Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133257 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ervin Tryaztama Fahlevie
"Skripsi ini menganalisis alternatif kebijakan pajak penghasilan yang paling tepat untuk diterapkan atas penghasilan transaksi mata uang kripto khususnya bitcoin. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif untuk menganalisis faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam desain kebijakan pajak penghasilan atas mata uang kripto khususnya bitcoin dan alternatif kebijakan pajak penghasilan atas transaksi mata uang kripto di Indonesia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam desain kebijakan pajak penghasilan atas transaksi mata uang kripto khususnya bitcoin terdiri atas faktor-faktor adopsi mata uang kripto dan faktor- faktor desain kebijakan pajak. Faktor-faktor adopsi mata uang kripto terdiri atas faktor technical, economy, social, dan personal. Faktor-faktor desain kebijakan pajak terdiri atas faktor pendapatan, biaya perpajakan, keadilan, dan administratif. Menganalisis kelebihan dan kekurangan alternatif kebijakan pajak penghasilan atas transaksi mata uang kripto di Indonesia yaitu pengenaan pajak penghasilan final dan pajak penghasilan normal atau tidak final. Dalam desain kebijakan pajak penghasilan atas transaksi mata uang kripto di Indonesia harus mementingkan kesejahteraan dan peningkatan kehidupan sosial masyakat Indonesia serta harus mengembangkan industri mata uang kripto di Indonesia.

This thesis analyzes the most appropriate alternative income tax policies to apply to cryptocurrency transaction earnings, especially bitcoin. The approach used in this study is qualitative to analyze the factors considered in the design of income tax policy on cryptocurrencies, especially bitcoin and alternative income tax policy on cryptocurrency transactions in Indonesia. The results of this study show that the factors considered in the design of income tax policy on cryptocurrency transactions especially bitcoin consist of factors of adoption of cryptocurrencies and design factors of tax policy. Cryptocurrency adoption factors consist of technical, economic, social, and personal factors. Tax policy design factors consist of income, taxation costs, fairness, and administrative factors. Analyzing the advantages and disadvantages of alternative income tax policies on cryptocurrency transactions in Indonesia, namely the imposition of final income tax and normal or non-final income tax. In the design of income tax policy on cryptocurrency transactions in Indonesia should attach importance to the welfare and improvement of social life of the Indonesian people and should develop the cryptocurrency industry in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alwan Ibrahim
"Ekonomi digital semakin mendominasi sistem ekonomi di era ini, perdagangan aset kripto timbul karena adanya perkembangan teknologi. Dalam transaksi aset kripto, terdapat pihak yang memperdagangkan aset kripto baik dari sisi komersial, tukar menukar, maupun jasa pertambangan. Pengenaan PPN atas perdagangan aset kripto dilihat dari adanya objek PPN aset kripto yang termasuk dalam komoditi. Sedangkan aset kripto dikategorikan sebagai penghasilan karena adanya penambahan kekayaan pada transaksi perdagangannya. Penelitian ini membahas tentang kebijakan PPN dan PPh atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto yang diatur di dalam PMK No. 68/PMK.03/2022. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perumusan kebijakan dan bagaimana strategi implementasi yang telah disiapkan serta membandingkan bagaimana kebijakan pajak kripto, dengan negara anggota forum G20. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perumusan kebijakan dilatar belakangi oleh upaya pemerintah untuk memungut pajak aset kripto sebagaimana sesuai dengan asas pemungutan pajak yakni equality dan bersifat netral, serta sesuai dengan asas keadilan dan didasari oleh asas revenue productivity. Dalam penetapan kebijakan, pemerintah memilih opsi untuk memberi kepastian bagi Wajib Pajak yang melaksanakan kewajiban perpajakan. Selanjutnya, strategi implementasi yang disiapkan oleh pemerintah ialah dengan melakukan sosialisasi, serta mempersiapkan sistem yang baik untuk implementasinya baik dari segi teknologi maupun ekonomi.

