Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101818 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Masyitha
"Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas dan penjaga etika hakim, memiliki peran penting dalam tegaknya kekuasaan kehakiman yang bersih. Lembaga ini memiliki keterbatasan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya karena dengan sumber daya manusia yang terbatas harus menaungi ribuan hakim yang tersebar di seluruh Indonesia sebagai obyek pengawasan Komisi Yudisial. Permasalahan yang diangkat adalah kompleksitas pembentukan jabatan fungsional penata kehakiman dan kesiapan Komisi Yudisial atas keberadaan dan pembentukan jabatan fungsional tersebut. Metode penelitian yang digunakan yuridis normatif, menggunakan terutama data sekunder menganalis Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 84 Tahun 2020 tentang Jabatan Fungsional Penata Kehakiman dan peraturan-peraturan terkait, dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian bahwa jabatan fungsional penata kehakiman adalah yang pertama dan satu-satunya yang berada di bawah pembinaan Komisi Yudisial, Pembentukan Jabatan ini kompleks karena menggabungkan tugas dan fungsi pencegahan, penegakan, serta seleksi Calon Hakim Agung dan Calon Hakim Ad Hoc di Mahkamah Agung yang tujuan pelaksanaannya sangat berbeda dan memiliki peraturan pelaksananya masing-masing yang belum terharmonisasi, serta masih adanya kendala dalam penempatan unit pembina. Adapun kesiapan Komisi Yudisial selaku instansi Pembina masih dalam tahap awal dan persiapan Komisi Yudisial terkendala dengan belum adanya pusat pendidikan dan pelatihan, belum adanya harmonisasi peraturan, dan jumlah persediaan pegawai yang belum memadai. Perlu adanya harmonisasi peraturan pelaksana, pengaturan perbantuan tugas dan perpindahan pegawai, pembentukan pusat pendidikan dan pelatihan, serta langkah-langkah lain yang diperlukan.

The Judicial Commission as a supervisory institution and guard of judge ethics, has an important role in upholding a clean judicial power. This institution has limitations in carrying out its duties and authorities because with their limited human resources, they must oversee thousands of judges spread throughout Indonesia as the object of supervision of the Judicial Commission. The issues raised are the complexity of establishing the functional position of judicial administrator and the readiness of the Judicial Commission for the presence and establishment of the functional position. The research method used is normative juridical, using mainly secondary data to analyze PANRB Ministerial Regulation Number 84 of 2020 concerning the Functional Position of the Judiciary and related regulations, with a qualitative approach. The results of the research that the functional position of the judiciary is the first and the only one functional position belonging to the Judicial Commission. The formation of this position is complex because it combines the duties and functions of preventing, enforcing, and selecting Candidates for Supreme Court Justices and Candidates for Ad Hoc Judges at the Supreme Court whose implementation objectives are very different and have their respective implementing regulations that have not been harmonized, and there are still obstacles in the placement of the supervisory unit. As for the readiness of the Judicial Commission as the founder agency, it is still in the early stages and the preparation of the Judicial Commission is constrained as it should be equipped with an education and training center, there is no harmonization of regulations, and the number of staff supplies is not adequate. Based on these matters, There is a need for harmonization of implementing regulations, arrangements for task assistance and employee transfer, establishment of education and training centers, as well as other necessary measures."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Brillyan Alvayedo
"Hakim sebagai peran terpenting dalam dunia persidangan diharuskan untuk menjaga perilaku dan perbuatannya baik mengenai substansi dalam persidangan maupun berkegiatan sehari-hari di luar persidangan. Melalui Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 – 02/SKB/P.KY/IV/2009, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dibentuk sebagai pedoman bagi hakim dalam berperilaku yang dimana wewenang Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal hakim memiliki peran dalam penegakan kode etik dan pedoman perilaku hakim, namun seberapa besar wewenang yang dimiliki oleh Komisi Yudisial dalam fungsi pengawasan hakim tersebut dan hakim tidak dapat serta merta dihukum apabila melanggar prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku hakim, terdapat penyelesaian hukum untuk membuktikan perbuatan pelanggaran oleh hakim dan penjatuhan sanksi kepada hakim yang terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. Peneliti memakai metode penelitian Yuridis Normatif dengan sifat deskriptif analisis yang memakai data sekunder dari menerapkan alat pengumpul data meliputi studi kepustakaan dengan Metode analisis data secara