Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 107850 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Astri Kusuma Dewi
"Latar Belakang. Plantar fasciitis (PF) merupakan penyebab nyeri yang sering terjadi pada tumit. insidensi PF terjadi 2,9 kali lebih banyak pada pasien dengan obesitas. Tatalaksana PF non-operatif, salah satunya adalah dengan low level laser therapy (LLLT). Penelitian yang membuktikan bahwa satu terapi memiliki nilai lebih dibanding terapi yang lain masih sedikit. Tesis ini disusun untuk mengetahui efektivitas low level laser therapy (LLLT) dalam tatalaksana PF dengan obesitas.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain uji acak terkontrol dengan terapi standar yang terdiri dari latihan aerobik dan latihan peregangan serta penguatan fasia plantar, sebagai kontrol. Semua subjek penelitian (n=14), yaitu. orang pada kelompok perlakuan, dan. orang pada kelompok kontrol. Subjek penelitian adalah pasien yang telah didiagnosis PF dengan obesitas, unilateral PF, indeks masa tubuh (IMT). 25, nyeri tumit dengan visual analogue scale (VAS). - 7, nyeri. 3minggu, dengan bukti tidak ada trauma akut usia 30-60 tahun, Moca ina normal ≥26, dan bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini dan telah menandatangani lembar persetujuan penelitian (informed consent) setelah mendapat penjelasan. Pada awal penelitian dilakukan pemeriksaan ketebalan fasia plantar dengan menggunakan ultrasonografi (USG), pengisian foot and ankle outcome score (FAOS), dan nilai VAS. Kelompok perlakuan mendapatkan terapi LLLT dan terapi standar. Pemberian LLLT dengan dosis. J/cm2 pada. area. Laser diberikan dengan teknik grinding. Kelompok kontrol mendapatkan terapi standar saja. Intervensi diberikan sebanyak. kali dalam seminggu, selama. minggu. Nilai VAS dievaluasi setiap akhir minggu. Evaluasi nilai FAOS dan ketebalan fasia plantar dilakukan kembali setelah intervensi selesai.
Hasil. Penurunan nilai VAS secara signifikan bermakna pada kedua kelompok (p 0,04). Perubahan ketebalan fasia plantar secara statistik berbeda bermakna antara kedua kelompok. p 0,01). Nilai FAOS pada kategori nyeri menurun secara statistik bermakna (p 0,005).
Simpulan. Pemberian LLLT selama. minggu, efektif menurunkan nilai VAS, ketebalan fasia plantar, dan FAOS kategori nyeri pada pasien PF dengan obesitas.

Background: Plantar fasciitis (PF) is. common cause of pain in the heel. PF incidence occurs 2.9 times more in patients with obesity. Non-operative PF management, one of which is with low level laser therapy (LLLT). Research that proves that one therapy has more value than the other therapy is still. little. This thesis was aimed to determine the effectiveness of low level laser therapy (LLLT) in the management of PF with obesity.
Method: The study used. randomized controlled trial design with standard therapies consisting of aerobic exercise, stretching and strengthening exercise of plantar fascia, as control. All study subjects (n=14),. people in the treatment group, and. people in the control group. The subjects of the study were patients who had been diagnosed with PF with obesity, unilateral PF, body age index (BMI). 25, heel pain with visual analogue scale (VAS). - 7, pain. 3weeks, with evidence of no acute trauma aged 30-60 years, Moca ina normal ≥26, and willing to participate in this study and have signed. research approval sheet (informed consent) after being briefed. At the beginning of the study, plantar fascia thickness examination was conducted using ultrasound (USG), foot and ankle outcome score (FAOS), and VAS. Treatment groups get LLLT therapy and standard therapy. Administration of LLLT at. dose of. J /cm2 in. areas. Lasers are provided with grinding techniques. Intervention is given. times. week, for. weeks. VAS are evaluated at the end of each week. Evaluation of FAOS values and plantar fascia thickness is performed again after the intervention is completed.
Result: The decrease in VAS was significantly significant in both groups (p 0.04). Changes in plantar fascia thickness are statistically different significantly between the two groups. p 0.01). FAOS values in the pain category decreased statistically significant (p 0.005).
