Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 183039 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nur Amrida Syahrani
"Skripsi ini membahas penilaian kapasitas fiskal dalam pembentukan daerah otonom baru berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah pada pembentukan Kabupaten Pangandaran serta kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalamnya. Kelayakan kapasitas fiskal menjadi faktor dominan dalam pembentukan daerah otonom berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007 untuk menjamin kelangsungan hidup daerah. Penelitian ini dilakukan menggunakan post positivist melalui teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan studi dokumen. Teori yang digunakan dalam analisis penelitian ini diantaranya teori otonomi daerah, pembentukan daerah otonom, dan kapasitas fiskal daerah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penilaian kapasitas fiskal pembentukan Kabupaten Pangandaran dkategorikan kurang mampu, karena tidak memenuhi syarat minimum penilaian kemampuan keuangan. Namun dari segi kemampuan ekonomi, daerah induk dan calon kabupaten Pangandaran berada pada kategori mampu. Di samping itu, dalam penilaian kemampuan keuangan dan ekonomi pembentukan daerah otonom berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007 terdapat beberapa ketentuan yang kurang jelas dan longgar.

This thesis is discusses the assessment of fiscal capacity in the establishment a new autonomous regions based on PP No. 78 Tahun 2007 about Procedure of Establishment, Abolition, and Unification Region that is used in the establish of Pangandaran Regency, as well as the weaknesses contained therein. The proper fiscal capacity became a dominant factor in establish a new autonomous region based on PP No. 78 Tahun 2007 to ensure the survival of the region. This research used the post-positivist approach through data collection techniques with in-depth interview and document study. The theory is used to analyze this research include regional autonomy, the establishment autonomous regions, and local fiscal capacity.
The results showed that the assessment of the fiscal capacity of the establishment the Pangandaran Regency categorized less capable, because it does not achieve the minimum level of financial capability assessment. But in terms of the ability of economy, main region and new region are capable. In addition, in the assessment of the financial and economic capability to the establishment autonomous regions based on PP 78 of 2007, there are several provisions that are less obvious and loose.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S61247
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Candra Hima Yudha Pratama
"Penelitian ini mengkaji proses pembentukan daerah otonom baru di Indonesia yang dilakukan tanpa adanya desain besar penataan daerah yang terstruktur. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian doktrinal, yang menitikberatkan pada analisis normatif terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur pembentukan daerah otonom baru. Pembentukan daerah otonom baru di Indonesia sering kali didasarkan pada pertimbangan politis dan kepentingan jangka pendek, tanpa memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan tanpa adanya panduan strategis yang komprehensif. Hal ini berimplikasi pada kurang optimalnya pelayanan publik, kesenjangan pembangunan antardaerah, serta potensi konflik kewenangan antara Pemerintah Pusat dan daerah. Analisis dilakukan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan terkait, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan-peraturan turunannya. Selain itu, penelitian ini juga mengkaji praktik-praktik pembentukan daerah otonom baru di wilayah Papua dan pembentukan Ibu Kota Nusantara. Hasil penelitian menunjukkan perlunya penyusunan desain besar penataan daerah otonom yang komprehensif dan berbasis data, dengan melibatkan partisipasi berbagai pemangku kepentingan. Penelitian ini merekomendasikan agar Pemerintah Pusat mengintegrasikan prinsip-prinsip desentralisasi dan kekhususan wilayah dalam penyusunan desain besar penataan daerah otonom di Indonesia.

