Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150420 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Emila Ayu Nisa
"Kendali yang dimiliki manusia dalam menentukan keputusannya membuat Fischer dan Ravizza percaya bahwa tanggung jawab moral seseorang dinilai berdasarkan jenis kontrol yang dimiliki oleh pelaku moral. Mereka percaya bahwa manusia membutuhkan guidance control dalam menentukan tindakannya, yaitu kendali seseorang untuk dapat dengan bebas melakukan tindakannya, tanpa menghiraukan persoalan mengenai apakah ia mampu untuk melakukan tindakan yang sebaliknya atau tidak. Pemikiran ini menjadi titik berangkat gagasan teori moderate reasons-responsiveness Fischer dan Ravizza, yang mereka klaim dapat memberikan penjelasan atas alasan intuitif manusia, sehingga cukup untuk menjadi landasan penilaian tanggung jawab moral. Teori ini menjadikan mekanisme atau seperangkat sistem pada manusia untuk melakukan pertimbangan keputusannya sebagai objek penilaian tanggung jawab moral. Teori ini dikritisi dan memperoleh berbagai tanggapan dan tantangan dari berbagai perspektif sehingga membuat teori ini dinilai cukup berpengaruh dalam perkembangan diskusi tanggung jawab moral. Di sisi lain, klaim Fischer dan Ravizza tersebut terbukti keliru karena masih ditemukan kekurangan dalam teori moderate reasons- responsiveness. Melalui metode penelitian analisis deskriptif, tulisan ini bertujuan untuk memberikan pemaparan mengenai teori moderate reasons-responsiveness pada pembaca agar kemudian teori ini dapat dikritisi lebih lanjut sebagai perkembangan dalam diskusi ranah tanggung jawab moral.

Fischer and Ravizza believe that a person's moral responsibility is judged based on the type of control possessed by moral actors. Humans need guidance control in determining their actions, namely the control of a person to be able to freely carry out his actions, regardless of the question of whether he is able to take the opposite action or not. This thought became the starting point for moderate reasons-responsiveness theory, which they claim can provide an explanation for human intuitive reasoning, so that it is sufficient to form the basis for an assessment of moral responsibility. This theory makes a mechanism or a set of systems in humans to consider their decisions as objects of moral responsibility assessment, then criticized and received various responses and challenges from various perspectives so as to make this theory considered quite influential in the development of moral responsibility discussions. On the other hand, Fischer and Ravizza's claim is proven wrong because there are still deficiencies in the moderate reasons-responsiveness theory. Through descriptive analysis research methods, this paper aims to provide readers with an explanation of the theory of moderate reasons-responsiveness so that later this theory can be further criticized as a development in the discussion of the realm of moral responsibility."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Paulus, S. Margaretha K.
"ABSTRAK
Dalam skripsi ini penulis mencoba untuk menguraikan dengan baik suatu analisa pemikiran Martin Buber dari bukunya Aku dan Engkau. Buku Aku dan Engkau membahas masalah pokok yang menurjt Buber merupakan inti dari hidup manusia. Buber memperkenalkan apa yang dinamainya relasi dalam hidup manusia. Hubungan manusia dengan alam, manusia dengan manusia lain dan manusia dengan Tuhannya. Hubungan manusia dengan Tuhannya menurut istilah Buber dikenal dengan Aku-Engkau Yang Abadi adalah relasi tertinggi. Inilah puncak kehidupan religius yang oleh Buber disamaartikan dengan persatuan mistik. Semua ini ditunjukkan oleh Buber sebagai bukti bahwa manusia tetap memerlukan dimensi religius dalam hidupnya. Buber mengharapkan hal ini sebagai jawaban atas jaman yang sakit sebagai akibat ulah manusia modern dewasa ini...

