Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 167748 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Devita Enggar Fiasti
"Ketersediaan energi menjadi kebutuhan esensial bagi kehidupan manusia, namun saat ini produksi energi masih bergantung pada konsumsi bahan bakar fosil. Meningkatnya permintaan energi yang disertai dengan menipisnya cadangan bahan bakar fosil, menyebabkan ketertarikan untuk mencari sumber energi terbarukan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Salah satunya melalui penggunaan sistem berbasis biologis, yaitu Microalgae-Microbial fuel cell (MmFC). Microalgae-microbial Fuel Cell (MmFC) merupakan perangkat biokimia yang memanfaatkan,proses fotosintesis mikroalga untuk mengubah energi matahari menjadi listrik melalui reaksi metabolisme simultan dengan bakteri. Bakteri yang digunakan pada sistem ini dapat berupa kultur murni ataupun kultur campuran yang berasal dari limbah. Berangkat dari kondisi tersebut maka terdapat 2 optimasi yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu optimasi jenis bakteri (bakteri indigenous limbah tempe dan bakteri Acetobacter aceti) dan optimasi waktu inkubasi limbah tempe (0 hari, 3 hari, 7 hari, dan 14 hari). Kinerja MmFC pada optimasi jenis bakteri ditinjau berdasarkan power density, sedangkan pada optimasi waktu inkubasi limbah tempe ditinjau berdasarkan power density dan bioremediasi limbah (%penurunan BOD dan COD). Hasil optimasi jenis bakteri, menunjukkan bahwa bakteri indigenous limbah tempe memberikan nilai power density lebih besar daripada bakteri A. aceti (PDmaks = 812,746 mW/m2; PDrata-rata = 438,310 mW/m2). Sementara itu, hasil optimasi waktu inkubasi limbah tempe, menunjukkan bahwa inkubasi limbah tempe selama 14 hari merupakan waktu inkubasi yang paling optimal ( PDmaks = 1146,876 mW/m2; PDrata-rata = 583,491 mW/m2; %penurunan COD = 46,011%; %penurunan BOD = 47,172%)

The availability of energy is an essential need for human life, but currently, energy production still depends on the consumption of fossil fuels. The increasing energy demand, accompanied by the decrease of fossil fuel reserves, has caused interest in finding sustainable and environmentally friendly renewable energy sources. One of them is through the use of a biological-based system, namely Microalgae-Microbial fuel cell (MmFC).Microalgae-microbial Fuel Cell (MmFC) is a biochemical device that utilizes the photosynthetic process of microalgae to convert solar energy into electricity through simultaneous metabolic reactions with bacteria. The bacteria used in this system can be pure cultures or mixed cultures from waste. Based on these conditions, there are 2 optimizations carried out in this research, namely optimization of the type of bacteria (indigenous bacteria of tempeh waste and Acetobacter aceti bacteria) and optimization of incubation time of tempeh waste (0 days, 3 days, 7 days, and 14 days). The performance of MmFC on the optimization of bacterial species was reviewed based on the power density, while the optimization of incubation time for tempeh waste was reviewed based on the power density and waste bioremediation (% decrease in BOD and COD). The results of the optimization of the type of bacteria showed that the indigenous bacteria of tempeh waste showed a power density value greater than that of A. aceti bacteria (PDmax = 812.746 mW/m2; PDaverage = 438.310 mW/m2). Meanwhile, the optimization results of tempeh waste incubation time showed that incubation of tempeh waste for 14 days was the most optimal incubation time (PDmax = 1146.876 mW/m2; PD average = 583,491 mW/m2; % decrease in BOD = 46.011%; % decrease in COD = 47.172%)"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luqyaanaa Mursyidah Zahra Ash-Shalehah