Conclusion: Administration of LLLT for. weeks, effectively lowering VAS, plantar fascia thickness, and FAOS pain category in PF patients with obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ibrahim Agung
"LATAR BELAKANG: Sindroma nyeri miofasial merupakan kondisi nyeri muskuloskeletal yang ditandai dengan titik picu yang hipersensitif, serta merupakan keluhan tersering dalam praktek klinis. Gejala dari kondisi ini adalah nyeri, peningkatan ambang rangsang nyeri serta keterbatasan lingkup gerak sendi. Terapi definitif terbaik dalam tata laksana keluhan ini belum didapatkan, meskipun banyak terapi yang sudah sering digunakan, yaitu terapi laser tenaga rendah yang lebih modern dan bersifat non invasif serta terapi dry needling. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas terapi laser tenaga rendah dan terapi dry needling pada sindroma nyeri miofasial upper trapezius.
METODE: Desain penelitian ini adalah uji klinis acak terkontrol. Populasi terjangkau adalah pria dan wanita berusia 20-55 tahun dengan sindroma nyeri miofasial otot upper trapezius yang datang ke poliklinik rehabilitasi medik Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang memenuhi kriteria penelitian. Pemilihan sampel dilakukan secara consecutive sampling dan dibagi menjadi dua kelompok secara randomisasi. Terapi dilakukan selama 4 minggu, kelompok pertama diberi terapi laser sebanyak 3 kali/minggu, sedangkan kelompok kedua diberi terapi dry needling 1 kali/minggu. Penurunan derajat nyeri dinilai menggunakan VAS Visual Analogue Scale, penilaian peningkatan ambang rangsang nyeri menggunakan PTM Pain Threshold Meter, dan pengukuran lingkup gerak sendi servikal menggunakan goniometer.
HASIL: Sebanyak 31 subyek mengikuti terapi sampai selesai, kelompok terapi laser 15 orang dengan VAS 6 dan kelompok terapi dry needling 16 orang dengan median VAS 6. Setelah 4 minggu didapatkan penurunan derajat nyeri pada kedua kelompok, penurunan VAS pada kelompok terapi laser lebih tinggi, namun perbedaan tersebut tidak bermakna signifikan. Begitu pula ada penilaian ambang rangsang nyeri serta lingkup gerak sendi servikal didapatkan peningkatan pada kedua kelompok, namun tidak didapatkan perbedaan yang signifikan.
KESIMPULAN: Terapi laser tenaga rendah sama efektifnya dalam menurunkan derajat nyeri, meningkatkan ambang rangsang nyeri dan meningkatkan lingkup gerak sendi servikal pada sindroma nyeri miofasial otot upper trapezius dibandingkan dengan terapi dry needling.

BACKGROUND: Myofascial pain syndrome is a musculoskeletal problem characterized by a hypersensitive trigger point, and it is a most common problem in clinical practice. Pain, increasing of pain threshold and range of motion limitation are most symptoms of myofascial pain. Definitive therapy in the treatment of this complaint has not been determined, despite many therapies that have been commonly used, namely low power laser therapy that is more modern and non invasive and dry needling therapy. This study aimed to compare the effectiveness of low level laser therapy and dry needling therapy in subjects with myofascial pain syndrome of the upper trapezius muscle.
METHODS This study design is a randomized controlled trial. Men and women aged 20 55 years with myofascial pain syndrome of upper trapezius muscle who attend Physical Medicine and Rehabilitation Clinic at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, who met the study criteria. Sample selection is done by consecutive sampling and divided into two randomized groups. Treatment is done for 4 weeks, the first group were given low laser therapy for 3 times week, while the second group was given dry needling therapy once week. A decrease in the degree of pain was assessed using VAS Visual Analogue Scale, increasing pain threshold using PTM Pain Threshold Meter, and measurement of the cervical range of motion using a goniometer.
RESULTS A total of 31 subjects completed the therapy, low laser therapy group 15 subjects with VAS 6 and dry needling therapy group 16 subjects with a median VAS 6. After 4 weeks of therapy obtained a decrease in the degree of pain in both groups, the decline of VAS in the low laser therapy was greater, but the difference was not significant. Similarly, there were an incrseaing of pain threshold and cervical range of motion in both groups, but did not obtain a significant difference.