"
1985
S16081
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Awal dan Akhir. Kehidupan manusia selalu berawal dan berakhir, begitulah kenyataan hakekat yang kita terima sebagai manusia. Berawal dari kelahiran yang begitu amat sangat dirayakan scbagai suatu kebahagiaan selepas penderitaan, Iayaknya pelangi setelah prahara hujan ataupun terang matahari pagi yang muncul setelah kegelapan malam, sebuah masa penuh dengan nuansa sukacita. Namun, hidup juga pasti akan berakhir. Akhir tersebut bernama kematian, yang selalu dipandang sebagai satu momen yang menjadi momok mengerikan, satu tilik dalam hidup yang membuat hidup menjadi hancur dan berakhir, sebuah masa penuh dengan nuansa dukacita. Martin Heidegger, dalam buku Being and Time, memberikan alternatif pemahaman yang berbeda terhadap problem kematian. Kematian bukanlah suatu hal yang sedemikian mengerikan, yang dengan sewenang-wenang merenggul nyawa dan mengakhiri begitu saja kehidupan manusia tanpa belas kasih, sehingga manusia kehilangan makna dirinya, yang berujung pada kehilangan ke-otentik-annya. Kematian, menurut Heidegger, seharusnya dipandang scbagai suatu kemungkinan unik dan tersendiri di antara berbagai kemungkinan dalam kehidupan. Kematian sebagai kemungkinan tersebut haruslah diterima manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Dengan demikian, manusia akan menyadari dan menerima bahwa dirinya memiliki kemungkinan yang niscaya, yang mengakhiri kemungkinan-_kemungkinan lain. Kesadaran tersebut membuat manusia keluar dari kesehariannya, mencoba mencapai makna terdalam dirinya, dan kemudian mengantisipasi masa depan melalui perjalanan hidup yang bermakna, otentik. Akhirnya, kematian akan menjadi penutup yang manis dan momen selebrasi bagi cerita kehidupan manusia, bukan lagi dukacita, melainkan sebagai suatu pintu gerbang menuju ke ke-otentik-an manusia."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S16043
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunaidi Efatra
"ABSTRAK
Manusia sebagai poros penyelidikan guna menemukan kenyataan sesungguhnya mulai dari Plato hingga Descartes masih belum selesai. Realitas sesungguhnya, yang dinamakan dengan Ada (Being), setiap pemikir selalu berdialektika satu sama lainnya sehingga tidak pernah menemukan titik akhir dari sebuah sintesa utuh yang tidak bisa diperdebatkan lagi. Titik persoalannya adalah karena berangkat dari perspektif esensial yang bersifat deskriptif-kategorial dalam menyelidiki Ada sehingga dikotomi subyek (manusia) dan Obyek (dunia) tidak bisa dielakkan. Baru kemudian pada Edmund Husserl mulai ada perubahan konseptual dalam mengatasi dikotomi tersebut. Melalui metode fenomenologi, Husserl menyelaraskan antara subyek dan Obyek dengan tidak ada pemisahan. Keduanya saling mengandaikan dalam memperoleh pengetahuan. Walaupun demikian, pada puncak penelitian, Husserl akhirnya masih melakukan diskriminasi terhadap obyek dalam konsep ego transendentalnya. Sehingga pencarian kenyataan yang hakiki melalui penyelidikan yang bersifat konseptual mulai dipertanyakan lagi. Kehadiran Kierkegaard ikut membawa perubahan yang mendasar, yaitu bahwa penelitian tentang esensi Ada yang selalu berangkat dari konsepsi-kategoris harus dibalik dengan penelitian yang menggunakan perspektif eksistensial. Being, tidak lagi dipahami sebagai Ada, tetapi Mengada. Artinya, manusia tidak semata-mata dipandang sebagai pelaku pasif dalam memahami dan menyelidiki Ada, tetapi manusia justru sebagai pelaku aktif dalam memaknai Ada. Dalam puncak memaknai Ada, bagi Kierkegaard, manusia dengan pilihan bebasnya harus melompat ke realitas e ketuhanan. Bagi Martin Heidegger, pengalaman tentang Ada yang dimaknai oleh Kierkegaard masih berbau moralitas dan religius. Manusia belum dipandang sebagai subyek yang mampu berdiri sendiri dalam memaknai hidupnya. Perlu kemudian memberikan sudut pandang yang lain, yaitu eksistensial-ontologis dalam memaknai Ada. Eksistensial bertujuan meneropong kondisi manusia yang otentik, dan kemudian diselaraskan dengan temporalitas yang memberikan makna tentang keberadaan manusia dalam dunia. Karena kondisi Dasein yang paling mendasar adalah Ada-menuju-kematian secara eksistensial-ontologis, maka puncak totalitas Ada Dasein itu akhirnya ditemukan pada momen Kematian. Sebab pada momen ini adalah zenit totalitas Ada Dasein di satu sisi, dan momen berakhirnya eksistensi Dasein dalam dunia di sisi lain. Oleh karena itu, pada Heidegger, manusia sebagai pemberi makna pada Ada dalam memaknai dirinya dan dunia, yang berpuncak pada kematian. Namun manusia dalam memaknai dirinya dan dunia keseharian menghadapi dilema. Di satu sisi, pemaknaan Ada-nya yang otentik melalui Mengada-menuju-kematian selalu tidak stabil karena is selalu terlupa. Di sisi lain, karakter keseharian Dasein selalu bernuasa inotentik di mana Dasein tidak bisa lari darinya. Meskipun secara eksplisit dia sudah menyatakan diri sebagai Ada yang otentik, tetapi secara implisit, bekas-bekas inotentik masih melekat pada otentisitas tersebut. Sehingga keutuhan manusia eksistensial-ontologis yang otentik itu secara tidak langsung masih berwarna ganda"
2007
T37417
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Szyrocki, Marian
Berlin Rutten & Loaning 1956
928.43 O 430
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dewey, John
New York: The Modern Library, 1939
190.9 DEW i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dickens, Charles, 1812-1870
London : Everyman`s Library, 1994
823.8 DIC m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Gusagis Khomanur Ngaziz
