Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142364 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Edwin Suharlim
"Latar belakang: Pemeriksaan radiografi secara bedside sering dilakukan pada pasien non-transportable. Literatur dahulu menyatakan jarak 2 meter merupakan jarak yang aman, dimana radiasi sekunder teratenuasikan sesuai radiasi latar. Namun pada observasi dan studi didapatkan petugas medis cenderung meninggalkan ruangan, yang dapat mengganggu pelayanan pada pasien dan menyebabkan terhentinya prosedur yang sedang berjalan. Sejauh penelusuran data tidak ditemukan data yang mengukur dosis radiasi sekunder di ruang perawatan intensif, yang dilakukan pada jarak 2 meter di RSUPD Cipto Mangunkusumo maupun Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan data primer berupa 42 radiografi toraks, dilakukan di ruang perawatan intensif (ICU) RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Juli 2019 hingga April 2021. Diperoleh juga data sekunder berupa jumlah pemeriksaan radiografi pada sistem Picture archiving and communication system (PACS) dengan lokasi di ruang perawatan intensif selama tahun 2017 hingga 2019.
Hasil: Rerata dosis radiasi sekunder untuk pemeriksaan radiografi toraks pada jarak 2 meter di ICU adalah 0,323 (± 0,192) μSv, dengan estimasi radiasi sekunder kumulatif selama 3 tahun dalam rentang 0,40 – 0,44 mSv per tahun. Status gizi, kVp, mAs, dan ketebalan tubuh memiliki hubungan bermakna pada uji bivariat terhadap dosis radiasi sekunder (p < 0,05), dengan variabel akhir setelah uji multivariat adalah mAs (p < 0,001).
Simpulan: Estimasi dosis radiasi sekunder kumulatif untuk petugas medis di ICU lebih kecil dibandingkan nilai batas dosis masyarakat umum. Faktor yang paling menentukan dosis radiasi sekunder pada jarak 2 meter adalah faktor eksposi yaitu mAs yang ditentukan oleh radiografer.

Background: Bedside radiography often done to non-transportable patients. Previous studies has shown that 2 meter is a safe distance, at which secondary radiation would be attenuated to background level. Yet from observation and studies, medical personel tend to leave the room, which could disrupt care to patients and cause disturb ongoing procedure. Data tracing done by the researcher has shown no other study which measure secondary dose radiation in intensive care unit, at a distance of 2 meters, in RSUPN Cipto Mangunkusumo or Indonesia.
Method: This study collected primary data of 42 chest radiograph, done in intensive care unit of RSUPN Cipto Mangunkusumo from July 2019 to April 2021. Secondary data was also collected in form of number or radiograph from Picture archiving and communication system with location of intensive care unit from year 2017 to 2019.
Result: Mean secondary radiation dose for chest radiograph at a distance of 2 meters is 0,323 (± 0,192) μSv, with cumulative secondary radiation dose estimation of 3 years in range of 0,40 – 0,44 mSv per annum. Nutritional status, kVp, mAs, and chest thickness have statistically significant correlation in bivariate analysis to secondary radiation dose (p < 0,05), with final variable after multivariate analysis of mAs (p < 0,001).
Conclusion: Cumulative secondary radiation dose for medical personel in ICU is less than dose limit for public exposure. The most significant variable to determine secondary radiation dose in 2 meters distance is exposure factor which is mAs that is determined by operator.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sasono Wijanarko
"Penentuan respon detektor dilakukan dengan menggunakan detektor Unfors, detektor jenis Farmer dan detektor TK 30cc. Penelitian menggunakan pesawat sinar-X Y.TU 320-D03. Besar energi yang digunakan 50 sampai 100 kV pada kualitas RQA berdasarkan Technical Report Series no.457. Penelitian ini menghasilkan respon detektor jenis Farmer bernilai besar pada energi tinggi, sehingga menghasilkan faktor koreksi yang kecil. Dengan demikian eisiensi detektor Farmer pada kualitas RQA lebih baik pada energi tabung (kV) yang tinggi. Dan untuk detektor TK 30 cc menghasilkan nilai faktor koreksi yang cenderung datar.