This study examines the process of establishing new autonomous regions in Indonesia, which is often conducted without a comprehensive and structured regional design. The research employs a doctrinal methodology, focusing on normative analysis of the legislation governing the creation of new autonomous regions. The formation of new autonomous regions in Indonesia is frequently driven by political considerations and short-term interests, without adhering to principles of good governance and lacking a comprehensive strategic framework. This has implications for suboptimal public service delivery, development disparities between regions, and potential conflicts of authority between the central and regional governments. The analysis includes various relevant regulations, such as Law Number 23 of 2014 on Regional Government and its derivative regulations. Additionally, the study examines the practices of establishing new autonomous regions in Papua and the formation of the Nusantara Capital City. The findings indicate the need for a comprehensive and data-driven grand design for regional structuring, involving the participation of various stakeholders. This research recommends that the central government integrate principles of decentralization and regional specificity into the formulation of a comprehensive grand design for regional structuring in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winantuningtyas Titiswasanany
"Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan salah satu instrumen bagi penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Permasalahannya banyak daerah yang tidak merasa puas dengan implementasi kebijakan yang dilaksanakan selama ini. Daerah masih menghadapi realitas pembangunan yang tidak merata, pembangunan ekonomi yang diskriminatif dan praktek korupsi yang merajalela. Ironinya, banyak elit daerah yang melihat jalan keluarnya secara sederhana dengan menuntut kebijakan pembentukan DOB. Tuntutan masyarakat untuk membentuk DOB ini mengalir deras dan sangat sulit dibendung. Diharapkan mendekatkan locus policy formulation di pemerintahan yang paling dekat dengan rakyat, pelayanan publik menjadi efisien dan efektif untuk percepatan kesejahteraan rakyat dan daya saing.
Hasil studi menunjukkan sejumlah DOB mengalami kegagalan, utamanya pada 4 (empat) sektor pembangunan yaitu; kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Dari sejumlah 205 DOB (1999-2008),ternyata 70% gagal. (Kemendagri, 15 Desember 2012). Salah satunya disebabkan proses formulasi kebijakan pembentukan DOB belum transparan dan akuntabel. Daerah yang belum memiliki kesiapan dan kemampuan mandiri dibentuk menjadi DOB. Pada proses ini para perumus mengekspresikan dan mengalokasikan kekuatan dan tarik-menarik di antara berbagai kepentingan sosial, politik dan ekonomi. Pada tahap ini diidentifikasi berbagai problema yang terjadi, ditetapkan riil problem, memilih alternatif bagi kebijakan. Jika proses ini tidak tepat akan membawa dampak pada implementasinya. Rangkaian implikasi negatif yang timbul selama ini, menunjukkan pentingnya penelitian tentang proses formulasi kebijakan pembentukan DOB perspektif democratic governance.
Penelitian ini melalui dua tahapan. (1) peneliti mendiskripsikan potret proses formulasi kebijakan DOB selama ini; Institusi dan kualitas proses. Peneliti melakukan participant observation, wawancara dengan anggota Komisi II dan pejabat pemerintahan. Descriptive research dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan klarifikasi pentingnya democratic governance bagi proses kebijakan pembentukan DOB.(2) membangun model proses formulasi kebijakan pembentukan DOB. Peneliti melakukan pengumpulan data primer dengan mewawancara sekitar 40 (empat puluh) orang informan; melakukan Focus Group Discussion dan seminar. Untuk data sekunder dianalisis berbagai jenis referensi sebagai strategi untuk memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh tentang proses formulasi kebijakan pembentukan DOB dalam perspektif democratic governance. Hasil penelitian ini diharapkan obyektif, terstruktur, mendalam, faktual dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.
Hasil penelitian tahap pertama dan kedua disampaikan sebagai berikut: Secara praktis proses formulasi kebijakan merupakan tahapan penting dan strategis dalam proses kebijakan secara keseluruhan. DPR dan Pemerintah berperan penting dalam proses ini, yang akhirnya menghasilkan kebijakan pembentukan DOB.
1) Mengenai Faktor-faktor pendorong usulan pembentukan DOB pada umumnya terkait masalah Administrasi dan Finansial, mengingat luasnya wilayah, penduduk yang menyebar, ketertinggalan pembangunan dan infrastruktur, masalah financial ini merupakan faktor yang cukup signifikan dan menentukan bagi DOB untuk survive. Umumnya daerah mengandalkan transfer dana dari pusat dan daerah merasa memiliki kekayaan alam yang cukup. Political: inisiatif usulan pembentukan DOB tidak hanya dari masyarakat, tetapi juga dari elit yang lebih cenderung kepada tujuan bagi kepentingan politik.
2) Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan democratic governance adalah:
(a) Kepentingan Eksistensi Politik di Daerah; (b) Lemahnya penegakan hukum; (c)Kontrol yang Lemah; (d) Dorongan masyarakat; (e) Peran Kepemimpinan.
3) Faktor-faktor yang mendorong penerapan Democratic Governance adalah: (a) Tujuan yang dirumuskan secara jelas; (b) Pemerintah dalam penerapan unsureunsur Democratic Governance; (c) Akses Informasi bagi Pelayanan Publik; (d) Menyediakan dialog Publik.
