Ditemukan 40533 dokumen yang sesuai dengan query
Bunga Anastasia Salvia Salsabila
"Dalam memberikan pinjaman, pemberi pinjaman seperti bank maupun lembaga pembiayaan lainnya mensyaratkan adanya pemberian jaminan dari penerima pinjaman. Salah satu bentuk lembaga jaminan yang ramai diminati oleh masyarakat yaitu jaminan fidusia. Salah satu ciri khas dari jaminan fidusia yaitu kemudahan bagi Penerima Fidusia untuk mengeksekusi objek jaminan apabila Pemberi Fidusia melakukan cidera janji. UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memperbolehkan Penerima Fidusia untuk melakukan parate eksekusi atau mengeksekusi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri, yaitu dengan tanpa campur tangan pengadilan. Pada tahun 2019, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 terkait pengujian Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Mahkamah Konstitusi menafsirkan bahwa: pertama, cidera janji tidak dapat ditentukan secara sepihak oleh kreditur, melainkan harus disepakati oleh kedua belah pihak, atau atas dasar upaya hukum lain yang menentukan telah terjadinya cidera janji. Kedua, Apabila debitur menolak untuk menyerahkan objek jaminan fidusia secara sukarela, maka pelaksanaan eksekusinya harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam skripsi ini, penulis menjelaskan implikasinya berdasarkan analisa dari dua putusan pengadilan terkait eksekusi jaminan fidusia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, yaitu Putusan No.50/Pdt/2020/PT KDI dan Putusan No.17/Pdt.Plw/2020/PN.Pml. Skripsi ini
membahas tentang penafsiran Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUUXVII/ 2019 dan implikasinya terhadap eksekusi jaminan fidusia.
In providing loans, lenders such as banks and other financing institutions require the provision of guarantees from the loan recipient (The borrower). Fiduciary guarantee is a form of security over movable property that is in great demand by the public. One of the characteristics of the fiduciary guarantee is that lenders can easily execute the object of the guarantee if the recipient (the borrower) breaches the contract. UU no. 42 of 1999 regarding the Fiduciary Guarantee allows the Fiduciary Recipient to execute the object of the fiduciary guarantee on his own power, that is, without court intervention. In 2019, the Constitutional Court issued the Constitutional Court Decision Number 18/PUU-XVII/2019 regarding the judicial review of Article 15 paragraph (2) and paragraph (3) of UU No. 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantee execution. The Constitutional Court interprets that: first, the breach of contract cannot be determined unilaterally by the creditor, but must be agreed upon by both parties, or on the basis of other legal remedies that determine that the default (breach of contract) has occurred. Second, if the debtor refuses to voluntarily submit the object of fiduciary security, then the execution must be carried out just like the execution procedure of a court decision which has permanent legal force. This study explains the implications based on the analysisof two court decisions regarding the execution of fiduciary guarantees after the Constitutional Court Decision Number 18/PUU-XVII/2019, namely VerdictNo.50/Pdt/2020/PT KDI and Verdict No.17/Pdt.Plw/2020/PN.Pml. This thesis discusses the interpretation of the Constitutional Court Decision Number 18/PUUXVII/ 2019 and its implications for the execution of fiduciary guarantees."
Depok: Fakultas Hukum, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Muhammad Tun Samudra
"Sebelum terbitnya putusan MK. No. 18/PUU-XVII/2019, parate eksekusi Jaminan Fidusia kerap dilakukan oleh Pemegang Fidusia dengan kekuasaan sendiri baik dengan persetujuan maupun tanpa persetujuan Pemberi Fidusia/Nasabah. Namun, setelah lahirnya putusan MK. No. 18/PUU-XVII/2019, pelaksanaan parate eksekusi Jaminan Fidusia harus didasarkan dengan kesepakatan antara Pemegang dan Pemberi Fidusia/Nasabah mengenai wanprestasi dalam perjanjian pokoknya serta Pemberi Fidusia bersedia menyerahkan barang Jaminan Fidusia kepada Pemegang Fidusia secara sukarela untuk dijual melalui lelang. Istilah kerelaan adalah hal yang baru dalam parate eksekusi Jaminan Fidusia yang berdasarkan hukum positif. Istilah kerelaan dikenal dalam hukum Islam yang merupakan salah satu rukun dalam akad, sehingga menimbulkan pertanyaan bagaimana esensi prinsip kerelaan dalam parate eksekusi Jaminan Fidusia dalam putusn MK tersebut dan kesesuaiannya dengan prinsip kerelaan dalam hukum Islam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif yang bersifat deskriptif analitis dan menggunakan alat pengumpulan data berupa data sekundar yang meliputi bahan hukum primer dan sekunder. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa esensi kerelaan dalam putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 yakni tidak boleh ada pihak yang dirugikan dan disakiti dari pelaksanaan parate eksekusi Jaminan Fidusia. Kewenangan Pemegang Fidusia untuk melakukan eksekusi Jaminan Fidusia atas kekuasaan sendiri tetap melekat sepanjang Pemberi Fidusia/Nasabah mengakui bahwa ia telah wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan barang jaminan kepada Pemegang Fidusia. Prinsip Kerelaan dalam parate eksekusi Jaminan Fidusia sesuai dan sejalan dengan prinsip hukum Islam dalam rangka menjaga kemaslahatan bagi Pemegang dan Pemberi Fidusia/Nasabah.