Radiodiagnostic detector response determination using Unfors detector, Farmer detector and TK 30cc detector. The research using X-ray machine Y.TU 320-D03. The energy that used is 50 until 100 kV for RQA quality based on Technical Report Series no. 457. This research resulting that Farmer detector response have a greater value for high energy, so that resulting small value of correction factor. Thus, the efficiency Farmer detector much better for high energy of tube X-ray machine. And, for TK 3Occ detector resulting flat value of correction factor."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S29385
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aida
"Telah dilakukan penelitian mengenai dosis ekuivalen pada staf intervensional yang dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta dengan menggunakan TLD-100 Rod dan TLD-100 Chip sebagai dosimeter personal. Hasil dari pengukuran dosis ekuivalen untuk prosedur PCI dengan menggunakan TLD-100 Rod lebih besar dosis yang diterima dibandingkan dengan menggunakan TLD-100 Chip. Perbedaan rata-rata antara hasil dari TLD-100 Rod dan TLD-100 Chip adalah 34.2%. Dari hasil pembacaan TLD-100 Rod dosis yang paling besar pada perawat adalah di titik pengukuran bagian gonad di luar apron. Untuk dokter dosis yang paling besar juga didapat di titik pengukuran bagian gonad apabila tidak memakai apron. Di lain pihak, dari hasil pembacaan TLD-100 Chip dosis yang paling besar pada perawat adalah di titik pengukuran bagian tiroid dan pada dokter dosis yang paling besar di titik pengukuran bagian tangan. Dari penelitian ini juga melakukan pengukuran dosis output yang bertujuan untuk mengetahui laju dosis pada titik IRP. Hasil dari pengukuran laju kerma udara per mA adalah 0,061 mGy/mAs sampai 0.257 mGy/mAs. Hasil laju dosis pada titik IRP dibandingkan dengan laju dosis staf dan didapat hasil persentase yang sangat kecil. Nilai DAP tidak signifikan berkorelasi dengan tingkat radiasi hamburan. Dosis ekuivalen yang didapat staf kecil sedangkan nilai DAP yang didapat besar. Rata-rata hasil pengukuran intensitas apron dengan menggunakan TLD-100 Rod dan TLD-100 Chip adalah 43.83% sampai 95.91% pada pengukuran staf perawat dan 37.38% sampai 95.91% pada pengukuran staf dokter. Sedangkan untuk tirai kaca Pb adalah 97.77 % sampai 98.95% dan untuk tirai Pb adalah 98.5% sampai 99.27%.

The equivalent dose for staffs doing interventional radiology have been done at National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital using TLD-100 chip and TLD-100 rod as personal detector. The results shows that the dose equivalent for PCI procedures using TLD-100 rod received larger doses than TLD-100 chip. The average dose difference between TLD-100 rod and TLD-100 chip is 34.2%. The greatest dose of TLD-100 rod was occurred at gonad point for nurses and medical doctors, whereas it was occurred at thyroid and hand point of measurement in TLD-100 chip for nurse and medical doctor respectively. In this study was performed the measurements dose rate at the point of IRP (Interventional Refferences Point). The results of measurements of air Kerma rate per mA was in the range of 0.061 mGy / mAs to 0.257 mGy / mAs and if it was comparison the IRP to dose rate staffs in very small percentage. The DAP value was not significantly in correlated with the level of radiation scattering. However, the dose equivalent obtained of staffs was very small while the DAP value is high. In addition, the average of the intensity measurement of the apron using TLD-100 rod and TLD-100 chips were in the range of 43.83% to 95.91% for nursing staff and in the range of 37.38% to 95.91% for medical staff. As for glass curtain Pb was 98.95% to 113.79% and for curtains was 98.5% Pb to 99.27%."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S47213
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ainur Rahmi
"Sinar-x digunakan dalam bidang kedokteran pada metode diagnosis dan terapi penyakit. Kualitas radiasi sinar-x yang digunakan harus terstandarisasi karena dapat mengakibatkan efek stokastik pada pasien. Efek stokastik dikurangi melalui quality control pada mesin radiologi, dan akan berjalan baik jika dilakukan pengukuran dan kalibrasi yang tepat. Skripsi ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas berkas radiasi RQR pesawat sinar-x Y.TU 320-D03 berdasarkan protokol IAEA Technical Reports Series (TRS) no. 457 dan kemudian menentukan nilai faktor koreksi detektor radiodiagnostik terhadap kualitas radiasi RQR. Detektor yang digunakan adalah Farmer 2571, Unfors Xi, dan TLD 100 LiF. Hasil menunjukkan nilai faktor koreksi Farmer relatif konstan, sedangkan TLD memiliki nilai faktor koreksi pada rentang 0.944±0.045 s.d 1.000±0.053.

