Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124207 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budi Aji Purwoko
"Tren pertumbuhan jumlah pengguna aplikasi mendorong transportasi online menjadi transportasi modern pilihan masyarakat perkotaan. Disatu sisi permasalahan lingkungan di Jakarta tidak terlepas dari permasalahan pencemaran udara yang salah satunya disebabkan oleh sektor transportasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kesadaran dan partisipasi pengguna transportasi online sebagai penghasil emisi karbon dari perjalanan yang dilakukan menggunakan transportasi online terhadap kesediaan membayar penyeimbangan karbon. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jumlah responden sebanyak 954 dari pengguna transportasi online aktif yang beraktivitas di Jakarta. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebanyak 633 responden atau 62,51% responden bersedia untuk membayar (WTP) dengan rata-rata rupiah yang dibayarkan sebesar Rp. 2.042 dan faktor yang signifikan berpengaruh dalam menentukan besaran nominal (WTP) pengguna transportasi online adalah Faktor Demografi meliputi jenis pekerjaan dan Pendapatan, faktor karakteristik perjalanan meliputi frekuensi perjalanan, waktu tempuh dan jarak tempuh selanjutnya sikap peduli terhadap udara bersih menjadi variabel tunggal yang berpengaruh dalam faktor pengetahuan dan sikap.

The growing trend of the number of application users is pushing online transportation to become the modern transportation of choice for urban people. On the one hand, environmental problems in Jakarta are inseparable from air pollution problems, one of which is caused by the transportation sector. This research was conducted to determine the awareness and participation of online transportation users as carbon emitters from trips made using online transportation to the willingness to pay for carbon offsetting. This study uses a quantitative approach with the number of respondents as many as 954 active online transportation users in Jakarta. The results showed that as many as 633 respondents or 62.51% of respondents were willing to pay (WTP) with an average rupiah paid of Rp. 2,042 and a significant factor that had an effect in determining the nominal amount (WTP) of online transportation users was demographic factors including the type of work and income, travel characteristic factors including travel frequency, travel time and mileage then the attitude of caring about clean air became variable a single that is influential in knowledge and attitude factors."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bryanco Andro Fandhytio
"Penelitian ini berfokus pada analisis kesediaan membayar (WTP) kompensasi karbon (carbon offset) oleh mahasiswa Universitas Indonesia, dalam konteks pertumbuhan ekonomi dan sektor transportasi di Indonesia yang berdampak pada emisi gas rumah kaca. Studi ini menemukan bahwa 73,46% (274 individu dari total sampel sebanyak 373 individu) sampel menyatakan bersedia untuk berpartisipasi dalam program carbon offset, dengan rata-rata WTP carbon offset sebesar Rp113.128,4/tCO2eq, nilai yang 92,39% lebih tinggi dibandingkan harga karbon di IDX Carbon. Analisis regresi OLS menunjukkan bahwa pendapatan berdampak positif terhadap WTP carbon offset, sementara pengetahuan lingkungan tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan. Sikap terhadap isu lingkungan dan perilaku pro-lingkungan terbukti meningkatkan WTP carbon offset. Faktor demografis seperti jenis kelamin dan disiplin ilmu tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap WTP carbon offset. Studi ini juga menemukan hubungan negatif antara total karbon dan WTP carbon offset, menunjukkan bahwa biaya tambahan akibat jarak tempuh yang lebih jauh dapat menurunkan WTP carbon offset. Hasil penelitian ini menyoroti pentingnya sikap dan perilaku pro-lingkungan dalam meningkatkan dukungan terhadap kompensasi karbon.