Before the Constitutional Court's decision Number 18/PUU-XVII/2019 came out, the execution of fiduciary guarantees was often carried out unilaterally by fiduciaries with or without agreement from the debitor. However, after the Constitutional Court's decision Number 18/PUU-XVII/2019, the implementation of the fiduciary guarantee execution parate must be based on an agreement between the fiduciaries and debitor about injures the promise in the main agreement and the debitor is willing to give fiduciary collateral to the fiduciaries voluntarily to be sold through auction. The term of willingness is a new thing in the execution of fiduciary guarantees based on positive law. The term willingness is known in Islamic law which is one of the pillars in the contract, thus raising the question of how the essence of the principle of willingness in the execution of fiduciary guarantees is in accordance with the principle of willingness in Islamic law. The method used in this research is a normative research that is descriptive analytical and uses data collection tools in the form of secondary data which includes primary and secondary legal materials. Based on the research that has been done, it was found that the essence of willingness in the Constitutional Court's decision Number 18/PUU-XVII/2019 is there is no side should be harmed and hurt from the implementation of the fiduciary guarantee execution parate. The authority of fiduciaries to execute the fiduciary guarantee on their own rules remains attached as long as the debitor acknowledges that they have injures the promise and voluntarily give the fiduciary collateral to the fiduciaries. The principle of Willingness in the execution of fiduciary guarantees is in accordance with and in line with the principles of Islamic law in order to maintain the benefit of the fiduciaries and debitor."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Manalu, Evanto Pandora
"Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 membuat keadaan hukum yang baru terkhususnya kepada melaksanakan eksekusi jaminan fidusia. Dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia tersebut tidak sedikit debitur yang tidak berkenan dilakukan eksekusi oleh kreditur, sehingga debitur melakukan gugatan terhadap Pengadilan Negeri, namun hasilnya Pengadilan Negeri memberi pendapat yang beragam dalam putusannya. Rumusan masalah dalam penelitian ini terbagi atas bagaiman pelaksanaan dari eksekusi jaminan fidusia setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, dan bagaimana Pengadilan Negeri menysaratkan wanprestasi atau cidera janji dalam eksekusi jaminan fidusia setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019. Penelitian ini menggunakan Teori Kepastian Hukum, lalu menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Ketentuan hukum yang tertera dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 mengakibatkan eksekusi dapat dilakukan oleh kreditur jika adanya penyerahan sukarela serta pengakuan dari debitur bahwa debitur telah melakukan wanprestasi. Namun dalam praktek yang terjadi dilapangan, pengadilan menyatakan wanprestasi atau cidera janij dari debitur harus dengan beberapa alasan yaitu wanprestasi dengan pengakuan tertulis, wanprestasi dengan kesepakatan di kontrak/perjanjian di awal dan wanprestasi yang harus dinyatakan oleh pengadilan. Dalam 10(sepuluh) perkara dari penelitian ini, banyak pengadilan menafsirkan bahwa wanprestasi bisa dinyatakan dalam kesepakatan/kontrak diawal.
