Ditemukan 128743 dokumen yang sesuai dengan query
Audrey Graciela Naftali
"Media sosial telah memfasilitasi penggunanya dengan ruang untuk berkomunikasi dengan orang lain dan mengungkapkan pendapat mereka kepada publik. Dengan media sosial, cancel culture semakin marak terjadi. Pasalnya, opini dari individu mudah tersebar menggunakan fitur status di media sosial. Pemanfaatan status untuk mempengaruhi orang lain itulah yang terjadi dalam peristiwa Dewa Kipas. Status Ali yang menjadi viral mengakibatkan aksi kolektif berupa cancelling dari netizen Indonesia terhadap Levy Rozman (@GothamChess). Menariknya, fenomena ini membawa dampak yang signifikan bagi pihak-pihak yang terlibat. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi terjadinya cancel culture yang dilakukan oleh netizen Indonesia di media sosial dan menganalisis implikasi dari tindakan dominasi netizen Indonesia dalam peristiwa Dewa Kipas. Metode kualitatif dengan analisis wacana digunakan untuk mengkaji studi kasus ini. Melalui penelitian ini, ditemukan bahwa konteks budaya Indonesia yang kuat berperan besar dalam tindakan cancel culture tersebut.
Social media has facilitated its users with a space to communicate with other people and express their opinion to the masses. With social media, cancel culture is being reinforced. The reason is because opinions from individuals are being spread easily using status features on social media. The utilization of status to influence other people is what happened with Dewa Kipas incident. Ali’s status that went viral led to collective action of canceling from Indonesian netizens towards Levy Rozman (@GothamChess). Interestingly, this phenomenon brought significant impact to the parties involved. This paper aims to Investigate the occurrence of Indonesian netizens’ cancel culture on social media and analyze the implication of Indonesian netizens’ predominance action in Dewa Kipas incident. Qualitative method with discourse analysis is being used to analyse the case. Through this research, it is found that Indonesians’ strong cultural context played a big role in the canceling act."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Audrey Graciela Naftali
"Media sosial telah memfasilitasi penggunanya dengan ruang untuk berkomunikasi dengan orang lain dan mengungkapkan pendapat mereka kepada publik. Dengan media sosial, cancel culture semakin marak terjadi. Pasalnya, opini dari individu mudah tersebar menggunakan fitur status di media sosial. Pemanfaatan status untuk mempengaruhi orang lain itulah yang terjadi dalam peristiwa Dewa Kipas. Status Ali yang menjadi viral mengakibatkan aksi kolektif berupa cancelling dari netizen Indonesia terhadap Levy Rozman (@GothamChess). Menariknya, fenomena ini membawa dampak yang signifikan bagi pihak-pihak yang terlibat. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi terjadinya cancel culture yang dilakukan oleh netizen Indonesia di media sosial dan menganalisis implikasi dari tindakan dominasi netizen Indonesia dalam peristiwa Dewa Kipas. Metode kualitatif dengan analisis wacana digunakan untuk mengkaji studi kasus ini. Melalui penelitian ini, ditemukan bahwa konteks budaya Indonesia yang kuat berperan besar dalam tindakan cancel culture tersebut.
Social media has facilitated its users with a space to communicate with other people and express their opinion to the masses. With social media, cancel culture is being reinforced. The reason is because opinions from individuals are being spread easily using status features on social media. The utilization of status to influence other people is what happened with Dewa Kipas incident. Ali’s status that went viral led to collective action of canceling from Indonesian netizens towards Levy Rozman (@GothamChess). Interestingly, this phenomenon brought significant impact to the parties involved. This paper aims to Investigate the occurrence of Indonesian netizens’ cancel culture on social media and analyze the implication of Indonesian netizens’ predominance action in Dewa Kipas incident. Qualitative method with discourse analysis is being used to analyse the case. Through this research, it is found that Indonesians’ strong cultural context played a big role in the canceling act."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Sekar Jasmine Noegroho
"The term cancel culture has taken the online realm by storm since it involves revoking cultural clout just with a few types on the keyboard. Cancel culture is understood as collective attempt to boycott a target from having a prominent public platform for violating social norms with economic and social consequences that can reach to destructive degree. While the practice of cancelling via online activisms has been acknowledged in other parts of the world, studies that took cases in Indonesia are still scarce. This paper explores how Indonesian netizens execute cancel culture as a form of computer-mediated communication to Zara JKT48's scandals, whose relationship with social media coincides with the panopticon concept. Panopticon in this study refers to social media as a virtual prison where people are under constant surveillance. Details of Zara’s online scandals are compiled from Instagram and Twitter posts from Zara herself, fans and critics which serves as data to be analyzed using multimodal analysis. The study discovered that although there are shared similarities practices of cancelling in Japan, home of sister group AKB48, such as issues went instantly viral and original intentions got derailed into online prosecution and online bullying, Indonesia's way of synthesizing new norms of cancel culture resulted in a cancel culture with little to no substantial consequences as the object of cancelling continues being supported by endorsers and maintaining her career.