This research focuses on the analysis of the willingness to pay (WTP) for carbon offset by students of the University of Indonesia, in the context of economic growth and the transportation sector in Indonesia that impacts greenhouse gas emissions. The study found that 73.46% (274 out of 373 individuals) of the research sample expressed their willingness to participate in the carbon offset program, with an average WTP carbon offset of Rp113.128,4/tCO2eq, a value that is 92,39% higher than the carbon price at IDX Carbon (Rp58.800/tCO2eq). OLS regression analysis shows that income has a positive impact on WTP carbon offset, while environmental knowledge does not show a significant influence. Attitudes towards environmental issues and pro-environmental behavior have been proven to increase WTP carbon offset. Demographic factors such as gender and discipline do not show a significant influence on WTP carbon offset. This study also found a negative relationship between total carbon and WTP carbon offset, indicating that additional costs due to longer travel distances can reduce WTP carbon offset. The results of this study highlight the importance of attitudes and pro-environmental behavior in increasing support for carbon compensation."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shofiyah Adila Farhana
"Pada tahun 2022, pemerintah Indonesia telah mengakui bahwa dampak perubahan iklim dapat memicu potensi bencana yang dapat merugikan perekonomian, sosial, dan kesehatan di Indonesia hingga mencapai angka 544 triliun rupiah. Dengan mempertimbangkan bahwa dibutuhkan dana yang besar untuk pendanaan iklim dan adanya peningkatan target Indonesia terhadap dunia internasional untuk menurunkan emisi karbon, pemerintah Indonesia memutuskan untuk merencanakan penerapan pajak karbon dan perdagangan karbon secara simultan untuk satu sektor yang sama yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara melalui Undang-Undang No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 16 Tahun 2022. Merujuk kepada doktrin dari Gunningham dan Sinclair, apabila akan diterapkan dua atau lebih kebijakan untuk satu target yang sama,  maka perlu untuk dilihat koherensi dan urutan dari penerapan kebijakan tersebut untuk melihat apakah tujuan utama dari diterapkannya dua atau lebih kebijakan dapat tercapai tanpa menciptakan smorgasbordism. Norwegia merupakan negara Eropa yang memiliki situasi mirip dengan Indonesia. Norwegia menerapkan kewajiban untuk sektor petroleum lepas pantai berpartisipasi di perdagangan karbon Uni Eropa melalui European Union Emision Trading System (EU ETS) dan membayar pajak karbon melalui Carbon Tax Act No. 21 on Petroleum Activities. Sayangnya, hingga saat ini, tidak ada data yang menunjukkan bahwa emisi karbon di sektor petroleum lepas pantai Norwegia berhasil menurun paska diterapkannya dua kebijakan instrumen ekonomi secara simultan. Alih-alih menurun, data menunjukkan bahwa hingga kini produksi petroleum lepas pantai tetap menjadi nomor urut pertama sumber emisi karbon di Norwegia. Berkaca dari Norwegia, apabila Indonesia ingin menerapkan pajak karbon dan perdagangan karbon untuk menurunkan emisi karbon di sektor PLTU Batubara, maka Indonesia perlu untuk mempertimbangkan bahwa 1) pajak karbon tidak dapat dikenakan sebagai ‘sanksi’ yang menimbulkan efek jera agar pelaku industri PLTU Batubara di Indonesia mau berpartisipasi di perdagangan karbon;  2) pemerintah perlu memastikan bahwa terdapat insentif yang cukup untuk menarik pelaku usaha ke perdagangan karbon, baik melalui sanksi denda atau sanksi sosial, tanpa mengandalkan pajak;  3) hasil pajak karbon benar-benar dialokasikan untuk proyek lingkungan hidup.

By 2022, the Indonesian government has recognized that the impacts of climate change could trigger a potential catastrophic economic, social, and health cost in Indonesia of up to IDR 544 trillion. Considering the large amount of money needed for climate finance and Indonesia's increasing international targets to reduce carbon emissions, the Indonesian government decided to plan the simultaneous implementation of carbon tax and carbon trading for the same sector, namely Coal Fired Power Plant through Law No.7 of 2021 on Harmonization of Taxation Regulations and Minister of Energy and Mineral Resources Regulation No. 16 of 2022. Referring to the doctrine of Gunningham and Sinclair, if two or more policies will be applied for the same target, it is necessary to look at the coherence and sequence of the application of these policies to see if the main objectives of the application of two or more policies can be achieved without creating smorgasbordism. Norway is a European country that has a similar situation to Indonesia. Norway has an obligation for the offshore petroleum sector to participate in EU carbon trading through the European Union Emission Trading System (EU ETS) and pay carbon tax through Carbon Tax Act No. 21 on Petroleum Activities. Unfortunately, to date, there is no data to suggest that carbon emissions in Norway's offshore petroleum sector have decreased following the simultaneous implementation of these two policy economic instruments. Instead of decreasing, data shows that until now offshore petroleum production remains the number one source of carbon emissions in Norway.  