Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200160 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Himas Muhammady Imammullah El Hakim
"Piagam Madinah sebagai salah satu dokumen konstitusi dalam nomokrasi Islam di negara Madinah memiliki prinsip-prinsip konsitusionalisme. Konstitusionalisme inilah yang menghendaki adanya pengaturan dan perlindungan hak asasi manusia. Konstitusionalisasi hak asasi manusia dalam Piagam Madinah inilah yang memiliki prinsip-prinsip yang memiliki karakter khas jika dibandingkan dengan hak asasi manusia kontemporer. Karakter hakikat asal hak asasi manusia, universalisme Islam, proporsionalitas hak dan tanggung jawab serta kewajiban asasi manusia menjadi khas hak asasi manusia dalam nomokrasi Islam yang ada di Piagam Madinah. Hak asasi manusia kontemporer yang lahir dari Deklarasi Hak Asasi Manusia yang diinisiasi oleh negara barat dinilai memiliki perbedaan prinsipil dengan perspektif nomokrasi Islam sehingga melahirkan Deklarasi Hak Asasi Manusia Kairo yang berlandaskan nilai Islam. Komparasi hak asasi manusia antara nomokrasi Islam dan kontemporer menjadi diskursus yang membangun titik temu yang dapat menjadi pelajaran penting bagi Indonesia sebagai negara demokrasi berpenduduk muslim terbesar dunia. Konstitusionalisasi hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat diimplementasikan secara substansial dan formal. Implementasi inilah yang selanjutnya menjadi upaya untuk memperkuat hak asasi manusia di Indonesia sesuai dengan cita negara dalam pembukaan konstitusi.

The Medina Charter as one of the constitutional documents in Islamic nomocracy in the Medina state has constitutionalist principles. This constitutionalism requires the regulation and protection of human rights. The constitutionalization of human rights in the Medina Charter has principles that have a distinctive character when compared to contemporary human rights. The character of the nature of the origin of human rights, Islamic universalism, proportionality of rights and responsibilities as well as human obligations are typical of human rights in Islamic nomocracy in the Medina Charter. Contemporary human rights born from the declaration of Human Rights initiated by western countries are considered to have principal differences from the perspective of Islamic nomocracy, thus giving birth to the Cairo Declaration of Human Rights which is based on Islamic values. The comparison of human rights between Islamic nomocracy and contemporary point of view becomes a constructive discourse that can be an important lesson for Indonesia as a democracy with the largest Muslim population in the world. The constitutionalization of human rights in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia can be implemented substantially and formally. This implementation then becomes an effort to strengthen human rights in Indonesia in accordance with the ideals of the state in the opening of the constitution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Sulistyanto
"Pemerintah Indonesia menaruh perhatian begitu besar terhadap pelaksanaan hak asasi manusia karena dorongan beberapa faktor. Faktor pertama adalah faktor internal, yaitu semakin sadarnya warga negara akan hak dan kewajibannya sehingga banyak pengaduan tentang pelanggaran hak asasi manusia yang masuk ke Komnas HAM. Faktor yang kedua adalah faktor eksternal, yaitu desakan dari negara-negara maju yang dalam memberikan bantuan kepada Indonesia selalu mengkaitkan dengan pelaksanaan hak asasi manusia. Perbedaan pemahaman tentang hak asasi manusia sebenarnya berasal dari pelaksanaan hak asasi manusia yang disesuaikan dengan ciri-ciri negara itu sendiri yang dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi, nilai-nilai luhur budaya bangsa dan politik masing-masing negara yang bersifat dinamis. Sejarah penegakan hak asasi manusia melahirkan suatu dokumen internasional, yaitu Universal Declaration of Human Rights yang diumumkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 yang merupakan landasan bagi pelaksanaan hak asasi manusia di seluruh dunia. UUD 1945 yang disahkan terlebih dahulu bila dibandingkan dengan Deklarasi Universal HAM, ternyata di dalam Pembukaan dan Batang Tubuhnya secara implisit banyak berisikan tentang hak asasi manusia. Demi menjamin pelaksanaan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia, tahun 1993 didirikanlah Komnas HAM yang menangani masalah-masalah yang berkenaan dengan hak asasi manusia. Perkembangan selanjutnya, Wanhankamnas mengusulkan suatu rancangan tentang Piagam HAM menurut bangsa Indonesia untuk dijadikan TAP MPR tersendiri, sebagai landasan hukum yang kuat bagi penegakan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Akan tetapi usul tersebut haruslah melalui proses yang panjang karena Fraksi Karya Pembangunan sebagai suara mayoritas dalam MPR mempunyai rencana tersendiri di dalam Sidang Umum MPR tahun 1998 yang akan menempatkan HAM di dalam TAP MPR menjadi satu dengan GBHN."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rr. Yuliawiranti S.
"Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Mengenai pengertian "kemerdekaan pers" itu sendiri di dunia terdapat bermacam-macam konsep dan persepsi yang berbeda, tergantung dari latar belakang, sistem sosial dan sistem politik, serta filsafat yang mendasarinya. Bahwa pelaksanaan kemerdekaan pers di Indonesia yang merupakan salah satu perwujudan hak asasi manusia adalah pelaksanaan yang bersifat partikularistik relatif artinya bahwa pelaksanaan hak asasi manusia dalam konteks kemerdekaan pers ini pemberlakuannya harus sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, jadi bukan pelaksanaan yang tidak terbatas tetapi pelaksanaan yang bebas bertanggung jawab. Karena terdapat rambu-rambu yang harus ditaati yang membatasi kemerdekaan pers itu sendiri. Rambu-rambu itu adalah pasal 28J Amandemen kedua UUD 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Jurnalistik. Perkembangan kemerdekaan pers di Indonesia pasca berlakunya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Amandemen UUD 1945 masih belum maksimal karena selama kurun waktu dua tahun terakhir kemerdekaan pers di Indonesia mengalami kemunduran citranya di mata dunia internasional."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15561
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naufal Yudawan
"Pengaruh yang kuat paham Relativisme Budaya dalam konteks negara-negara Timur, Komunis, maupun Gerakan Non-Blok yang menjunjung tinggi nilai kolektivitas dan kebudayaan sehingga menganggap paham Universalisme merupakan bagian dari Imperialisme Budaya. Penolakan tersebut termanifestasi dalam batasan-batasan hak asasi yang termuat secara eksplisit pada Undang-Undang Dasar atau konstitusi negara sehingga perlu ditelaah secara komprehensif tentang pembatasan hak asasi dalam konstitusi. Metode penelitian hukum yang digunakan adalah Doktrinal dalam mengkaji secara teoritis dan historis-filosofis perumusan Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945 perihal pembatasan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai-nilai historis-filosofis yang ditelisik mulai dari para pendiri bangsa hingga konsolidasi reformasi Indonesia yang tetap mempertahankan kekhas-an nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Demikian, korelasi paham Relativisme Budaya dengan pembatasan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi menjadikan paradigma pembatasan hak asasi di Indonesia menemukan formula hak asasi dalam perpaduan paham antara Universalisme dengan Relativisme Budaya menjadi Pluralisme yang berlaku secara preskripsi di Indonesia.