4) Faktor-faktor pendorong persutujuan usulan kebijakan pembentukan DOB;
(a) Dorongan masyarakat dan tokoh daerah agar usulan mereka membentuk DOB diluluskan; (b) Hasil verifikasi dan klarifikasi data sudah memenuhi persyaratan; (c) Hasil penelitian Tim teknis dan evaluasi tim independen terhadap kelayakan usulan, serta rekomendasi DPOD; (d) Terdapat karakteristik masalah daerah yang harus dibantu. (e) Pada konteks yang berbeda, DPR dan Pemerintah dapat menginisiasi pembentukan DOB untuk kepentingan keamanan negara.
Implkasi teoritik, Penelitian dengan tema ini masih sangat sedikit dilakukan di kalangan ilmu administrasi. Dalam konteks proses formulasi kebijakan pembentukan DOB di Indonesia yang bersifat buttom-up, di mana lingkungan kebijakannya (civil society dan market) masih lemah, faktor strong leadership harus berperan aktif membangun masyarakat, agar mampu aktif dalam penerapan democratic governance. Perlu penelitian mengenai pola penghitungan insentif dan dis-insentif bagi daerah dan DOB. Implikasi Praktis, Penelitian ini dimaksudkan agar kedepan, baik DPR maupun Pemerintah mempersiapkan institusi dan sarana publik untuk membangun masyarakat agar memahami kebijakan secara komperhensif dan sekaligus membangun mental dan kultural masyarakat.
Rekomendasi penelitian ini meliputi:
(a) Konsepsi model proses formulasi kebijakan pembentukan DOB disebut integrated public policy democratic governance and resource-based capacities leadership. Konsep ini mengcover berbagai problema daerah, melibatkan peran dan kontribusi multi organisasi, mengkoordinasikan seluruh sumber daya, mengintegrasikan hasil dan seluruh potensi organisasi untuk satu tujuan; (b) Menggunakan metode kolaboratif dalam prosesnya; (c) Nilai-nilai democratic governance sudah given dalam pola manajemen pemerintahan. Institusi perumus kebijakan menerapkan democratic governance melalui business processnya; (d) Diberikan insentif bagi DOB yang ingin bergabung dan dis-insentif bagi calon DOB yang tidak memenuhi persyaratan;(e) Proses formulasi kebijakan pembentukan DOB dilakukan oleh Panitia khusus DPR dan dibahas satu per-satu (RUU); (f) Sistem pengelolaan PNS terbuka secara nasional, sehingga memungkinkan kebutuhan PNSD dipenuhi dari daerah lain atau dari PNS Pusat. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1397
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Munawwaroh
"ABSTRAK
Pemekaran daerah yang menghasilkan daerah-daerah otonom baru
menjadi fenomena yang menarik di Indonesia saat ini. Dalam 10 tahun
desentralisasi, yaitu dari tahun 1999 sampai dengan 2009, daerah otonom di
Indonesia sudah bertambah mencapai 205, yang terdiri dari 7 provinsi, 164
kabupaten, dan 34 kota. Kini, hingga akhir tahun 2013 tercatat jumlah daerah
yang ada di Indonesia sebanyak 539 daerah otonom, terdiri dari 34 provinsi, 412
kabupaten, dan 93 kota. Demokrasi pasca reformasi memang memberi ruang yang
besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia dari Sabang
sampai Merauke melalui munculnya daerah-daerah otonom baru. Tapi di sisi lain,
kinerja daerah hasil pemekaran tersebut tidak berjalan secara maksimal. Sejumlah
evaluasi yang dilakukan pemerintah maupun lembaga kredibel lainnya
membuktikan bahwa pemerintahan daerah otonom baru tidak berjalan secara
efektif dan efisien. Sumatera Selatan sebagai salah satu provinsi yang mengalami
penambahan daerah otonom baru yang jumlahnya cukup siginifikan juga layak
untuk dievaluasi. Penelitian ini melakukan evaluasi terhadap kinerja pemerintah
daerah otonom baru menggunakan skala indeks dan ketimpangan dengan
menyertakan daerah otonom lama sebagai pembanding. Hasilnya, kinerja
pemerintah daerah otonom baru di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2008-
2012 masih berada di bawah kinerja pemerintah daerah otonom lama. Namun
demikian, pembangunan di daerah otonom baru sudah berjalan cukup baik yang
dibuktikan dengan sejumlah indeks kinerja yang selisih angkanya tidak begitu
jauh berbeda dengan daerah otonom lama.