Reflecting on Norway, if Indonesia wants to implement carbon tax and carbon trading to reduce carbon emission in coal power plant sector, Indonesia needs to consider that 1) carbon tax cannot be imposed as a 'sanction' that creates deterrent effect so that coal power plant industry players in Indonesia want to participate in carbon trading; 2) the government needs to ensure that there are sufficient incentives to attract business actors to carbon trading, either through fines or social sanctions, without relying on taxes; 3) carbon tax proceeds are truly allocated for environmental projects."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asputia Damayanti
"Dampak perubahan iklim terhadap lingkungan dan manusia, lebih luas telah menjadi ancaman terhadap stabilitas ekonomi dunia. Perdagangan karbon hadir sebagai salah satu upaya untuk menjaga keseimbangan antara dampak lingkungan dan perekonomian global. Tata laksana perdagangan karbon yang diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 sangat penting bagi Indonesia karena memberikan kontribusi dalam penanggulangan perubahan iklim berbasis pasar di tingkat global untuk menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan. Perdagangan karbon dilaksanakan melalui mekanisme bursa karbon yang telah diluncurkan pada pertengahan 2023 lalu. Aktivitas bursa karbon hanya menunjukkan kinerjanya pada hari pertama peluncuran, setelah itu bursa karbon terus menunjukkan penurunan hingga stagnansi perdagangan akibat tidak tersedianya unit karbon. Berbasis regulated market, maka kinerja perdagangan karbon juga ditentukan oleh perangkat regulasi, khususnya tata laksana nilai ekonomi karbon pada tingkat Kementerian/Lembaga yang terkait dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dinamika implementasi kebijakan perdagangan karbon di Indonesia dan penguatan apa yang dapat dilakukan untuk mendorong kinerja perdagangan karbon. Melalui metode penelitian deskriptif kualitatif dan teknik analisis arketipe sistem drifting goals, hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika implementasi kebijakan perdagangan karbon disebabkan adanya resistensi pelaku usaha dan konflik kepentingan antar Kementerian/Lembaga, sehingga terjadi penurunan target nasional. Untuk mendorong pencapaian target nasional, penguatan perlu dilakukan sebagai tindakan korektif yaitu dengan inovasi tata kelola soft steering dan peran dukungan legislatif.

Climate change impact on the environment and humans has become a broader threat to world economic stability. Carbon trading act as an effort to maintain a balance between the environmental and global economy impacts. Implementation of carbon trading regulated through Presidential Regulation Number 98 of 2021 is crucial for Indonesia as it contributes to market-based mitigation of climate change at the global level towards sustainable economic recovery. Carbon trading is carried out through a carbon exchange mechanism which was launched in mid-2023. Carbon exchange activity only showed its performance on the first day of launch, and carbon exchange continued to show a decline until trading stagnated afterwards due to the unavailability of carbon units. Driven by regulated market, carbon trading performance is determined by regulatory instruments, especially the implementation of economic value of carbon in the Ministries/Institutions level as regulated in Indonesia's Nationally Determined Contribution (NDC). For such backgrounds, this research aims to analyze the dynamics of carbon trading policy implementation in Indonesia and what reinforcement can be done to encourage carbon trading performance. Through qualitative descriptive research methods and drifting goals system archetype analysis techniques, the results show that the dynamics of carbon trading policy implementation are caused by resistance from business actors and conflicts of interest between Ministries/Institutions, which resulting in declining national targets. To encourage the achievement of national targets, reinforcement needs to be carried out as a corrective action, through soft steering governance innovations and the role of legislative support."