CONCLUSION Low level laser therapy compared to dry needling is equally effective in reducing pain, increasing the pain threshold and cervical range of motion on myofascial pain syndrome of the upper trapezius muscle.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Ravina Naomi
"Perawatan mukositis oral dengan low-level laser therapy. Radiasi dan kemoterapi merupakan modalitas terapi untuk kanker regio leher dan kepala. Namun, terapi tersebut diketahui mempunyai efek samping pada individu yang menjalaninya. Mukositis oral merupakan salah satu efek samping terapi yang paling sering terjadi. Terjadinya mukositis oral akan memberikan pengaruh pada kualitas hidup yang akhirnya berimpak pada hasil perawatan secara keseluruhan. Spektrum klinis mukositis oral dapat terlihat mulai dari penipisan lapisan mukosa, rasa tidak nyaman sampai rasa sakit pada mukosa yang menyebabkan gangguan pengunyahan ditambah dengan peningkatan resiko terjadinya infeksi. Beberapa upaya penatalaksanaan mukositis oral telah direkomendasikan oleh Multinational Association for Supportive Care in Cancer (MASCC)/International Society for Oral Oncology (ISOO). Salah satu dari upaya tersebut adalah penggunaan low-level laser (LLLT). Ini merupakan suatu cara baru untuk mengurangi keparahan mukositis oral yang sudah mulai banyak digunakan walaupun mekanisme aksi yang jelas masih dalam penelitian. Studi pustaka ini bertujuan untuk memberikan informasi perkembangan penggunaan LLLT dalam penatalaksanaan mukositis oral.

Radiation and chemotherapy are the treatment options for head and neck cancer. Several side effects related to those treatment have been shown. Oral mucositis is a common side effect in patients undergoing those treatment. The presence of oral mucositis in these patients would influencing quality of life therefore compromising treatment outcome. The spectrum of oral mucositis can be clinically seen as thinning of oral mucosa, oral discomfort to painful oral lesion causing mastication impairment with increasing risk of infection. The Multinational Association for Supportive Care in Cancer (MASCC)/International Society for Oral Oncology (ISOO) has recommended some means that have important role in the management oral mucositis. The low-level laser therapy (LLLT) is a relatively new way of reducing the severity of oral mucositis, although the true mechanism of action is still under study. This review aimed in exploring update about the usage of LLLT for oral mucositis treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2010
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Purwitasari Darmaputri
"Latar Belakang: Luka kaki diabetes merupakan masalah paling umum pada penyandang DM. Tanpa perawatan yang tepat, luka dapat mengakibatkan infeksi, amputasi atau kematian. Tingkat mortalitas 3 tahun setelah amputasi akibat luka diabetes tidak banyak berubah dalam 30 tahun terakhir, walaupun dengan kemajuan medis dan pembedahan. LLLT merupakan salah satu terapi adjuvan yang dapat mempercepat penyembuhan luka kronis seperti luka diabetes, namun belum ada pedoman yang pasti mengenai dosis LLLT. Hingga saat ini, belum ada penelitian di Indonesia yang membandingkan densitas energi terhadap penyembuhan luka diabetes.
Tujuan: Mengetahui perbedaan efektivitas penyembuhan luka kaki diabetes dengan kedua densitas energi.
Metode: Penelitian ini adalah studi eksperimental dengan 28 subjek dengan luka kaki diabetes yang dirandomisasi. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif. Kelompok A mendapat perawatan luka rutin dan LLLT 5 J/cm2. Kelompok B mendapat perawatan luka rutin dan LLLT 10 J/cm2. Intervensi dilakukan selama 4 minggu, dengan frekuensi 2x/minggu. Penilaian yang diambil adalah selisih ukuran luka dan kecepatan penyembuhan luka setiap minggu.
