Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13074 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putu Angga Risky Raharja
"Pendahuluan dan tujuan: Obstruksi ureter adalah salah satu komplikasi urologi yang paling sering dari transplantasi ginjal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor independen yang berkontribusi terhadap obstruksi ureter setelah transplantasi ginjal dan mengembangkan model prediksi dari faktor-faktor tersebut.
Metode: Sebanyak 545 transplantasi ginjal dianalisis. Pasien menjalani transplantasi antara Januari 2014 dan Desember 2018. Analisis regresi logistik digunakan untuk mengembangkan model prediksi. Kedua karakteristik demografis donor dan resipien serta parameter operasi dianalisis dan disajikan.
Hasil: Terdapat 37 (6,8%) subjek yang mengalami obstruksi ureter. Faktor risiko independen untuk obstruksi ureter adalah arteri ginjal allograft multipel, usia donor yang lebih tua (>38 tahun), dan usia resipien yang lebih tua (>60 tahun). Dari analisis kurva receiver operating characteristic (ROC), area di bawah kurva ROC model prediktif adalah 0,843 (P < 0,001). Subyek dengan >2 arteri ginjal allograft, usia resipien >60 tahun, dan usia donor >38 tahun memiliki kemungkinan 83,8% untuk mengalami stenosis ureter setelah transplantasi ginjal.
Kesimpulan: Usia donor, usia resipien, dan arteri multipel merupakan faktor risiko independen dari obstruksi ureter graft. Probabilitas berkembangnya obstruksi ureter harus dipertimbangkan sebelum operasi pada populasi kami, menggunakan model prediksi yang diusulkan

Introduction: Ureteral obstruction is one of the most frequent urologic complications of kidney transplantation. This study aimed to analyze independent factors that contribute to ureteral obstruction following kidney transplantation and develop predictive models form those factors.
Methods: As many as 545 kidney transplantations were analyzed. Patients underwent transplantation between January 2014 and December 2018. Logistic regression analysis was used to develop the predictive model. Both donor and recipient demographic characteristics and operative parameters were analyzed and presented.
Results: There were 37 (6.8%) subjects who developed ureteral obstruction. The independent risk factors for ureteral obstruction were multiple allograft renal arteries, older donor ages (>38 years), and older recipient age (>60 years). From the receiver operating characteristic (ROC) curve analysis, the area under the ROC curve of the predictive model was 0.843 (P < .001). Subjects with >2 renal allograft arteries, recipient age >60 years, and donor age >38 years had 83.8% probability of developing ureteral stenosis after kidney transplantation.
Conclusion: Donor age, recipient age, and multiple renal arteries were independent risk factors of graft ureteral obstruction. Probability of developing ureteral obstruction should be considered pre-operatively in our population, using the proposed predictive model.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juhadi Sunaryo
"Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan litotripsi laser holmium: YAG pada batu ureter. Penelitian inimerupakan suatu kohort prospektif yang dilaksanakan pada Januari 2013 ndash; Mei 2015 di RSUD Kardinah Tegal, Jawa Tengah. Pasien dengan batu ureter proksimal dan distal dimasukkan sebagai subyek penelitian. Sebanyak 50 pasien batu ureter yang terdiri dari ureter proksimal 13 26 dan distal 37 74 pasiendiikutsertaakan dalam penelitian ini. Stone burden, lama operasi, dan jumlah batu merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan tindakan litotripsi laser holmium:YAG pada batu ureter.