Jakarta: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Az Zahra Sashe Azhar
"Dengan meningkatnya kesadaran global terhadap perubahan iklim dan pengurangan emisi karbon, perdagangan karbon menjadi instrumen penting untuk mencapai target emisi. Implementasi perdagangan karbon di Indonesia masih awal dan memerlukan regulasi lebih lanjut, terutama terkait sistem perpajakan. Beberapa negara telah mengimplementasikan perpajakan seperti pajak penghasilan, namun di Indonesia hal ini belum ditelaah lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah penghasilan dari perdagangan karbon melalui bursa karbon dan perdagangan langsung merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh), serta membandingkan ketentuan PPh atas penghasilan perdagangan karbon di Australia dan Brazil yang bisa diadopsi oleh Indonesia. Penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan mengkaji regulasi, literatur, data sekunder, serta benchmarking. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan perlakuan pajak antara transaksi bursa karbon dan perdagangan langsung, yang memengaruhi efektivitas perdagangan karbon di Indonesia serta terdapat objek PPh atas penghasilan perdagangan karbon. Penghasilan dari bursa karbon dapat dikenakan PPh final Pasal 4 ayat (2) yang juga sesuai dengan pengenaan pajak pada saham karena didefinisikan sebagai efek, sedangkan perdagangan langsung masih menjadi perdebatan terdapat potensi besar juga atas penerimaan keuntungan dari penjualan aset tersebut atau keuntungan yang dapat dikenakan PPh badan secara umum dengan tarif 22%. Benchmarking dengan Australia dan Brazil memberikan gambaran ketentuan PPh yang dapat diterapkan di Indonesia.

With the increasing global awareness of climate change and carbon emission reduction, carbon trading has become an important instrument to achieve emission targets. The implementation of carbon trading in Indonesia is still early and requires further regulation, especially regarding the taxation system. Some countries have implemented taxation such as income tax, but in Indonesia this has not been explored further. This study aims to analyze whether income from carbon trading through carbon exchanges and direct trading is an object of Income Tax (PPh), as well as compare the provisions of Income Tax on carbon trading income in Australia and Brazil that can be adopted by Indonesia. The research uses a qualitative descriptive approach by reviewing regulations, literature, secondary data, and benchmarking. The results show differences in tax treatment between carbon exchange transactions and direct trading, which affect the effectiveness of carbon trading in Indonesia and the object of income tax on carbon trading income. Income from carbon exchange can be subject to final income tax Article 4 paragraph (2) which also corresponds to the tax imposition on shares because it is defined as securities, while direct trading is still debatable, there is also a large potential for receiving profits from the sale of these assets or profits that can be subject to general corporate income tax at a rate of 22%. Benchmarking with Australia and Brazil provides an overview of income tax provisions that can be applied in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Giava Zahrannisa
"Kenaikan temperatur sebesar 4°C sebelum tahun 2060 mengancam bumi menjadi tidak layak huni bagi manusia. Guna mencegah katastrofe tersebut, negara-negara di dunia berupaya membatasi kenaikan suhu bumi rata-rata sebesar 1,5°C di atas level pra industri dan mencapai target emisi nol bersih sebelum tahun 2060. Perdagangan karbon menjadi salah satu instrumen yang paling efisien untuk mencapai target iklim tersebut. Sayangnya, integritas perdagangan karbon sangat lemah akibat tingginya angka tindak pidana seperti: penjualan kredit karbon palsu, klaim palsu terkait manfaat finansial dan lingkungan kredit karbon, kejahatan finansial, kejahatan komputer, dan pemalsuan data emisi gas rumah kaca (GRK). Penelitian ini menganalisis permasalahan tersebut menggunakan metode penelitian doktrinal dan non-doktrinal. Hasil penelitian menjelaskan bahwa hukum pidana Indonesia belum siap untuk mengakomodasi tindakan pemalsuan data emisi GRK. Menggunakan teori kesempatan tindak pidana serta prinsip kesalahan moral dan kerugian, penelitian ini menunjukkan urgensi dan justifikasi kriminalisasi terhadap pemalsuan data emisi GRK. Kriminalisasi tersebut dilakukan terhadap tiga modus berupa: pemalsuan informasi atau dokumen, perusakan alat monitoring emisi, dan penggunaan sampel palsu. Sebagai solusi, penelitian ini memberikan formulasi kombinasi sanksi administratif dan pidana untuk mengkriminalisasi pemalsuan data emisi GRK agar dapat meminimalisasi kesempatan terjadinya tindak pidana sehingga mampu menjaga integritas perdagangan karbon.