Hasil: Selisih ukuran luka setelah intervensi 4 minggu antara kelompok A dan kelompok B adalah 4.15 mm2 dan 7.5 mm2 (p=0.178). Total kecepatan pemulihan luka pada kelompok A dan kelompok B adalah 4.15 (-10-34.5) mm2/4 minggu and 7.5 (-2.8-34) mm2/4 minggu (p=0.168).
Kesimpulan: Pemberian LLLT dengan 5 J/cm2 maupun 10 J/cm2 tidak memberikan efek yang berbeda bermakna secara statistik terhadap penyembuhan luka kaki diabetes.

Background: Diabetic foot ulcer is one of the most common complications in DM patients. Without proper management, the ulcer may lead to infection, amputation or even death. Three-year mortality rate after the amputation due to diabetic ulcer has not changed much for the last thirty years, despite the advancement in medical and surgical aspects. LLLT is one of the adjuvant therapies that are used to enhance healing of chronic wound, such as diabetic ulcer, however there is no established guideline for LLLT dosage. Thus far, there has been no research conducted in Indonesia comparing the energy density of LLLT on diabetic foot ulcer healing.
Aim: To compare the effectiveness between two energy densities in diabetic foot ulcer healing.
Method: This research is an experimental study on 28 randomized subjects with diabetic foot ulcer. Sampling was done consecutively. Group A received standard treatment of ulcer and LLLT 5 J/cm2. Group B received standard treatment of ulcer and LLLT 10 J/cm2. Intervention was carried out twice a week for 4 weeks. The outcomes are wound size and healing rate every week.
Result: The difference of wound size between group A and group B after 4 weeks were 4.15 mm2 and 7.5 mm2 (p=0.178). The healing rate of group A and group B were 4.15 (-10-34.5) mm2/4 weeks and 7.5 (-2.8-34) mm2/4 weeks (p=0.168).
Conclusion: There was no statistically significant difference between group receiving LLLT 5 J/cm2 or 10 J/cm2 in diabetic foot ulcer healing."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sebayang, Robby Gunawan
"ABSTRAK
Obesitas merupakan penurun kualitas hidup, menggangu emosi dan keuangan individu, keluarga dan sosial mereka. Subjek juga akan mengalami peninhgkatan resiko yang berkaitan dengan kondisi seperti penyakit jantung koroner, dibetes tipe II, stroke, osteoartritis dan kanker. Waist hip ratio (WHR), gambaran gula dan insulin dan skor kualitas hidup merupakan indeks yang sering digunakan dalam mengontrol obesitas. Modifikasi diet, intervensi gaya hidup, intervensi farmakologi dan pembedahan merupakan pilihan terapi obesitas, namun pilihan terapi yang aman dan efektif sangat diperlukan. Terapi akupunktur  secara signifikan dapat menurunkan indeks massa tubuh dengan mereduksi jaringan lemak viseral abdomen, yang mengarah ke regulasi metabolisme lemak. Laserpunktur  merupakan intervensi yang menstimulasi titik akupunktur tradisional mengguankan terapi laser. Dibandingkan dengan akupunktur manual, laserpunktur memiliki berbagai kelebihan seperti aplikasi yang mudah, dosis yang dapat tepat diukur , tidak  nyeri dan tidak invasif. Penelitian ini menilai efek kombinasi laserpunktur dan intervensi diet terhadap kadar gula darah puasa, insulin, waist hip ratio (WHR) dan skor kualitas hidup pasien obesitas. Tiga puluh delapan pasien dibagi secara acak menjadi dua kelompok, kelompok laserpunktur dan intervensi diet (n=19) dan kelompok laserpunktur sham dan intervensi diet (n=19). Kedua kelompok menerima intervensi diet dan sesi  laserpunktur yang sama, 3 kali/minggu selama 4 minggu. Pengukuran kadar gula darah puasa, insulin, waist hip ratio (WHR) dan skor kualitas hidup dilakukan sebelum dan sesudah sesi terapi. Hasil menunjukkan terdapat perbedaan bermakna pada waist hip ratio (WHR) (p=0,000, CI 95%) dan skor kualitas hidup (p=0,000, CI 95%) antara kelompok laserpunktur dan intervensi diet dengan kelompok laserpunktur sham dan intervensi diet. Kelompok laserpunktur dan intervensi diet juga menunjukkan adanya perbedaan bermakna pada kadar gula darah puasa  (p=0,000, CI 95%) dan insulin (p=0,000, CI 95%) sebelum dan sesudah sesi terapi.  Penemuan ini menunjukkan bahwa kombinasi laserpunktur dan intervensi diet memberikan efek yang baik terhadap kadar gula darah puasa, insulin, waist hip ratio (WHR) dan skor kualitas hidup pada pasien obesitas.