To know predictive factors for success of holmium laser YAG lithotripsy in ureteral calculi management. This prospective cohort study was conducted in January 2013 to May 2015 at RSUD Kardinah Tegal Central Java. Patients diagnosed with proximal and distal stones were included in this study. Of 50 ureteral stone patiens, consisted proximal 13 26 and distal 37 74 were included in this study. Stone burden, duration of operation, and stone number were predictive factors for success of holmium laser YAG lithotripsy in ureteral calculi management.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Sirojul Millah
"Latar belakang: Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi dan mortalitas yang meningkat dalam tiga dekade terakhir. PGK dipicu oleh kerusakan sebagian nefron dan menyebabkan peningkatan beban kerja nefron lainnya. Proses ini memicu aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (SRAA) yang menyebabkan peningkatan tekanan kapiler glomerulus, stress oksidatif, dan mediator inflamasi sehingga berujung pada kerusakan nefron yang lebih luas. Angiotensin receptor blocker (ARB) sebagai obat penghambat SRAA yang telah menjadi lini pertama terapi PGK. Statin merupakan obat antihiperlipidemia yang memiliki efek antiinflamasi dan digunakan untuk mencegah komplikasi kardiovaskular pada PGK. Kerusakan ginjal pada PGK dapat diamati dengan adanya perubahan struktur histologis pada glomerulus dan tubulus ginjal. Belum banyak penelitian yang membahas pengaruh ARB dan statin terhadap perbaikan PGK ditinjau dari perbaikan histologi glomerulus dan tubulus nefron ginjal.
Tujuan: Menganalisis pengaruh pemberian ARB dan statin terhadap histopatologi ginjal tikus model PGK dengan 5/6 nefrektomi (5/6 Nx).
Metode: Penelitian ini melakukan uji eksperimental dengan menggunakan bahan biologis tersimpan ginjal tikus Sprague-Dawley untuk melihat pengaruh ARB, statin, dan kombinasi ARB + statin pada hipertrofi glomerulus dan kerusakan tubulus ginjal tikus PGK dengan 5/6 Nx. Sediaan histologi menggunakan pewarnaan H&E dan dilakukan pengamatan terhadap diameter glomerulus dan tubular injury score. Analisis data menggunakan SPSS dengan uji anova satu arah dan post hoc bonferroni untuk diameter glomerulus dan uji Kruskal-Wallis dengan post hoc Mann-Whitney untuk tubular injury score.
Hasil: Pada pengukuran diameter glomerulus, hasil menunjukkan bahwa kelompok 5/6 Nx mempunyai diameter glomerulus yang lebih besar signifikan dibanding kelompok lainnya. Kelompok ARB, statin, dan kombinasi ARB + statin menunjukan diameter glomerulus yang lebih kecil secara signifikan dibandingkan kelompok 5/6 Nx. Tidak ada perbedaan signifikan antar kelompok pemberian obat. Kombinasi ARB+statin memiliki skor tubular injury lebih kecil signifikan dibandingkan kelompok 5/6 Nx. Monoterapi ARB atau statin menunjukkan tren lebih kecil pada skor tubular injury dibandingkan 5/6 Nx namun tidak signifikan secara statistik.
Kesimpulan: Kombinasi Angiotensin receptor blocker dan statin dapat menghambat kerusakan histologi ginjal tikus model penyakit ginjal kronis dengan 5/6 nefrektomi.

Background: Chronic kidney disease (CKD) is a global health problem with increased prevalence and mortality in the last three decades. CKD is started by damage of nephrons that causes an increase in the workload of the remaining nephrons. This process triggers activation of the renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS) which causes increased glomerular capillary pressure, oxidative stress, and inflammatory mediators, leading to more extensive nephrons damage. Angiotensin receptor blocker (ARB) as an inhibitor of RAAS has become the first line of CKD therapy. Statins are antihyperlipidemic drugs that have anti-inflammatory effects and are used to prevent cardiovascular complications in CKD. Renal damage in CKD can be observed with changes in the histological structure of the glomerulus and renal tubules. However, there are few studies that discuss the effect of ARBs and statins on the improvement of CKD in terms of the histology of glomerular and tubular renal nephrons.
Aim: Analyzing the effect of ARB and statin administration on kidney histopathology of CKD-model rats with 5/6 nephrectomy (5/6 Nx).
Method: This study is an experimental study using stored biological material of Sprague-Dawley rat kidney. This study want to see the effect of ARB, statin, and ARB + statin combination on glomerular hypertrophy and renal tubular damage in CKD rats with 5/6 Nx. Histology slides are stained with H&E staining and glomerular diameter and tubular injury score are observed. Data analysis using SPSS with one-way ANOVA test and bonferroni hoc post test for glomerular diameter and with Kruskal-Wallis test and Mann-Whitney post hoc test for tubular injury score.
