Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139877 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Denys Putra Alim
"Latar Belakang: Pembuktian identitas jenazah harus secara ilmiah guna memenuhi tanggung jawab profesi dan keadilan hak asasi manusia karena diatur oleh UU Indonesia. Ada potensi tinggi dari tulang sternum untuk menjadi acuan baru identifikasi forensik.
Tujuan: Mengetahui peranan tulang dada dari gambaran CT-scan populasi dewasa untuk proses identifikasi forensik di Indonesia.
Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan terhadap 95 laki-laki dan 110 perempuan populasi Indonesia yang berusia antara 20-70 tahun dan menjalani pemeriksaan CT scan dada di Departemen Radiologi RSCM secara konsekutif. Data klinis mencakup usia, jenis kelamin, tinggi badan, dan suku sedangkan data radiologis mencakup skor osifikasi sternum dan iga, morfometrik sternum, dan variasi anatomis xiphoid. Analisis data menggunakan IBM SPSS versi 20.0 dengan uji t tidak berpasangan, korelasi Pearson, dan regresi linear maupun logistik serta kurva AUROC untuk memprediksi luaran penelitian. Semua nilai p < 0,05 dianggap bermakna.
Hasil: Skor total osifikasi tulang dada berkorelasi kuat dengan usia (rs = 0,541) dengan persamaan prediksi usia secara umum = 20,417 + 4,927*LOS (osifikasi iga ujung sternal kiri) + 2,667*LOF (osifikasi iga pertama kiri) + 2,098*FX (fusi xiphisternal) (aR2 = 41,9%, SEE 9,95 tahun). Seluruh parameter morfometrik sternum berhubungan dengan jenis kelamin (p<0,05). Gabungan parameter panjang korpus, lebar sternebra 1, dan indeks sternum memiliki nilai prediksi jenis kelamin sebesar 87,3%. Terdapat korelasi panjang tulang dada dengan tinggi badan (r = 0,712) dengan persamaan tinggi badan = 97,422 + 0,466*CL (panjang sternum) (aR2 = 50,5%, SEE 5,84 cm). Tidak terdapat hubungan antara morfometrik sternum dengan daerah asal suku. Variasi anatomis sternum yang paling langka adalah ujung xiphoid trifid, terdapat suprasternal bones dan iga bifid.
Kesimpulan: Sternum dapat dijadikan acuan untuk identifikasi forensik untuk penentuan usia, jenis kelamin, dan tinggi badan.

Background: The process of personal identification must be conducted scientifically in order to fulfill the professional responsibility and human rights justice as regulated by the Indonesian Law. There is a high potential for the sternal bone to become a new reference in forensic identification.
Aim: To know the role of sternal bone from CT-scan images of adult population for the forensic identification process in Indonesia.
Method: This cross-sectional study was carried out on 95 males and 110 females of Indonesian population aged between 20-70 years who undergo a chest CT-scan in the Radiology Department of Cipto Mangunkusumo National Hospital, Jakarta consecutively. Clinical data include age, sex, stature, and tribes while radiological data include sternal and rib ossification scores, sternal mrophometrics, and xiphoid anatomical variations. Data were analysed using IBM SPSS version 20.0 with unpaired t-test, Pearson or Spearman correlation test, linear or logistic regression and AUROC to estimate age and height and also determine sex. All p values < 0.05 were considerd statistically significant.
Result: Total ossification score was positively correlated with age (rs = 0.541) with the regression formula for age estimation is 20.417 + 4.927*LOS (ribs ossification at left sternal end) + 2.667*LOF (left first rib ossification) + 2.098*FX (fusion of xiphisternal) which yielded aR2 of 41.9% and SEE 9.95 years. All sternal morphometrics parameters were related to sex determination (p < 0.05). The combination of parameters sternal body length, sternebrae 1 width, and sternal index has a correct gender prediction rate of 87.3%. There is a positive correlation between sternal length and height (r = 0.712) with the regression formula for stature estimation is 97.422 + 0.466*CL (combined sternal length) which yielded aR2 of 50.5% and SEE 5.84 cm. There is no relationship between sternal morphometrics and the origin of tribes. The rarest sternal anatomical variations are trifid xiphoid ends, suprasternal bones, dan bifid ribs.