Kualitatif. Pertanyaan penelitian Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa lemahnya fungi pengawasan dari Komisi Yudisial terhadap penjatuhan sanksi yang hanya berupa rekomendasi merupakan fokus utama dalam pembenahan hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Hal ini juga turut memberikan implikasi terhadap penyelesaian hukum yang dimana seharusnya para pengawas hakim saling bahu membahu dalam menegakkan prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Judges as the most important role in the world of trial are required to maintain their behavior and actions both regarding substance in the trial and daily activities outside the trial. Through a Joint Decision of The Chairman of The Supreme Court Republic of Indonesia and The Chairman of The Judicial Commission Republic of Indonesia Number 047/KMA/SKB/IV/2009 – 02/SKB/P.KY/IV/2009, the Code of Ethics and Guidelines of Conduct for Judges was established as a guide for judges in their behavior which The authority of the Judicial Commission as an external supervisor of judges has a role in enforcing the code of ethics and guidelines of conduct for judges behavior, but how much authority does the Judicial Commission have in the supervisory function of these judges and judges cannot be immediately punished if they violate the basic principles of the code of ethics and guidelines of conduct for judges behavior, there is a legal settlement to prove violations by judges and the imposition of sanctions on judges who are proven to have violated the code of ethics and guidelines of conduct for judges. The researcher uses a normative juridical research method with descriptive analysis that uses secondary data from applying data collection tools including literature study with qualitative data analysis methods. The results of this study indicate that the weak supervisory function of the Judicial Commission against the imposition of sanctions that are only in the form of recommendations is the main focus in improving the relationship between the Supreme Court and the Judicial Commission. This also has implications for legal settlements where supervisory judges should work hand in hand in upholding the basic principles of the Code of Ethics and Guidelines of Conduct of Judges.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarifudin
"ABSTRAK
Secara historis, keberadaan Penghubung Komisi Yudisial tidak terlepas dari
keberadaan jejaring. Bahkan dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Republik Indonesia tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial yang dibuat oleh DPR, ketentuan tentang Penghubung ini
tidak ada, yang ada adalah nomenklatur jejaring. Namun, nomenklatur jejaring ini
hilang diganti dengan nomenklatur penghubung setelah keluarnya Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011. Ketentuan tentang penghubung ini tercantum dalam Pasal 3
ayat 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 yang menyebutkan: Komisi Yudisial
dapat mengangkat Penghubung di daerah sesuai dengan kebutuhan. Selanjutnya,
Pasal 3 ayat 3 menyatakan: Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan,
susunan, dan tata kerja penghubung Komisi Yudisial di daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat 2 diatur dengan Peraturan Komisi Yudisial. Undang-Undang Nomor 18
tahun 2011 telah memberikan delegasi kepada Komisi Yudisial untuk menjabarkan
lebih rinci tentang pembentukan, susunan dan tata kerja Penghubung Komisi Yudisial
di daerah dalam Peraturan Komisi Yudisial. Delegasi kewenangan untuk mengatur
lebih lanjut ketentuan-ketentuan yang tidak diatur dalam peraturan yang lebih tinggi
merupakan kewenangan yang bersumber dari pembuat legislasi delegated
legislation. Secara yuridis, kedudukan peraturan KY berada di luar hierarki peraturan
perundang-undangan, sesuai ketentuan Pasal 8 ayat 1 dan 2 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011. Keberadaan peraturan di luar hierarki diakui dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Namun, ada perbedaan pendapat dari para ahli hukum tentang kedudukan peraturan
yang dibuat oleh lembaga-lembaga di luar eksekutif dan legislatif, seperti: peraturan
yang dibuat oleh KY, MK dan MA. Ada yang berpendapat bahwa peraturan tersebut
masuk dalam peraturan perundang-undangan, sedangkan pendapat lainnya
mengatakan tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan.

ABSTRACT
Historically, the existence of the Liaison of the Judicial Commission is
inseparable from the existence of networks. Even in the Academic Manuscript of the
Draft Law of the Republic of Indonesia concerning Amendments to Law Number 22
Year 2004 concerning the Judicial Commission made by the House of Representatives,
the provisions regarding this Liaison do not exist, there is a network nomenclature.
However, the missing network nomenclature is replaced by the liaison
nomenclature after the issuance of Law Number 18 Year 2011. Provisions regarding
this link are listed in Article 3 paragraph 2 of Law Number 18 Year 2011 which states:
The Judicial Commission can lift liaison in the regions according to their needs.