Digital economy increasingly dominating the economic system in this era, crypto assets trading arises due to technological developments. In a trade of crypto assets transaction, the crypto is subject to VAT payable because of it’s categorization as Commodities. The other subject is Income Tax because of how crypto assets is additional income to those who owned crypto assets. This research discusses about taxation of Crypto Assets policy in Indonesia, which regulated in PMK No. 68/PMK.03/2022. This study aims to analyze the policy’s formulation and analyzing the strategy of implementation, also to compare the policy and implementation of VAT dan Income Tax, along with countries in the G20 Forum. The method of this research is descriptive method with qualitative approach. The result of this research indicates that the policies is based by the Government’s attempt to collect a Tax on crypto assets trading as accordant with the principle of tax collections which are equality and neutral, and based by the revenue productivity. Government chose the option giving certainty to Taxpayers who engages in taxation obligations. The strategy of implementation which Government prepares is to hold socialization, and to organize a system for the implementation, both from the technology and economy viewpoint."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadine Nariendra
"Penggunaan cashback sebagai promosi pada Dompet Digital semakin masif. Ditunjukkan melalui pendanaan atas cashback mencapai Rp5,1 Triliun per tahunnya. Perpajakan atas transaksi cashback masih belum mencapai titik kepastian hukum. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk menganalisis transaksi cashback pada Dompet Digital dari perspektif Pajak Penghasilan di Indonesia serta menganalisis desain kebijakan yang dapat diimplementasikan. Hasil yang diperoleh bahwa cashback secara substansi dikategorikan sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang dapat dipakai untuk konsumsi dan menambah kekayaan dari sisi penerima penghasilan. Pengguna Dompet Digital sebagai penerima penghasilan dapat dikategorikan sebagai subjek pajak Orang Pribadi. Peraturan pajak yang berlaku atas transaksi cashback saat ini memberikan kesulitan administrasi. Penelitian ini merekomendasikan desain administrasi pajak penghasilan atas cashback yaitu PPh Final dengan skema withholding tax pada kisaran tarif 0% hingga 5% atas pertimbangan besaran PTKP. Dalam mendesain administrasi pajak atas cashback, perlu legal standing dalam bentuk Undang-Undang dengan mempertimbangkan 3 (tiga) parameter, yaitu besaran dan potensi cashback, biaya efektif dan biaya kepatuhan, serta ketersediaan data yang valid. Pengenaan pajak atas transaksi cashback dapat meningkatkan penerimaan pajak. Oleh karena itu, pertimbangan desain administrasi pajak yang adil serta kesiapan sistem terintegrasi dibutuhkan dalam kesuksesan perlakuan perpajakan pada ekosistem ekonomi digital, khususnya transaksi cashback pada Dompet Digital.

