Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 120261 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Venty Arkina
"Isu tentang perempuan dan kesetaraan gender telah menjadi polemik yang masih ada sampai hari ini. Hal ini sering kali berkaitan dengan identitas perempuan akan dirinya secara utuh. Fenomena hijab masih menjadi polemik di negara Jerman. Penelitian ini akan membahas analisis perempuan imigran Turki di Jerman melalui sebuah video tentang hijab. Dalam penelitian ini, diharapkan dapat mengetahui bagaimana identitas perempuan muslim di Jerman sebagai seorang minoritas dan perempuan dalam the second sex. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitis dengan mengaitkan teori the second sex karya Simone de Beauvoir. Hasil dari penelitian dapat disumpulkan bahwa menurunnya penggunaan hijab di Jerman tidak hanya dipengaruhi oleh pilihan pribadi, namun juga dipengaruhi oleh faktor sosial. Isu penggunaan hijab di Jerman terjadi karena perbedaan sudut pandang antara Uni Eropa dengan umat Islam. Tantangan yang dihadapi perempuan berhijab di Jerman tidak hanya karena busana hijab yang digunakannya, tetapi juga faktor lingkungan, seperti sulitnya mendapatkan pekerjaan. Pandangan dikotomis yang berkembang di masyarakat juga membuat penilaian baik dan buruk ini diturunkan dari generasi ke generasi. Bahkan tidak jarang mesogini yang terjadi berasal dari perempuan ke perempuan lainnya.

The issue of women and gender has become a polemic that still exists today. This is often related to the identity of women about themselves as a whole. The hijab phenomenon is still a polemic in Germany. This study will discuss the analysis of Turkish immigrant women in Germany through a video about hijab. In this study, it is expected to find out how the identity of Muslim women in Germany is as miniorities and women in the second sex. The method used is descriptive analytical method associated with the theory of the second sex by Simone de Beauvoir. The results of the study can be concluded that the reduction in the use of hijab in Germany is not only influenced by personal choices, but also influenced by social factors. Issue of the use of hijab in Germany occurs because of the different points of view between the European Union and Muslims. The challenges of hijab women in Germany are not only because of the hijab they wear, but also social factors, such as the difficulty to get a job. The dichotomy view that develops in society for judging good and bad has passed down from generation to generation. In fact, it is not uncommon for misogyny to occur from one woman to another."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arsela Surya Andoko
"Penelitian ini bertujuan untuk mendalami topik mengenai diaspora dan krisis identitas budaya pada generasi kedua imigran di novel Mambo in Chinatown (2014) karya Jean Kwok. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menerangkan konstruksi budaya dalam hidup karakter utama, dan untuk membandingkan prosesnya dari waktu ke waktu. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan analisis tekstual menggunakan teori dari Stuart Hall (1990) tentang identitas budaya dan diaspora. Saya akan menganalisis bagian-bagian dari novel yang mengindikasikan pandangan karakter utama mengenai hidupnya sebagai diaspora. Sebagai tambahan, perangkat sastra, seperti penyimbolan, penokohan, alur cerita dan narasi yang berkaitan dengan karakter utama akan dianalisis untuk mengungkapkan berbagai makna atau pesan yang disampaikan oleh penulis novel. Kemudian, kaitan antara kondisi kehidupan, ketercabutan dari asal usul, dan pandangan mengenai identitas karakter utama di awal dan akhir akan dibandingkan untuk mengungkapkan proses pergeseran dalam rasa kepemilikan dan identitas sebelum dan sesudah dia mengadopsi budaya Amerika sepenuhnya. Hasil penelitian menunjukan bahwa akulturasi dan penerimaan dari negara tuan rumah adalah aspek penting dalam rekonstruksi identitas dan pembentukan rasa kepemilikan identitas dalam generasi kedua imigran. Selain itu, juga ditemukan bahwa kepuasan hidup yang lebih tinggi membantu generasi kedua imigran, dalam kasus ini Tionghoa-Amerika, untuk berasimilasi dan berakulturasi dengan budaya negara tuan rumah, yang selanjutnya berbalik membentuk rasa kepemilikan identitas dan kesadaran bahwa mereka bukan lagi hanya Tionghoa tapi juga adalah seorang Amerika. Pada akhirnya, kesadaran ini membuat Charlie dapat menerima asal usul dirinya dan juga menerima menjadi apa dirinya sekarang. Hal ini membuatnya tidak merasa malu atau benci menjadi bagian dari diaspora Tionghoa, sambil berdamai dengan dirinya sendiri karena tidak menjadi cukup Tionghoa menurut standar tradisional.