Conclusion: The sternal bone can be used as a reference for forensic identification in estimating the age and height and also determining sex.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Godjali
"Latar Belakang: Dalam identifikasi odontologi forensik, diperlukan penentuan jenis kelamin dan ras.
Tujuan: Menenentukan jenis kelamin dan ras berdasarkan ukuran mesiodistal (MD) dan bukolingual (BL) gigi kaninus rahang bawah, beserta nilai referensinya.
Metode: Dilakukan pengukuran MD dan BL gigi C RB pada populasi suku Batak dan Tionghoa, selanjutnya ditetapkan nilai referensinya.
Hasil: Ditemukan perbedaan signifikan ukuran MD dan BL pada pengujian antar jenis kelamin (p<0,05). Pada pengujian antar ras ditemukan perbedaan signifikan ukuran MD, namun tidak pada ukuran BL. Pada penentuan jenis kelamin nilai referensi ukuran MD 6,942 mm dan BL 7,527 mm. Pada penentuan ras, nilai referensi pada laki-laki ukuran MD 7,529 mm dan BL 7,845 mm, sedangkan perempuan MD 6,643 mm dan BL 7,210 mm.
Kesimpulan: Ukuran MD dan BL gigi kaninus rahang bawah dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin dan ras.

Background: In odontologic forensic identification, determining sex and race are important.
Objectives: To determine race and sex by using mesiodistal (MD) and buccolingual (BL) measurements of mandibular canines and to obtain their reference points.
Methods: Measured MD and BL mandibular canines measurements of Batak and Chinese in Indonesia, then calculated the reference points.
Results: There is significant difference of MD and BL measurements between sex (p<0,05). There is significant difference of MD measurement between races but there isn’t on BL measurement. To determine sex, reference point for MD measurement is 6,942 mm and BL is 7,527 mm. To determine race, reference point for men is 7,529 mm for MD and 7,845 mm for BL, for women is 6,643 mm for MD and 7,210 mm for BL.
Conclusions: Mesiodistal and buccolingual measurements can be used to determine sex and race in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Primadani Kaurow
"Sinus maksilaris merupakan struktur kraniofasial yang dapat digunakan untuk perkiraan jenis kelamin berdasarkan pengukuran morfometriknya dari gambaran CT-scan. Pada penelitian-penelitian sebelumnya didapakan ukuran morfometrik berbeda-beda pada setiap populasi, karena dipengaruhi oleh faktor ras. Tujuan penelitian ini adalah mencari nilai diagnostik dari ukuran morfometrik panjang, lebar, tinggi dan volume sinus maksilaris terhadap perkiraan jenis kelamin berdasarkan gambaran CT-Scan Maksilofasial pada suatu populasi dewasa di Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang terhadap 420 sinus maksilaris yang didapatkan dari hasil randomisasi data CT-Scan Maksilofasial pada populasi usia 20-50 tahun di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Analisis bivariat menggunakan uji t tidak berpasangan dan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik. Hasil penelitian ini didapatkan nilai rerata masing-masing laki-laki dan perempuan sebesar 3,90 ± 0,3 cm dan 3.74 ± 0,3 cm pada panjang; 3.42 ± 0,6 cm dan 3.32 ± 0.5 cm pada lebar; 4.29 ± 0,6 cm dan 3.78 ± 0,4 pada tinggi; dan 7.02 ± 1.8 cc dan 6.52 ± 1.3 cc pada volume. Berdasarkan ukuran panjang, lebar, dan tinggi, didapatkan rumus y = -10,760 + 1,319*(P) – 1,647*(L) + 2,796*(T); dengan nilai cut-off sebesar 0,0606 poin, yang memberikan nilai akurasi 79,2%. Berdasarkan ukuran volume didapatkan rumus y = -1,444 + 0,213*(Volume); dengan nilai cut-off sebesar 0,2845 poin, yang memberikan nilai akurasi 58,3%. Dari penelitian ini didapatkan pengukuran morfometrik panjang, lebar, tinggi, dan volume sinus maksilaris dari gambaran CT-Scan maksilofasial dapat digunakan untuk perkiraan jenis kelamin.