The strong influence of the understanding of Cultural Relativism in the context of Eastern countries, Communists, and Non-Aligned Movements that uphold the values of collectivity and culture so that they consider the understanding of Universalism to be part of Cultural Imperialism. This rejection is manifested in the limitations of human rights that are explicitly contained in the Constitution or the country's constitution, so it is necessary to comprehensively examine the restrictions on human rights in the constitution. The legal research method used is Doctrinal in studying theoretically and historically-philosophically the formulation of Article 28J of the 1945 Constitution regarding the restriction of Human Rights in Indonesia. The results of the study show that the historical-philosophical values examined starting from the founders of the nation to the consolidation of Indonesian reform that still maintains the uniqueness of the values of the nation and state. Thus, the correlation of the understanding of Cultural Relativism with the restriction of Human Rights in the Constitution makes the paradigm of human rights restriction in Indonesia find a human rights formula in the combination of the understanding of Universalism and Cultural Relativism into Pluralism which applies by prescription in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Ridhwan Indra
Jakarta: Universitas Indonesia, 1984
S25332
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Perkasa
"Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis, pendekatan historis, dan pendekatan komparatif. Kewenangan pemberian grasi oleh Presiden yang terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 merugikan korban, termasuk keluarga korban dan masyarakat, karena korban sebagai pihak yang paling dirugikan tidak memiliki peran apapun dalam pengambilan keputusan pemberian grasi. Konsep pemberian pengampunan yang tidak mengabaikan hak korban kejahatan adalah konsep pemberian pengampunan yang sesuai dengan hukum Islam dan hukum adat. Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945, Syariat Islam wajib diberlakukan terhadap orang Islam. Kewenangan pemberian grasi oleh Presiden bertentangan dengan konsep pemaafan terhadap tindak pidana hudud, qishash dan diyat dalam Syariat Islam, tetapi tidak bertentangan dengan konsep pemaafan terhadap tindak pidana ta'zir. Kewenangan tersebut juga tidak sesuai dengan konsep negara republik yang berintikan demokrasi sebagai lawan dari kediktatoran, serta sistem pemerintahan presidensiil yang memberikan kewenangan kepada kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan yang memungkinkan terjadinya campur tangan kekuasaan eksekutif terhadap putusan hakim yang bertentangan dengan teori pemisahan kekuasaan. Tujuan negara hukum, pembentukan konstitusi, dan pemisahan kekuasaan diantaranya mencegah perbuatan sewenang-wenang penguasa dan menjamin hak-hak rakyat. Kewenangan pemberian grasi oleh Presiden selain membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan, juga melanggar hak asasi manusia, diantaranya hak korban, termasuk keluarga korban dan masyarakat. Hak memperoleh keadilan dan hak beragama menekankan bahwa konsep pemberian pengampunan harus memperhatikan korban dan pelaku kejahatan secara seimbang. Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 dan UU tentang Grasi harus disesuaikan agar tidak bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 dan Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terdapat dua alternatif konsep dalam merumuskan dan/atau mengubah peraturan perundang-undangan terkait dengan grasi yakni konsep unifikasi hukum dan konsep pemisahan hukum. Pemberian pengampunan terkait dengan tindak pidana hudud dan qishash tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam bagi orang Islam, dan hukum adat bagi orang non-Islam. Terkait dengan tindak pidana ta'zir, kewenangan pemberian pengampunan sebaiknya diberikan kepada hakim agar sesuai dengan tujuan negara hukum, pembentukan konstitusi, dan pemisahan kekuasaan.