Result: in comparison with control, the 5/6 Nx group significantly had a larger glomerular diameter. The ARB, statin, and combination groups showed significantly smaller glomerular diameter than the 5/6 Nx group. There were no significant differences between the drug administration groups. The ARB + statin combination group significantly had a smaller tubular injury scores compared to the 5/6 Nx group. ARB or statin monotherapy groups showed a smaller tubular injury scores compared to 5/6 Nx but was not statistically significant.
Conclusion: The combination of angiotensin receptor bocker and statin inhibit renal histological damage in chronic kidney disease rat model with 5/6 nephrectomy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Shiddiq Al Hanif
"Latar Belakang. Penyakit kardiovaskular masih merupakan masalah kesehatan utama global. Banyak penelitian menghubungkan kondisi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) pada pasien Sindrom Koroner Akut (SKA) dengan luaran klinis yang lebih buruk. Mengetahui peran faktor-faktor yang mempengaruhi Major Adverse Cardiovascular Event (MACE) pada pasien SKA dengan PGK penting dalam upaya pencegahan luaran yang buruk.
Tujuan. Mengetahui hubungan skor Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE), skor Gensini, Left Ventricular Hypertrophy (LVH), dan Rasio Netrofil Limfosit (RNL) terhadap kejadian MACE 30 hari pasien SKA yang mengalami PGK non-dialisis.
Metode. Desain penelitian kohort retrospektif menggunakan data sekunder dari rekam medis117 pasien SKA yang menjalani PCI di Rumah Sakit Umum Pemerintah Cipto Mangunkusumo sejak Januari 2018 hingga Juni 2018. Pasien dibagi berdasarkan derajat PGK serta dinilai MACE 30 hari. Dilakukan pencatatan data skor GRACE, skor Gensini, LVH, dan RNL. Analisis hubungan faktor-faktor tersebut dilakukan menggunakan uji chi square.
Hasil. Dari 117 pasien 62,3% ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI), pada akhir perawatan 67,5% pasien termasuk dalam kelompok derajat 1-2 PGK, 17,1% dalam kelompok PGK derajat 3a-3b dan 15,4% dalam kelompok PGK derajat 4-5. MACE terjadi pada 47 (40,2%) pasien dengan 17 (14,5%) mengalami kematian.Terdapat hubungan bermakna antara skor GRACE dengan MACE (54,8% MACE pada skor GRACE tinggi vs 32% MACE pada
skor GRACE rendah-sedang ( p = 0,016) (OR : 2,57 IK95% : 1,18-5,59), sedangkan pada skor Gensini,LVH dan RNL walaupun terdapat peningkatan proporsi MACE namun tidak didapatkan hubungan yang signifikan.
Kesimpulan. Skor GRACE berhubungan dengan MACE 30 hari pasien SKA dengan PGK non dialisis.

Background. Cardiovascular disease is still a major global health problem. Many studies have linked Chronic Kidney Disease (CKD) in Acute Coronary Syndrome (ACS) patients with worse clinical outcomes. Knowing the role of factors that influence MACE in ACS with CKD patients is important in preventing poor outcomes.
Objective. To determine the relationship between GRACE scores, Gensini scores, LVH, and NLR to the 30-day MACE incidence in ACS patients with CKD.
Method. This study is a retrospective cohort study using secondary data from the medical records of 117 ACS patients who underwent PCI at the Cipto Mangunkusumo Government General Hospital from January 2018 to June 2018. Patients were divided based on the degree of CKD and assessed for 30-day MACE. Data were recorded on GRACE scores, Gensini
scores, LVH, and RNL. Analysis of the relationship between these factors was carried out using the Chi Square test.
Results. Of the 117 patients 62.3% were STEMI, at the end of hospital treatment 67.5% were in the normal-grade 2 CKD group, 17.1% in the CKD grade 3a-3b group and 15.4% in the CKD grade 4-5 group. MACE occurred in 47 (40.2%) patients with 17 (14.5%) dying. There was a significant relationship between GRACE scores and MACE (54.8% MACE at high GRACE scores vs. 32% MACE at low-moderate GRACE scores (p = 0.016) (OR : 2,57
CI95% : 1,18-5,59)), while the Gensini score, LVH and NLR scores even though there was an increase in the proportion of MACE but no significant relationship was found.