The study aims to explore the diaspora and cultural identity crisis of the second generation of immigrants through the novel Mambo in Chinatown (2014) by Jean Kwok. Moreover, this paper aims to elucidate identity reconstruction in the main character's life, and to comprehend the process over time. The method used is qualitative with textual analysis using Stuart Hall’s (1990) theories on cultural identity and diaspora. I will analyse parts in the novel that indicate the main character’s view of her life as a diaspora. In addition to that, the literary devices , like symbolism, characters, and plot, and narration surrounding the main character will be analysed to unwrap the various meanings that the writer of the novel communicates. Then, the relation between the life condition, uprootedness and view of identity of the main character from the beginning and the end will be compared to see the shifting process in her sense of belonging and identity before and after she fully embodies American culture. The result shows that acculturation and acceptance of the host country’s culture are important aspects in identity’s reconstruction and the formation of a sense of belonging in second-generation immigrants. It is also found that better life satisfaction helps the second-generation of immigrants, in this case the Chinese-Americans, to assimilate and acculturate to the host country’s culture that in turn forms their sense of belonging and realisation that they are not just Chinese anymore but also American. In the end, this realisation allows Charlie to accept her origin as well as what she has become in the present, which makes her not feeling ashamed or hatred of being part of Chinese diaspora while making peace with herself for not being Chinese enough according to traditional standard of being Chinese.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ishaq Mahmudil Hakim
"Kecurangan merupakan fenomena negatif yang terjadi di berbagai konteks. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan apakah kecurangan dapat dipengaruhi oleh moral disengagement dan pengaruh tersebut dapat dimoderasi oleh identitas moral. Sebanyak 213 orang mahasiswa dari 7 universitas di Indonesia mengikuti penelitian ini. Peneliti mengukur kecurangan dengan Tugas Matriks Angka yang pernah digunakan oleh banyak peneliti-peneliti lain.
Moral disengagement diukur menggunakan adaptasi dari Moral Disengagement Scale yang dirancang oleh Detert, Treviño, dan Sweitzer (2008). Identitas moral diukur dengan hasil adaptasi dari Moral Identity Questionnaire yang dikembangkan Black dan Reynolds (2016).
Penelitian ini menemukan bahwa tidak terdapat pengaruh signifikan moral disengagement terhadap kecurangan (odds ratio = 1,111; n = 213; p > 0,05; two-tailed). Lebih lanjut, identitas moral tidak memoderasi pengaruh moral disengagement terhadap kecurangan (odds ratio = -1,140; p > 0,05; two-tailed). Elaborasi dari hasil penelitian ini dibahas di dalam diskusi.

Dishonest behavior is a negative phenomenon that occurs in various contexts. This study aims to find out whether dishonest behavior can be influenced by moral disengagement and whether that influence can be moderated by moral identity. 213 students from 7 universities in Indonesia participated in this study. Dishonest behavior was measured by the Number Matrix Task that had been used by many other researchers.
Moral disengagement was measured using adaptations from the Moral Disengagement Scale designed by Detert, Treviño, and Sweitzer (2008). Moral identity was measured by the adaptated Moral Identity Questionnaire developed by Black and Reynolds (2016).
This study found no significant effect of moral disengagement on dishonest behavior (odds ratio = 1.111; n = 213; p> 0.05; two-tailed). Furthermore, moral identity did not moderate the effect of moral disengagement on dishonest behavior (odds ratio = -1,140; p> 0.05; two-tailed). The elaboration of these results was discussed.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Aulia Ramadhian
"ABSTRAK
Reunifikasi antara Jerman Barat dan Jerman Timur yang disepakati pada 1989, mengakibatkan terjadinya perubahan yang signifikan dalam berbagai macam aspek kehidupan di Jerman, termasuk salah satunya dalam aspek perfilman. Film menjadi salah satu media yang dapat dianalisis melalui berbagai perspektif. Pada tahun 90-an dunia perfilman Jerman mulai dibanjiri dengan munculnya sejumlah film Jerman yang mengangkat cerita mengenai kehidupan di Jerman Timur. Fenomena ini kemudian dikenal dengan ldquo;Ostalgie rdquo;. Ostalgie sendiri merupakan kerinduan akan kehidupan di Jerman Timur. Ostalgie ternyata tidak hanya sekadar kerinduan, namun juga dapat dimaknai sebagai bentuk satire atau bahkan bertujuan untuk menunjukkan keironian. Film Sonnenallee 1999 karya Leander Hau ?mann merupakan salah satu contoh film Ostalgie yang akan dianalisis pada pembahasan ini.meskipun film ini disutradarai dan ditulis oleh warga eks-Jerman Timur, tetapi pada pembuatannya film ini diproduseri dan dibiayai oleh pihak barat. Hal inilah yang membuat film ini menjadi menarik untuk dianalisis, karena adanya campur tangan pihak barat sangat memengaruhi konstruksi yang dibangun dalam film ini mengenai Jerman Timur, khususnya remaja Jerman Timur sebagai tokoh sentral dalam film. Analisis ini akan dilakukan dengan cara pemilihan adegan-adegan tertentu yang paling menonjol. Melalui analisis ini, dapat dilihat bagaimana remaja Jerman Timur dikonstruksikan sebagai pelanggeng pemerintahan serta posisi film Sonnenallee sebagai film Ostalgie yang menampilkan ironi.