X rays used for diagnosis and therapy in medicine filed. X rays should be standardize to use, because it can make the stochastic effect to patient. It can be decrease by doing quality control to radiology machine, and it will work satisfactorily if correct calibration and measurement are made. This research has goal for evaluating the RQR radiation quality of Y.TU 329-D03 x rays machine based on IAEA Technical Reports Series (TRS) no. 457 and determining the correction factor of radiodiagnostic detector to RQR radiation quality. Detector which is used for this research are Farmer 2571, Unfors Xi, and TLD 100 LiF. The result are correction factor for Farmer is constant and correction factor for TLD 100 LiF is 0.944±0.045 to 1.000±0.053."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S29388
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Asti Harkeni
"Telah dilakukan rekonstruksi panjang obyek dan posisinya (x,y,z) secara manual menggunakan radiografi ortogonal pada pencitraan anterior/posterior dan lateral pada kasus brakiterapi intrakaviter. Pengukuran dilakukan menggunakan fantom akrilik brakiterapi berdimensi 34 x 34 x 34 cm3. yang disisipi oleh lempeng Pb dengan panjang dan posisi bervariasi. Diperoleh hasil rekonstruksi 70% dari semua titik pengamatan yang berada 10 cm dari titik pusat lapangan menghasilkan deviasi posisi sampai 20%. Untuk rekonstruksi panjang obyek kurang dari 6 cm dari titik isocenter, 56% data menghasilkan deviasi dari panjang real sampai 15%. Disimpulkan bahwa radiografi ortogonal untuk kegunaan rekonstruksi panjang obyek dan koordinat masih menghasilkan deviasi yang cukup besar.

Manual image reconstruction of object length and position by orthogonal radiography has been performed for anterior/posterior and lateral cases in intracavitary brachytherpy treatment planning. Measurement were done on self made acrylic brachytherapy phantom with 34x34x34 cm3 dimension where several lead slabs with different lengths were inserted at different positions. It has been obtained that 70% from all points which were located 10 cm from field center showed significant deviations reaching 20% from real positions. For reconstruction of object length positioned at less than 6 cm from isocenter also showed general deviations of up to 15% to real values.. It was therefore concluded that orthogonal radiography performed poorly in reconstructing object length and positions."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
T20869
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Gideon
"ABSTRAK
Digitally reconstructed radiographs (DRRs) merupakan citra hasil rekonstruksi
data set citra CT simulator yang digunakan untuk verifikasi dalam perencanaan
radioterapi eksternal. Penelitian ini mencoba untuk mengimplementasikan
algoritma ray casting dan hardware texture mapping sehingga dapat
menghasilkan citra DRR. Akuisisi citra CT simulator dilakukan terhadap fantom
modifikasi, fantom Catphan, dan fantom RANDO. Citra CT simulator kemudian
dikomputasi dengan menggunakan algoritma yang digunakan serta algoritma di
dalam treatment planning system (TPS). Evaluasi hasil citra DRR dilakukan
secara kuantitatif dan kualitatif. Evaluasi kuantitatif meliputi evaluasi keakurasian
geometri, evaluasi kontras tinggi, evaluasi kontras rendah, evaluasi uniformitas,
dan evaluasi running time. Evaluasi kualitatif berupa kuesioner yang berisi
pendapat praktisi radioterapi mengenai kualitas citra DRR dalam hal kontras,
resolusi, dan uniformitas. Hasil evaluasi kuantitatif menunjukkan kualitas citra
DRR dari algoritma dalam penelitian ini hampir sama dengan algoritma di dalam
TPS dan hasil tersebut didukung oleh hasil evaluasi kualitatif.