Maxillary sinus is one of maxillofacial structure which can be used in sex estimation based on its morphometric measurement from CT image. Based on the previous studies, the morphometric of maxillary sinus were different in each population, because it was influenced by race. The aim of this study is to find diagnostic value from the morphometric of length, width, height and volume of maxillary sinus from maxillofacial CT image in Indonesian adult population to estimate sex. This study uses a cross-sectional design of 420 maxillary sinus obtained from randomized CT images data in population aged 20-50 years at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Bivariate analysis using independent T-test and multivariate analysis using logistic regression test. In this study, mean score for men and women is (3.90 ± 0.3) cm and (3.74 ± 0.3) cm on length; (3.42 ± 0.6) cm and (3.32 ± 0.5) cm on width; (4.29 ± 0.6) cm and (3.78 ± 0.4) on height; and (7.02 ± 1.8) cc and (6.52 ± 1.3) cc on volume, respectively. Based on length, width and height, estimation formula is y = -10.760 + 1.319*(L) – 1.647*(W) + 2.796*(H); with cut-off 0,0606 point, given accuracy score of 79,2%. Based on volume, estimation formula is y = -1.444 + 0.213*(volume); with cut-off point 0,2845 point, given accuracy score of 58,3%. The study showed that the morphometric measurement of maxillary sinus from CT image can be used to estimate sex."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Khairani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Analisis arah dan unifikasi rugae palatal primer merupakan
salah satu metode identifikasi sekunder yang dapat digunakan untuk menentukan
jenis kelamin. Tujuan: Mengetahui perbedaan arah dan unifikasi rugae palatal
primer untuk menentukan jenis kelamin. Metode: Analisis arah dan unifikasi
rugae palatal primer berdasarkan klasifikasi Lysell dengan metode pencetakan
100 model rahang atas. Hasil: Rugae palatal dengan pola diverging lebih banyak
pada perempuan dibandingkan laki-laki dan tidak terdapat perbedaan signifikan
arah rugae palatal primer pada laki-laki dan perempuan (p>0.05). Kesimpulan:
Arah dan unifikasi rugae palatal primer tidak dapat dijadikan parameter untuk
membedakan jenis kelamin.

ABSTRACT
Background: Analysis of primary palatal rugae direction and unification is one of
the secondary identification methods that can be used for sex determination.
Objective: To determine any sex differences of primary palatal rugae direction
and unification. Methods: Analysis of the primary palatal rugae direction and
unification based on Lysell’s classification with 100 models maxilla. Results:
Diverging pattern is more common in females than males and there are no
significant differences (p>0.05) in the direction of the primary palatal rugae in
males and females. Conclusions: The direction and unification of primary palatal
rugae can not be used for sex determination."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Belyana
"Studi geologi dan geokimia tanah dilakukan untuk menentukan potensi dan prospek mineralisasi bijih di Daerah “X”, Sulawesi Utara sebagai salah satu daerah yang berpotensial mengandung mineralisasi logam ekonomis. Penelitian dilakukan dengan mengintegrasikan data geologi dan data pemercontohan tanah (oil sampling) oleh PSDMBP yang masih perlu diolah secara geostatistik. Studi geologi dilakukan melalui integrasi terhadap data sekunder dari PSDMBP dengan analisis geomorfologi, kelurusan, dan petrografi untuk menentukan kondisi geomorfologi, litologi, struktur, zona alterasi, serta kelurusan urat kuarsa. Analisis geostatistik dilakukan dengan analisis univariat dan multivariat untuk menentukan persebaran anomali unsur dan asosiasi antar unsur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah penelitian memiliki satuan geomorfologi berupa satuan perbukitan tinggi vulkanik berlereng curam dan satuan perbukitan vulkanik berlereng agak curam-curam. Litologinya terdiri atas satuan dasit, satuan andesit, satuan tuff, dan satuan batupasir dengan struktur geologi berupa pola kelurusan dengan orientasi barat laut – tenggara. Zona alterasi pada daerah penelitian meliputi zona alterasi argilik (fasies kaolinit + kuarsa + ilit + ilit-smektit) dan zona alterasi propilitik (fasies klorit + illite-smektit + kalsit + epidot). Terdapat tiga jalur urat kuarsa berorientasi barat daya – timur) laut yang teridentifikasi pada daerah penelitian, yaitu Urat Kuarsa X (bagian tenggara), Urat Kuarsa Y (bagian barat), dan Urat Kuarsa Z (bagian barat laut). Hasil analisis statistik terhadap empat unsur yang dapat diteliti (Cu, Au, Sb, Hg) menunjukkan masing-masing nilai ambang sebesar 72.44 ppm, 16 ppb, 3.39 ppm, dan 551.72 ppb. Hasil analisis multivariat menunjukkan adanya satu asosiasi unsur pada daerah penelitian, yaitu Au-Sb-Hg. Persebaran anomali unsur logam bijih kemudian diketahui secara umum memiliki pengayaan disekitar urat kuarsa dan mengalami proses dispersi pada unsur Cu, Sb, dan Hg. Potensi mineralisasi bijih pada daerah penelitian berasal dari sistem endapan epitermal sulfidasi rendah dengan prospek mineralisasi sebagian besar berada pada ketiga jalur urat kuarsa dan bagian timur laut serta selatan daerah penelitian. Prospek bagian timur laut dan selatan diindikasikan sebagai kehadiran urat kuarsa di bawah permukaan yang tertutup oleh tanah dan tidak terpetakan.