ABSTRAK

ABSTRACT
Obesity is a detriment to quality of life, places emotion and financial burden on the individual, their families, and society. Subjects also have an increased risk of associated conditions, such as coronary heart disease, type II diabetes, stroke, osteoarthritis, and cancers. Waist hip ratio (WHR), Glucose and insulin levels, and quality of life score are the indices commonly used for controlling obesity. Dietary modification, lifestyle interventions, pharmacological interventions, and surgery are treatment choices for obesity, but more safe and effective treatment options are needed. Acupuncture therapy significantly reduces body mass index by reducing the abdominal visceral adipose tissue content, which lead to regulating lipid and glucose metabolism. Laserpuncture is an intervention that stimulates traditional acupoints using laser therapy. Compared to manual acupuncture, laserpuncture has multiple advantages, including ease of application, dose measurement precision, painlessness, and noninvasiveness. This study investigates the effect of combined laserpuncture and diet intervention on fasting blood glucose levels, insulin levels,waist hip ratio (WHR), Quality of life score in obese patient. Thirty eight patients were divided randomly into two groups, laserpuncture with diet intervention group (n=19) and sham laserpuncture with diet intervention group (n=19). Both group received the same diet intervention and sessions of laserpuncture, 3 times/week for 4 weeks. Fasting blood glucose levels, insulin levels,waist hip ratio (WHR), Quality of life score were assessed before and after the treatment course. The result shows there is a statiscally significant difference on waist hip ratio (p=0,000, CI 95%) and quality of life score (p=0,000, CI 95%) between the laserpuncture with diet intervention group and sham laserpuncture with diet intervention group. The laserpuncture with diet intervention group also shows a statiscally significant difference on blood glucose levels (p=0,000, CI 95%) and insulin level (p=0,000, CI 95%) before and after treatment course. These findings suggest that combined laserpuncture and diet intervention has good effect on fasting blood glucose levels, insulin levels,waist hip ratio (WHR), Quality of life score in obese patient."
2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Mulia
"Laser telah menjadi teknologi yang bermanfaat dalam tatalaksana inkompetensi katup vena terutama pada vena-vena superfisial. Ablasi termal endovena menggunakan teknologi laser yang dipandu oleh ultrasonografi memberikan alternatif terapi selain tindakan bedah vena saphena. Tingkat keberhasilan yang tinggi, komplikasi kecil, dan teknik invasif minimal merupakan kelebihan dari teknik ini dibandingkan dengan pengobatan terdahulu. Pada ilustrasi kasus ini, kami jabarkan terapi laser endovena untuk pengobatan varises vena saphena magna. Pengembangan terapi laser endovena masih diperlukan,melalui pemantauan jangka panjang dan sistem pelaporan yang seragam maka hal ini dapat terwujud.

Laser has become a useful technology in treating venous incompetence especially superficial venous disease. Introduction of endovenous thermal ablation through endovenous laser therapy helped by duplex ultrasound guidance has provided an alternative for traditional saphenous vein stripping. High success rate, minor complications, and minimally invasive technique provide the advantages over traditional treatment. In this case illustrated, the endovenous laser therapy used for great saphenous varicose vein. Yet, future development in endovenous laser therapy is still needed and only long term follow-up and uniform reporting standards will provide the answers."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aura Milani Djamal
"Latar Belakang: Plantar fasciitis merupakan penyebab tersering dari nyeri tumit inferior. Nyeri dapat menjadi kronik walaupun sudah mendapatkan terapi konservatif yang optimal. Perbandingan efektivitas antara ESWT dan terapi Ultrasound masih belum diketahui dengan jelas.