Constitutional Court Decision Number 18/PUU-XVII/2019 creates a new legal situation, especially for carrying out the execution of fiduciary guarantees. In carrying out the execution of the fiduciary guarantee, there are not a few debtors disagreed to be executed by the creditor, so the debtor files a lawsuit against the District Court, but the results of the District Court provide various opinions in its decision. The formulation of the problem in this study is divided into how the implementation of the execution of fiduciary guarantees after the Constitutional Court decision Number 18/PUU-XVII/2019, and how the District Court requires default or breach of contract in the execution of fiduciary guarantees after the Constitutional Court Decision Number 18/PUU- XVII/2019. This research uses Legal Certainty Theory, then uses normative juridical research methods. The legal provisions contained in the Constitutional Court Decision Number 18/PUU-XVII/2019 result in the execution being carried out by the creditor if there is a release of acquittal as well as acknowledgment from the debtor that the debtor has defaulted. However, in practice that occurs in the field, the court declares default or default of the debtor must be for several reasons, namely default by written confession, default by agreement in the contract/agreement at the beginning and default which must be declared by the court. In the 10 (ten) problems of this study, many courts claimed that default could be stated in the initial agreement/contract."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Deystia Ayesha Rae
"Dalam penelitian ini, penulis akan membahas mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 yang dibelakangi oleh adanya permohonan uji materil atas ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang mengatur mengenai kekuatan eksekutorial atas Sertifikat Jaminan Fidusia serta hak parate eksekusi yang dimiliki Penerima Fidusia. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 telah mengabulkan permohonan uji materil untuk sebagian dan menyatakan bahwa ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan (3) tidak mengikat apabila tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan Fidusia sehingga eksekusi harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, serta cidera janji (wanprestasi) tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur namun harus berdasarkan kesepakatan debitur dan kreditur atau adanya upaya hukum yang menentukan telah terjadi cidera janji (wanprestasi). Penelitian ini akan berfokus kepada pengaturan mengenai pelaksanaan hak parate eksekusi yang melekat dalam setiap bentuk jaminan kebendaan dan implikasi/dampak dari terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 terhadap pelaksanaan eksekusi jaminan Fidusia. Untuk dapat menjelaskan permasalahan pokok dari penelitian ini maka dipergunakan metode penelitian yuridis normatif, yang menekankan kepada penggunaan norma-norma hukum secara tertulis yaitu norma peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach) berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019. Berdasarkan analisis diketahui bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 telah menimbulkan beberapa dampak seperti hilangnya hak khusus yang dimiliki jaminan Fidusia, hilangnya kepercayaan kreditur untuk menyalurkan kredit, adanya potensi biaya eksekusi yang besar, timbulnya kemungkinan adanya itikad tidak baik dari debitur, Pengadilan Negeri akan terbebani dengan banyaknya permohonan gugatan wanprestasi yang diajukan, dan menjadi tidak berlakunya Peraturan Kepala Polisi Republik Indonesia No. 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia.
In this research, the author will discuss the Constitutional Court Decision No. 18/PUU-XVII/2019 based on the request for a judicial review of the provision of Article 15 paragraph (2) and (3) of Law No. 42 of 1999 on Fiduciary Guaranty, which regulates the executorial power of the Fiduciary Guaranty Certificate and parate execution right owned by the Fiduciary Recipient. Constitutional Court Decision No. 18/PUU-XVII/2019 has granted a partial judicial review request and stated that the provision of Article 15 paragraph (2) and (3) are not binding if there is no agreement on breach of contract (default) and the debtor refuse to voluntary hand over the object of Fiduciary Guaranty, therefore the execution shall be carried out and apply the same as the execution of court decision which already obtain a permanent legal force, and also a breach of contract (default) shall not be determined unilaterally by the creditor but must be based on the agreement of the debtor ad creditor or there is a legal remedy which determines that there has been a breach of contract (default). This study will focus on the regulation regarding the implementation of the parate execution rights in every form of secured transaction and the implications/impacts of the issuance of the Constitutional Court Decision No. 18/PUU-XVII/2019 on the execution of Fiduciary Guaranty. To be able to explain the main problems of this research, a normative judicial research method is used, which emphasizes the use of written legal norms, namely the statute approach and the case approach based on Constitutional Court Decision No. 18/PUU-XVII/2019. Based on the analysis, it is known that the Constitutional Court Decision No. 18/PUU-XVII/2019 has caused several impacts such as the loss of special rights held by Fiduciary Guaranty, namely the loss of creditor trust to give credits, the potential for large execution costs, the possibility of bad faith from the debtor, the District Court will be burdened with many lawsuit filled for default, and the Regulation of the Chief of Police of the Republic of Indonesia No. 8 of 2011 on the Safeguarding of the Execution of Fiduciary Guarantee."