Soil geology and geochemical studies were carried out to determine the potential and prospects for ore mineralization in “X” area, North Sulawesi as one of the areas with the potential for economic metal mineralization. The research was conducted by integrating geological and soil sampling data by PSDMBP which still needed to be processed geostatistically. Geological studies was conducted through integration of secondary data from PSDMBP with geomorphological, lineaments and petrographic analyzes to determine geomorphological conditions, lithology, structure, alteration zones, and alignment of quartz veins. Geostatistic analysis was carried out using univariate and multivariate analysis to determine the distribution of elemental anomalies and associations between elements. The results showed that the study area has geomorphological units of high volcanic hill units with steep slopes and volcanic hill units with rather steep slopes. The lithology consists of dacite, andesite, tuff, and sandstone with geological structure from lineament analysis shows a northwest-southeast orientation. The alteration zones in the study area include argillic alteration zones (kaolinite + quartz + illite + illite-smectite facies) and propylitic alteration zones (chlorite + illite-smectite + calcite + epidote facies). There are three southwest-northeast oriented quartz veins identified in the study area, namely the X Quartz Vein (southeast), Y Quartz Vein (western part), and Z Quartz Vein (northwestern part). The results of the statistical analysis of the four elements that can be studied (Cu, Au, Sb, Hg) show that each threshold value is 72.44 ppm, 16 ppb, 3.39 ppm and 551.72 ppb. The results of the multivariate analysis showed that there were one elemental associations in the study area, namely Au-Sb-Hg. The distribution of anomalous metal ore elements is then known to generally have enrichment around quartz veins and undergo a dispersion process in Cu, Sb, and Hg elements. The potential for ore mineralization in the study area originates from a low sulfidation epithermal deposit system with the prospect of mineralization being mostly in the third lane of the quartz vein and the northeastern and southern parts of the study area. The prospects for the northeast and south are indicated by the presence of subsurface quartz veins that are covered by soil and are not mapped."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ashadi Sasongko
"Mannan merupakan polisakarida yang melimpah, yang dapat ditemukan pada residu ekstrak kopi, kopra, umbi porang (Amorphophallus sp.) dan bungkil inti kelapa sawit (BIKS). Mannan dapat dihidolisis secara enzimatis menggunakan enzim mannanase yang dihasilkan oleh Streptomyces lipmanii untuk menghasilkan manno-oligosakarida yang dapat dimanfaatkan sebagai prebiotik. Analisis dengan KLT menunjukkan adanya spot-spot dengan nilai Rf antara Rf mannosa dan mannotetrosa. Analisis lebih lanjut menggunakan HPLC menunjukkan terbentuknya mannobiosa dan manno-oligosakarida yang lain.