The rise of world temperature by 4°C before 2060 would make the world unhabitable for humans. In response, countries worldwide are binded to limit the temperature increase to 1.5°C above pre-industrial levels and achieve net-zero emissions before 2060. Carbon trading stands out as one of the most cost-efficient instruments to meet these climate targets. However, the integrity of carbon trading is compromised due to high rates of criminal activities. These include: the sale of fake carbon credits, false claims regarding financial and environmental benefits of carbon credits, financial crimes, cybercrimes, and falsification of greenhouse gas emission (GHG) data. Using doctrinal and non-doctrinal method, this research argues that falsification of greenhouse gas emission dataremains unregulated by Indonesian criminal law. This research also argue that the criminalization of GHG data falsification is urgent and justified by implementing crime opportunity theory and justification of criminalization theory. As a solution,  this research provides a formulation of a combination of administrative and criminal sanctions to criminalize falsification of GHG emission data in order to minimize the opportunity for criminal acts so as to be able to maintain the integrity of carbon trading."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Triana
"Langit malam dengan kegelapan alami dan penuh bintang merupakan sebuah sumber daya alam milik bersama, dan sebagai barang public merupakan tanggung jawab kita Bersama untuk menjaga nya. Polusi cahaya mengurangi kemampuan kita untuk melihat keatas, kepada langit malam yang penuh keindahan dan menghalangi kita untuk melihat berbagai objek langit seperti bintang dan milkyway, selain itu polusi cahaya memiliki konsekuensi terhadap alam, Kesehatan, energi, dan inspirasi. Agar pemerintah dapat melakukan intervensi secara lebih efektif, analisis ekonomi polusi cahaya berkaitan dengan cost dan benefit perlu dilakukan. Skripsi ini menggunakan metode CVM untuk menempatkan nilai ekonomi pada peningkatan kualitas langit malam melalui penurunan polusi cahaya. Responden diberikan pertanyaan mengenai kesediaan mereka membayar untuk kualitas langit malam yang lebih baik. Modus WTP dakam survey ini adalah Rp0, hal ini disebabkan oleh awareness dan pengetahuan terhadap langit malam dan polusi cahaya masih kurang. Faktor yang paling signifikan mempengaruhi WTP adalah perasaan terganggu oleh keberadaan polusi cahaya dan skyglow, persepsi tentang dampak polusi cahaya terhadap kesehatan, dan persepsi polusi cahaya terhadap lingkungan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Estimasi mean dari pengolahan data interval regression menunjukan responden secara rata-rata bersedia membayar sebesar Rp 32774 untuk meningkatkan kualitas langit malam dengan mengurangi polusi cahaya di kawasan Jabodetabek atau rumah mereka. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kunci pembuka bagi penelitian selanjutnya mengenai polusi cahaya di Indonesia.

The night sky with natural darkness and full of stars is a natural resource that belongs to everyone, and as a public good it is our collective responsibility to protect it. Light pollution reduces our ability to look up, to the beautiful night sky and prevents us from seeing various celestial objects such as stars and milkyways, besides light pollution has consequences for nature, health, energy and inspiration. In order for the government to intervene more effectively, an economic analysis of light pollution related to costs and benefits needs to be done. This thesis uses the CVM method to place an economic value on improving the quality of the night sky through reducing light pollution. Respondents were asked questions about their willingness to pay for a better quality of the night sky. WTP mode in this survey is Rp0, this is due to lack of awareness and knowledge of the night sky and light pollution. The most significant factors affecting WTP were feelings of being disturbed by the presence of light pollution and skyglow, perceptions of the impact of light pollution on health, and perceptions of light pollution on the environment. This study concludes that the mean estimation of interval regression data processing shows that respondents are on average willing to pay Rp. 32774 to improve the quality of the night sky by reducing light pollution in the Greater Jakarta area or their homes. This research is expected to be an opening key for further research on light pollution in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andiko
"Tesis ini membahas kelayakan hukum Karbon (CO2) menjadi objek perdagangan karbon dalam skema mitigasi perubahan iklim dalam kacamata hukum dan etika lingkungan. Penelitian ini adalah penelitian hukum yang bersifat analitis dengan pendekatan normatif. Penelitian ini kemudian menemukan bahwa secara normatif Karbon (CO2) dapat menjadi benda karena Undang-Undang dan menjadi objek perdagangan karbon, namun mengandung sejumlah pertanyaan dalam pendekatan secara etika lingkungan karena merupakan benda milik bersama serta tetap menggunakan pendekatan Antroposentris dalam memposisikan alam diikuti sejumlah masalah teknis kehutanan dan perdagangan.