Furthermore, Article 3 paragraph 3 states: Further provisions regarding the
formation, arrangement and arrangement of the work of the Judicial Commission in the
regions as referred to in paragraph 2 shall be regulated by the Judicial Commission
Regulation. Law No. 18 of 2011 has given a delegation to the Judicial Commission to
describe in more detail the formation, structure and work procedures of the Liaison of
the Judicial Commission in the region in the Judicial Commission Regulation. The
delegation of authority to further regulate provisions that are not regulated in a higher
regulation constitutes the authority originating from legislated legislators delegated
legislation. Juridically, the position of KY regulations is outside the hierarchy of laws
and regulations, in accordance with the provisions of Article 8 paragraph 1 and 2 of
Law Number 12 of 2011. The existence of regulations outside the hierarchy is
recognized and has binding legal force insofar as it is ordered by Legislation - higher
law or formed based on authority. However, there are differences of opinion from legal
experts about the position of regulations made by institutions outside the executive and
the legislature, such as: regulations made by KY, MK and MA. Some argue that the
regulation is included in legislation, while other opinions say it is not included in the
legislation.
"
2019
T54469
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Dewi Hannie Handayani Parulian
"Skripsi ini membahas hubungan antar kelembagaan Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI dalam melakukan pengawasan Hakim di Indonesia. Skripsi ini menjabarkan mengenai kewenangan dan tugas Mahkamah Agung sebagai pengawas hakim secara internal sekaligus menjabarkan kewenangan dan tugas Komisi Yudisial mengawasi hakim secara eksternal. Selain membahas kewenangan dan tugas kedua lembaga tersebut, skripsi ini juga membahas hubungan kedua lembaga tersebut melalui tiga kasus pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.

This thesis explains about institution relationship between Indoneisan Supreme Court and Indonesia Judicial Commission in controlling the judges in Indonesia. This thesis defines the authorities and duties of Indonesian Supreme Court as an internal supervisor of judges also defines about authorities and duties Indonesian Juducual Commission as an external supervisor of judges. Besides defining authorities and duties both institutions, this thesis also defines about institutional relationship in controlling through examining three violation cases of code of conduct and judges behaviour guidences,"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57383
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizti Aprillia
"Tesis ini membahas tentang mekanisme ideal pengangkatan pegawai Penghubung Komisi Yudisial. Selama ini status kepegawaian Penghubung adalah pegawai honorer yang tidak diatur dalam UU ASN. Hal itu membuat tidak ada kepastian mengenai hak keperdataan Penghubung, baik mengenai jaminan pendapatan (gaji dan tunjangan), perlindungan, dan pengembangan kompetensi. Kepastian status kepegawaian juga menentukan mekanisme seleksi, pengangkatan dan pemberhentian, pelaksanaan tugas pokok dan fungsi, pola karir, serta mekanisme evaluasi kinerja. Hal ini menarik karena Penghubung Komisi Yudisial sudah terbentuk sejak tahun 2013 di 12 Provinsi, tetapi status kepegawaiannya tidak jelas. Permasalahan yang diangkat adalah urgensi keberadaan Penghubung Komisi Yudisial, Pengaturan status kepegawaian Penghubung Komisi Yudisial, dan mekanisme ideal pengangkatan Penghubung di Komisi Yudisial. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah yuridis normatif, menggunakan pendekatan analisis kualitatif, dengan menggunakan penelusuran literatur sebagai studi dokumen pada data sekunder. Adapun hasil penelitian menemukan bahwa keberadaan Penghubung sangat urgen sebagai pembantu pelaksana tugas Komisi Yudisial di daerah. Akan tetapi pengaturan mengenai status kepegawaiannya tidak jelas dan hanya sebagai pegawai honorer. Oleh karena itu Penghubung idealnya adalah menjadi ASN yaitu sebagai PNS. Sementara Penghubung yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai PNS, terutama karena syarat usia, maka ditransformasikan sebagai PPPK dengan pengaturan yang mengikuti ketentuan UU ASN dan PP Manajemen PPPK. Tujuannya, agar Penghubung memiliki perlindungan dan kepastian hukum yang jelas. Sebab ketidakjelasan status Penghubung membuat beberapa diantara mereka memilih resign dan memilih pekerjaan lain. Kondisi tersebut tentu sebuah ironi mengingat penghubung bekerja di Komisi Yudisial yang merupakan Lembaga Negara sekaligus entitas pemerintahan. Sebagai entitas pemerintahan yang bekerja dalam rangka memberikan layanan publik seharusnya Penghubung menjadi aparatur sipil Negara dan mengikuti ketentuan dalam UU ASN. Apalagi pekerjaan Penghubung membutuhkan tingkat kerahasiaan tinggi, sehingga status kepegawaian Penghubung juga harus kuat secara formal.