Metode: Penelitian ini merupakan studi eksperimental. Sebanyak 24 subjek plantar fasciitis dengan rentang usia 26-43 tahun yang telah terdiagnosis melalui USG mengikuti penelitian ini. Subjek dikelompokkan secara konsekutif ke dalam grup ESWT GE, n=13 dan grup Ultrasound UG, n=11 dengan durasi intervensi tiga minggu. Keluaran primer yang dinilai adalah nyeri palpasi dan nyeri pagi hari pada area medial tuberositas calcaneus. Keluaran sekundernya adalah waktu tempuh uji jalan 15 meter.
Hasil: Masing-masing grup menunjukkan perbaikan nyeri yang signifikan secara statistik tanpa adanya perbedaan bermakna antargrup. Waktu tempuh uji jalan 15 meter mengalami perbaikan yang tidak signifikan secara statistik pada kedua grup dan tidak terdapat perbedaan signifikan antargrup.
Kesimpulan: ESWT sama efektifnya dengan terapi Ultrasound dalam memberikan perbaikan nyeri pada plantar fasciitis.

Background: Plantar fasciitis is the most common cause of inferior heel pain. It may become chronic pain despite optimal conservative treatment. Comparison of effectiveness between ESWT an Ultrasound still unclear.
Methods: Experimental study on plantar fasciitis patient that diagnosed using Ultrasonography with range of age 26 63 years divided consecutively into ESWT group EG ESWT and stretching fascia plantaris gastrocnemius and Ultrasound group UG US and stretching fascia plantaris gastrocnemius for 3 weeks intervention. The primary outcomes were pain on palpation and morning pain on medial of calcaneal tuberosity. The secondary outcome was duration in performing 15 meters walk test.
Results: 24 participants EG n 13, UG n 11 enrolled in this study. Mean age of EG 46.5 years and CG 43 years. Each group showed statistically significant improvement of pain reduction with no significant different between group. The duration of 15 meters walk test improved nonsignificant in each group dan did not show significant difference between group.
Conclusions: ESWT was no more effective than Ultrasound in reducing pain in patient with plantar fasciitis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Carolin
"Obesitas merupakan penurun kualitas hidup, menggangu emosi dan keuangan individu, keluarga dan sosial mereka. Subjek juga akan mengalami peninhgkatan resiko yang berkaitan dengan kondisi seperti penyakit jantung koroner, dibetes tipe II, stroke, osteoartritis dan kanker. Indeks massa tubuh, gambaran lemak dan skor nafsu makan merupakan indeks yang sering digunakan dalam mengontrol obesitas. Modifikasi diet, intervensi gaya hidup, intervensi farmakologi dan pembedahan merupakan pilihan terapi obesitas, namun pilihan terapi yang aman dan efektif sangat diperlukan.
Terapi akupunktur secara signifikan dapat menurunkan indeks massa tubuh dengan mereduksi jaringan lemak viseral abdomen, yang mengarah ke regulasi metabolisme lemak. Laserpunktur merupakan intervensi yang menstimulasi titik akupunktur tradisional mengguankan terapi laser. Dibandingkan dengan akupunktur manual, laserpunktur memiliki berbagai kelebihan seperti aplikasi yang mudah, dosis yang dapat tepat diukur , tidak nyeri dan tidak invasif.
Penelitian ini menilai efek kombinasi laserpunktur dan intervensi diet terhadap kadar high density lipoprotein, trigliserida, indeks massa tubuh dan skor nafsu makan pasien obesitas. Tiga puluh delapan pasien dibagi secara acak menjadi dua kelompok, kelompok laserpunktur dan intervensi diet (n = 19) dan kelompok laserpunktur sham dan intervensi diet (n = 19). Kedua kelompok menerima intervensi diet dan sesi laserpunktur yang sama, 3 kali/minggu selama 4 minggu. Pengukuran kadar high density lipoprotein, trigliserida, indeks massa tubuh dan skor nafsu makan dilakukan sebelum dan sesudah sesi terapi.