This thesis discusses about the legal feasibility of carbon (CO2) become an object to carbon offset in climate change mitigation scheme in legal perspective and environmental ethic. This research is conducted in legal normative methode with analytical aproach. By this research, I found Carbon (CO2) could be defined as a goods, hence it could become an object of carbon offset. However, in perspective of environment ethics there are questions regarding how we see carbon as common property and remain use Anthropocentric approach to observe nature besides other number of technical problems such forestry and trade."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naibaho, Erna Meike
"Tesis ini membahas tentang perdagangan karbon kredit sebagai mekanisme/skema penanganan pengurangan emisi gas rumah kaca, dimana masih terdapat pro dan kontra terhadap mekanisme/skema perdagangan karbon kredit ini baik dari sisi substansi maupun pelaksanaan. Oleh karena latar belakang tersebut di atas, maka pokok permasalahan dalam tesis ini adalah melihat konsep perdagangan karbon kredit dalam tinjauan hukum, baik aspek hukum keperdataan dan juga aspek hukum publik. Permasalahan tersebut dibahas menggunakan metode penelitian kepustakaan, sehingga menghasilkan kesimpulan yaitu pada dasarnya mekanisme/skema ini sudah diimplementasikan dan memberikan manfaat meskipun masih terdapat permasalahan-permasalahan yang dapat berpotensi menjadi masalah hukum dan ketidakefektifan skema/mekanisme ini terhadap tujuan diselenggarakannya perdagangan karbon kredit ini.

This thesis discusses about carbon credit trading as a mechanism/scheme in handling the emission reduction of Green House Gases (GHGs). There are pro & contra exist in substances and implementation of carbon credit trading. From that background situation, this thesis concern about problems of legal aspects in carbon credit trading, including private and public legal aspects. These problems are discussed using library research methods and conclude that basically carbon credit trading is able to implement as a mechanism in GHGs emission reduction, but in other hand there are problems exist which potential to be a legal problems and ineffectiveness of this mechanism to aim its purpose as an emission reduction mechanism."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T29295
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sarityastuti Santi Saraswati
"Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Provinsi DKI Jakarta belum mampu membiayai percepatan pembangunan infrastruktur daerah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengupayakan sumber pembiayaan infrastruktur melalui kebijakan pelampauan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) sesuai Peraturan Gubernur (Pergub) No. 210 Tahun 2016. Penelitian ini bertujuan menganalisis willingness to pay (WTP) badan usaha milik swasta (BUMS) terhadap kompensasi pelampauan KLB. Berdasarkan hasil estimasi kurva WTP dan persamaannya, potensi kompensasi pelampauan KLB di DKI Jakarta dengan kompensasi rata-rata WTP sebesar Rp.16 miliar per pelampauan KLB adalah sebesar Rp. 3,4 triliun.
Berdasarkan hasil analisis regresi logistik, teridentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi WTP BUMS terhadap kompensasi pelampauan KLB yaitu pemahaman terhadap Pergub No. 210 Tahun 2016, ukuran perusahaan dilihat dari jumlah pegawai, besar keinginan/motivasi untuk pelampauan KLB dilihat dari jumlah pelampauan KLB yang diinginkan, jenis penanaman modal, lokasi berdasarkan kota administrasi, aksesibilitas terhadap stasiun angkutan umum massal, luas lahan pengembangan, kegiatan pada lahan, sumber pendanaan, serta jumlah pelampauan KLB dan nilai kompensasi yang ditawarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

The Regional Budget of DKI Jakarta Province has not been able to finance the acceleration of regional infrastructure development. DKI Jakarta Provincial Government seeks infrastructure funding sources through FAR bonus policy as regulated in Governor Regulation No. 210 of 2016. This study aims to analyze the willingness to pay (WTP) of privately owned enterprises (BUMS) for FAR bonus compensation. Based on the estimation of the WTP curve and equation, the average WTP is Rp. 16 billion per FAR bonus and the potential compensation in DKI Jakarta is Rp. 3,4 trillion.
Based on the results of logistic regression analysis, factors affecting the BUMS WTP for FAR bonus compensation are BUMS comprehension of Pergub No. 210 of 2016, the size of the enterprise seen from the number of employees, the desire for FAR bonus represented by the number of desired FAR bonus, type of investment, location based on city administration, accessibility to mass public transport stations, land area, land activities, funding sources, as well as the number of FAR bonus and the value of compensation offered by the DKI Jakarta provincial government.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T51819
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>