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Ali Reza Mahendra
"Ketentuan Pasal 15 UU 42/1999 tentang Jaminan Fidusia khususnya yang mengatur mengenai frasa “kekuatan eksekutorial”, menimbulkan berbagai permasalahan terkait dengan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian permohonan para Pemohon mengenai ketentuan eksekusi jaminan fidusia, dimana kekuatan eksekutorial hanya dapat dijalankan apabila terdapat kesepakatan antara debitur dan kreditur bahwa debitur telah melakukan cidera janji, dan apabila tidak ada kesepatan dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia maka segala mekanisme pelaksanaan eksekusi harus dilakukan melalui Pengadilan. Putusan tersebut menarik perhatian Penulis untuk meneliti bagaimanakah pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia di Bank BNI Syariah sebelum dan sesudah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019. Untuk itu agar dapat memecahkan permasalahan ini, penulis menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, dan didukung oleh data sekunder. Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam menganalisa data yang diperoleh dari studi literatur dan hasil wawancara. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, disimpulkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi dapat berdampak pada jalannya bisnis pembiayaan, oleh sebab kreditur harus lebih selektif dalam memberikan pembiayaan kepada calon debitur guna mencegah adanya “debitur nakal” yang berusaha berlindung atau memanfaatkan ketentuan baru sehubungan dengan eksekusi jaminan fidusia dari putusan Mahkamah Konstitusi ini untuk memperoleh keuntungan.
The provisions of Article 15 of Law 42/1999 on Fiduciary Security, particularly those that regulate the phrase "executorial power", causes various problems related to the implementation of fiduciary security. There was a Constitutional Court Decision which partially granted the Petitioners' petition regarding the provisions for the execution of fiduciary security, where executorial power can only be exercised if there is an agreement between the debtor and creditor that the debtor has committed a breach of contract, and if there is no agreement and the debtor objected to voluntarily hand over the object of the fiduciary security then all mechanisms for carrying out the execution must be carried out through the Court. This decision attracted the attention of the author to examine how the execution of fiduciary security at Bank BNI Syariah before and after the Constitutional Court decision Number 18/PUU-XVII/2019. For this reason, in order to solve this problem, the author uses a form of normative juridical research which in character of descriptive analytical, and is supported by secondary data. In addition, this study uses a qualitative approach in analyzing data obtained from literature studies and interviews. Based on the results of this study, it is concluded that the Constitutional Court's decision could have an impact on the running of the financing business, because creditors must be more selective in providing financing to prospective debtors in order to prevent “bad debtors” who seek to take shelter or take advantage of the new provisions in connection with the execution of fiduciary security of decisions of this Constitutional court change of provisions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Manogihon, Benedictus Hananta
"Banyaknya kasus pengambilan paksa kendaraan bermotor milik debitor yang menjadi objek fidusia oleh kreditor berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia dan perbuatan dari kreditor tersebut bertentangan dengan konstitusi sehingga ketentuan tersebut membuat pihak debitor merasa dirugikan. Seharusnya Debitor mengajukan permohonan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia terlebih dahulu kepada pengadilan negeri. Metode Penelitian dalam Penulisan ini berbentuk doktriner, yaitu suatu Penelitian yang bekerja untuk menemukan jawaban-jawaban yang benar dengan pembuktian kebenaran yang dicari. Isi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 10/Pdt.G.S./2021/PN.Jkt.Tim telah merugikan Debitor. Kreditor merampas 1 (satu) unit kendaraan bermotor roda empat milik Debitor. Penarikan kendaraan tersebut telah melanggar ketentuan penarikan kendaraan yang dibeli secara kredit yang termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia.