ABSTRACT
Rapid proliferation of regional administrations has resulted new
autonomous regions becomes an interesting phenomena in Indonesia nowadays.
In 10 years of decentralization, from 1999 to 2009, the autonomous region in
Indonesia has increased to reach 205, which consists of 7 provinces, 164
regencies, and 34 cities. Now, until the end of 2013 there are 539 autonomous
regions, consists of 34 provinces, 412 regencies, and 93 cities. Democracy in the
post reform does give a large space to improve the welfare of Indonesian people
from Sabang to Merauke through the emergence of new autonomous regions. But
on the other hand, the performances were not running optimally. A number of
evaluations by government or other credible institutions proved that the new
autonomous regional governments do not run effectively and efficiently. South
Sumatra province as one of province having new autonomous regions should be
evaluated. This study evaluated the government performance of the new
autonomous regions using the index scale and imbalance by including old
autonomous regions as a comparison. As a result, the performance of the new
autonomous regions in South Sumatra Province in 2008-2012 is still under the old
autonomous regions performance. However, the development of new autonomous
regions has been running quite well, as proved by index numbers, is not really
different from the old autonomous regions."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T42795
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fikri Cahyadi
"Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong sebagai perhatian Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan persoalan di Wilayah Papua. Tetapi kebijakan pembentukan DOB Provinsi Papua Tengah berdasarkan Undang-Undang tersebut batal dan pembentukaanya tidak terealisasi sampai saat ini. Penelitian ini bertujuan membahas faktor apa saja yang membatalkan kebijakan pembentukan DOB Provinsi Papua Tengah. Penelitian ini menggunakan Teknik purposive untuk menentukan informan yang kompeten terhadap permasalahan, kemudian dilakukan pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan dokumentasi yang berkaitan dengan permasalahan. Penulis mencari dan mengumpulkan fakta-fakta dan data. Kemudian Penulis hubungkan dan kaitkan dengan teori-teori yang ada pada kerangka teori. Selanjutnya dilihat apakah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan berkaitan dengan teori-teori dan pendapat para ahli. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang membatalkan pembentukan DOB Provinsi Papua Tengah yaitu proses pembuatan kebijakan tidak sesuai prosedur, kesalahan Penjabat Gubernur yang ditunjuk, pertentangan elit di Papua, pembentukan tidak melibatkan masyarakat dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 018/PUU-I/2003.

Kata Kunci: Otonomi Khusus, Papua Tengah, Pembentukan DOB, Timika


The Central Government together with the House of Representatives of the Republic of Indonesia have ratified Law Number 45 of 1999 concerning the Establishment of Central Irian Jaya Province, West Irian Jaya Province, Paniai Regency, Mimika Regency, Puncak Jaya Regency, and Sorong City as the attention of the Central Government to resolve problems in the region. Papua region. However, the policy for the formation of the new autonomous regions of the Province of Central Papua based on the law was canceled and its formation has not been realized to date. This study aims to discuss what factors invalidate the policy of establishing new autonomous regions in the province of Central Papua. This study uses a purposive technique to determine competent informants to the problem, then collect data with in-depth interviews and documentation related to the problem. The writer searches for and collects facts and data. Then the author connects and relates it to the existing theories in the theoretical framework. Furthermore, it is seen whether it is in accordance with the provisions of the legislation and is related to the theories and opinions of existing experts. The results of this study indicate that the factors that canceled the formation of the new autonomous regions of Central Papua Province, namely the policy-making process that was not in accordance with the procedures, the mistakes of the appointed Governor, elite conflicts in Papua, the formation did not involve the community and the Constitutional Court Decision Number 018/PUU-I/2003.