Fenomena Cancel Culture telah menguasai perhatian ranah online karena kemampuannya mempengaruhi pencabutan pengaruh budaya seseorang hanya dengan ketikan jari di sosial media. Cancel culture dipahami sebagai upaya kolektif untuk memboikot target yang memiliki platform public terkemuka karena melanggar norma sosial dengan konsekuensi ekonomi dan sosial yang dapat mencapai tingkat destruktif. Tulisan ini mengeksplorasi bagaimana netizen Indonesia melakukan cancel culture sebagai bentuk Computer-mediated Communication (CMC) terhadap skandal Zara JKT48 yang hubungannya dengan sosial media bertepatan dengan konsep panopticon. Panopticon dalam penelitian ini mengacu pada media sosial sebagai penjara virtual dimana orang-orang berada di bawah pengawasan konstan. Rincian skandal online Zara dikumpulkan dari Instagram dan Twitter posting dari Zara sendiri, para penggemar, dan kritikus yang berfungsi sebagai data untuk dianalisis mengunakan analisis multimodal. Studi ini menemukan bahwa meskipun ada kesamaan praktik canceling di Jepang, negara asal sister group AKB48, seperti masalah langsung menjadi viral dan itikad asli tergelincir menjadi penuntutan online dan intimidasi online, cara Indonesia mensintesis norma-norma baru cancel culture dengan sedikit atau tanpa konsenkuensi substansial sebagai objek cancel culture karena mereka terus didukung oleh endorses dan alhasil berhasil mempertahankan karier."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Naufal Arif Ramiza
"Cancel cultur merupakan fenomena sosial berupa pembatalan secara sosial seseorang akibat suatu hal dari diri orang tersebut yang dipandang ofensif oleh masyarakat. Tindakan ini umumnya dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk protes agar seseorang yang terkena pembatalan meminta maaf dan tidak mengulangi perbuatannya kembali. Cancel culture telah ada dalam masyarakat sejak lama, namun seiring berkembangnya teknologi, fenomena ini juga berkembang dari segi skala dan intensitas pembatalannya, juga seberapa seringnya pembatalan tersebut terjadi. Perkembangan tersebut terjadi karena teknologi internet dan media sosial yang mempermudah penyebaran informasi sehingga hal-hal kecil dapat menjadi sesuatu yang viral.Cancel culture yang semakin berkembang ini berpotensi menimbulkan suatu masalah yang besar bagi target pembatalan, seperti tercemarnya nama baik korban, kehilangan pekerjaan, dan tersebarnya data pribadi. Target pembatalan yang menderita permasalahan-permasalahan seperti itu dapat dikatakan sebagai korban cancel culture. Walaupun terdapat masalah-masalah tersebut, di dalam hukum pidana Indonesia belum ada suatu peraturan yang memberikan perlindungan hukum bagi target pembatalan. Oleh karena itu, diperlukan suatu perlindungan di bidang hukum untuk memberikan batasan dalam cancel culture dan mencegah terjadinya masalah-masalah tersebut sebelum cancel culture semakin berkembang di masyarakat. Dengan perlindungan hukum ini, hak-hak dari target pembatalan tetap terjamin oleh hukum untuk tidak dilanggar.
Cancel culture is a social phenomenon in a form of socially cancelling somebody because of something from that person that society sees as offensive. The society generally does this action as a form of protest so that the person that is getting cancelled sends an apology and will not repeat their action. Cancel culture has been in the society for a long time, but as the technology is developing, this phenomenon is also developing in terms of the scale and intensity of the cancellation, also how often the cancellation happens. That development happens because of the technology of internet and social media that ease information transmission which causes small things able to become something viral. This development of cancel culture is potential of creating big problems for cancellation targets, such as defamation, job loss, dissemination of personal data. Cancellation targets that suffer those problems can be said as cancel culture victims. Even though those problems exist, Indonesian criminal law does not have any rule that gives legal protection for cancellation targets. Therefore, legal protection is needed for giving restriction to cancel culture and preventing those problems from happening before the cancel culture develops even more in society. With this legal protection, the rights of cancellation targets are guaranteed by law to not be violated."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Eve Ng
"“Cancel culture” has become one of the most charged concepts in contemporary culture and politics, but mainstream critiques from both the left and the right provide only snapshots of responses to the phenomenon. Takinga media and cultural studies perspective, this book traces the origins of cancel practices and discourses, and discusses their subsequent evolution within celebrity and fan cultures, consumer culture, and national politics in the U.S. and China. Moving beyond popular press accounts about the latest targets of cancelling or familiar free speech debates, this analysis identifies multiple lineages for both cancelling and criticisms about cancelling, underscoring the various configurations of power associated with “cancel culture” in particular cultural and political contexts. "
Switzerland: Palgrave Macmillan Cham, 2022
e20550257
eBooks Universitas Indonesia Library