ABSTRACT
The German reunification in 1989 causes some significant changes, which happen in different kind of life aspects. Film is considered to be one of the media that can be analyzed through different perspectives. The German film industry in the 90s was starting to be filled with documentary film about life in East Germany. This phenomenon is known as ldquo Ostalgie rdquo , which is a yearning of life in there. This film also can be interpreted as satire or an irony. Sonnenalle 1999 , the work of Leander Hau mann is one example of Ostalgie film that will be analyzed in this discussion. Although the film was written and directed by an ex of eastern Germany, but it was funded by the western Germany. The western intervention in this film rsquo s construction can be recognized in the story line, which makes the teenagers of eastern Germany as the main character. This analysis will be done through the selection of particular prominent scenes. Through this analysis it can be seen how the eastern German teenagers is constructed as the lasting performer for the government and is positioned as ironic Ostalgie film.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dzakia Permata Hati
"Born Confused adalah novel India Amerika yang merepresentasikan bagaimana kalangan dewasa muda India Amerika generasi kedua yang menghadapi masalah identitas. Dengan menggunakan analisis tekstual yang berfokus pada konflik internal dan eksternal dalam novel tersebut, penulis berpendapat bahwa meskipun orang tua dan teman berperan penting dalam pembentukan identitas, tokoh utama dalam novel ini adalah pelaku yang secara aktif membentuk identitasnya sendiri. Kerangka kerja yang digunakan untuk menganalisis isu tersebut adalah teori identitas hibrid Homi K. Bhabha.
Penelitian ini memberikan kontribusi terhadap penelitian sebelumnya mengenai identitas hibrid pada novel dewasa muda yang menunjukkan identitas yang kompleks dan tidak statis dan juga membahas kalangan dewasa muda sebagai pelaku yang menegosiasi identitas gandanya sebagai bagian dari proses menuju kedewasaan.

Born Confused is an Indian American novel which represents how second generation Indian American young adult face an identity problem. Through textual analysis focusing on internal and external conflicts in the novel, I argue that although family and peers have roles in constructing a person's identity, the main character is an active agent who shapes her own identity. The framework that is used to analyze the issue is Homi K. Bhabha's hybrid identity.
This study contributes to previous research on hybrid identity in young adult novel showing the identity which is not static and complex. It also discusses young adults as agents who negotiate their dual identity as part of their process of growing up."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rudwina Indira Deannisa
"Permasalahan pembentukan identitas yang dialami oleh imigran merupakan fenomena yang masih marak terjadi terutama pada imigran yang datang ke Jerman. Salah satu penyebabnya adalah karena pertentangan budaya antara budaya asal dan budaya Jerman. Dilematika pertentangan budaya ini menjadi tantangan bagi para imigran yang ingin berintegrasi dan hidup harmonis bersama masyarakat Jerman. Penelitian ini akan meneliti isu tersebut melalui buku audio Der unglaubliche Lauf der Fatima Brahimi (2017) oleh penulis buku anak-anak Jürgen Banscherus. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan teori Identitas Budaya dan Diaspora oleh Stuart Hall dan teori Status Identitas oleh James Marcia. Penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga Fatima dan tokoh Jakob memberikan pengaruh besar yang menjadi faktor dilematika pembentukan identitas baru tokoh Fatima sebagai remaja muslim moderat Aljazair-Jerman. Keluarga Fatima menjadi hambatan proses integrasi Fatima sementara Jakob menjadi faktor akselerasi yang mendorong Fatima mengadopsi budaya Jerman dengan cepat.