The use of cashback as a promotion on Digital Wallets is increasingly massive. Shown through funding for cashback reaching IDR 5.1 Trillion per year. Taxation on cashback transactions has not yet reached the point of legal certainty. This study uses a qualitative approach that aims to analyze cashback transactions on Digital Wallets from the perspective of Income Tax in Indonesia and analyze the design of policies that can be implemented. The results obtained that cashback is substantially categorized as an additional economic capability that can be used for consumption and increase wealth from the side of the income recipient. Digital Wallet users as income recipients can be categorized as individual tax subjects. The current tax regulations for cashback transactions present administrative difficulties. This study recommends the design of income tax administration for cashback, namely Final Income Tax with a withholding tax scheme at a rate range of 0% to 5% based on the consideration of the amount of non-taxable income. In designing tax administration for cashback, it is necessary to have legal standing in the form of a law by considering 3 (three) parameters, namely the amount and potential of cashback, effective costs and compliance costs, as well as the availability of valid data. The imposition of taxes on cashback transactions can increase tax revenue. Therefore, consideration of a fair tax administration design and the readiness of an integrated system are needed for successful tax treatment in the digital economy ecosystem, especially cashback transactions on Digital Wallets."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatmah Shabrina
"Penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis tinjauan dan implikasi penetapan KIKEBA sebagai Subjek Pajak Badan di Indonesia, implementasi kebijakan pajak atas transaksi KIK-EBA di Indonesia, serta kebijakan pajak atas transaksi Efek Beragun Aset di negara India, Argentina, China, Belgia, dan Singapura dan alternatif kebijakan bagi Indonesia. Analisis dilakukan dengan menggunakan teori Implementasi Kebijakan, Kebijakan Pajak, Pajak Penghasilan, Bunga, Marjin, Sistem Pemungutan Pajak, Sekuritisasi Aset, dan KIK-EBA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan melakukan wawancara mendalam. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa penetapan KIK-EBA sebagai Subjek Pajak Badan menyebabkan implikasi kewajiban perpajakan, termasuk Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai. Selain itu, pemotongan PPh Pasal 23 atas marjin yang diterima oleh KIK-EBA dari Originator menyebabkan lebih bayar terus-menerus yang berdampak pada terganggunya likuiditas KIK-EBA, khususnya kepada Investor. Oleh karena itu, diperlukan alternatif kebijakan yang dapat memberikan kemudahan perpajakan bagi KIK-EBA, entah dalam bentuk insentif sebagaimana diadopsi dari kebijakan di Argentina, China, dan Belgia atau paket kebijakan khusus seperti kebijakan VCC yang diterapkan di Singapura.

This study aims to analyze the review of the establishment of KIK-EBA as a corporate taxpayer in Indonesia and its implications, the implementation of tax policies on CICABS transactions in Indonesia, and the tax policies on Asset Backed Securities transactions in other countries also the alternative policies for Indonesia. The analysis was carried out using the theory of Policy Implementation, Tax Policy, Income Tax, Interest, Margins, Tax Collection System, Asset Securitization, and CIC-ABS. The method used in this research is descriptive qualitative by conducting in-depth interviews. The results of this study indicate that the establishment of CIC-ABS as a corporate taxation has implications for taxation obligations, including income tax and value added tax. In addition, withholding income tax Article 23 on margins received by CIC-ABS from the Originator causes continuous overpayment which affects the disruption of CIC-ABS liquidity, especially to the Investors. Therefore, alternative policies are needed that can provide taxation facilities for CIC-ABS, whether in the form of incentives as adopted from policies in Argentina, China, and Belgium or other policy packages like VCC policy which implemented in Singapore."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzara Pawa Pambika
"Melalui Perppu 1/2020 (UU 2/2020) pemerintah mengatur regulasi pemajakan ekonomi digital. Regulasi tersebut berusaha mengatur pemajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) melalui pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), dan Pajak Transaksi Elektronik (PTE). Namun, masih belum terdapat kelanjutan penerapan kebijakan PPh PMSE dan PTE. Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis tantangan dan strategi Indonesia dalam menerapkan kebijakan PPh ekonomi digital. Selain itu, turut dikaji kebijakan PPh ekonomi digital yang telah diterapkan di Prancis, Vietnam, dan India. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data kualitatif melalui studi kepustakaan serta studi lapangan berupa wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan terdapat tantangan penerapan PPh ekonomi digital karena hingga saat ini UU PPh yang berlaku (UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan) dan P3B mendefinisikan BUT hanya dengan kehadiran fisik, belum mencakup kehadiran ekonomi signifikan. Kemudian, terdapat pula berbagai permasalahan internasional seperti, isu alokasi permajakan, double taxation, double counting, serta tax certainty. Isu tersebut berakibat pada belum tercapainya finalisasi konsensus PPh ekonomi digital secara global, yakni Pilar 1 OECD. Kendati demikian, Indonesia terus melakukan upaya strategi seperti persiapan dasar hukum mengadopsi Pilar 1 OECD dalam Pasal 32A UU PPh s.t.d.t.d UU HPP, dan terus proaktif dalam pembahasan konsensus global. Kemudian, berdasarkan studi yang telah dilakukan, ditemukan di Prancis terdapat kebijakan DST untuk memajaki ekonomi digital, sementara Vietnam menggunakan mekanisme FCT, serta India dengan Equalization Levy. Namun, ketiga negara tersebut belum sepenuhnya berhasil menerapkan kebijakan PPh ekonomi digital sebab adanya penolakan dan ancaman dagang dari Amerika Serikat, serta masih perlunya penyempurnaan atas kebijakan yang ada.