Mannan is an abundant polysaccharide that can be found in coffee extract residue, copra, porang (Amorphophallus sp.) tuber and palm kernel cake (PKC). Mannan can be hydrolized enzymatically using mannanase produced by Streptomyces lipmanii, to produce manno-oligosaccharides which can be used as a prebiotic. Analysis by TLC showed the presence of compounds between mannose and mannotetrose spots Rf. Further analysis using HPLC showed that mannobiose and others manno-oligosaccharides formed.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
T42222
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agusdini Banun Saptaningsih
"Telah dilakukan penellUan aktivitas antibakteri dari getah tumbuhan EtLphorba ant iquorvin. Linn terhadap kuman Pseticloraon.as aer-ugnosa ATCC 27853 dan Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan
antijamur terhadap jamur Tr?Lcophyton rubrvJrL. dan Cand?Lda aLbtcans,
yaitu dengan menentukari aktivitas anti bakteri dan antijamur
dengan metoda cakram serta menentukan kadar hambat minimal dengan
metoda pengenceran tabung.
Dalam penelitian mi diunakan getah segar dan getah yang
di k er I ngk an. Penyar I an dli ak uk an dengan menggunak an sothl et
dengan pelarut petroleum benzefi, kloroform, etanol dan air.
Hasil penelitlan menunjukkan báhwa getah segar, sari etanol
95°% dan sari air menunjukkan aktivitas antibakteni terhadap kuman
Pseudoraonas aeruetnosa ATCC 27853 dan StaphyLococcvs avreus ATCC
26923 dan aritijamur terhadap jamur Tricophyton rubrwn, sedangkan
sari petroleum benzen dan sari kloroform tidak mempunyai
aktivitas antlbakteri dan antijamur terhadap kuman dan jamur uji.
Dari seiuruh sari dan getah segar E'uphorbiLa ant iquoruin Linn
yang diuji, kadar hambat minimal yang terendah adalah 488,28
g,/cc., yaltu dari sari etanol dan getah segar terhadap
Staphylococcus aureus dan getah segar terhadap TriLcophyton
rubrum.. Kadar hambat minimal yang ten ti nggi adal ah 31,25 mgVcc
yaltu kadar hambat minimal getah segar, sari ètanol 95°% dan sari
air dari getah EuphorbiLa ant Lquorvia Linn terhadap Psezidomonas
aerunosa ATCC 27853."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1991
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisa Retno Ediningsari
"Penelitian dilakukan untuk memperoleh identitas 12 isolat khamir dari perairan laut dan mangrove Cagar Alam Pulau Rambut berdasarkan daerah internal transcribed spacer (ITS1; 5,8S dan ITS2). Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Genetika, Departemen Biologi, FMIPA UI, Depok dari September 2006 hingga September 2007. Daerah ITS diamplifikasi dengan metode PCR menggunakan primer ITS 5 (forward) dan ITS 4 (reverse). Elektroforesis hasil PCR dari 12 isolat memperlihatkan polimorfisme fragmen daerah ITS berukuran 400--700 pb yang mengindikasikan adanya keanekaragaman genetik. Primer ITS 5 (forward) digunakan dalam reaksi cycle sequencing daerah ITS. Pencarian homologi data sequence pada database DNA GenBank menggunakan program basic local alignment search tool (BLAST).
Berdasarkan analisis sequence daerah ITS, 12 isolat khamir diidentifikasi sebagai: Candida Berkhout sp.1. (isolat W1114), Candida Berkhout sp. 2. (isolat W144), Candida Berkhout sp.3. (isolat W127), C. fukuyamaensis Nakase dkk. (isolat W1126), C. parapsilosis (Ashford) Langeron & Talice (isolat W314), Debaryomyces Lodder & Kregervan Rij sp. (isolat W3324), D. hansenii (Zopf) Lodder & Kreger-van Rij (isolat W3351), Rhodotorula minuta (Saito) F.C Harrison (isolat W3329), R. mucilaginosa (Jorgensen) F.C. Harrison (isolat W322, W324 dan W325), dan Trichosporon dermatis Sugita, Takashima, Nakase & Shinoda (isolat W3338)."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Made Martini Puteri