The problem of identity formation experienced by immigrants is a phenomenon that still arise, especially among immigrants who come to Germany. One of the reasons is due to cultural conflicts between the culture of origin and German culture. This dilemmatic cultural conflict is a challenge for immigrants who want to integrate and live in harmony with German society. This research will examine this issue through the audiobook Der unglaubliche Lauf der Fatima Brahimi (2017) by children's book author Jürgen Bancsherus. This research uses descriptive qualitative methods with the theory of Cultural Identity and Diaspora by Stuart Hall and the theory of Identity Status by James Marcia. This study shows that Fatima's family and Jakob have a major influence that becomes a dilemma factor in the formation of Fatima's new identity as a moderate Algerian-German Muslim teenager. Fatima's family became a barrier to Fatima's integration process while Jakob became an accelerating factor that encouraged Fatima to acquire German culture quickly."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Citra Ningrum
"Terdapat beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa emosi moral dan identitas moral memiliki hubungan dengan tindakan moral. Keduanya dianggap memiliki hubungan yang positif dengan tindakan moral. Peran komplementer yang dipegang keduanya dalam membentuk individu yang bertindak sesuai dengan moral memicu asumsi adanya hubungan yang positif antara identitas moral dan guilt. Untuk membuktikan asumsi tersebut penelitian ini dilaksanakan dengan sampel 590 mahasiswa. Identitas moral diukur dengan menggunakan Moral Identity Questionnaire dan emosi moral diukur dengan Test of Self-Conscious Affect. Perhitungan dengan menggunakan pearson correlation menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara identitas moral dan emosi moral, khususnya guilt ( r = 0,502, p < 0,05).

Moral identity and moral emotion are often observed in respect to moral action. Both of them are considered as correlated to moral action to degree which each of them complements motivation to display morally relevant behavior. As they have identical role to moral action, I suggest there is a positive correlation between moral identity and moral emotion. This study aim to see the correlation between moral identity and moral emotion of N = 590 college students. I distributed online and offline questionnaires of Moral Identity Questionnaire to assess moral identity and Test of Self-Conscious Affect to assess moral emotion. In summary, these findings suggest that college students who experienced guilt are more likely to have an importance of being moral and to act accordingly (r = 0,502, p<0,05).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S64822
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Setia Wibawa
"Kedekatan emosional merupakan salah satu dimensi interpersonal yang banyak digunakan untuk menjelaskan kualitas hubungan antara cucu dan kakek-nenek (Creasey & Koblewski, 1991). Kedekatan emosional didefinisikan sebagai tingkat emosi positif yang meliputi cinta, kasih sayang, kedekatan, kebersamaan, keadilan, kepercayaan, penerimaan, dan rasa hormat terhadap anggota keluarga dan timbal baliknya dari emosi tersebut (Bengston & Schrader, 1982).
Kualitas hubungan dengan kakek-nenek dapat berpengaruh di berbagai bidang kehidupan remaja, salah satunya adalah identitas diri. Salah satu jenis identitas yang berkembang saat remaja adalah identitas moral. Identitas moral adalah tingkat perbedaan individu dalam merefleksikan nilai-nilai moral sebagai inti dari karakteristik dirinya (Blasi, 1984).
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara kedekatan emosional dengan kakek-nenek dan identitas moral pada mahasiswa. Sebanyak 333 mahasiswa terlibat dalam penelitian ini. Affectual Solidarity Scale digunakan untuk mengukur kedekatan emosional dengan kakek-nenek dan Moral Identity Questionnaire (MIQ) digunakan untuk mengukur identitas moral.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kedekatan emosional dengan kakek-nenek dan identitas moral pada mahasiswa (r = .126, p < .05). Hal tersebut menunjukkan pentingnya hubungan antara kakek-nenek dengan cucu terhadap pembentukan identitas moral.