"Human beings with their inherent intelligence can engage personally in a constructive way through various concrete actions in solving their various problems of life. Education will be able to sharpen the mind and thereby synthesizes the intelligence to enable both to produce strength to settle the human problems. Education will be able to assist improving their ability to formulate the goal of life and to organize as well as to manage various resources and to act as the means to be employed in conformity with their expected direction. Education assists to improve the ability of human being as a creature who uses languages and is able to store memories and make plans for his/her activities. Education stimulates and enriches imagination, and brings about the human being to awareness that a statement or idea must be based on individual responsibility and social life. Education gives a continues reconstruction of experiences and makes human aware that life means living with other people and gives the opportunity for the expected morale and mental growth."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T38077
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asri Okta Kurniawati
"ABSTRAK
Manusia tidak dapat terlepas dengan relasi. Ketika manusia berelasi maka manusia mengenal di1inya sendiri. Pemikiran Martin Buber mengenai relasi, yaitu Relasi !­ Thou menjadi landasan penulis untuk menganalisis keunikan dan otentisitas pada manusia saat berelasi. Posibilitas otentisitas pada I (sebagai individu yang ingin berelasi) dapat terjadi apabila relasi tersebut berada pada relasi !-Thou. Eigentlich sebagai teori dari Martin Heidegger memayungi keunikan yang merupakan bagian dari otentisitas. Pada karya ilmiah ini, penulis ingin membuktikan bahwa otentisitas yang ingin dicapai dalam eksistensialisme dapat terjadi saat berelasi. Namun relasi yang dibangun harus melalui relasi I-Thou. Cara menuju otentik dari relasi tersebut adalah melalui grace. Adanya grace membuat I sebagai individu manusia dapat otentik, karena melalui grace akan terjadi perjumpaan dalam relasi(l­ Thou). Penulisan ini ingin mencapai titik adanya capaian otentisitas, karena penjelasan Martin Buber mengenai otentisitas belum ada secara ekspisit. Dengan harapan bahwa otentisitas yang dicapai memberikan implikasi I yang otentik, sehingga mencapai kondisi eksistensial.

ABSTRACT
Human being can not be se parated from relation . Wht:n tht:yc are in relation. it's how they kn ow their se lf. Martin l3ubcr·s thought about relation_ namely the !-Tholl relation- is my theoret ical basis to analyze the uniqueness and authenticity in human re\:nion. The possibility of authenticity for the I (as an individual who wants to enter into relation) may occur if the relat ion"
"i s in a '""1-Thou··. Eigent l ich - Martin Heideggcr·s theory- explains that uniqueness is part of authenticity. 1:1 this undergraduate thesis. Iwant to prove the authenticity that can be achieved in relation. However the relations must be built through the !-Tiio11 relation. To be authent ic in this relation is through the grace. The grace makes I - as an individual hurnan being - can be authentic, because through grace encounter will occur in the relation (/-Tho11). This undergraduate thesis wants to reach the point of the authenticity achievements, as Martin Buber doesn 't have explanation regarding the authenticit y explicitly. With expectation that the achieved authenticity implicates the authentic 1so a:1 existential condition can be achieved."
2016
S63939
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parulian, Tigor
"ABSTRAK
Perspektif merupakan salah satu elemen terpenting dalam sebuah film. The Male Gaze, yang merupakan sudut pandang atau perspektif laki-laki terhadap elemen-elemen yang ada dalam film, telah menjadi hal yang lumrah dalam film-film Hollywood. Hal tersebut terjadi karena mayoritas orang-orang penting dibalik pembuatan film adalah laki-laki. Lebih jauh lagi, saat ini film adalah salah satu jenis media yang paling berpengaruh. Oleh karena itu, makalah ini mencoba untuk menganalisis penggambaran Male Gaze dalam The Wolf of Wall Street, sebuah film oleh Martin Scorsese yang dirilis pada tahun 2013, melalui pengansingan terhadap karakter-karakter wanitanya. Makalah ini menggunakan definisi Male Gaze dari Laura Mulvey sebagai landasan teori dalam menganalisis scene, karakter, monolog, dan dialog dalam film tersebut.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa The Wolf of Wall Street sangatlah dipengaruhi oleh Male Gaze karena karakter-karakter perempuan yang ada dalam film ini hanya berperan sebagai bawahan dari karakter laki-laki.

ABSTRACT
Perspective is one of the most important elements of film. The Male Gaze, which is male perspective or point of view towards film?s elements, has become a common thing in Hollywood movie. It happens because film makers are disproportionately male. Furthermore, today film is one of the most influential forms of media. For this reason, this research attempts to analyze the depiction of the Male Gaze in The Wolf of Wall Street, a 2013 film by Martin Scorsese, trough the relegation of its female characters. This research is using Laura Mulvey?s definition of the Male Gaze as a theoretical framework in examining the scenes, characters, monologues, and dialogues of the film.
The result of the research concludes that The Wolf of Wall Street is heavily influenced by the Male Gaze since the female characters role are diminished and they only serve as subordinate for the male characters.
"
2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>