Conclusion. The GRACE score correlates with the 30-day MACE of ACS with non- dialysis
CKD patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aryogi Rama Putra
"Latar Belakang: Proses hiperfiltrasi yang ditandai sebagai perubahan dinamik Renal Resistive Index (RRI) merupakan mekanisme adaptasi ginjal pasca berkurangnya massa nefron sudah banyak dielaborasi pada ginjal sisa donor transplan pasca nefrektomi. Belum diketahui bagaimana proses hiperfiltrasi dan rentang nilai RRI normal pada ginjal allograft. Tujuan: Membandingkan proses hiperfiltrasi berdasarkan perubahan dinamis nilai RRI, Peak systolic velocity (PSV), and End Diastolic Velocity (EDV) pada pemeriksaan ultrasonografi pasca operasi hingga satu bulan pasca transplantasi pada kelompok ginjal allograft dan ginjal sisa donor pasangan resipien-donor transplantasi ginjal. Metode: Studi prospektif pada 62 subyek yang merupakan 31 pasangan donor dan resipien transplantasi ginjal yang menjalani operasi transplantasi ginjal di RS dr. Ciptomangunkusumo dari Juli 2023 hingga Februari 2024. Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan sebelum operasi, hari ke-7 setelah operasi, dan hari ke-30 setelah operasi. Nilai RRI, PSV, dan EDV dinyatakan dalam nilai rerata dan simpangan baku, dengan perbedaan kedua kelompok nilai menggunakan uji t berpasangan. Hasil: Nilai RRI a. segmental ginjal allograft dan ginjal sisa donor secara berturut-turut saat sebelum operasi, tujuh hari pasca operasi, dan tiga puluh hari pasca operasi adalah 0,61 ± 0,06 vs 0,61 ± 0,06 (p < 0,52), 0,62 ± 0,06 vs 0,68 ± 0,06 (p < 0,001), 0,61 ± 0,06 vs 0,67 ± 0,06 (p < 0,001). Nilai RRI a. arcuata ginjal allograft dan ginjal sisa donor secara berturut-turut saat sebelum operasi, tujuh hari pasca operasi, dan tiga puluh hari pasca operasi adalah 0,56 ± 0,05 vs 0,56 ± 0,05 (p < 0,83), 0,58 ± 0,06 vs 0,62 ± 0,07 (p < 0,05), 0,57 ± 0,06 vs 0,62 ± 0,06 (p < 0,001). Tidak terdapat perbedaan signifikan nilai PSV dan EDV kedua grup. Kesimpulan: Hiperfiltrasi pada ginjal allograft terjadi dengan pola serupa dengan ginjal residu donor transplantasi, dengan perbedaan nilai rerata RRI pada kedua kelompok.

Background: Hyperfiltration, characterized as a dynamic change in the Renal Resistive Index (RRI), is an adaptation mechanism following reduction in nephron mass, has been elaborated on residual kidneys of transplant donors. It is not yet known how the hyperfiltration process is and the range of normal RRI values in allograft kidneys. Objective: To study the difference of RRI, Peak Systolic Velocity (PSV), and End Diastolic Velocity (EDV) dynamic changes of the allograft kidney and the remaining kidney of the donor, pairs of recipient-donor before transplantation until up to one month after transplantation Method: Prospective study of 62 subjects who were 31 pairs of donor and kidney transplant recipients who underwent kidney transplantation at dr. Ciptomangunkusumo- Hospital from July 2023 - February 2024. Ultrasonography is carried out before surgery, seventh day after surgery, and thirtieth days after surgery. RRI, PSV, and EDV is expressed in mean and standard deviation, with differences between two groups are compared using t-paired test. Results: Comparison of RRI value of segmental artery of allograft kidney and donor residual kidney, before surgery, seventh day, and thirtieth day post nephrectomy/transplantation consecutively are 0,61 ± 0,06 vs 0,61 ± 0,06 (p < 0,52), 0,62 ± 0,06 vs 0,68 ± 0,06 (p < 0,001), 0,61 ± 0,06 vs 0,67 ± 0,06 (p < 0,001). Comparison of RRI value of arcuate artery of allograft kidney and donor residual kidney, before surgery, seventh day, and thirtieth day post nephrectomy/transplantation consecutively are 0,56 ± 0,05 vs 0,56 ± 0,05 (p < 0,83), 0,58 ± 0,06 vs 0,62 ± 0,07 (p < 0,05), 0,57 ± 0,06 vs 0,62 ± 0,06 (p < 0,001). No differences of PSV and EDV values between two groups. Conclusion: Hyperfiltration in allograft kidneys occurs in a similar pattern to transplant donor residual kidneys, with significant differences in mean RRI values between two groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jerry Vanlin
"Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia dan salah satu yang menjadi permasalahan kesehatan masyarakat adalah hipertensi. Beberapa daerah memiliki resep obat tradisionalnya masing-masing, salah satunya adalah resep Au Fere II yang terdiri dari daun alpukat dan daun kacang pajang. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa resep tersebut memiliki efek anti-hipertensi. Sebanyak 24 ekor tikus (Rattus novergicus) galur Wistar jantan berumur 3 bulan dengan berat badan 150-200 gram dibagi menjadi 6 kelompok yaitu SHAM, POSITIF dengan kaptopril, NEGATIF dengan air, dan 3 kelompok yang menerima resep dengan dosis 0,495 mL/200g BB, 0,99 mL/200g BB dan 1,98 mL/200g BB selama 1 minggu. Semua kelompok kecuali SHAM akan diinduksi hipertensi dengan cara dijepit arteri ginjal sebelah kirinya selama 5 minggu. Setelah perlakuan, darah tikus diambil melalui abdominal aorta dan diambil plasmanya. Plasma kemudian diperiksa kadar MMP-2 nya dengan ELISA dengan cara membandingkan absorbansi sampel terhadap absorbansi blanko. Selain darah, ginjal tikus juga diambil untuk ditimbang beratnya. Tikus menunjukkan peningkatan tekanan darah setelah diinduksi selama 5 minggu dan penurunan tekanan darah, paling signifikan setelah diberikan ekstrak resep Au Fere II dosis 1,98 mL/200g BB. Ginjal sebelah kiri tikus yang diklip mengalami penurunan berat dan ginjal sebelah kanan tikus mengalami kenaikan berat. Pemberian perlakuan menghambat proses perusakan ginjal tersebut, meskipun tidak signifikan. Nilai MMP-2 menurun setelah diberikan ekstrak Au Fere II, dengan dosis 0,99 mL/200 g BB menunjukkan penurunan signifikan saat dibandingkan dengan NEGATIF. Percobaan ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak Au Fere II selama 1 minggu dapat menurunkan tekanan darah, menghambat kerusakan ginjal akibat induksi 2K1C dan menurunkan nilai MMP-2

Cardiovascular diseases are one of the leading mortality diseases in the world and one of them is hypertension, which is a public health problem. Some regions have their own traditional medicines recipes to treat hypertension, one of which is the Au Fere II recipe consisting of avocado leaves and yardlong bean leaves. This research aims to prove that Au Fere II has anti-hypertensive effect. 24 male rats (Rattus novergicus) of the Wistar strain, aged 3 months, body weight 150-200 gram, were divided into 6 groups which was SHAM, POSITIVE (receiving captopril), NEGATIVE (receiving water) and 3 other groups receiving recipes with dosages of 0.495mL/200g BW, 0.99mL/200g BW and 1.98mL/200g BW for 1 week. All group except for SHAM had their renal artery clamped for 5 weeks to induce hypertension. After treatment, plasma were collected to calculate the amount of MMP-2 via ELISA by comparing sample absorbance against blank absorbance. Kidneys were also taken to be weighted. Rats showed an increase in blood pressure after being induced for 5 weeks and a decrease in blood pressure significantly after consuming Au Fere II with the dose of 1,98mL/200g BW. The clamped kidney lose weight while the remnant kidney gained weight. Administering Au Fere II seemed to slow down this process. Au Fere II intervention also showed decrease in MMP-2 as opposed to the NEGATIVE group. This experiment showed that administration of Au Fere II for 1 week is able to reduce blood pressure and MMP-2, and minimize the damage done to the kidney due to 2K1C induction.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Mahayaty
"Diaper dermatitis sering terjadi pada anak anak yang berisiko menimbulkan rasa gatal, nyeri, dan ketidaknyamanan. Pendekatan keperawatan untuk memberikan kenyamanan pada pasien didasarkan pada teori Comfort Kolcaba. Teori ini membahas tentang kenyamanan dalam empat konteks kenyamanan yaitu: fisik, psikospiritual, sosial budaya, dan lingkungan, Perianal care dengan menggunakan air merupakan salah satu Evidence Based Nursing Practice yang dapat diterapkan untuk mencegah dan mengatasi diaper dermatitis sehingga kenyamanan pasien dapat teratasi. Hasil dari penerapan teori ini dilakukan pada anak dengan kerusakan integritas kulit. Teori Kenyamanan Kolcaba dapat meningkatkan kesehatan pasien, kepuasan pasien dan keluarga terhadap pelayanan keperawatan bertambah.

