMN dan BUMD sebagai badan hukum publik yang masih abstrak dan tidak implementatif; dan ketiga, pengaturan ideal dilakukan dengan merumuskan dan menegaskan BUMN dan BUMD sebagai badan hukum publik dalam konteks korporasi dengan sistem pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidaan yang khusus. Melakukan perbaikan terhadap pengaturan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi pada perkara korupsi, pengetahuan yang baik aparat penegak hukum pertanggungjawaban pidana korporasi, serta kehendak politik kuat dari segenap elemen bangsa agar terhindar dari perbuatan korupsi merupakan saran dari penelitian ini

The involvement of BUMN and BUMD as public legal entities in several corruption cases indicates that not only individuals can commit corruption, but the body itself. Thus, corruption eradication should also be able to ensnare these public legal entities like corporations. This research will answer several problems around; first, the basis for implementing the criminal liability of BUMN and BUMD as public legal entities in corruption cases; second, regulatory issues in the application of criminal liability for BUMN and BUMD as public legal entities; and third, the ideal arrangement of criminal liability for BUMN and BUMD as public legal entities in corruption cases. This research is normative legal research with secondary data supported by primary data and is analyzed descriptively-qualitatively. The approach in this research is a conceptual, statutory, and comparative approach. The results of this study are; first, the application of criminal responsibility for BUMN and BUMD as public legal entities has a strong basis both philosophically, juridically, and sociologically; second, the problem of regulating criminal liability for BUMN and BUMD as public legal entities which are still abstract and unimplementable; and third, the ideal arrangement is executed by formulating and affirming BUMN and BUMD as public legal entities in the context of a corporation with a particular system of criminal liability, punishments, and sentencing. Making improvements to the regulation of corporate criminal liability concept in corruption cases, good knowledge of corporate criminal liability by law enforcement officials, and strong political will from all elements of the nation to avoid acts of corruption are the suggestions of this study"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raushan Aljufri
"Isu ketentuan mengenai hukum yang berlaku dalam sengketa pelanggaran hak cipta sampai hari ini belum banyak didiskusikan di Indonesia, meskipun isu ini menjadi semakin penting dalam era digital modern. Penelitian ini mengkaji ketentuan- ketentuan tentang hukum yang berlaku dalam pelanggaran hak cipta di Indonesia, dengan memperhatikan semua norma hukum internasional maupun hukum nasional Indonesia yang berhubungan. Pertama, suatu analisa terhadap ketentuan tentang hukum yang berlaku dalam pasal 5 paragraf (2) Berne Convention on the Protection of Literary and Artistic Works dilakukan dengan memperhatikan diskusi antara ahli hukum mengenai penafsiran yang tepat dari pasal tersebut, dan juga dengan memperhatikan berbagai praktek nasional mengenai bagaimana pasal tersebut telah diterapkan oleh berbagai negara. Kedua, implikasi-implikasi terhadap ketentuan hukum yang berlaku dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta di diskusikan, serta bagaimana pandangan-pandangan ahli dan praktisi hukum di Indonesia tentang ketentuan mengenai hukum yang berlaku yang tepat untuk digunakan dalam sengketa pelanggaran hak cipta. Penelitian ini menyimpulkan bahwa walaupun ada debat tentang penafsiran yang tepat dari Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne, pendapat yang paling umum secara internasional adalah bahwa ketentuan tersebut mengharuskan penggunaan hukum dari negara untuk mana perlindungan diminta (lex loci protectionis) saat menangani perkara pelanggaran hak cipta. Di sisi lain, para ahli dan praktisi hukum Indonesia cenderung menggunakan lex fori dibandingkan lex loci protectionis.

The issue of the applicable law in international copyright infringement disputes has to this day received little discussion in Indonesia, despite the increasing importance of this issue in the modern digital age. This study attempts to research the possible rules regarding the applicable law that may currently apply to copyright infringement in Indonesia, by examining all relevant norms of international law as well as Indonesian national law. First, an analysis of the applicable law rules contained in article 5 paragraph (2) of the Berne Convention on the Protection of Literary and Artistic Works is conducted by examining the scholarly debate regarding the proper interpretation of the article, as well as by further examining the various national practices regarding how the article has been applied in various countries. Second, the possible applicable law implications of Article 2 of Law No. 28 of 2014 about Copyright is discussed, as well as the prevailing views of Indonesian scholars and law practitioners regarding the proper applicable law rules to be applied in copyright infringement disputes. The study finds that while there is some debate about the interpretation of article 5 paragraph (2) of the Berne Convention, the prevailing view internationally is that it requires the use of the law of the state for which protection is claimed (lex loci protectionis) when dealing with copyright infringement. On the other hand, it appears that Indonesian scholars and legal practitioners tend to apply the lex fori as opposed to the lex loci protectionis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raushan Aljufri
"Isu ketentuan mengenai hukum yang berlaku dalam sengketa pelanggaran hak cipta sampai hari ini belum banyak didiskusikan di Indonesia, meskipun isu ini menjadi semakin penting dalam era digital modern. Penelitian ini mengkaji ketentuan-ketentuan tentang hukum yang berlaku dalam pelanggaran hak cipta di Indonesia, dengan memperhatikan semua norma hukum internasional maupun hukum nasional Indonesia yang berhubungan. Pertama, suatu analisa terhadap ketentuan tentang hukum yang berlaku dalam pasal 5 paragraf (2) Berne Convention on the Protection of Literary and Artistic Works dilakukan dengan memperhatikan diskusi antara ahli hukum mengenai penafsiran yang tepat dari pasal tersebut, dan juga dengan memperhatikan berbagai praktek nasional mengenai bagaimana pasal tersebut telah diterapkan oleh berbagai negara. Kedua, implikasi-implikasi terhadap ketentuan hukum yang berlaku dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta di diskusikan, serta bagaimana pandangan-pandangan ahli dan praktisi hukum di Indonesia tentang ketentuan mengenai hukum yang berlaku yang tepat untuk digunakan dalam sengketa pelanggaran hak cipta. Penelitian ini menyimpulkan bahwa walaupun ada debat tentang penafsiran yang tepat dari Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne, pendapat yang paling umum secara internasional adalah bahwa ketentuan tersebut mengharuskan penggunaan hukum dari negara untuk mana perlindungan diminta (lex loci protectionis) saat menangani perkara pelanggaran hak cipta. Di sisi lain, para ahli dan praktisi hukum Indonesia cenderung menggunakan lex fori dibandingkan lex loci protectionis.

The issue of the applicable law in international copyright infringement disputes has to this day received little discussion in Indonesia, despite the increasing importance of this issue in the modern digital age. This study attempts to research the possible rules regarding the applicable law that may currently apply to copyright infringement in Indonesia, by examining all relevant norms of international law as well as Indonesian national law. First, an analysis of the applicable law rules contained in article 5 paragraph (2) of the Berne Convention on the Protection of Literary and Artistic Works is conducted by examining the scholarly debate regarding the proper interpretation of the article, as well as by further examining the various national practices regarding how the article has been applied in various countries. Second, the possible applicable law implications of Article 2 of Law No. 28 of 2014 about Copyright is discussed, as well as the prevailing views of Indonesian scholars and law practitioners regarding the proper applicable law rules to be applied in copyright infringement disputes. The study finds that while there is some debate about the interpretation of article 5 paragraph (2) of the Berne Convention, the prevailing view internationally is that it requires the use of the law of the state for which protection is claimed (lex loci protectionis) when dealing with copyright infringement. On the other hand, it appears that Indonesian scholars and legal practitioners tend to apply the lex fori as opposed to the lex loci protectionis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>