Through Perppu 1/2020 (Law 2/2020), government regulates taxation of digital economy. The provision seeks to regulate taxation on trade through electronics system (PMSE) through the imposition of Value Added Tax (VAT), Income Tax (PPh), and Electronic Transaction Tax (PTE). However, there is still no continuation of implementation PPh PMSE and PTE. This thesis aims to analyze Indonesia's challenges and strategies in implementing income tax policies on digital economy. Also, examine tax regulations that have been implemented in France, Vietnam, and India. This research uses qualitative approach also qualitative data collection techniques with literature and field studies through in-depth interviews. The results show there are challenges in implementing digital economy income tax since the applicable Income Tax Law (Law on Harmonization of Tax Regulations) and P3B define BUT only by physical presence, not covering significant economic presence. Then, there are issues of tax allocation, double taxation, double counting, and tax certainty. This issue caused finalization problem of global digital economy income tax consensus, OECD Pillar 1. Nevertheless, Indonesia continues to carry out various strategies such as preparing legal basis for adopting OECD Pillar 1 (Article 32A Income Tax Law) and continues to be proactive in discussing global consensus. In France, there is DST policy to tax digital economy, while Vietnam uses the FCT and India has an Equalization Levy. However, those three countries have not fully succeeded in implementing income tax policies on digital economy due to trade rejection and threats from United States, and the need to improve existing policies.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novia Dwi Maharani Pelawi
"Perkembangan digital dirasakan juga pada transaksi perdagangan yang telah beralih dari konvensional menjadi layanan digital namun perkembangan teknologi dan informasi yang tidak secepat perkembangan regulasi membuat transaksi layanan digital yang berasal dari luar tidak dapat dikenakan pajak karena tidak adanya Bentuk Usaha Tetap. Hal ini membuat negara-negara mengambil upaya unilateral dalam mengenakan pajak atas layanan digital seperti negara Eropa yaitu negara Perancis. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pengenaan dan menganalisis faktor atas layanan digital di negara Perancis serta menganalisis faktor pendukung serta penghambat untuk menerapkan pajak atas layanan digital di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif serta teknik analisis data kualitatif. Berdasarkan hasil studi kepustakaan dan wawancara mendalam ditunjukkan pengenaan pajak atas layanan digital di negera Perancis. Faktor yang mempengaruhi negara Peancis menerapkan pajak atas layanan digital karena adanya potensi pajak yang tergerus serta adanya faktor politik sedangkan faktor yang mendukung dan menghambat Indonesia dalam menerapkan pajak atas layanan digital dilihat dari prinsip keadilan pemungutan pajak, teknologi, dan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu diperlukan persiapan dalam penyusunan kebijakan terkait layanan digital sehingga pada saat kebijakan dari OECD sudah dikelurkan dapat disesuaikan dan diterapkan dengan baik di Indonesia.