Diaper dermatitis is common in children who are at risk of itching, pain. This leads to discomfort in children. The nursing approach to comforting patients is based on Comfort Kolcaba's 2003 theory. This theory discusses comfort in four comfort contexts physical, psychospiritual, socio cultural, and environmental. Perianal care is one of the Evidence Based Nursing Practice that can be applied to prevent and treat diaper dermatitis so that patient comfort can be overcome. The result of the application of this Theory can be applied to children with impaired skin integrity. The implementation of Kolcaba Comfort Theory can improve patient health, patient and family satisfaction on nursing services will increase.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Rahmaningrum
"ABSTRAK
Latar Belakang: Stimulasi ovarium terkendali (SOT) merupakan langkah krusialdalam prosedur fertilisasi in vitro (FIV). SOT dilakukan dengan memberikan hormon gonadotropin eksogen. Pemberian hormon eksogen ini akan menyebabkan kondisi suprafisiologis hormon steroid. Perubahan kadar hormon-hormon steroid ini mempengaruhi reseptivitas endometrium, sehingga berpengaruh pada peristiwa implantasi. Biomarker mucin-1 dapat digunakan sebagai indikator terhadap perubahan yang terjadi dalam jaringan endometrium.
Tujuan: Mengetahuipengaruh prosedurSOT dengan berbagai dosis r-FSH yang berbeda pada ekspresi mucin-1 pada berbagai kompartemen jaringan endometrium dari hewan primata Macaca nemestrina.
Metode: Studi ini menggunakan jaringan uterus Macaca nemestrinayang tersimpan dalam blok paraffin. Subjek terdiri dari 15 kera betina berusiareproduktifdan memiliki riwayat melahirkan. Subjek terbagi dalam empat kelompok; kelompok kontrol dan kelompok intervensi yang mendapatkan administrasi r-FSH dengan dosis yangberbeda (30, 50, dan 70 IU) sesuai dengan protokol SOT. Immunohistokimia dilakukan pada jaringan endometrium dan ekspresi mucin-1 dihitung menggunakan pluginRGB Measuredari perangkat lunak imageJ dan secara manual. Hasil kemudian dianalisis dengan uji statistik ANOVA satu-arah, uji post-hocTukey HSD, dan uji korelasi bivariat Pearson
Hasil dan Pembahasan: Tedapat perbedaan ekspresi mucin-1 yang bermakna pada kompartemen kelenjar endometrium antara kelompok intervensi dengan uji ANOVA satu arah (F (3,10) = 7,474, p = 0,007). Namun, hasil yang tidak bermakna ditunjukkan dalam luminal (F (3,8) = 1,129, p = 0,394) dan stromal (F (3,11) = 1,129, p = 0,357) endometrium. Hasil yang signifikan dari kelenjar endometrium dapat dijelaskan dengan kondisi suprafisiologis hormon steroid. Sedangkan hasil yang tidak signifikan dapat dijelaskan oleh ekspresi mucin-1 yang terbatasdi bagian stromal, perbedaan 7 hari antara administrasi SOT dan pengambilan jaringan. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sedikitnya jumlah subjek, karena spesies subjek Macaca nemestrina, terbatas untuk pemanfaatan penelitian di negara kami.