Hasil menunjukkan terdapat perbedaan bermakna pada indeks massa tubuh (p=0,000, CI 95%) dan skor nafsu makan (p=0,000, CI 95%) antara kelompok laserpunktur dan intervensi diet dengan kelompok laserpunktur sham dan intervensi diet. Kelompok laserpunktur dan intervensi diet juga menunjukkan adanya perbedaan bermakna pada kadar high density lipoprotein (p=0,000, CI 95%) dan trigliserida (p=0,000, CI 95%) sebelum dan sesudah sesi terapi. Penemuan ini menunjukkan bahwa kombinasi laserpunktur dan intervensi diet memberikan efek yang baik terhadap kadar high density lipoprotein, trigliserida, indeks massa tubuh dan skor nafsu makan pada pasien obesitas.

Obesity is a detriment to quality of life, places emotion and financial burden on the individual, their families, and society. Subjects also have an increased risk of associated conditions, such as coronary heart disease, type II diabetes, stroke, osteoarthritis, and cancers. Body mass index, lipid profile, and appetite score are the indices commonly used for controlling obesity. Dietary modification, lifestyle interventions, pharmacological interventions, and surgery are treatment choices for obesity, but more safe and effective treatment options are needed.
Acupuncture therapy significantly reduces body mass index by reducing the abdominal visceral adipose tissue content, which lead to regulating lipid metabolism. Laserpuncture is an intervention that stimulates traditional acupoints using laser therapy. Compared to manual acupuncture, laserpuncture has multiple advantages, including ease of application, dose measurement precision, painlessness, and noninvasiveness.
This study investigates the effect of combined laserpuncture and diet intervention on high density lipoprotein level, trigliceride, body mass index, and appetite score in obese patient. Thirty eight patients were divided randomly into two groups, laserpuncture with diet intervention group (n = 19) and sham laserpuncture with diet intervention group (n =19). Both group received the same diet intervention and sessions of laserpuncture, 3 times/week for 4 weeks. Body mass index measurement, high density lipoprotein levels, trigliceride levels, and appetite score were assessed before and after the treatment course.
The result shows there is a statiscally significant difference on body mass index (p=0,000, CI 95%) and  appetite score (p=0,000, CI 95%) between the laserpuncture with diet intervention group and sham laserpuncture with diet intervention group. The laserpuncture with diet intervention group also shows a statiscally significant difference on high density lipoprotein level (p=0,000, CI 95%) and trigliceride level (p=0,000, CI 95%) before and after treatment course. These findings suggest that combined laserpuncture and diet intervention has good effect on high density lipoprotein level, trigliceride, body mass index, and appetite score in obese patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Winanda
"ABSTRAK
Latar belakang: Prevalensi obesitas di seluruh dunia telah diketahui mengalami peningkatan yang signifikan dalam tiga dekade terakhir. Tingginya prevalensi obesitas tersebut dapat memengaruhi peningkatan prevalensi pasien luka bakar dengan obesitas yang dirawat di unit luka bakar. Pasien luka bakar dengan obesitas mengalami fenomena 'second hit', yaitu peningkatan respon hipermetabolisme pasca luka bakar akibat inflamasi kronik yang sebelumnya sudah dialami. Masalah tersebut memiliki kaitan erat dengan nutrisi sehingga membutuhkan terapi medik gizi yang optimal untuk memodulasi respon hipermetabolisme yang meningkat pada pasien luka bakar dengan obesitas. Metode: Pada serial kasus ini terdapat empat pasien luka bakar berat karena api. Keempat pasien tersbeut memiliki status nutrisi obes berdasarkan kriteria indeks massa tubuh IMT menurut WHO untuk Asia Pasifik. Target kebutuhan energi dihitung menggunakan formula estimasi Xie dengan berat badan kering. Terapi medik gizi diberikan sesuai panduan terapi medik gizi pasien sakit kritis berupa nutrisi enteral dini dengan target energi awal 20-25 kcal/kg BB dengan target protein 1,5-2 gram/kg BB. Terapi medik gizi selanjutnya diberikan sesuai dengan klinis dan toleransi pasien. Mikronutrien yang diberikan berupa vitamin C, vitamin B, asam folat, dan seng.Hasil: Tiga pasien meninggal selama perawatan karena syok sepsis yang tidak teratasi, sedangkan satu pasien mengalami perbaikan luas luka bakar dari 47 menjadi 36 luas permukaan tubuh LPT serta peningkatan kapasitas fungsional. Kesimpulan: Status nutrisi obesitas pada pasien dalam serial kasus ini dapat menjadi faktor yang memperberat penyulit yang dialami. Terapi medik gizi yang adekuat dapat menunjang proses penyembuhan luka serta meningkatkan kapasitas fungsional.