ABSTRACT
Digitally reconstructed radiographs (DRRs) are the CT simulator image
reconstruction that used for verification in external radiotherapy planning. This
thesis aims to implementation of ray casting and hardware texture mapping
algorithm to produce DRR images. CT image acquisition is made to modification
phantom, Catphan phantom, and RANDO phantom. These images then computed
become DRR images using ray casting and hardware texture mapping algorithm,
as well as the algorithm used in the treatment planning system (TPS) . Evaluation
of the DRR images conducted quantitatively and qualitatively. Quantitative
evaluation includes evaluation of geometric accuracy, high contrast, low contrast,
grey scale uniformity running time. Qualitative evaluations are questionnaires
which contain the opinion of radiotherapy practitioners regarding DRR image
quality in terms of contrast, resolution, and grey scale uniformity. Quantitative
evaluation shows that there are some similarities of DRR image quality between
algorithm used in this thesis study is similar to the algorithm in the TPS. This also
supported by the results of a qualitative evaluation."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
T39015
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Wahyu Praptiwi
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor dimensi kualitas yang berhubungan dengan kepuasan dokter spesialis radiologi terhadap pemanfaatan teleradiologi di Provinsi DKI Jakarta tahun 2013. Desain penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teleradiologi dimanfaatkan oleh 58,7% dokter spesialis radiologi (n=155) dan kebutuhan merupakan faktor yang berhubungan paling kuat dengan pemanfaatan teleradiologi. Dokter spesialis radiologi yang puas terhadap teleradiologi sebanyak 78% (n=91) dan tangibility merupakan faktor yang berhubungan paling kuat dengan kepuasan dokter spesialis radiologi. Kelengkapan dan kerahasiaan data pasien serta evaluasi oleh pimpinan unit radiologi merupakan prioritas utama untuk meningkatkan kepuasan dokter spesialis radiologi.

This study aims to determine the quality dimension factors related to the radiologist satisfaction toward the use of teleradiology in Jakarta in 2013. The research design is a descriptive quantitative study with cross sectional approach. The results showed that teleradiology utilized by 58,7% of radiologists (n=155) and the need is the most strongly factor related to the use of teleradiology. Radiologists were satisfied with the teleradiology as much as 78% (n=91) and tangibility is the most strongly factor related to the radiologist satisfaction. Completeness and confidentiality of patient data and the evaluation of the radiology leader are priorities to improve radiologist satisfaction.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T35735
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Wulan Sari
"Latar belakang: Infeksi COVID-19 menyebabkan terjadinya pandemik diseluruh dunia. Pemeriksaan rRT-PCR merupakan pemeriksaan yang di rekomendasikan dari WHO untuk penegakkan diagnosis dari COVID-19. Faktor-faktor yang mempengaruhi akurasi dari pemeriksaan rRT-PCR untuk diagnosis COVID-19, membuat pemeriksaan penunjang berupa radiografi toraks dan CT-scan toraks juga sangat dibutuhkan guna membantu diagnosis COVID-19. CT-scan toraks lebih sensitif untuk membantu mengarahkan diagnosis COVID-19 namun kurang praktis dalam hal desinfeksi dan dekontaminasi serta transportasi pasien ke ruang CT-scan, dan limitasi ketersediaannya pada fasilitas kesehatan. Di sisi lain, radiografi toraks dengan sensitifitas yang lebih rendah dibandingkan CT-scan, namun memiliki beberapa keunggulan terkait ketersediaan alat serta tidak tidak terkendala masalah transportasi dan dekontaminasi. Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder pemeriksaan radiografi dan CT-scan toraks pasien-pasien dengan hasil rRT-PCR positif yang tersedia di PACS Departemen Radiologi RSCM mulai bulan Maret 2020 hingga Juli 2021, dengan total 41 sampel. Kemudian dilakukan analisis dengan konkordansi dan Kohen Kappa. Hasil: Pada analisis Kappa Cohen, terdapat kesesuaian sedang (0,55) antara penebalan pleura, kesesuaian lemah antara gambaran opasitas ground glass (GGO) (0,32), konsolidasi (0,38), efusi pleura (0,36) , distribusi lesi perifer (0,39), fokus lesi yang multifokal (0,32), zona paru yang terkena (atas 0,32, tengah 0,24, bawah 0,36), dan keterlibatan paru bilateral (0,27) serta tidak terdapat kesesuaian antara gambaran opasitas retikuler (0,06) dan lesi sentral (-0,10) pada radiografi dan CT-scan toraks. Pada analisis Konkordansi terdapat kesesuaian kuat antara gambaran GGO(80,5%), penebalan pleura (90,2%), efusi pleura (92,6%), lokasi lesi di perifer(82,9%), kesesuaian sedang antara konsolidasi (68,2%), lesi multifokal (73,1%), Zona bawah(78%), zona tengah (65,8%) dan keterlibatan paru bilateral (70,7%) dan lemah antara lesi di zona bawah (63,4%) serta tidak ada konkordansi antara opasitas retikuler (48,7%) dan lesi di sentral (51,2%) pada radiografi dan CT-scan toraks.