"Microbial Fuel Cell fotosintetik yang memanfaatkan mikroalga dikenal sebagai Microalgae-microbial Fuel Cell (MmFC). Salah satu faktor penting yang memengaruhi produksi energi oleh MmFC adalah kadar oksigen sebagai akseptor elektron. Oksigen yang dilepaskan oleh mikroalga dipengaruhi oleh cahaya dan konsentrasi karbondioksida. Pada penelitian terdahulu diketahui bahwa interaksi konsorsium Chlorella-Spirulina dapat meningkatkan produksi biomassa dan kadar oksigen. Pada penelitian ini, peningkatan produksi listrik dilakukan melalui variasi rasio konsorsium, serta pengaturan pencahayaan dan asupan karbondioksida. Variasi konsorsium dilakukan pada rasio volume 1:1, 3:2, dan 2:1. Alterasi intensitas cahaya (3000-6000 lux) dan asupan karbondioksida diberikan pada MmFC. Pada densitas optik 0,4 dan pH antara 7-8, diperoleh laju pertumbuhan mikroalga maksimum 0,09/jam dan konsentrasi 3,49 g/L pada komposisi 3:2. Kadar oksigen terlarut maksimum mencapai 6,765 dan turun hingga 0,85 ketika kenaikan produksi listrik. Kondisi ini menghasilkan rata-rata tegangan 397,21 mV dan power density 304,54 mW/m2. Asupan karbondioksida yang diberikan tidak memberikan perbedaan hasil yang signifikan terhadap kinerja optimum MmFC namun memberikan hasil lebih stabil selama proses operasi. Rata-rata tegangan dan power density yang dihasilkan adalah 409,23 mV dan 312,80 mW/m2 pada laju pertumbuhan maksimum mikroalga 0,06/jam (pH 6-8).

Photosynthetic Microbial Fuel Cell that uses microalgae is known as Microalgae-microbial Fuel Cell (MmFC). One important factor influencing the production of bioelectricity in MmFC is the oxygen content as an electron acceptor. Light and carbon dioxide influences the amount of oxygen released by microalgae. Previous research had shown that using microalgae in the form of a Chlorella-Spirulina consortium could increase biomass and oxygen production. In this study, increase in electricity production was accomplished through variations in the consortium's ratio, as well as lighting and carbon dioxide intake adjustments. Volume ratios of 1:1, 3:2, and 2:1 was used in the consortium variations. Alteration of light intensity (3000-6000 lux) and carbondioxide intake were given to MmFC. At an optical density of 0.4 and a pH between 7-8, the maximum microalgae growth rate was 0.09/hour and concentration were 3.49 g/L at 3:2 composition. The maximum dissolved oxygen level reaches 6.765 and decreases to 0.85 when electricity production increases. This condition produces an average voltage of 397.21 mV and a power density of 304.54 mW/m2. The intake of carbon dioxide given did not achieve a significant difference in performance of MmFC but shows more stable results throughout operation process. The average voltage and power density generated were 409.23 mV and 312.80 mW/m2 at a maximum microalgae growth rate of 0.06/hour (pH 6-8)."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Najwa Eliva
"Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang memberikan warna kuning, jingga, dan merah pada tumbuhan. Karotenoid dikenal karena pigmentasinya, memiliki sifat antioksidan serta memberikan banyak manfaat terhadap kesehatan. Meskipun dapat diproduksi secara kimiawi, karotenoid alami lebih diminati karena tidak menghasilkan efek samping terhadap kesehatan. Salah satu sumber bahan alam yang dapat memproduksi karotenoid adalah mikroalga. Karena fleksibilitasnya, mikroalga memiliki potensi yang besar sebagai sumber karotenoid sehingga upaya optimasi kultivasi mikroalga banyak dilakukan. Pada kultivasi mikroalga, terdapat beberapa faktor yang penting untuk dikonsiderasi, salah satunya adalah cahaya. Penggunaan cahaya yang optimal akan meningkatkan laju fotosintesis sehingga pertumbuhan sel turut mengalami peningkatan. Seiring meningkatnya pertumbuhan mikroalga, fenomena self-shading dapat terjadi sehingga menurunkan laju pertumbuhan dan produksi biomassa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, peningkatan intensitas cahaya yang disesuaikan dengan kerapatan sel mikroalga dapat dilakukan. Pada penelitian ini digunakan konsorsium mikroalga Chlorella vulgaris dan Spirulina platensis karena keduanya merupakan sumber karotenoid yang potensial. Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa pada rasio konsorsium 1:1, dihasilkan perolehan biomassa sebesar 2,39 g/L dengan alterasi cahaya dan sebesar 1,9 g/L dengan cahaya konstan. Pada rasio konsorsium 1:2, dihasilkan perolehan biomassa sebesar 2,49 g/L dengan alterasi cahaya dan sebesar 2,01 g/L dengan cahaya konstan. Pada rasio konsorsium 2:3, dihasilkan perolehan biomassa sebesar 2,33 g/L dengan alterasi cahaya dan sebesar 1,81 g/L dengan cahaya konstan. Pada monokultur Spirulina platensis, dihasilkan perolehan biomassa sebesar 1,51 g/L dengan alterasi cahaya dan sebesar 1,35 g/L dengan cahaya konstan. Melihat peningkatan perolehan biomassa kering, dapat disimpulkan bahwa fenomena self-shading dapat diatasi. Kandungan karotenoid yang terkandung dari mikroalga diperoleh sebesar 0,084 – 0,099 mg/g biomassa kering, dan peningkatan intensitas cahaya tidak memberikan dampak yang terlalu signifikan pada peningkatan kandungan karotenoid.

Carotenoid is a group of pigment that gives colours such as yellow, orange, and red to wide range of plants. Carotenoid is widely known for its pigmentation, antioxidant activity and lots of benefits for health. Although it can be produced synthetically, natural carotenoid is preferable because it doesn’t give additional side effects for health. One of many natural sources that can produce carotenoids is microalgae. Due to its flexibility, microalgae is stated as a very potential source of carotenoid, leading to many researches are carried out to optimize microalgae cultivation. There are several factors to consider during microalgae cultivation, one of them is light utilization. Optimal light intensity will increase photosynthetic rate and microalgae growth rate. However, the increase in microalgae growth rate can lead to a phenomenon called self-shading, that can reduce microalgae growth rate and biomass production. To overcome this problem, periodic increase in light intensity can be applied. In this study, Chlorella vulgaris and Spirulina platensis consortium is used. From the conducted study, it is known that in the ratio of 1:1, increasing light intensity results in 2,39 g/L dry biomass and constant light intensity results in 1,9 g/L dry biomass. In the ratio of 1:2, increasing light intensity results in 2,49 g/L dry biomass and constant light intensity results in 2,01 g/L dry biomass. In the ratio of 2:3, increasing light intensity results in 2,33 g/L dry biomass and constant light intensity results in 1,81 g/L dry biomass. In Spirulina platensis monoculture, increasing light intensity results in 1,51 g/L dry biomass and constant light intensity results in 1.35 g/L dry biomass. The results indicate that the self-shading phenomenon can be overcome. The carotenoid content in microalgae is reported reached 0,084 – 0,099 mg/g dried biomass, and the increasement of light intensity didn’t give a significant effect in increasing carotenoid content."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Hardi Surya
"Efek kesehatan dari ekstrak klorofil untuk suplementasi penyakit diabetes tipe 2 sebagian besar telah diteliti selama beberapa tahun terakhir. Namun, sumber klorofil belum dievaluasi secara ekstensif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki potensi penggunaan dua mikroalga berbeda, Chlorella vulgaris dan Spirulina platensis yang mudah ditemukan di lingkungan sebagai sumber dari ekstrak klorofil dengan daun bayam sebagai pembanding.
Dalam studi ini, para vulgaris mikroalga Chlorella vulgaris dan Spirulina platensis dibudidayakan di fotobioreaktor pelat datar volume 6 liter selama 1 bulan, diendapkan dan dikeringkan pada suhu kamar. Daun bayam dibeli di supermarket lokal, dikeringkan pada suhu kamar, dan dihancurkan oleh blender. Setiap biomassa kering kemudian diekstraksi dengan tiga pelarut yang berbeda: 96% Etanol, Aseton dan Kloroform secara terpisah, disentrifugasi, dan supernatan diukur dalam Spectrophotometer untuk kuantifikasi klorofil.