This thesis discusses the ideal mechanism for appointing the Judicial Commission Liaison Employee. So far, the Liaison's employment status is an temporary employee which is not regulated in the ASN Law. This creates no certainty regarding the Liaison's civil rights, both regarding income security (salaries and benefits), protection, and competency development. Certainity of employment status will also determine the selection mechanism, appointment and dismissal, implementation of basic tasks and functions, career patterns, and mechanism of performance evaluations. This is interesting because the Judicial Commission Liaison has been formed since 2013 in 12 Provinces, but the employment status is not clear. The research method used by the author is normative juridical, using a qualitative analysis approach, and using literature search as a document study on secondary data. The study results found that the existence of liaisons is very urgent as assistants implementing the duties of the Judicial Commission in the regions. However, the regulation regarding their employment status is not clear and they are only a temporary employees. Therefore, ideally the Liaison is to become an ASN, namely as a civil servants (PNS). Meanwhile, Liaisons who do not fulfil the qualifications as civil servants (PNS), mainly because of the age requirement, are transformed into PPPK with arrangements that follow the provisions of the ASN Law and PP Manajemen PPPK. In order to have clear protection and legal certainty. Because the unclear status of the Liaisons made some of them choose to resign and moved to other jobs. This condition is certainly an irony considering that the Liaison works in the Judicial Commission which is a State Institution as well as a government entity in a broad sense. As a government entity that works in the context of providing public services, the Liaison should become a state civil apparatus and follow the provisions of the ASN Law. Moreover, Liaison job requires a high degree of confidentiality, so the Liaison's employment status must also be formally strong."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Esensi kehadiran MK adalah konsekuen logis konstitusional berakhirnya era daulat parlemen (politik) ke daulat konstitusi. Era daulat parlemen ditemukan dalam ketentuan konstitusi terdahulu bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Majelis ini terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. (pasal 1 ayat (2) jo Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan).Pada Perubahan Ketiga UUD 1945, ketentuan di atas telah berubah. Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) menyebutkan Negara Indonesia adalah negara hukum dan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Jadi sehak perubahan ketiga, kedaulatan tidak lagi dilakukan sepenuhnya oleh MPR sebagai ikon puncak kekuasaan parlemen melainkan dilaksanakan rakyat menurut konstitusi. Disinilah sejarah ketatanegaraan Indonesia mulai berdetak di mana segala aktifitas kekuasaan legislatif eksekutif yudikatif dan cabang kekluasaan lainnya harus tunduk pada daulat konstitusi."
342 JTRA 11:3 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayu Susanti
"ABSTRAK
Dalam rangka menjalankan salah satu wewenangnya, Komisi Yudisial membentuk Peraturan perihal penerimaan dan penanganan laporan masyarakat. Peraturan dimaksud, sejak awal Komisi Yudisial berdiri, dan hingga sekarang rupanya telah berulangkali dicabut dan diganti. Tercatat mulai dari Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengawasan Hakim, Peraturan Komisi Yudisial Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengawasan Hakim, Peraturan Komisi Yudisial Nomor 4 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penanganan laporan Masyarakat, Peraturan Komisi Yudisial Nomor 4 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penanganan laporan Masyarakat, dan Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penanganan laporan Masyarakat.Kondisi pergantian perturan tentang penerimaan dan penanganan laporan ini menarik untuk dikaji mengapa dan bagaimana bisa demikian. Kajian difokuskan pada rumusan masalah perihal bagaimanakah evaluasi bentuk formil Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penanganan Laporan Masyarakat sebagai peraturan perundang-undangan? dan bagaimanakah evaluasi substansi materil Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penanganan Laporan Masyarakat sebagai peraturan perundang-undangan? Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan bentuk tipelogi penelitian yang deskriptif yang didukung dengan alat pengumpulan data yang kualitatif dan metoda analisa data yang analistis yang pada akhirnya dari serangkaian metode penelitian ini akan didapatkan sebuah hasil penelitian tesis yang deskriptif analisis.Setelah dilakukannya penelitian diketahui bahwa berdasarkan penerapan asas-asas formal dan materil pembentukan peraturan perundang-undangan, meskipun Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penangan Laporan Masyarakat secara teknis merupakan peraturan perundang-undangan yang menjalankan ketentuan pasal dalam undang-undang yang memerintahkan, namun secara teknis pembentukan masih diperlukan perbaikan. Adapun terkait dengan permasalahan yang paling pokok yang tengah dihadapi yakni implementasi dari Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penangan Laporan Masyarakat yang tidak terlaksana dengan baik sehingga menimbulkan tunggakan penanganan laporan, diperlukan solusi konkrit berupa dikeluarkannya peraturan dalam kondisi darurat.