Background: COVID-19 infection causes a worldwide pandemic. The rRT-PCR examination is recommended by WHO for the diagnosis of COVID-19. Factors that affect the accuracy of the rRT-PCR examination for the diagnosis of COVID-19, making supporting examinations of chest radiography and chest CT-scan also needed to help diagnose the COVID-19 infection. Chest CT scan is more sensitive to help direct the diagnosis of COVID-19 but is less practical in terms of disinfection and decontamination and transportation of patients to CT-scan rooms, and limited availability in health facilities. On the other hand, chest radiography has a lower sensitivity than CT scan, but has several advantages related to the availability of tools and transportation and decontamination problems. Methods: This study uses secondary data from chest radiographic and chest CT-scans examinations of patients with positive rRT-PCR results available at the PACS of the RSCM Radiology Department from March 2020 to July 2021, with a total of 41 samples. The analysis was carried out by using Kappa Cohen and concordance. Results: In Kappa Cohen's analysis, there was moderate agreement (0.55) between pleural thickening, weak agreement between ground glass opacity (GGO) images (0.32), consolidation (0.38), pleural effusion (0.36), lesion distribution peripheral (0.39), multifocal lesion foci (0.32), affected lung zones (upper 0.32, middle 0.24, below 0.36), and bilateral lung involvement (0.27) and no agreement between reticular opacity (0.06) and central lesion (-0.10) on chest radiograph and CT scan. In the Concordance analysis there was a strong concordance between the appearance of GGO (80.5%), pleural thickening (90.2%), pleural effusion (92.6%), the location of the lesion in the periphery (82.9%), moderate concordance between consolidation ( 68.2%), multifocal lesions (73.1%), lower zone (78%), middle zone (65.8%) and bilateral lung involvement (70.7%) and weak between lesions in the lower zone (63, 4%) and there was no concordance between reticular opacities (48.7%) and central lesions (51.2%) on chest radiographs and CT scans. Conclusion: From all the lesion assessments on chest radiographs and chest CT-scans, reticular opacity lession and the central location of the lesion had no agreement between chest radiographic findings and chest CT scan. The other lesions had moderate to weak agreement on chest radiographs and chest CT scans"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radius Kusuma
"Latar belakang: Kasus COVID-19 anak lebih jarang ditemukan daripada dewasa. Meskipun demikian, pada dasarnya anak tetap dapat terinfeksi SARS-CoV-2 dan turut berperan dalam transmisi penyakit. Pemeriksaan reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) merupakan baku emas untuk mendiagnosis COVID-19 namun memerlukan waktu relatif lama untuk memperoleh hasil. Radiografi toraks memiliki potensi menjadi modalitas diagnostik COVID-19 di masa pandemi. Sampai saat ini, belum ada penelitian terhadap penggunaan kategori gambaran radiografi toraks untuk menunjang diagnosis COVID-19 pada pasien anak.
Metode: Penelitian ini dilaksanakan dengan desain potong lintang menggunakan data sekunder berupa hasil pemeriksaan radiografi toraks dan hasil RT-PCR terhadap 88 pasien anak di RSUPN Cipto Mangunkusumo mulai dari periode April 2020 hingga Oktober 2021, yang terdiri dari 22 pasien pneumonia COVID-19 dan 66 pasien pneumonia bukan COVID-19.
Hasil: Analisis kappa Cohen untuk menilai kesesuaian antara kategori radiografi toraks (tipikal dan non-tipikal) dan hasil RT-PCR (pneumonia COVID-19 dan pneumonia bukan COVID-19) menunjukkan hasil nilai kappa ialah 0,22 (p = 0,033) yang mengindikasikan tingkat kesesuaian lemah namun bermakna.
Simpulan: Tidak terdapat gambaran radiografi toraks yang khas pada anak dengan pneumonia COVID-19. Tidak terdapat kesesuaian yang baik antara kategori radiografi toraks dan hasil RT-PCR pada anak dengan pneumonia COVID-19.