Pengaruh Waktu Homogenisasi juga diselidiki. Dalam rentang waktu 0, 45, 90, 135, dan 180 menit. Chlorella vulgaris memiliki ekstrak klorofil tertinggi dengan kloroform dengan 7944,35 µg klorofil / g biomassa, di mana Spirulina platensis dan bayam daun memiliki ekstrak klorofil tertinggi dengan aseton, dengan hasil 3.506,63 µg klorofil / g biomassa dan 6676,23 µg klorofil / g biomassa, berturut-turut. Waktu Homogenisasi yang optimal untuk Chlorella vulgaris, Spirulina platensis dan daun bayam adalah 90, 45 dan 90 menit, berturut-turut. Kesimpulannya, dibandingkan dengan daun bayam, Chlorella vulgaris dan Spirulina platensis memiliki potensi sumber baru ekstrak klorofil untuk suplementasi penyakit diabetes tipe 2.

The health effect of the chlorophyll extract for the diabetes type 2 disease supplementation has been largely investigated for the past few years. However, the source of chlorophyll has not been evaluated extensively. The aim of this study is to investigate the potential use of two different microalgae, Chlorella vulgaris and Spirulina platensis that easily found in the environment as the source of the chlorophyll extract with the spinach leaf as the comparison.
In this study, the microalgae Chlorella vulgaris and Spirulina platensis was cultivated in 6 liters? volume flat plate photobioreactor for 1 months, precipitated and dried at the room temperature. The spinach leaf was purchased on local supermarket, dried at the room temperature, and crushed by the blender. Each dried biomass then extracted with three different solvents: 96% Ethanol, Acetone and Chloroform separately, centrifuged, and the supernatant was measured in Spectrophotometer for chlorophyll quantification.
The effect of the extraction time also investigated at 0, 45, 90, 135 and 180 minutes. Chlorella vulgaris has the highest chlorophyll extract with chloroform with 7944.35 µg chlorophyll/g biomass, where Spirulina platensis and spinach leaf has the highest chlorophyll extract with acetone, with the result of 3506.63 µg chlorophyll/g biomass and 6676.23 µg chlorophyll/g biomass, consecutively. The optimum extraction time for Chlorella vulgaris, Spirulina platensis and spinach leaf was 90, 45 and 90 minutes, consecutively. In conclusion, compared with the spinach leaf, Chlorella vulgaris and Spirulina platensis has the potential for the new source of chlorophyll extract for the diabetes type 2 disease supplementation.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S63173
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhany Raihan Muhammad
"Bahan bakar minyak adalah salah satu kebutuhan kehidupan manusia modern saat ini, Meningkatnya kebutuhan bahan bakar minyak dan terbatasnya sumber yang selama ini telah digunakan membuat perubahan arah pengembangan kebutuhan bahan bakar minyak menuju kearah bahan bakar minyak yang dapat diperbaharui seperti biodiesel menggunakan lipid berbahan baku mikroalga. Mikroalga Chlorella vullgaris dengan Sianobakteria Spirulina Planthesiss dapat membentuk konsorsium yang memiliki hubungan simbiosis komplementer yang diharapkan dapat meningkatkan akumulasi lipid sebagai bahan biodiesel. Peningkatan akumulasi lipid dapat dilakukan dengan pembatasan nutrisi, penentuan kondisi optimum medium, dan optimasi rasio konsorsium Chlorella vullgaris dan Spirulina Planthesiss. metode penelitian yang dilakukan adalah dengan menggunakan variasi pada medium, variasi pada kandungan nitrogen yang terkontrol pada medium pengembangan, dan melakukan perbandingan rasio antara Chlorella vullgaris dengan Spirulina Planthesis. Didapati pada penelitian ini, konsorsium dengan perbandingan Chlorella vullgaris:Spirulina Planthesis pada rasio 3:2 mampu menghasilkan peningkatan lipid sebesar 36% dibanding dengan chlorella murni.