ABSTRACT
In order to exercise its authorities, the Judicial Commission must formulate regulations with regard to accepting and handling the public reports. The regulation, since the beginning of the Judicial Commission has been repeatedly amended. As from the Regulation of Judicial Commission Number 2 Year 2005 on Procedures of Supervision of Judges, Judicial Commission Regulation Number 1 of 2006 on Procedures of Supervision of Judges, Judicial Commission Regulation Number 4 Year 2011 on Procedures for Handling of Public Reports, Judicial Commission Regulation Number 4 Year 2013 on the Procedures for Handling Community Reports, and the Judicial Commission Regulation Number 2 Year 2015 on the Procedures for Handling of Community Reports.The amendment of the regulations regarding the acceptance and handling of public report is interesting to examine why and how it can be. The research focused on the formulation on how the evaluation of the formal form of the Judicial Commission Regulation Number 2 Year 2015 on the Procedures for Handling the Report of the Community as a part of the legislation And how is the evaluation of the material substance of Judicial Commission Regulation Number 2 Year 2015 on the Procedures for Handling the Public Report as part of the legislation The research method used is a normative juridical approach to form typology descriptive research that is supported by qualitative data collection tools and analytical methods of data analysis and ultimately a series of these methods will get a descriptive research thesis analysis.After doing the research it is can be concluded that based on the application of formal and material principles of the formulation of laws and regulations, although the Judicial Commission Regulation Number 2 Year 2015 on Handling of Society Report is technically a legislation that implements the provisions of the articles in the law that ordered, yet technically the formation is still needed improvement. As for the most important problems faced by the implementation of the Judicial Commission Number 2 Year 2015 on the Handling of Community Reports that did not perform well so that arrears delinquent report handling, concrete solutions required in the form of issuing regulations in provisional conditions."
2018
T51648
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liza Farihah
"Penelitian ini didasarkan pada wewenang Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung. Penulis ingin melihat hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung dalam rekrutmen hakim agung. Penelitian ini membahas dua permasalahan. Pertama, kedudukan dan peran Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kedua, hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung dalam rekrutmen hakim agung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Komisi Yudisial adalah state auxiliary organ (lembaga negara bantu) yang menunjang Mahkamah Agung. Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung dalam rekrutmen hakim agung tidak berjalan dengan baik karena permasalahan hukum berupa ketidakjelasan pengaturan dan ketiadaan pengaturan mengenai beberapa hal krusial dalam rekrutmen hakim agung.

The thesis is based on the Judicial Commission?s authority to propose the appointment of supreme court justices. Author would like to see the relationship between Judicial Commision and Supreme Court in the recruitment of the Supreme Court justices. This research focus on two main problems. First, the position and role of the Judicial Commission in the state system of Indonesia. Secondly, relationship between Judicial Commision and Supreme Court in the recruitment of the Supreme Court justices. Method used in this research is juridical-normative.