This research using normative law research with juridical approach, historical approach, and comparative approach. The authority of pardon granted by President regulated in Article 14 paragraph (1) Constitution 1945 is giving great loss to the victim, including their family and to the society, since the victim as the most suffering side has no role in the process of pardon. Pardon concept where the rights of victim were not neglected is appropriate with Islamic law and Adat law. According to President Decree July 5th, 1959, Preambule of Constitution 1945, and Article 29 paragraph (1) and (2) of Constitution 1945, Islamic syariah shall applicated to all muslim. The authority of pardon granted by President is contradicted with the concept of pardon as in Hudud criminal act, Qishash, and Diyat in Syariah, but not contrary to Ta?zir criminal act. Those authority also not suitable with the Republic State concept with democracy as the core as the opponent of dictatorship, and Presidential government system which giving the authority to the head of state as well as to the head of government which make the executive power participate in judicial verdict which make it contrary to the theory of power separation. The aim of law state, formation of constitution, and separation of power are made to restrain arbitrariness of the ruler and ensure the rights of people. The authority of pardon granted by President, besides open the opportunity for arbitrariness also contravene with human rights, some of them are victim rights, including their family and society. Right to obtain justice and Right in religion emphasize the concept of pardon must giving equal position to the victim and the perpetrator as well. Article 14 paragraph (1) Constitution 1945 and Pardon Act shall be adjusted to make sure it will not contradicted with Preambule of Conitution 1945 and the concept of Negara Kesatuan Republik Indonesia. There are two alternative concepts for the formulation and/or regulation amendment of pardon, they are unification and separation of law concepts. Pardon related to Hudud criminal act and Qishash should not be contradicted with Islamic law for muslim, and Adat law for non-muslim. While related to Ta'zir criminal act, the authority of pardon shoud be given to judges to ensure the aim of law state, formation of constitution, and separation of power"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tesa Sonia
"United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGP) yang disahkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa pada tahun 2011 adalah dokumen normative pertama terkait isu bisnis dan hak asasi manusia. Sejak saat itu beberapa panduan internasional yaitu ISO 26000 on Social Responsibility, Organization of Economic Co-operation and Development?s Guidelines for Multi National Enterprises, dan United Nations Global Compact mengadopsi konsep bisnis dan hak asasi manusia tersebut sebagai salah satu subjek pokok dan membuat hak asasi manusia menjadi urusan bagi pebisnis.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah aplikasi dari konsep bisnis dan hak asasi manusia dalam praktek Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) yang dilakukan olehperusahaan-perusahaan pertambangan batubara Indonesia. Industri batubara diketahui memiliki risiko tinggi merusak atau bahkan menghancurkan lingkungan, dimana hal tersebut dapat membahayakan pemenuhan hak asasi manusia. Demi mencegah efek membahayakan tersebut maka penting untuk mencari tahu apakah perusahaan-perusahaan sudah melaksanakan CSR sesuai dengan panduan internasional. Ada empat perusahaan pertambangan batubara yang diteliti dalam penelitian ini yaitu PT. Arutmin Indonesia, PT. Kaltim Prima Coal, Pt. Nuansacipta Coal Investment, dan PT. Reswara Minergi Hartama.
Hasil penelitian praktek CSR dari setiap perusahaan akan diteliti kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan panduan internasional mengenai CSR untuk kemudian disimpulkan apakah perusahaan sudah menunjang dan melindungi prinsip-prinsip hak asasi manusia pada praktek CSR. Hasil akhir dari penelitian ini adalah menggambarkan kondisi CSR saat ini baik pengaturannya maupun pada prakteknya oleh perusahaan-perusahaan tersebut diatas, dimana hak asasi manusia belum terintegrasi dalam keduanya.

The United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGP), endorsed by the United Nations in 2011, is the first normative document on the issue of business and human rights. Since then several international guidelines, namely the ISO 26000 on Social Responsibility, Organization of Economic Co-operation and Development?s Guidelines for Multi National Enterprises, and United Nations Global Compact adopted the concept into their the core subjects and making human rights corporate concern.
The issue discussed in this thesis is the application of concept of business and human rights in the practice of Corporate Social Responsibility (CSR) by Indonesian coal mining companies. Coal mining industry is known for its high risk of environmental damage and/or destruction, which may be detrimental towards the full enjoyment of other human rights. Therefore, to prevent the detrimental effect of this industry, it is important to seek whether the coal mining companies has conducted its CSR accordingly with the guidelines. There are four coal-mining companies studied this research, which are PT. Arutmin Indonesia, PT. Kaltim Prima Coal, PT. Nuansacipta Coal Investment, and PT. Reswara Minergi Hartama.
The result of the study upon the data obtained from the companies will then be compared with the prevailing CSR regulations and international guidelines to obtain whether the company has promote and protect human rights through their CSR. This research shall result in the comprehensive current condition of CSR in regulatory manner and in practice of the aforementioned coal mining companies where in both manner, human rights has yet being integrated.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S64726
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Majda El-Muhtaj
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012
323.4 MAJ h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>