fuel is one of the necessities of modern human life today. The limited resources condition that have been used made a change in the direction of into fuel oil towards renewable material especially lipid content in microalgae as the based material. Microalgae Chlorella vullgaris with Cyanobacteria Spirulina Planthesiss can form a consortium which has a symbiotic relationship expected to increase the accumulation of lipids as biodiesel material. Increasing lipid accumulation can be done by limiting nutrition, determining the optimum conditions for the medium, and optimizing the rasio of the consortium Chlorella vullgaris and Spirulina Planthesiss. The research method used was to use variations of the medium growth, controlled variations in nitrogen content in the development medium, and to compare the ratio between Chlorella vullgaris and Spirulina. The result of this research it is increasment from the consortium of Chlorella vullgaris:Spirulina Planthesis with the ratio of 3:2 lipid content up to 36% compared to Chlorella vullgaris."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prayoga Byantara
"Buah merupakan salah satu unsur penting dari makanan sehari-hari tetapi penurunan kualitasnya sangat cepat karena memiliki aktivitas metabolik yang tinggi. Salah satu buah yang memiliki sifat mudah rusak (perishable) dan memiliki umur simpan yang sangat singkat yaitu buah stroberi. Pelapis yang dapat dimakan (edible coating) pada buah merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas dan memperpanjang masa penyimpanan buah. Edible coating dapat diproduksi dari mikroalga dengan kandungan protein yang tinggi, seperti Chlorella vulgaris dan Spirulina platensis. Bahan lain yang dibutuhkan yaitu gliserol sebagai plasticizer untuk meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas serta surfaktan yaitu carboxymethyl cellulose (CMC) sebagai pengental, stabilisator, dan pengemulsi. Buah yang dijadikan sampel untuk penelitian ini yaitu buah stroberi (Fragaria sp.). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh jenis dan konsentrasi mikroalga pada edible coating yang sesuai serta suhu penyimpanan yang optimum untuk menjaga kualitas buah stroberi. Dalam penelitian ini, hal yang divariasikan adalah konsentrasi mikroalga Chlorella vulgaris, yaitu 0,5%, 0,75%, dan 1% (b/v); konsentrasi mikroalga Spirulina platensis, yaitu 0,5%, 0,75%, dan 1% (b/v); dan suhu, yaitu suhu kulkas (± 4-7oC) dan suhu ruang (± 25-27oC). Pengujian yang dilakukan yaitu kuantifikasi protein pada larutan edible coating serta sifat fisik (uji organoleptik; warna, bau & tekstur, dan susut bobot) dan sifat kimiawi (pH dan vitamin C) pada buah.