Digital developments are also felt in trade transactions that have gone from conventional to digital services but the development of technology and information that is not as fast as the development of regulations makes transactions of digital services from outside countries, not taxable due to the absence of a Permanent Establishment. This makes countries take unilateral efforts to impose taxes on digital services such as European countries namely France. This thesis aims to describe the imposition and analysis of factors on digital services in the country of France and analyze the supporting and inhibiting factors to apply taxes on these digital services in Indonesia. This research uses a qualitative approach and qualitative data analysis techniques. Based on the results of literature studies and in-depth interviews, there is a tax on digital services in the French countryside. Factors affecting French countries apply taxes on digital services due to the eroded tax potential and political factors while factors that support and hinder Indonesia in applying taxes on digital services are seen from the principle of fairness of tax collection, technology, and government policies. Therefore preparations are needed in the formulation of policies related to digital services so that when the policies of the OECD are issued it can be adjusted and implemented properly in Indonesia.

"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Ismoyo
"Penelitian ini bertujuan untuk mengusulkan penerapan konsep pajak penghasilan final (PPh final) atas transaksi perdagangan aset kripto di pasar fisik aset kripto berdasarkan teori hard-to-tax (HTT). Menurut Das-Gupta (1994), hard-to-tax groups memiliki banyak transaksi sehingga membuat penghasilan dari sektor tersebut menjadi lebih kompleks untuk diawasi, sehingga persyaratan kepatuhan wajib pajak yang lebih rendah dan peran pihak ketiga sangat penting dalam menangani hard-to-tax groups. Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui wawancara kepada responden dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), pedagang aset kripto, serta kuesioner terbuka yang diberikan kepada sampel pelanggan aset kripto. Data tersebut dianalisis menggunakan thematic analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa transaksi perdagangan aset kripto di pasar fisik aset kripto tergolong dalam sektor HTT sehingga Pajak Penghasilan (PPh) final dianggap sebagai alternatif pemajakan yang tepat dibandingkan pengenaan pajak berbasis capital gain. Berdasarkan prinsip dasar perpajakan, hampir seluruh aspek terpenuhi, kecuali prinsip horizontal dan vertical equity. Untuk tindak lanjut, diperlukan tarif yang setara atau lebih rendah dibandingkan dengan PPh final yang dikenakan atas transaksi penjualan saham di bursa efek, kesiapan penyelenggara pasar fisik aset kripto untuk melakukan withholding tax, bursa berjangka yang mengawasi pasar fisik aset kripto, serta payung hukum setingkat Peraturan Pemerintah untuk menerapkan PPh Final tersebut.

This study proposes implementing the concept of final income tax on crypto-asset trading transactions in the crypto assets physical market based on hard-to-tax (HTT) theory. According to Das-Gupta (1994), hard-to-tax groups have a large number of transactions that make income from the sector more complex to monitor, so that lower taxpayer compliance requirements and the role of third parties are essential in dealing with hard-to-tax groups. The data in this study were collected through interviews with respondents from the Directorate General of Taxes (DGT), the Commodity Futures Trading Regulatory Agency (CoFTRA), crypto-asset traders, and an open questionnaire was given to a sample of crypto-asset customers. The data were analyzed using thematic analysis. The study results indicate that crypto asset trading transactions in the physical market of crypto assets belong to the HTT sector, so the Final Income Tax is considered an appropriate alternative to taxation. Based on the fundamental principles of taxation, almost all aspects are met, except for horizontal and vertical equity principles. An equivalent or lower tax rate to the final income tax on the stock exchange, the readiness of crypto assets physical market operators to carry out withholding taxes, futures exchanges that oversee the physical market for crypto assets, and a legal standing at the level of a Government Regulation is required to implement the Final Income Tax."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Nugroho Bramantyo
"Skripsi ini membahas mengenai kepastian hukum perpajakan pada transaksi repo. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis masalah yang timbul dari berlakunya peraturan pajak yang berlaku umum (lex generalis) untuk mengatur penghasilan yang timbul di dalam transaksi repo. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang menggunakan metode wawancara mendalam dalam mengumpulkan data yang diperlukan. Hasil penelitian menunjukan bahwa peraturan pajak yang berlaku umum tidak dapat memberikan kepastian hukum pada transaksi repo, dilihat dari subjek terdapat dua subjek wajib pajak dalam satu transaksi repo, objek pajak penghasilan yang tidak sesuai dengan substansi ekonomi yang terjadi, tarif pajak yang memberikan beban wajib pajak diluar substansi ekonomi dan pemotongan pajak terutang yang tidak sesuai dengan kepentingan para pihak transaksi repo. Penerbitan Peraturan Pemerintah yang mengatur bahwa pemilik surat berharga yang dijadikan dasar transaksi repo tetap pada penjual repo dapat memberikan kepastian hukum terkait pajak penghasilan yang timbul di dalam suatu skema transaksi repo.