Kesimpulan: Perbedaan dosis r-FSH memiliki pengaruh ekspresi mucin-1 pada jaringan endometrium secara signifikan pada bagian glandular namun tidak pada bagian stromal dan luminal.

ABSTRACT
Different r-FSH dosages affects mucin-1 expression on endometrial tissues significantly in glandular parts but not in luminal and stromal parts."
2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dogma Handal
"Pendahuluan. Esofagektomi merupakan tata laksana pembedahan standar bagi pasien kanker esofagus resektabel. Namun, angka kesembuhan tindakan ini hanya berkisar antara 25 - 35% dan dihubungkan dengan seriusnya risiko komplikasi pascabedah. Pasien pascaesofagektomi diketahui mengalami penurunan kualitas hidup, tetapi belum ada penelitiannya di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kualitas hidup pasien pascaesofagektomi pada populasi pasien di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode. Penelitian ini merupakan kohort retrospektif dengan menggunakan instrumen yang dikeluarkan oleh European Organization for Research and Treatment of Cancer (EORTC), yaitu modul khusus kanker esofagus EORTC-QLQ-OES18 dan core questionnaire C30. Populasinya adalah pasien pascaesofagektomi periode 2015—2021 di RSCM.
Hasil. Sebanyak 35 subjek dilakukan esofagektomi dan rekonstruksi pascaesofagektomi. Terdiri dari laki-laki 62,9% dan perempuan 37,1%. Rerata usia adalah 43,8 tahun (SB: 13,1). Median kualitas hidup (global health) dari semua subjek adalah 83,3 (IQR: 25,0). Item pertanyaan skala fungsional terhadap keseluruhan subjek yang memiliki skor paling rendah adalah cognitive functioning (CF). Sedangkan berdasarkan item pertanyaan skala gejala terhadap keseluruhan subjek yang memiliki skor paling tinggi, yaitu nausea and vomiting (NV), pain (PA), dysphagia (OESDYS), eating (OESEAT), choking (OESCH), dan coughing (OESCO).
Kesimpulan. Kualitas hidup pasien pascaesofagektomi di RSCM berdasarkan kuesioner EORTC-QLQ-C30 dan OES18 secara keseluruhan tergolong baik. Faktor prognostik yang berhubungan dengan penurunan kualitas hidup sebaiknya lebih diedukasi ke pasien dan dilakukan upaya persiapan sejak sebelum tindakan esofagektomi dikerjakan sehingga dapat memaksimalkan kualitas hidup pascaoperasi.

Introduction. Esophagectomy is the standard surgical treatment for resectable esophageal cancer patients. However, the success rate for this procedure was about 25—35% and was associated with a severe risk of postoperative complications. Patients after esophagectomy have decreased their quality of life (QOL), but no research has been done in Indonesia. This study was conducted to determine the quality of life after esophagectomy in Indonesia based on the patient population at Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital (CMGH).
Method. A retrospective study was conducted using quality of life instruments issued by the European Organization for Research and Treatment of Cancer (EORTC). It consists of the module for esophageal cancer EORTC-QLQ-OES18 and the core questionnaire C30. Subjects were patients after esophagectomy in 2015—2021 at CMGH.
Results. About 35 subjects underwent esophagectomy and followed by reconstruction, which comprised 62.9% male and 37.1% female. The mean age was 43.8 years (SD: 13.1 years). All subjects' median global health was 83.3 (IQR: 25.0). The overall functional scale question item with the lowest score was cognitive functioning (CF) 66.7 (IQR: 50.0). Meanwhile, based on the question items on the overall symptom scale, the worst scores were nausea and vomiting (NV) 16.7 (IQR: 50.0), pain (PA) 16.7 (IQR: 33.3), dysphagia (OESDYS) 33.3 (IQR: 33.3), eating (OESEAT) 34.5 (IQR: 23.9), choking (OESCH) 33.3 (IQR: 33.3), and coughing (OESCO) 33.3 (IQR: 33.3).