ABSTRACT
Fruit is one of the important elements of daily food, but undergo rapid deterioration due to their high metabolic activity. One of fruit that has perishable properties and has a very short shelf life is strawberry. Edible coating on fruit is one of alternative that can be used to improve quality and prolong shelf life of fruit. Edible coating can be produced from microalgae with high protein content, such as Chlorella vulgaris and Spirulina platensis. Other materials needed are glycerol as a plasticizer to increase flexibility and elasticity as well as surfactant which is carboxymethyl cellulose (CMC) as a thickener, stabilizer, and emulsifier. Strawberry (Fragaria sp.) is being used as a sample in this study. This study aims to analyze the influence on the type and concentration of microalgae on the appropriate edible coating and the optimum storage temperature to maintain the quality of strawberries. In this study, what varied are the concentration of Chlorella vulgaris microalgae, which are 0,5%, 0,75%, and 1% (w/v); concentration of Spirulina platensis microalgae, which are 0,5%, 0,75%, and 1% (w/v); and temperature, which are fridge temperature (± 4-7oC) and room temperature (± 25-27oC). There are three tests carried out, which are protein quantification on edible coating solution, physical properties (organoleptic test; color, odor & texture, and weight loss) and chemical properties (pH and vitamin C) on fruit.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risnia Dwi Atriansari
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju pertumbuhan maksimum mikroalga yang dikultivasi dalam medium NPK Urea dan kandungan protein pada sampel kering mikroalga dengan metode uji absorbansi spektrofotometri uv-visible. Jenis mikroalga yang digunakan dalam penelitian ini adalah Chlorella vulgaris dan Spirulina plantesis. Laju pertumbuhan maksimum diperoleh dari tiga metode hitung yaitu haemositometer, absorbansi dan kapasitansi. Laju pertumbuhan maksimum Chlorella vulgaris diperoleh pada hari ketujuh masa kultivasi dengan jumlah 4.752.000 sel/ml dan Spirulina plantesis pada hari keenam dengan jumlah 64.000 sel/ml. Pengujian kandungan protein menggunakan alkaline copper reagen (ACR) yang memanfaatkan reaksi antara larutan tembaga (Cu2+), NaOH dan sampel. Perubahan warna sampel menjadi ungu menandakan adanya reaksi antara Cu2+ dengan ikatan peptida atau protein. Besarnya konsentrasi protein dapat diketahui dengan melihat nilai serapan pada panjang gelombang 520 nm. Kandungan protein yang dihasilkan dari berat kering sampel (w/w) dalam penelitian ini sebesar 14,78% untuk Chlorella vulgaris dan 16,06% untuk Spirulina plantesis. Jenis asam amino yang teridentifikasi berdasarkan perbandingan grafik BSA dengan sampel adalah tyrosin, phenylalanine dan tryptophan.

This study has purpose to determine the maximum growth rate of microalgae cultivation in the NPK Urea medium and protein content on a dry microalgae sample with UV-visible absorbance spectrophotometry assay method. Type of microalgae used in this study was Chlorella vulgaris and Spirulina plantesis. The maximum growth rate is calculated using three methods: haemocytometer, absorbance and capacitance. Chlorella vulgaris maximum growth rate obtained on the seventh day of cultivation period with the number 4.752.000 cells/ml and Spirulina plantesis on the sixth day with the number 64.000 cells/ml. The protein content was tested using alkaline copper reagent (ACR) which utilizes the reaction between copper (Cu2+), NaOH and samples. The color change of samples turn to purple indicates there are reaction between Cu2+ and peptide bonds or protein. The amount of protein concentration can be determined by looking the absorption value at 520 nm wavelength. The result of protein content of the dry sample weight (w/w) in this study amounted to 14.78% for Chlorella vulgaris and 16.06% for Spirulina plantesis. Types of amino acid were identified by comparison with a standart BSA is tyrosine, phenylalanine and tryptophan."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2015
S59632
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dianursanti
"ABSTRAK
Pengembangan sistem produksi C. vulgaris dengan menggunakan teknik filtrasi dilakukan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produksi biomassanya. Dengan teknik filtrasi ini, pengaruh self shading yang terjadi dalam kultur alga di dalam reaktor dapat diatasi. Pelaksanaan kegiatan penelitian ini diawali dengan studi awal perancangan reaktor dan optimasi kondisi operasinya. Tahap berikutnya adalah pengembangan teknik filtrasi dalam sistem kultivasi C. vulgaris yang meliputi pengaturan densitas sel melalui pengaturan laju hisap filter, optimasi sistem aerasi media kultur menggunakan membran serat berongga, optimasi sistem filtrasi menggunakan mikrofiltrasi dan pembandingan antara sistem filtrasi kontinyu dan semikontinyu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik filtrasi secara kontinyu terbukti berhasil meningkatkan produksi biomassa hingga 1,25 kali dari proses kultivasi biasa. Sementara itu penggunaan membran serat berongga sebagai aerator dan mikrofiltrasi sebagai media filternya dalam sistem pemerangkapan sel kontinyu, mampu meningkatkan produksi biomassa C.vulgaris hingga 2,55 kali dari sistem kultivasi biasa. Demikian pula dengan sistem pemerangkapan sel semi kontinyu telah terbukti mampu meningkatkan produksi biomassanya hingga 2,04 kali dari sistem kultivasi biasa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penggunaan teknik filtrasi dalam sistem kultivasi C. vulgaris sangat potensial untuk dikembangkan sebagai upaya peningkatan produksi biomassanya.