ABSTRACT<>br>
Background The prevalence of obese patients presenting to burn unit facilities is expected to increase over the next three decades due to global epidemic of obesity. Given that the metabolic derrangements seen in burn mirror those found in association in obesity, it is plausible that excess adipose tissue contributes to a 'second hit' phenomenon in patients affected by burn injury. Optimal and adequate medical nutrition therapy is required in order to modulate the inflammatory and metabolic response, therefore enhance burn wound healing.Methods The current case series consist of four severly flame burned patient. The nutritional status of these patients was moderately obese according to WHO criteria for Asia Pacific. Enery requirement was calculated using the Xie formula based on patient rsquo s dry weight. Medical nutrition therapy was initiated with eraly enteral nutrition started at 20-25 kcal kg day with protein target at 1,5-2 gram kg day. Micronutrient supplementation was also given to these patients. Results Three patients died during hospitalization due to septic shock. The last patient had satisfactory wound healing and improved functional capacity at discharge. Kesimpulan: Obesity in this case series may be one of the risk factor for mortality. Adequate medical nutrition therapy inline with patient's clinical condition leads to enhancement healing process and improved functional capacity."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Thalia Mufida
"ABSTRAK
Obesitas merupakan penyakit yang banyak ditemukan baik di Indonesia maupun di dunia. Obesitas dapat menyebabkan berbagai komplikasi, dan salah satu komplikasi yang sering terjadi adalah low back pain LBP . Obesitas dan LBP berpengaruh terhadap fungsi keseimbangan seseorang, dan apabila keseimbangan terganggu, pasien akan mudah terjatuh dan aktivitas sehari-harinya terganggu sehingga kualitas hidup menurun. Dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap hubungan antara derajat obesitas dengan keseimbangan postural pada wanita berusia di atas 40 tahun yang mengalami LBP. Desain penelitian ini adalah cross sectional dengan mengambil data dari rekam medik sejumlah 60 sampel. Data derajat obesitas dan keseimbangan hasil pemeriksaan Romberg dimasukkan dalam tabel 2x2 dan di analisis dengan metode chi square. Hasil yang ditemukan adalah terdapat hubungan antara derajat obesitas dengan keseimbangan postural pada wanita berusia di atas 40 tahun yang mengalami LBP p < 0,05 . Odds ratio antara obesitas derajat 1 dibandingkan derajat 2 untuk memiliki keseimbangan yang baik adalah 3,755. Hal tersebut dapat terjadi akibat adanya penurunan sensitivitas pada mekanoreseptor plantar, dan kondisi tulang belakang yang hiperlordotik sehingga keseimbangan terganggu

ABSTRACT
Obesity can leads to many complications one of the most common complication is low back pain LBP . Obesity and LBP can affect postural balance, and if postural balance is disturbed, then it is prone to fall and it causes hardship when doing daily activities. The purpose of this study is to find out the correlation between degree of obesity and postural balance on obese women aged 40 and above that also experience low back pain. This is a cross sectional study. Data of the patient body mass index and postural stability Romberg rsquo s test result are obtained from RSCM rsquo s patient rsquo s medical records. The data are then analyzed with chi square method. After the analysis, it is found that there is an association between degree of obesity and postural balance on obese women aged 40 and above that also experience low back pain p 0.05 . The odds ratio of 1st degree obesity compared with 2nd degree obesity to have better balance is 3.755. Further explanation of the result is obesity patient tend to have decreased plantar rsquo s mechanoreceptor sensitivity because it obtained excessive pressure from the body weight. Also obesity and LBP cause hiperlordotic position of the spine. Those two mechanisms cause disturbance in balance.Keywords obesity low back pain postural balance female aged 40 and above "
2016
S70395
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>