Background: COVID-19 pneumonia is rare in children. However, children may still be infected and transmit disease. RT-PCR is the gold standard in diagnosing COVID-19, although results may be delayed. Chest radiograph may have role in diagnosing COVID- 19. To dates, literature in chest radiograph categorization in diagnosing COVID-19 in children has yet to be found.
Method: This study used secondary data of chest radiographs and RT-PCR result from 88 children in RSUPN Cipto Mangunkusumo from April 2020 to October 2021.
Result: Kappa Cohen analysis of agreement between chest radiographic category and RT-PCR result showed kappa score of 0,22 (p = 0,033), indicating a weak agreement yet statistically significant.
Conclusion: There is no pathognomonic chest radiograph findings of COVID-19 pneumonia in children. Agreement between chest radiographic category and RT-PCR testing in paediatric COVID-19 pneumonia is poor.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fahriyani
"Latar belakang : penegakkan diagnosis TB paru pada pasien HIV dapat dilakukan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan klinis. Rekomendasi WHO 2007, memperbolehkan penegakan diagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dengan dan tanpa melalui pemeriksaan mikrobiologis. Penelitian ini bertujuan mendapatkan perbedaan karakteristik gambaran radiografi toraks pasien HIV dengan TB paru yang didiagnosis berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan klinis.
Metode : Penelitian ini adalah comparative cross sectional study. Subyek penelitian diambil secara consecutive dan dipilih berdasarkan catatan hasil pemeriksaan BTA sputum, kultur, Genexpert®, CD4+, dan radiografi toraks. Subyek penelitian dikelompokkan menjadi mikrobiologis dan klinis. Dilakukan pembacaan ulang radiografi toraks.
Hasil : gambaran radiografi toraks dengan frekuensi terbanyak pada kelompok diagnosis mikrobiologis adalah infiltrat/konsolidasi, fibroinfiltrat, limfadenopati, kavitas dan kalsifikasi. Sisanya efusi pleura, milier, fibrosis, bronkiektasis, pneumotoraks dan normal. Pada kelompok diagnosis klinis, gambaran radiografi toraks dengan frekuensi terbanyak adalah infiltrat/konsolidasi, kavitas, limfadenopati, fibroinfiltrat dan sisanya kalsifikasi, efusi pleura, milier, fibrosis, bronkiektasis, dan normal. Terdapat perbedaan bermakna karakteristik gambaran radiografi toraks fibroinfiltrat pada kelompok diagnosis mikrobiologis dan klinis. Frekuensi fibroinfiltrat terbanyak adalah di kelompok mikrobiologis dengan sebaran lokasi tersering di lapangan atas paru.
Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna karakteristik gambaran radiografi toraks fibroinfiltrat pada kelompok diagnosis mikrobiologis dan klinis dengan lokasi tersering di lapangan atas paru.

Background : To diagnose Pulmonary Tuberculosis in HIV patient can be done based on microbiology examination and clinically. WHO 2007 recommendation, allowing diagnosis based on clinical examination with and without microbiological examination. This study aims to obtain the different characteristics of chest radiographs of HIV patients with pulmonary TB were diagnosed based on clinical and microbiological examination.
Methods : This study is a comparative cross-sectional study. Subjects were taken consecutively and selected based on the results of sputum smear examination, culture, Genexpert®, CD4+, and chest x-ray. The study subjects were grouped into microbiological and clinical. Then we do expertise review.
Results : The most chest x-ray finding in the microbiological group is infiltrates/ consolidation. Following by fibroinfiltrat, lymphadenopathy, cavities and calcification. The rest are pleural effusion, miliary, fibrosis, bronchiectasis, pneumothorax and normal . In the group of clinical diagnosis, the highest frequency chest x-ray finding is infiltrates/ consolidation. Following by cavities, lymphadenopathy, fibroinfiltrat and the rest are calcification, pleural effusion, miliary, fibrosis, bronchiectasis and normal. There is significant differences of fibroinfiltrat on microbiological and clinical diagnosis groups. The highest frequency of fibroinfiltrat is in the microbiological group with the most common sites in the upper of the lung field.
Conclusions : There is significant differences of fibroinfiltrat on microbiological and clinical diagnosis groups with the most common sites in the upper lung field.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>