ABSTRACT
Development of C. vulgaris production system using filtration techniques carried out as part of efforts to increase biomass production. By using filtration techniques, self-shading effect that occurs in algae culture could be overcome. Implementation of this research activity started with a preliminary study design and optimization of reactor operating conditions. The next stage was the development of filtration techniques in the cultivation system of C. vulgaris which includes arrangement of cell density by suction rate adjustment, optimization of culture medium aeration system using hollow fiber membranes, optimization of the process filtration using microfiltration and filtration system comparisons between the continuous and discontinuous. The results showed that continuous filtration technique proved successful in increasing the production of biomass to 1.25 times that of ordinary cultivation process. Meanwhile, the use of hollow fiber membrane as an aerator and a microfiltration as filter media in continuous filtration system could increase biomass production up to 2.55 times. Similarly, the discontinuous filtration system has been shown to increase biomass production up to 2.04 times. Therefore, it can be said that the use of filtration techniques in the C. vulgaris cultivation system, potential to be developed as an effort to increase biomass production.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
D1334
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sabrina Zahra Fitriani
"Penggunaan listrik di dunia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan dan populasi manusia sehingga dibutuhkan energi berkelanjutan dan ramah lingkungan untuk menghasilkan listrik, salah satunya pemanfaatan Biological Photovoltaic Cell (BPV). Sel BPV memanfaatkan sifat fotosintetik mikroalga untuk memproduksi arus listrik. Sistem BPV akan mengambil elektron yang terbentuk pada mikroalga yang sedang berfotosintesis.
Penerapan reaktor BPV tanpa membran dan tanpa biofilm pada bioanoda meskipun memiliki laju transfer elektron yang relatif kecil dapat tetap dilakukan dan produksi listrik masih dapat ditingkatkan, diantaranya dengan meningkatkan densitas sel dan mengatur intensitas cahaya pada reaktor BPV. Oleh karena itu, pada penelitian kali ini telah dilakukan variasi intensitas cahaya dan densitas sel mikroalga pada BPV tanpa mediator. Mikroalga yang akan digunakan adalah Spirulina platensis.
Pada penelitian ini, Open Circuit Voltage terbesar yang dihasilkan adalah 320 mV pada saat kondisi Optical Density sel S. platensis bernilai 0,9 dengan intensitas cahaya 1700 lux. Densitas daya yang dihasilkan 1,5 mW/m2 masih relatif kecil dibandingkan penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa peningkatan densitas sel dan pengaturan konfigurasi intensitas cahaya dapat meningkatkan listrik yang dihasilkan dan perlu dilakukan hal-hal lain untuk meningkatkan produksi listrik seperti menambah permukaan elektroda dan membuat biofilm mikroalga agar BPV nantinya dapat digunakan digunakan secara komersial sebagai sumber energi listrik terbarukan yang ekonomis dan ramah lingkungan.

Electricity consumption in the world is increasing along with the increasing needs and the human population, then we need sustainable and environmentally friendly energy to produce electricity, one of the application is Biological Photovoltaic Cell (BPV). BPV cells utilizing the properties of photosynthetic microalgae to produce electric current. BPV system will take the electrons that produced by photosynthetic microalgae.
The application of BPV reactor without membrane and without biofilm on bioanoda yielding a low rate of electron transfer, but still can be done and electricity production can be improved, such as by increasing the cell density and adjust the light intensity at the reactor BPV. Therefore, the present study has been done variations of light intensity and density of microalgae cells in BPV without mediators. Microalgae to be used is Spirulina platensis.