Key words: Special Autonomy, Central Papua, Establishment of new autonomous regions, Timika"

Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Tri Juli Putranto
"Era reformasi telah membawa angin perubahan di segala bidang salah satunya di bidang pemerintahan daerah. Sejak dilaksankan otonomi daerah luas melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah wilayah Indonesia telah mengalami banyak perubahan.Perubahan wilayah ini disebabkan adanya pemekaran daerah sebagai salah satu cara pembentukan daerah baru. Hal ini juga merupakan implementasi dari otonomi daerah sehingga masing-masing daerah berusaha untuk menjadi daerah otonom. Akibat dari kebijakan tersebut, muncullah daerah-daerah otonom baru (DOB). Tanpa disadari akibat pemekaran wilayah menyebabkan timbulnya konflik horizontal. Konflik horizontal ini memunculkan berbagai macam permasalahan baru dari persoalan pengelolaan sumber daya alam sampai dengan sengketa batas wilayah antar daerah otonom baru. Timbulnya sengketa batas wilayah antar daerah disebabkan masing-masing pihak yang bersengketa memiliki penafsiran yang berbeda terhadap wilayah yang dimilikinya.
Terhadap permasalahan ini, Undang-undang Pemerintahan Daerah telah menyediakan mekanisme penyelesaiannya melalui Gubernur apabila terjadi sengketa batas wilayah antar daerah otonom baru dalam satu provinsi dan melalui Menteri Dalam Negeri apabila terjadi sengketa batas wilayah antar daerah kabupaten/kota lintas provinsi yang bersifat final. Akan tetapi dalam prakteknya, penyelesaian ini tidak memberikan rasa keadilan bagi pihak yang merasa dirugikan akibat mekanisme ini. Sehingga pihak yang merasa dirugikan akan membawa permasalahan ini ke ranah hukum yaitu melalui Mahkamah Konstitusi. Penyelesaian sengketa batas wilayah antar daerah melalui Mahkamah Konstitusi dilakukan dengan cara mengajukan permohonan pengujian undang-undang pembentukan daerah terhadap Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang bersifat final dan mengikat. Penelitian ini ingin menjelaskan praktek penyelesaian sengketa batas wilayah antar daerah otonom baru yang dilakukan menurut Undang-undang Pemerintahan dan melalui pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi.

The reform era has brought a wind of change in all areas including in the field of local governance. Since the autonomous region was implemented through Act No. 22 of 1999 on Local Government regions of Indonesia have undergone many changes. Changes in the area due to the expansion region as one way the formation of new areas. This is also the implementation of regional autonomy so that each region seeks to become an autonomous area. The result of these policies, came the new autonomous areas (DOB). Unnoticed due to the onset of the conflict led to the blossoming of horizontal.This horizontal conflicts gave rise to a variety of new problems of natural resource management issues to a dispute between the territorial boundaries of the region. The onset of the dispute between the borders area due to each party to the dispute has a different interpretation of its own territory.
With respect to this issue, the Act Government has provided a mechanism for settlement through the Governor in the event of a dispute between the territorial boundaries in one province and through the Ministry of Home Affairs in the event of a dispute between the borders area of district/city cross the province are final. However, in practice, this settlement does not provide a sense of fairness to the parties who feel aggrieved by this mechanism. So those who feel aggrieved will bring this issue into the realm of law, namely through the Constitutional Court. The dispute between the territory through the boundary of the Constitutional Court is carried out by means of applying for a testing area of legislation against the Constitution of the Republic of Indonesia in 1945 which are final and binding. This research would like to explain the dispute resolution practice of territorial boundaries between areas is conducted according to Government legislation and through the testing laws in the Constitutional Court.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T42883
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Allo, Restu Rante Bara
"Penelitian ini menganalisis hubungan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan efisiensi belanja pemerintah daerah di Jawa Tengah. Data yang digunakan berupa data panel dari tahun 2001 sampai 2012. Analisis dibagi dalam dua bagian yaitu tahap pertama melakukan pengukuran efisiensi belanja dengan menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA). Pada tahap kedua dilakukan analisis regresi untuk mengestimasi pengaruh tingkat kemandirian fiskal daerah dan determinan-determinan lainnya terhadap skor efisiensi belanja pemerintah daerah. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan teori desentralisasi fiskal modern, tingkat kemandirian fiskal daerah berkorelasi positif dengan skor efisiensi belanja pemerintah daerah. Artinya, semakin besar proporsi PAD dalam stuktur pendapatan maka semakin tinggi efisiensi belanja pemerintah daerah tersebut.