There are many cases of forced taking of motor vehicles belonging to debtors which are fiduciary objects by creditors based on the provisions of Article 15 paragraphs (2) and (3) of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary and the creditors' actions are contrary to the constitution so that these provisions make the debtor feel disadvantaged. The debtor should submit a request for execution of the object of the fiduciary guarantee first to the district court. This research method in writing is in the form of doctrinaire, namely research that works to find the correct answers by proving the truth sought. The contents of the East Jakarta District Court Decision Number 10/Pdt.G.S/2021/PN.Jkt.Tim have harmed the Debtor. The Creditor confiscated 1 (one) four-wheeled motorized vehicle belonging to the Debtor. The withdrawal of the vehicle violates the provisions for withdrawing vehicles purchased on credit as contained in Minister of Finance Regulation Number 130/PMK.010/2012 concerning Registration of Fiduciary Guarantees for Finance Companies that Provide Consumer Financing for Motorized Vehicles with Fiduciary Guarantees."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Nada Irany Pohan
"Bank sebagai lembaga penyalur dana kepada masyarakat melalui sistem kredit diwajibkan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan proses pemberian kredit guna mengantisipasi kemungkinan risiko kredit salah satunya dengan mewajibkan adanya jaminan kebendaan atas kredit yang diterima debitur. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 tentang Jaminan Fidusia menimbulkan beberapa akibat hukum terhadap perjanjian kredit perbankan. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana akibat hukum yang timbul dari Putusan MK tersebut terhadap perjanjian kredit bank dan bagaimana upaya perlindungan hukum bagi bank dalam mitigasi resiko kredit yang timbul pasca putusan tersebut. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis–normatif dengan analisis studi kepustakaan. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa dampak putusan MK tersebut berpengaruh terhadap keberlangsungan aktivitas perbankan yaitu pada pemberian kredit. Apabila debitur tidak mengakui telah terjadinya keadaan wanprestasi dan tidak menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia, Bank dalam mendapatkan pembayaran kembali kreditnya harus melakukan eksekusi jaminan fidusia dengan titel eksekutorial melalui mekanisme pengadilan. Proses eksekusi tersebut dapat menyebabkan ketidakefisienan dalam berbisnis dan akan berpengaruh terhadap equitas perekonomian bank. Bank tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan parate eksekusi atau eksekusi tanpa melalui mekanisme pengadilan apabila debitur tidak mengakui dirinya telah wanprestasi. Selanjutnya upaya bank dalam memitigasi risiko yang timbul tersebut adalah dengan menerapkan sistem manajemen risiko dan customer due diligence secara sistematis dan komprehensif. Bank diwajibkan untuk memiliki pedoman internal berdasarkan POJK No. 42/POJK.03/2017 yang meliputi penerapan prinsip kehati-hatian serta bank dalam membuat perjanjian kredit harus memuat klausul-klausul yang memuat kepentingan bisnis secara jelas dan terang sehingga dapat terhindar dari kerugian.
Bank as a financial institution, which is involved with lending money to society, is required to apply the prudential principle before providing credit facilities to anticipate any potential risk, in one particular, requires the customer to put up collateral as additional security for performance of principal obligation. Constitution Court Decision Number 18/PUU-XVII/2019 concerning Fiduciary Security Law caused some legal consequences to bank loan agreements. The main problem in this study is how are the legal consequences of that constitutional court decision to bank loan agreement and how the bank mitigates possible risk to counter that legal consequences. The author uses juridical-normative research methods with literature data analysis. The results of the study concluded that Constitution Court Decision Number 18/PUU-XVII/2019 has an impact on the bank in lending activities. Bank is no longer able to execute collateral material bonded by the fiduciary security immediately without the need to obtain a court judgment or parate execute if the debtor won’t admit on an event of default and has raised an objection to surrender the fiduciary object voluntarily. This decree will affect ineffective business and bank’s economic value of equity. To mitigate potential risk, the bank applies risk management principles and customer due diligence with comprehensive and systematic. A bank should have an internal policy based on POJK Number 42/POJK.03/2017 that requires the application of prudential principle and in created loan agreement should contain detailed and comprehensive provisions regarding events of default and the consequences thereof."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Aditya Ratna Adila
"Skripsi ini membahas mengenai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 tentang cidera janji debitur. Putusan tersebut merupakan tindak lanjut dari kasus antara penggugat yang merupakan konsumen dari perusahaan pembiayaan PT. Astra Sedaya Finance selaku tergugat dalam perkara perbuatan melawan hukum terkait penyitaan jaminan fidusia milik konsumen. Tidak hanya sampai pada kasasi, Penggugat juga memohon pengujian Undang- Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 Pasal 15 Ayat 2 dan 3 yang hasilnya dituangkan dalam putusan ini. Pasal-pasal tersebut ternyata mengandung frasa cidera janji debitur yang menjadi salah satu penyebab masalah dimana kreditur dianggap berlaku sewenang-wenang, putusan ini juga tidak luput dari perdebatan ahli mengenai cidera janji debitur yang menjadi salah satu syarat eksekusi jaminan. Pendapat-pendapat tersebut akhirnya membawa Majelis Hakim pada sebuah putusan yang menyebutkan tentang kesepakatan cidera janji debitur. Untuk menilai apa yang dimaksud dengan kesepakatan cidera janji debitur, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif yang melakukan penelitan terhadap sumber hukum primer dan sekunder. Sehingga akhirnya penulis sampai pada kesimpulan bahwa kesepakatan cidera janji debitur yang dimaksud Hakim adalah tidak sesuai dengan peraturan tentang keperdataan yang berlaku di Indonesia.