Conclusion. The overall QOL after esophagectomy at CMGH based on the EORTC-QLQ-C30 and OES18 questionnaires was good. Prognostic factors associated with decreased quality of life should be better educated to patients and prepared well before the esophagectomy procedure, thus maximizing quality of life after esophagectomy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Batubara, Taruli Loura
"ABSTRAK
Latar Belakang: Gagal ginjal terminal dapat mempengaruhi seluruh sistem dalam tubuh, termasuk sistem respirasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui kapasitas difusi paru terhadap karbon monoksida DLCO pada pasien hemodialisis kronik dan menghubungkannya dengan berbagai faktor demografis dan klinis serta spirometri. Metode: Studi potong lintang ini dilakukan pada pasien hemodialisis kronik berusia ge;18 tahun, stabil dalam 4 minggu terakhir, tidak memiliki riwayat penyakit paru dan jantung sebelumnya. Spirometri dan pemeriksaan DLCO dilakukan dalam kurun waktu 24 jam setelah hemodialisis.Hasil: Terdapat 40 subjek yang sebagian besar adalah laki-laki 67,5 , median usia 51 tahun dan bukan perokok 55 . Rerata indeks massa tubuh IMT 22,6 3,9 kg/m2, Hb 9,5 1,3 g/dl, median dialysis adequacy 1,62 dan durasi hemodialisis 31,5 bulan. Penyebab terbanyak gagal ginjal terminal adalah hipertensi 62,5 . Sesak napas dialami oleh 20 subjek. Prevalens penurunan DLCO adalah 52,5 dengan derajat ringan-sedang. Sebanyak 47,5 subjek mengalami restriksi dan 5 mengalami obstruksi pada pemeriksaan spirometri. Terdapat hubungan antara riwayat merokok dan penurunan DLCO dengan odds ratio 4,52 95 IK 1,04 ndash; 19,6 serta antara gangguan restriksi dan penurunan DLCO dengan odds ratio 5,58 95 IK 1,29 ndash; 23,8 . Diperkirakan terdapat gangguan parenkim paru yang menyebabkan restriksi dan menghambat difusi.Kesimpulan: Penurunan kapasitas difusi paru pada pasien hemodialisis kronik cukup sering terjadi meskipun tidak selalu disertai keluhan sesak napas. Faktor risiko penurunan DLCO adalah riwayat merokok dan gangguan restriksi pada spirometri.Kata Kunci: DLCO, hemodialisis, kapasitas difusi paru

ABSTRACT
Background End stage renal disease affects all systems in human including respiratory system. This study aimed to discover the lung diffusion capacity of carbon monoxide DLCO in chronic hemodialysis patients and to discover its relation to several demographic and clinical factors, as well as spirometry parameters.Method This was a cross sectional study among chronic hemodialysis patients aged ge 18 years old, clinically stable in the last 4 weeks without prior history of lung and cardiac disorder. Spirometry and DLCO examination were performed in the span of 24 hours after hemodialysis.Results There were 40 subjects analyzed. Majority of them were male 67.5 , median age 51 years old and non smoker 55 . Mean Body Mass Index BMI 22.6 3.9 kg m2, Hb 9.5 1.3 g dl, median dialysis adequacy 1.62 and hemodialysis duration of 31.5 months. Hypertension was the most common underlying disease. Some 20 of subject had varying degrees of dyspnea. Prevalence of DLCO reduction was 52.5 with mild to moderate degree. Restrictive spirometry pattern was evident in 47.5 and obstructive pattern in 5 of subjects. There was a significant relation between DLCO reduction with smoking history OR 4.52 95 CI 1.04 ndash 19,6 , also with restrictive disorder OR 5.5 95 CI 1.29 ndash 23.8 . Reduction of DLCO in restrictive subjects was related to the diminished alveolar volume VA . This VA reduction was not compensated by the increase of KCO, therefore we suspect a lung parenchymal disorder that inhibit diffusion. There was no correlation between DLCO reduction with gender, age, BMI, dialysis adequacy, hemodialysis duration, underlying disease and MMRC score. Conclusion Reduction of lung diffusion capacity in chronic dialysis patients is common although not accompanied with dyspnea. Risk factors for DLCO reduction are smoking history and restrictive disorder in spirometry.
"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>