This thesis is conducted to analyze the relationship between fiscal decentralization and local government spending efficiency in Central Java. This study utilizes the pooled data of local government and regional data for the period of 2001-2012. This study is conducted into two steps. The first step is to measure spending efficiency using Data Envelopment Analysis (DEA). In the second step, regression analysis is conducted to assess the impact of fiscal autonomy and other determinants on spending efficiency score. The result points out along with modern fiscal decentralization theory that more fiscally autonomous as reflected by local owned revenue, encourages a better spending efficiency of local government. This can be concluded that a higher proportion of local owned revenue on local revenue structure exhibits more efficient the local spending.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
S57284
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elsa Ryan Ramdhani
"Penulis ingin mengetahui bagaimana pengaruh korupsi (diukur dari Indeks Persepsi Korupsi) yang disinyalir sebagai salah satu penghalang suatu daerah untuk memungut Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara optimal. Berdasarkan keseimbangan Nash yang diturunkan dari mixed strategy, hubungan antara korupsi dapat sejalan atau berlawanan dengan PAD. Metode regresi panel GLS digunakan pada 59 daerah yang disurvei oleh Transparency International Indonesia di tahun 2006, 2008, dan 2010 untuk membuktikan bahwa hubungan korupsi terhadap membentuk fungsi kuadratik dengan pola huruf U. Hasil penelitian juga menemukan bahwa hubungan korupsi terhadap PAD mencapai level terendah ketika nilai IPK sebesar 4,69.

This article discusses how relationship between corruption (measured from Corruption Perception Index) that is predicted as one of local governments? obstacles to collect their local own revenue. According to Nash Equilibrium derived from mixed strategies, the relationship between corruption and public investment can be both positive and negative depending on the level of the corruption Index. Panel data GLS method is employed for 59 regions surveyed by Transparency International Indonesia on 2006, 2008, and 2010 to prove a quadratic U-shape relationship between corruption and local own revenue. It was found that the local-own revenue reaches the lowest level when the corruption index is 4.69.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
S45844
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priyo Handoko
"Upaya untuk merubah mekanisme dan persyaratan pembentukan daerah otonom baru (DOB) melalui revisi UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat dikategorikan sebagai proses reformulasi kebijakan. Penelitian ini berusaha untuk menganalisis berbagai alternatif mekanisme baru yang diusulkan pemerintah, DPR, dan DPD.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif. Yang menjadi obyek penelitian adalah sistem pembentukan DOB yang tertuang di dalam draf revisi RUU Pemda, baik yang diusulkan pemerintah ke DPR pada tahun 2012, maupun draf RUU Pemda versi DPD yang diajukan keDPR sejak 2011. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam untuk mendapatkan data primer dan studi dokumentasi untuk memperoleh data sekunder. Adapun teknik analisis data yang digunakan adalah model interaktif yang dimulai dengan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Penelitian ini menemukan adanya tiga alternatif mekanisme pembentukan DOB. Opsi pertama, daerah yang mengusulkan pembentukan DOB, apabila memenuhi persyaratan teknis dan administratif, ditetapkan menjadi daerah persiapan dengan peraturan pemerintah (PP). Setelah 3-5 tahun dievaluasi dan dianggap layak, baru daerah persiapan itu disahkan menjadi DOB dengan UU. Alternatif ini muncul dari pemerintah.
Opsi kedua, DPR dan pemerintah terlebih dulu menyepakati daerah mana saja yang akan dimekarkan dengan membuat semacam list atau daftar dalam desain besar penataan daerah (desartada). Selanjutnya, pemekaran dilakukan dengan mengacu kepada desartada tersebut.
Opsi ketiga datang dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Intinya, semua usulan pemekaran dinilai oleh Kementerian Dalam Negeri. Hasil penilaian itu selanjutnya dibahas DPD untuk mendapatkan persetujuan. Bila disetujui DPD, pemerintah menyusun RUU Pembentukannya untuk dibahas bersama DPR dan DPD.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, setidaknya ada empat aspek yang harus diperbaiki dalam penyempurnaan mekanisme pemekaran agar DOB berkembang optimal. Yaitu, mengoptimalkan peran dewan pertimbangan otonomi daerah (DPOD), memperkuat fungsi pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat, memperketat persyaratan pembentukan DOB, serta mempertegas pelarangan bagi pejabat kepala daerah untuk maju ke pilkada.