This paper discusses about the the Constitutional Court Number 18/PUU-XVII/2019 concerning the debtor's breach of contract. The court decision is followed by the case between the debtor who is a consumer of PT. Astra Sedaya Finance as a finance company and also the defendant in the case of illegal acts against the execuiton of consumer fiduciary guarantee. Not stopping until cassation, the Plaintiff also requested a statutory test on Fiduciary Law Number 42 of 1999 Article 15 Paragraphs 2 and 3, which the results set forth in this decision. These articles also contain the phrase of debtor's breach of contract which turns out to be one of the problem where the creditor is considered to be acting arbitrarily, this court decision also can not be seperated from the expert debate about the debtor's breach of contract which is one of the conditions of guarantee execution. These opinions finally brought the Panel of Judges to a decision whom stated about debtor’s breach of contract deals. To assess what is meant by the debtor’s breach of contract deals, the author uses the method of normative legal research that conducts research on primary and secondary legal sources. Finally the writer came to the conclusion that the Constitutional Court Judge Council statement about consent in breach of contract is not constitute with what has been written in Indonesian Civil Code. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Daniel Constantyn Adam
"Tesis ini membahas tentang Implementasi Fiat Eksekusi Jaminan Fidusia di pengadilan negeri sebagai akibat hukum dari adanya amar Putusan dari Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, yang mana setiap hukum atau peraturan perundangan tertulis seharusnya dapat memberikan kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat sebagaimana tujuan dari amar putusan Mahkamah Konstitusi diatas. Namun setelah dilakukannya penelitian dengan metode analisis deskriptif pada subjek dan objek penelitian dapat disimpulkan jika implementasi fidusia di pengadilan negeri pasca amar putusan Mahkamah Konstitusi ternyata tidak dapat dimplementasikan dikarenakan masih terdapatnya keterbatasan pengaturan hukum acara perdata formil yang berlaku dalam Pasal 196 H.I. R.Bg/207 R.Bg , Pasal 197 H.I.R/208 R.Bg karena masih mempersamakan proses fiat eksekusi fidusia dengan permohonan fiat eksekusi hak tanggungan pada hal sifat kebendaan dari kedua hukum jaminan tersebut sangatlah berbeda, serta ditemukan jika yurisdiksi juru sita pengadilan negeri juga memiliki yuriskdiksi atau wilayah kerja yang limitasi area kerja untuk eksekusi objek fidusia yang merupakan benda bergerak, sehingga harus dilakukan pendelegasian eksekusi dari satu pengadilan negeri ke pengadilan negeri lainnya, jumlah SDM juru sita di pengadilan negeri yang terbatas dalam memberikan layanan eksekusi fidusia serta mahalnya biaya aanmaning dan biaya fiat eksekusi fidusia yang ditetapkan oleh masing-masing ketua pengadilan negeri secara berbeda-beda serta mahal juga menjadi kendala implementasi fiat eksekusi fidusia yang kesemua kendala tersebut akan dibahas dan diuraikan dalam penelitian ini.