In this study, the Open Circuit Voltage generated the largest is 320 mV when the condition Optical Density S. platensis cells is about 0.9 with 1700 lux light intensity. The resulting power density of 1.5 mW/m2 is still relatively small compared to studies conducted earlier.
From this study it can be concluded that the increase in cell density and configuration settings light intensity can improve the electricity is generated and the other things needs to be done to increase electricity production, such as increasing the electrode surface and makes biofilm microalgae so that BPV later can be used in commercial use as a source of electrical renewable energy that economically and environmentally friendly.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S62410
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Sasmita
"Spirulina platensis berpotensi menghasilkan energi listrik. Energi listrik terbentuk pada saat mikrolaga berfotosintesis melalui kloroplas. Di dalam kloroplas, terdapat kandungan protein yang berperan sebagai jalur pertukaran elektron dari silklus terang di dalam tilakoid menuju siklus Calvin dalam stroma. Elektron yang mengalir kemudian disambungkan ke suatu perangkat elektrokimia sehingga menimbulkan energi listrik. Energi listrik yang dihasilkan terukur dalam satuan tegangan atau voltase. Metode penghasil listrik ini dikenal dengan Biological Photovoltaic Cell (BPV). Penelitian terhadap BPV menggunakan mikroorganisme golongan cyanobacteria sudah dilakukan pada penelitian terdahulu dengan meneliti material elektroda yang mampu menghasilkan listrik yang optimum. Dari variasi logam anoda uji seperti alumunium, seng dan tembaga, peneliti mendapat hasil bahwa logam seng mampu menghasilkan tegangan listrik tertinggi senilai 1217 mV. Selain itu, kandungan ion positif logam seng merupakan mikronutrien yang berperan dalam pembentukan klorofil, sebagai efeknya peningkatan elektron. Hasil ini dioptimalkan kembali dengan menguji variasi jarak elektroda dan diperoleh hasil tegangan tertinggi pada saat berjarak 2 cm senilai 1219 mV. Oleh karena tegangan yang dihasilkan masih cukup kecil, sehingga melakukan penambahan chamber yang dirangkai secara seri menggunakan 4 chamber reaktor BPV menggunakan resistor 820Ω, menghasilkan tegangan listrik sebesar 4100 mV. Potensi ini dibuktikan dengan membandingkan pengoperasian BPV yang menggunakan kultur mikroalga dengan hanya menggunakan medium dan air laut sebagai kontrol. Hasil peneelitian menujukkan bahwa tegangan listrik mengalami peningkatan sebesar 2,45% dan power density sebesar 0,81% saat kultur digunakan sebagai elektrolit dalam chamber BPV.

Spirulina platensis has potential to produce electricity. Electricity is formed by photosynthesized of microalgae in chloroplast. In chloroplasts, contains protein molecules which useful as electron exchange lines from light cycle in the thylakoid towards the Calvin cycle in the stroma. Electrons flow then connected to an electrochemical device, causing electrical energy. The electrical energy generated measured in units of voltage. Methods of producing electricity is known as Biological Cell Photovoltaic (BPV). Research on the use of microorganisms BPV group of cyanobacteria have been done on previous research by examining the electrode material capable of generating electricity that is optimum. Of the various test anode metal such as aluminum, zinc and copper, researchers got the results that the zinc metal capable of generating high voltage electricity worth 1217 mV. In addition, the zinc metal content of positive ions is a micronutrient that plays a role in the formation of chlorophyll, as the effect is an increase in electrons. This result is optimized back to test variations of the electrode spacing and the results obtained at the time of the highest voltage within 2 cm worth of 1219 mV. Therefore, the voltage generated is still quite small, so the addition chamber is connected in series using BPV 4 reactor chamber using a 820Ω resistor, producing an electrical voltage of 4100 mV. This potential is evidenced by comparing the operation of the BPV which uses microalgae culture medium and by only using sea water as a control. Peneelitian results showed that the voltage increased by 2.45% and a power density of 0.81% when the culture is used as the electrolyte in the chamber BPV."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S63191
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>