The result of this research shows that the Judicial Commission is an state auxiliary organ to support the Supreme Court. Relationship between Judicial Commision and Supreme Court in the recruitment of the Supreme Court justices does not work well in reality because of legal problems of vagueness and lack of regulation some crucial matters in the justices recruitment.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43348
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lintang Indira Kusuma
"Tesis ini membahas pelaksanaan Penyetaraan Jabatan Administrasi ke dalam Jabatan Fungsional di Indonesia. Melalui penyetaraan jabatan, salah satu area perubahan yang hendak diperbaiki dalam Reformasi Birokrasi adalah Bidang Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia Aparatur. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penyetaraan jabatan administrasi ke dalam jabatan fungsional ditinjau dari segi pengaturan dalam peraturan perundang-undangan dan teori birokrasi serta perkembangan pelaksanaan penyetaraan jabatan di Indonesia beserta kendala yang dihadapi, dan hasil yang diharapkan dari penyetaraan jabatan. Bentuk penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Penelitian yang dilakukan menggunakan data sekunder. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan menggunakan studi dokumen/studi pustaka dari bahan-bahan pustaka. Alat pengumpulan data melalui studi dokumen. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif melalui metode analisis preskriptif analitis. Hasil penelitian adalah sebagai bagian dari upaya reformasi birokrasi, penyetaraan jabatan diatur dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 28 Tahun 2019 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke Dalam Jabatan Fungsional dan Surat Edaran Menteri PAN RB Nomor 382 s.d. 393 Tahun 2019 tentang Langkah Strategis dan Konkret Penyederhanaan Birokrasi. Penyetaraan jabatan administrasi ke dalam jabatan fungsional pada Instansi Pusat, dilaksanakan di 34 Kementerian, 27 Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Sekretariat Lembaga Non Kementerian, Sekretariat Lembaga Negara, dan Lembaga Penyiaran Publik. Sejumlah 23.622 Jabatan Administrasi direkomendasikan untuk penyetaraan ke jabatan fungsional, 21.954 jabatan pengawas yang dialihkan ke jabatan fungsional, namun dalam pelaksanaannya penyetaraab jabatan terkendala dari segi regulasi dan budaya birokrasi

This thesis discusses the Transition process of Administrative Positions to Functional Positions in Indonesia. One of the areas to be improved in Bureaucratic Reforms through this process is the Institutional and Apparatus Human Resources. This research aims to analyze the transition from administrative to functional positions based on the regulating aspect in the legislation and bureaucracy theory along with the development of the transition process in Indonesia and its obstacles, and also the expected results of the process. The method used in this research is juridical normative. This research uses secondary data that are collected by documents/literature review of the materials. Documents review is chosen to be the data collection tool for this research while the approach used is qualitative approach through prescriptive analytics method. The results of this research are a part of bureaucratic reform. The positions transition is regulated under Regulation of the Minister of State Apparatus Empowerment and Bureaucratic Reforms Number 28 of 2019 on Transition from Administrative Positions to Functional Positions and Circular of the Minister of State Apparatus Empowerment and Bureaucratic Reforms Number 382 to 393 of 2019 on Strategic and Concrete Steps for Bureaucracy Simplification. The transition from administrative positions to functional functions in Central Institutions is held in thirty-four Ministries, twenty-seven Non-Ministerial State Institutions, Secretariat of Non-Ministerial Institutions, Secretariat of State Institutions, and Public Broadcasting Institutions. There are 23.622 Administrative Positions recommended to be transitioned to functional positions. However, in the practices, the transition process is hampered by the regulatory and bureaucracy culture aspects"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Lestari
"Penelitian ini bertujuan menganalisis pelaksanaan kebijakan Jabatan Fungsional Administrator Kesehatan di lingkungan Kantor Kementerian Kesehatan dengan menggunakan model analisis Edward III. Implementasi kebijakan berjalan baik bila pelaksanaanya telah sesuai dengan peraturannya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan wawancara mendalam pada pelaksana kebijakan Jabatan Fungsional Adminkes di lingkungan Kantor Kemenkes. Informan dipilih berdasarkan purposive sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan belum berjalan dengan baik terkait komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Faktor-faktor yang menghambat implementasinya adalah sosialisasi; penempatan dan kewenangan Adminkes dalam Unit Kerja; dukungan pimpinan; fasilitas; beban kerja Unit Pembina; koordinasi internal di Kemenkes; dan sistem pengarsipan.

This research aimed to analyze the implementation of Health Administrator Functional Position policy at Ministry of Health office using analytical model from Edward III. Implementation of the policy is assumed to be going well when in accordance with the regulations. This research used qualitative method using in-depth interviews to the executive staff implementing the above decrees at the Ministry of Health office.
The results showed that the policy implementation of Health Administrator as Functional Position at the Ministry of Health needs to be improved in terms of communications, resources, disposition and bureaucratic structure. Factors that hinder the implementation is socialization; placement and Adminkes authority; leadership support; facilities; workload of Unit Supervisors; internal coordination in the Ministry of Health; and archiving systems.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T41559
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>