"Menurut teori moral credential penghukuman terhadap pelaku pelanggaran ditentukan oleh domain pelanggaran. Penelitian ini membuktikan bahwa moral credential berupa keringanan hukuman terjadi pada kondisi pelanggaran dengan korban yang tidak terlihat jelas invisible victim dan penghukuman menguat pada pelanggaran dengan visible victim. Penelitian terdiri dari 4 studi yang melibatkan 893 partisipan dengan metode mixed methods, qual-Quant. Tiga penelitian kuantitatif dilakukan dengan population based-survey experiment yang membandingkan pelanggaran gratifikasi korban tidak terlihat jelas vs korban terlihat jelas , ngebut korban tidak terlihat jelas vs korban terlihat jelas . Prosedur partisipan diberi narasi tugas mulia Polisi/Dokter/Guru kondisi moral credential , selanjutnya ditugaskan memberikan penghukuman pidana yang tepat terhadap vignette pelanggaran menerima gratifikasi, dan memberi reaksi sosial terhadap pelanggaran ngebut. Pelanggaran di domain yang berbeda terbukti bahwa moral credential berpengaruh pada keringanan penghukuman pidana hanya pada pelanggarn dengan korban yang tidak terlihat jelas invisible victim , dan moral credential melemah pada pelanggaran dengan korban yang terlihat jelas visible victim sehingga pelaku dihukum berat. Polisi yang menerima gratifikasi dengan korban dihukum lebih berat oleh pengamat dan kelompoknya, akan tetapi secara sosial pelaku tetap dipandang sebagai orang bermoral dan profesional. Tingkat identifikasi sosial dan nilai berbuat baik tidak terkonfirmasi secara statistik, tetapi perbedaan profesi berperan sebagai moderator. Penghukuman anggota Polisi didasarkan pada mekanisme Black Sheep Effect BSE , sedangkan penghukuman kelompok Dokter menggunakan mekanisme Devil Protection Effect DPE . Kontribusi dan implikasi teori dijelaskan dalam diskusi.

According to moral credential theory, the punishment of offenders is decided by the domain of offenses. This research attempts to prove that moral credential, in the form of punishment leniency, happens in offenses with invisible victims, while stronger punishment appears in offenses with visible victims. This research consists of four studies, involving 893 participants with mixed methods qual rarr;Quan. Three quantitative research used population based-survey experiment, comparing gratification offenses invisiblet victims vs. visible victims and speeding invisiblet victims vs. visible victims . Narratives on the honorable duty of Police/Doctors/Teachers are given in participant rsquo;s procedure, followed with a task to give proper criminal punishment to the vignette of gratification offenses, and social reactions to speed violations. Offenses in the different domain proved that moral credential affected leniency in criminal punishment, only in offenses with invisible victims, while moral credential weakened in offenses with visible victims, resulting in heavier punishment for the offenders. Police who received gratifications with the victim is punished heavier by observers and his/her group. However, the offender is still seen as a moral and professional person. Social identification and meaning of good deeds are not confirmed statistically, but the different of job type consider as moderator. Punishment of Police is based on the Black Sheep Effect BSE mechanism, while the punishment of Doctors is using Devil Protection Effect DPE mechanism. Contributions and implications of the theory are explained in discussion."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
D2531
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emidatul Manzil
"[ABSTRAK
Dosimetri CT scan dapat dilakukan dengan menggunakan konsep CTDI, Monte
Carlo, atau dengan pengukuran langsung dalam fantom fisis. Pengukuran
langsung menggunakan thermoluminescent dosimeter (TLD) merupakan prosedur
yang rumit dan membutuhkan waktu yang lama. Saat ini sudah tersedia film
radiochromic yang dapat digunakan di radiologi. Pada penelitian ini dilakukan
pengukuran distribusi dosis radiasi dalam fantom Rando menggunakan film
Gafchromic XR-QA2 dan TLD. Film Gafchromic XR-QA2 dan TLD dikalibrasi
di CT scanner Siemens Sensation 64. Pengukuran distribusi dosis dengan film
dilakukan pada faktor pitch 0.8, 1.0, dan 1.4. Film Gafchromic XR-QA2
disisipkan diantara slab 22-23 (Film A), 23-24 (Film B), dan slab 24-25 (Film C).