This thesis discusses the implementation of the Fiat Execution of Fiduciary Guarantees in the district court as a legal consequence of the ruling of the Constitutional Court Number 18/PUU-XVII/2019, in which every written law or regulation should be able to provide legal certainty, legal justice, and benefits for the community. Society as the purpose of the above decision of the Constitutional Court. However, after conducting research using descriptive analysis methods on the subject and object of research, it can be concluded that the implementation of fiduciary in the district court after the decision of the Constitutional Court could not be implemented due to the limitations of the formal civil procedural law regulations that apply in Article 196 H.I. R.Bg/207 R.Bg, Article 197 H.I.R/208 R.Bg because they still equate the fiat execution process of fiduciary with a fiat application for mortgage execution in terms of the material nature of the two guarantee laws are very different, and it was found that the jurisdiction of the bailiff of the district court also has jurisdiction or work area that limits the work area for the execution of fiduciary objects which are movable objects, so it must be delegated implementation from one district court to another district court, the number of bailiff's human resources in the district court is limited in providing fiduciary execution services and the high cost Security and costs of fiat fiduciary executions set by each head of the district court are different and expensive are also obstacles to the implementation of fiat fiduciary executions, all of which will be discussed and described in this study."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Raras Nadifah Cahyaningtyas
"Putusan MK 18/PUU-XVII/2019 membuat sertifikat fidusia menjadi tidak memiliki kekuatan eksekutorial lagi dan melemahkan sertifikat fidusia. Hal ini tidak sejalan dengan Pasal 119 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang menjelaskan bahwa jaminan fidusia yang diterima oleh penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagai jaminan dalam rangka pemenuhan kewajiban konsumen sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang mengenai jaminan fidusia memiliki kekuatan eksekutorial. Putusan MK 18/PUU-XVII/2019 juga memberikan kesempatan bagi debitur untuk melakukan pembelaan dan menunda eksekusi atas sertifikat fidusia. Kekuatan eksekutorial sertifikat fidusia yang melalui jalur pengadilan juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan yaitu penerapan Asas Kemanfaatan dalam Putusan MK 18/PUU/XVII/2019 memberikan perlindungan yang lebih kuat bagi debitur sehingga menimbulkan tantangan dan konsekuensi bagi perusahaan pembiayaan. Mereka harus menyesuaikan strategi dan proses bisnis mereka dengan persyaratan baru yang diatur oleh Putusan MK 18/PUU-XVII/2019, yang mungkin mempengaruhi efisiensi dan kemampuan mereka dalam menangani kasus-kasus wanprestasi debitur. Saran dari penelitian ini adalah kekuatan eksekutorial fidusia harus tetap dipertahankan, dengan memiliki kekuatan eksekutorial yang masih berlaku, perusahaan pembiayaan dapat lebih mudah melakukan reposisi aset yang dijaminkan dalam situasi di mana nasabah tidak memenuhi kewajibannya. Hal ini memungkinkan perusahaan pembiayaan untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian yang lebih cepat dan efisien, tanpa harus melibatkan proses hukum yang panjang dan mahal. Penting bagi perusahaan pembiayaan untuk tetap mematuhi ketentuan hukum dan melaksanakan proses reposisi dengan itikad baik.
Constitutional Court Decision 18/PUU-XVII/2019 renders fiduciary certificates no longer having enforceable power and weakens fiduciary certificates. This is inconsistent with Article 119 of the Republic of Indonesia Law Number 4 of 2023 concerning the Development and Strengthening of the Financial Sector, which states that fiduciary guarantees received by Financing Service Providers as guarantees for meeting consumer obligations, as referred to in the law on fiduciary guarantees, have enforceable power. Constitutional Court Decision 18/PUU-XVII/2019 also provides an opportunity for debtors to defend themselves and delay the execution of fiduciary certificates. The enforceable power of fiduciary certificates through the judicial process can also create legal uncertainty. The research method used is normative juridical with descriptive analytical research specifications. From the results of this research, it is concluded that the application of the Principle of Benefits in Constitutional Court Decision 18/PUU/XVII/2019 provides stronger protection for debtors, thus posing challenges and consequences for financing companies. They must adjust their strategies and business processes to the new requirements set by Constitutional Court Decision 18/PUU-XVII/2019, which may affect their efficiency and ability to handle debtor default cases. The suggestion from this research is that the enforceable power of fiduciary should be maintained, with its enforceable power still applicable. Financing companies can better reflect the guaranteed asset in situations where customers fail to fulfill their obligations. This allows financing companies to take faster and more efficient resolution steps without involving lengthy and costly legal proceedings. It is important for financing companies to maintain legal certainty and implement restructuring processes with good faith."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library