The effort to change the mecanism and requirements of the formation of autonomous regions (DOB) through the revision of Law No. 32 of 2004 on Local Government can be categorized as a reformulation of the policy process. This research trying to analysis new mecanism alternative that proposed by government, House of Representatives (DPR), and Regional Representative Council (DPD).
This study used a qualitative descriptive approach. Which is the object of research is the establishment of a system DOB contained in the draft revision of the government's proposed Local Government Bill to DPR in 2012 and the draft revision of the DPD proposed Local Government Bill to Parliament since 2011. Data collected by in-depth interviews to obtain primary data and documentation study to obtain secondary data.The data analysis technique used is interactive model that starts with data reduction, data display, and conclusion.
This study found that there are three alternative the mechanism of formation new autonomous regions (DOB). The first option, which proposed the establishment of regional DOB, if found to comply with the technical and administrative requirements, set to be areas of preparation by government regulation (PP). After 3-5 years were evaluated and deemed feasible, the preparation of a new area with the DOB passed into law. This option arises from the government.
The second option, the Parliament and the government first agreed which areas will be expanded to make some sort of list or lists in the design of structuring large area (desartada). Furthermore, the division is done with reference to the desartada.
The third option comes from the DPD. In essence, the proposed expansion are assessed by the Ministry of the Interior. The assessment results are then discussed DPD for approval. If approved by Council, the government drafting Formation for further discussion with the DPR and DPD.
Based on the analysis that has been done, there are at least four aspects that should be improved in the refinement of the expansion mechanism that DOB develops optimally. Ie, optimizing the role of the consultative council of regional autonomy (DPOD), strengthening the guidance and supervision functions of the central government, tighten the requirements for the formation of new regions, as well as reinforce attack for officials to advance to the regional head election of the head of the area.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T42019
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dede Indrawati
"Daerah otonom baru dibentuk sebagai perwujudan aspirasi masyarakat dalam rangka mendekatkan pelayanan publik, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan peningkatan daya saing daerah. Daerah otonom baru yang dibentuk harus memenuhi sejumlah prakondisi yang sudah diatur dalam peraturan pemerintah. Prakondisi tersebut merupakan sumber bagi daerah otonom untuk dapat mencapai tujuannya yang salah satunya adalah daya saing daerah. Kabupaten Bandung Barat sebagai salah satu daerah otonom baru, dalam perjalanannya menunjukkan peningkatan investasi yang signifikan dalam tiga tahun terakhir.
Bertolak dari hal tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran prakondisi pembentukan daerah otonom baru tersebut dan daya saing investasi kabupaten Bandung Barat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik pengumpulan data secara kuantitatif dan kualitatif. Adapun teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif-analitik pada variabel prakondisi dan variabel daya saing investasi.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa elemen prakondisi Kabupaten Bandung Barat sudah memadai dilihat dari jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan indeks pembangunan manusia. Sedangkan dari segi produk regional domestik bruto (PDRB) dan pendapatan daerah sendiri (PDS) masih kurang. Hasil daya saing investasi kabupaten Bandung Barat termasuk tinggi dilihat dari peningkatan investasi setiap tahunnya.

Newly established autonomous regions as a manifestation of the aspirations of the community in order to bring public services, improved public welfare, and increase regional competitiveness. Newly established autonomous regions must meet a number of preconditions set out in government regulations. Precondition is a source for the autonomous region to be able to achieve its objectives, one of which is the region's competitiveness. West Bandung regency as one of the new autonomous region, along the way showed a significant increase in investment in the last three years.
Departing from this, the purpose of this study was to describe the preconditions formation of new autonomous regions and investment competitiveness of West Bandung regency. This study uses a quantitative approach to data collection techniques in quantitative and qualitative. The techniques of data analysis using descriptive-analytic analysis of the preconditions of variables and variable investment competitiveness.
The results of this study indicate that the element precondition West Bandung regency had seen enough of the population, economic growth and human development index. In terms of regional gross domestic product (GDP) and its own revenues (PDS) is still lacking. The results of the competitiveness of the West Bandung regency investments include high seen from an increase in investment each year.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>