Pengukuran distribusi dosis dengan TLD dilakukan dalam slab nomor 23 dengan
faktor pitch 1.4. Film Gafchromic XR-QA2 yang telah dieksposi dipindai dengan
flatbed scanner Epson Perfection V700 Photo. Dosis serap tulang belakang pada
Film A, Film B, dan Film C yang dieksposi dengan faktor pitch 1.4 secara
berturut-turut adalah 2.0 mGy, 1.9 mGy, dan 2.2 mGy. Berdasarkan profil dosis,
rata-rata dosis serap pada film yang dieksposi dengan faktor pitch 1.0 dan 1.4
secara berturut-turut adalah 8% dan 24% lebih tinggi dibanding rata-rata dosis
serap pada film yang dieksposi dengan faktor pitch 0.8. Rentang dosis hasil
pengukuran dengan TLD adalah (1.9 ± 0.1) – (2.3 ± 0.2) mGy dan rentang dosis
hasil pengukuran dengan film Gafchromic XR-QA2 adalah 1.8 – 2.3 mGy dengan
perbedaan maksimum 10.6%. Perbedaan tersebut masih berada dalam rentang
keakurasian TLD yaitu < 15%. Berdasarkan hasil tersebut, film Gafchromic XRQA2
dapat digunakan untuk pengukuran dosis CT scan selanjutnya.

ABSTRACT
Computed tomography (CT) dosimetry can be approached by using CTDI
method, Monte Carlo computer technique, and direct measurement within
physical phantom. Direct measurement using thermoluminescent dosimeters
(TLDs) is a laborious procedure. Radiochromic film for radiology application was
available. In this study, dose distribution within adult anthropomorphic physical
phantom was measured using TLD and Gafchromic XR-QA2 film. TLD and
Gafchromic XR-QA2 film was calibrated on CT scanner Siemens Sensation 64.
Gafchromic XR-QA2 film was sandwiched between slab Rando phantom number
22-23 (Film A), 23-24 (Film B), and 24-25 (Film C). Pitch factor 0.8, 1.0, and 1.4
were used. TLDs were placed at the holes in the slab number 23 of
anthropomorphic phantom. TLDs were scanned using pitch factor 1.4. After
exposure, Gafchromic XR-QA2 film was digitized using Epson Perfection V700
Photo flatbed scanner. Absorbed dose at vertebra on Film A, Film B, and Film C
which exposed by using pitch 1.4 respectively were 2.0 mGy, 1.9 mGy, and 2.2
mGy. Based on dose profile, average dose of XR-QA2 film which exposed by
using pitch 1.0 and 1.4 respectively were 8% and 24% higher than average dose of
XR-QA2 film which exposed by pitch 0.8. TLDs dose range were (1.9 ± 0.1) –
(2.3 ± 0.2) mGy and Gafchromic XR-QA2 film dose range were 1.8 – 2.3 mGy
with maximum difference 10.6%. The difference is still within the range of TLD
accuracy, < 15%. Based on this result, Gafchromic XR-QA2 film can be used to
measure CT dose, Computed tomography (CT) dosimetry can be approached by using CTDI
method, Monte Carlo computer technique, and direct measurement within
physical phantom. Direct measurement using thermoluminescent dosimeters
(TLDs) is a laborious procedure. Radiochromic film for radiology application was
available. In this study, dose distribution within adult anthropomorphic physical
phantom was measured using TLD and Gafchromic XR-QA2 film. TLD and
Gafchromic XR-QA2 film was calibrated on CT scanner Siemens Sensation 64.
Gafchromic XR-QA2 film was sandwiched between slab Rando phantom number
22-23 (Film A), 23-24 (Film B), and 24-25 (Film C). Pitch factor 0.8, 1.0, and 1.4
were used. TLDs were placed at the holes in the slab number 23 of
anthropomorphic phantom. TLDs were scanned using pitch factor 1.4. After
exposure, Gafchromic XR-QA2 film was digitized using Epson Perfection V700
Photo flatbed scanner. Absorbed dose at vertebra on Film A, Film B, and Film C
which exposed by using pitch 1.4 respectively were 2.0 mGy, 1.9 mGy, and 2.2
mGy. Based on dose profile, average dose of XR-QA2 film which exposed by
using pitch 1.0 and 1.4 respectively were 8% and 24% higher than average dose of
XR-QA2 film which exposed by pitch 0.8. TLDs dose range were (1.9 ± 0.1) –
(2.3 ± 0.2) mGy and Gafchromic XR-QA2 film dose range were 1.8 – 2.3 mGy
with maximum difference 10.6%. The difference is still within the range of TLD
accuracy, < 15%. Based on this result, Gafchromic XR-QA2 film can be used to
measure CT dose]"
2015
T43863
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>