This thesis discusses the legal certainty of taxation in repo transactions. This study aims to analyze the problems that arise from the enactment of generally accepted tax regulations (lex generalis) to regulate income arising in repo transactions. This research is a descriptive study using a qualitative approach that uses in-depth interviews in collecting the necessary data. The results show that generally accepted tax regulations cannot provide legal certainty on repo transactions, judging from the subject there are two taxpayers in one repo transaction, income tax objects that are not in accordance with the economic substance that occurs, tax rates that impose a burden on taxpayers outside the economic substance and withholding taxes payable that are not in accordance with the interests of the parties to the repo transaction. Issuance of a Government Regulation which stipulates that the owner of the securities which are used as the basis for repo transactions remains with the repo seller can provide legal certainty regarding income tax arising in a repo transaction scheme.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Veviolita Sekar Sari
"Belum banyak riset yang mengkaji tentang evaluasi kebijakan pemberian insentif penghasilan atas industri tekstil. Tujuan utama pemberian insentif pajak kepada industry tekstil adalah mencegah Industri tekstil melakukan penutupan pabrik, dan berdampak pada Pemutusan Tenaga Kerja (PHK) terhadap buruh dan terjadinya gejolak pada pasar keuangan dan nilai tukar rupiah .Ketentuan yang mengatur pemberian insentif pajak penghasilan ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.011/2013 tentang Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 29 Tahun 2013.Penelitian ini membahas evaluasi kebijakan tersebut berdasarkan kriteria evaluasi kebijakan menurut Dunn yaitu kriteria evaluasi berdasarkan Efektivitas, responsivitas, dan ketetapan. Hasil dari penelitian ini yaitu kebijakan tersebut belum efektif , respon yang rendah dan belum tepat guna.

Has not been a lot of research that examines the evaluation of policy incentives on income from the textile industry. The main purpose of tax incentives to the textile industry is the textile industry doing to prevent plant closures, and impact on the Termination of Employment to the workers and the turmoil on the financial markets and the exchange rate. Provisions governing income tax incentives are Minister of Finance Regulation Reducing the number 124/PMK.011/2013 amount of income tax of Article 25 and Delays Payments Income Tax of Article 29 in 2013. Study discusses the policy evaluation is based on the evaluation criteria according to Dunn's policy is based on the evaluation criteria of effectiveness, responsiveness , and permanence. The results from this research that the policy has not been effective, low response and not appropriate.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S56709
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siborutorop, Toga M. P.
"Serelah adanya krisis moneter pada tahun 1991 yang mana salah satu penyebabnya adalah kekurang hati-hatian dari banyak pemaahaan besar dalam mengelola keuangannya pada saat tersebut banyak peruqahaan mengambil pinjaman dalam valuta asing terutama USD, walaupun pendapatan yang diperoleh untuk membayar hutangnya tersebut dalam mata uang rupiah. Hal ini disebabkan oleh karena besarnya selisih tingkat bunga rupiah dengan tingkat bunga pinjaman valuta asing dan dilain pihak kurs rupiah terhadap mata uang asing sangatlah kuat.