Emotional closeness is one of the interpersonal dimension that is widely used to describe the quality of the relationship between grandchildren and grandparents (Creasey & Koblewski, 1991). Emotional closeness defined as the degree of positive emotions toward family members and the degree of reciprocity of these positive emotions (Bengston & Schrader, 1982).
The quality of the relationship with the grandparents can affect adolescences in various areas of life, one of which is the identity. One type of identity that develops during adolescence is a moral identity. Moral identity is an individual difference reflecting the degree to which being moral is a central or defining characteristic of a person?s sense of self (Blasi, 1984).
This research aims to investigate the relationship between emotional closeness with grandparents and moral identity in late adolescents. A total of 333 late adolescence involved in this research. Affecctual Solidarity Scale is used to measure the emotional closeness with grandparents and Moral Identity Questionnaire (MIQ) is used to measure the moral identity.
The results showed that there is a significant relationship between emotional closeness with grandparents and moral identity in college students (r = .126, p < .05). It shows the importance of the relationship between grandparents and grandchildren on the moral identity formation.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S62682
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sonia Tinshe
"ABSTRAK
Imigrasi telah menjadi salah satu permasalahan penting di dalam politik Amerika Serikat sejak negara tersebut masih menulis konstitusi. Berkenaan dengan peran imigran dalam membentuk masyarakat Amerika, penting untuk melihat bagaimana mereka, sebagai minoritas, digambarkan oleh tokoh-tokoh politik yang sangat berpengaruh, seperti presiden. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami ideologi di balik pidato politik Obama dan Trump tentang imigrasi, serta relevansinya dengan wacana politik dan konteks sosial di Amerika. Lima pidato politik dari Obama (2009-2014), serta dua pidato politik dari Trump (2016-2017) dianalisis sebagai data primer menggunakan Analisis Wacana Kritis three-dimensional framework Fairclough (1993). Hasil analisis menunjukkan bahwa ideologi dari pidato Obama dan Trump berkaitan dengan pandangan mereka mengenai identitas imigran di dalam masyarakat Amerika. Hal tersebut tergambarkan dari penggunaan kata sifat yang merendahkan, serta topik yang dihubungkan dengan imigrasi. Dilihat dari wacana politik, hal ini menunjukkan superioritas dan kekuasaan kedua presiden atas imigran. Sedangkan jika dilihat dari segi sosial, hal tersebut merendahkan kemanusiaan dan mengurangi identitas para imigran."
2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Dyah Rachmawati
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara identitas moral dan emosi moral (emosi malu dan emosi bersalah). Emosi malu adalah perasaan negatif yang muncul saat kegagalan seseorang terekspos oleh publik sedangkan emosi bersalah adalah emosi negatif individu yang terasosiasi dengan perasaan personal karena telah melakukan kesalahan atau berperilaku buruk yang melanggar hati nuraninya (Cohen, dkk, 2011). Identitas moral adalah konsep diri seseorang yang memotivasi munculnya perilaku moral yang terdiri dari seperangkat sifat moral (Aquino & Reed II, 2002).
Penelitian dilakukan pada 1.353 mahasiswa (1.034 perempuan, 301 laki-laki; M = 20,15 tahun, SD = 1,50 tahun) di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Identitas moral diukur menggunakan Moral Identity Scale (Aquino & Reed II, 2002) sedangkan emosi malu dan emosi bersalah diukur menggunakan Guilt and Shame Proneness (Cohen, dkk, 2011).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa identitas moral memiliki korelasi prediktif positif yang signifikan terhadap emosi malu (β=0,167, p<0.01) dan emosi bersalah (β= 0,336, p<0,01). Dengan kata lain, identitas moral terbukti dapat berkontribusi sebagai prediktor dari emosi malu dan emosi bersalah. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk membuktikan hubungan sebab-akibat pada variabel yang diteliti.

This study examined the relationship between moral identity and moral emotion (shame and guilt) in Indonesia. Shame is the negative feeling that arises when one?s failures and shortcomings are put on public display, while guilt is associated with a private sense of having done something wrong or having behaved in a way that violated one?s conscience (Cohen, et al, 2011). Moral identity is a self-conception organized around a set of moral trait (Aquino & Reed II, 2002).
The study was conducted on 1.335 students (1.034 females, 301 males; M = 20,15 years old, SD = 1,50 years old) in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi. Moral identity is measured with Moral Identity Scale (Aquino & Reed II, 2002) whereas shame and guilt are measured with Guilt and Shame Proneness (Cohen, et al, 2011).
The result shows that moral identity has positive predictive correlation with shame (β= 0,167, p<0.01) and guilt (β= 0,336, p<0.01). In other words, moral identity has proven to be one of shame and guilt?s predictor. Future research is needed to provide evidence of the causal link in the observed variables.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S64287
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>