Krisis ekonomi mengakibatkan perusahaan- perusahaan mengalami kesulitan dalam membayar hutangnya yang dalam valula asing tersebut, dan pada akhirnya mengakibatkan kebangkitan.
Belajar dari hal tersebut diatas, timbul kebutuhan akan instrument derivatif guna menutup resiko yang diakibatkan oleh perubahan kurs mata uang asing dan juga perubahan tingkat bunga. Pada saal ini banyak jenis-jenis derivatif yang digunakan oleh perbankan dan perusahaan-perusahaan lainnya dalam mengelola resikonya. lnstrument derivatif dirasakan semakin cepat variasi nya demikian juga jumlah transaksinya.
Dilain pihak salah satu tujuan ulama dari pajak adalah untuk meningkatkan penerimaan negara Untuk ini diperlukan peraturan perpajakan yang memberikan kepastian hukum, bersifat adil, tidak menimbulkan distorsi dalam perekonomian atau tidak menggangu arus modal masuk yang dibutuhkan hagi pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya juga haruslah ekonomis dalam hal administrasinya.
Penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan yang diperoleh melalui buku, artikel penelitian. peraturan-peraluran perpajakan yang berlaku , Selain itu juga dilakukan pencarian informasi kepada pejabat dibidang perpajakan, konsulen pajak dan wajib pajak.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, menunjukkan belum adanya peraturan perpajakan yang komprehensif dalam hal derivalif. Hal ini disebabkan karena demikian majunya instrument derivatif, sehingga kebanyakan lebih melihat hakekat ekonominya dan menggunakan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku saja untuk memperhitungkan pajak atas transaksi derivatif.
Selain itu juga dari uraian dapat dilihat peraturan-peraturan yang dibuat terkadang lebih mementingkan penerimaan pajak dan kurang memperhatikan hakikat ekonomi dari derivatif itu sendiri.
Pada akhirnya disarankan untuk melakukan penelitian yang Iebih mendalam dan komprehensif untuk perpajakan atas transaksi derivalif yang mana melibatkan ahli-ahli dalam instrument derivatif seperti Bank Indonesia. Sehingga dapat diciptakan peraturan perpajakan yang dapat meningkaikan penerimaan negara dan dilain pihak hakekat ekonomi tetap diperhatikan sehingga tidak menggangu penumbuhan perekonomian.

Alier financial crisis in 1997, in which one of the causes is imprudence of big companies in managing their financial matter, many companies have taken loan in foreign currency whereas their income for paying their debt is in rupiah. This happen due to interest rate of rupiah higher than interest rate of foreign currency and also exchange rate of rupiah is relatively strong compare to other currency.
The economic crisis caused many companies face difficulty in paying their debt in foreign currency and finally resulted in bankruptcy.
Learning from this problem, there is a need of derivative instruments to mitigate risk offoreign exchange rate and interest rate. Currently there are many types of derivatives used by banks and other companies for risk management. Derivative instruments growth so fast both in types and amount of transactions.
On the other side, one of the main objectives of tax is increase the government revenue. Due to that, there is a need for tax regulation which give certainty in law, equality, and not distorting economic or incoming fund which is needed for economic growth and linally should be efficient in administrative matter.
This research was done through library study from books, articles and current tax regulations. In addition to that, searching of information was also done by interviewing tax officer, tax consultant and companies.
Result of the research shows that there are no comprehensive tax regulation for derivative. This is due to the advances of derivative instrument therefore mostly look at the economic substance and using accounting principle in calculating tax on derivative.
On the other hand, from the analysis it is found that in some taxes regulation that has been made occasionally put the importance ofgetting the tax revenue and less attention to the economic substance of derivative itsellf.
Finally, it suggests that a comprehensive research should be conducted for taxation on derivatives transaction which shall involve expetts in derivative instruments such the Central Bank. This will result in creating tax regulation that will increase govemment revenue and on the other side will as well put attention to the economic substance, so that will not distort the economic growth."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21493
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>