Annisa Nur Azzizah
"Budaya digital membuka ruang baru yang memungkinkan munculnya bentuk-bentuk partisipasi yang cenderung lebih beragam. Kebebasan dalam partisipasi digital ini tidak luput dari berbagai permasalahan, terutama ketika hal tersebut mendorong munculnya kekerasan digital. Salah satu fenomena yang tersangkut dalam problematika partisipasi digital tersebut adalah cancel culture. Studi-studi terdahulu tentang cancel culture melihat fenomena ini melalui dua sisi, yaitu kapasitas cancel culture untuk mewujudkan keadilan sosial melalui penyediaan keadilan alternatif bagi kelompok marginal, dan cancel culture sebagai fenomena yang bersifat disintegratif karena menciptakan permasalahan baru di ruang digital. Penelitian ini berargumen bahwa dualitas ini terkait dengan ambivalensi dualitas partisipasi digital yang berpontensi untuk menciptakan ruang pemberdayaan, namun pada saat yang bersamaan dapat menciptakan kekerasan berbasis digital. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat dua bentuk cancel culture yakni reflektif dan nonreflektif. Dualitas tersebut dipengaruhi bentuk literasi digital yang dimiliki pengguna. Literasi digital berhubungan dengan bentuk tindakan dan partisipasi digital yang dilakukan pengguna. Literasi digital kritis ditandai dengan kesadaran tentang kapasitas transformasi sosial melalui ruang digital. Pengguna dengan literasi digital kritis akan melakukan cancelling yang bertujuan mengangkat suara marginal. Sebaliknya, pengguna dengan literasi digital tidak kritis akan melakukan cancelling yang justru menjurus pada kekerasan digital.
Digital culture opens up new spaces that allow the emergence of participation that tend to be more diverse. Freedom in digital participation is not problem-free, especially when it encourages digital violence. One of the phenomena involved in the digital participation problem is cancel culture. Previous studies on cancel culture view this phenomenon through two sides: the capacity of cancel culture to realize social justice through the provision of alternative justice for marginalized groups and cancel culture as a disintegrative phenomenon that creates new problems in the digital space. This study argues that this duality is related to the ambivalence of the duality of digital participation, which can create space for empowerment, but at the same time, it can create digital-based violence. This study found two forms of cancel culture, namely reflective and non-reflective. This duality is influenced by digital literacy the user has. Digital literacy is related to the forms of digital actions and participation that users take. Critical digital literacy is characterized by awareness of the capacity for social transformation through the digital space. Users with critical digital literacy will cancel in support of marginal voices. Canceling conducted by users with uncritical digital literacy will lead to digital violence."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Kintara Ayudarma
"Cancel Culture atau dikenal sebagai aksi boikot merupakan fenomena memboikot seseorang akibat mengucapkan atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma yang ada di masyarakat. Aksi boikot ini banyak terjadi di media sosial dan mayoritas menargetkan seorang selebriti. Fenomena Cancel Culture ramai terjadi di berbagai negara, termasuk di Tiongkok. Penelitian ini membahas tentang pemanfaatan fenomena Cancel Culture oleh pemerintah Tiongkok untuk mengendalikan industri hiburan dan dampaknya bagi perkembangan industri hiburan di Tiongkok. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan budaya. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan pelanggaran yang terjadi di dalam industri hiburan Tiongkok umumnya berkaitan dengan nilai-nilai budaya dalam masyarakat Tiongkok. Pemerintah menggunakan aksi pemboikotan untuk mengatur kembali industri hiburan sekaligus mengingatkan kembali masyarakat atas nilai-nilai budaya yang dianut Tiongkok.
Cancel Culture or known as boycott action is a phenomenon of boycotting someone due to their saying or taking actions that are contrary to the norms that exist in society. These actions happen a lot on social media and the majority target is celebrities. The Cancel Culture phenomenon is happening in various countries, including China. This research article discusses the use of the Cancel Culture phenomenon by the Chinese government to control the entertainment industry and its impact on the development of the entertainment industry in China. This study article used the qualitative research method with a cultural approach. And also collected data through literature studies. The results show that infractions that occur in the Chinese entertainment industry are generally related to cultural values in Chinese society. The government uses boycotts to reorganize the entertainment industry, as well as reminding back the people of China of their cultural roots. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Syahrul Muhammad Ghiffari
"Era digital semakin berkembang pesat, ditandai dengan semakin banyak platform di internet guna menunjang aktivitas persebaran informasi. Web 2.0 sebagai bentuk inovasi baru di internet dengan tujuan memberikan keleluasaan bagi para pengguna untuk dapat berpartisipasi sebagai produsen maupun konsumen informasi di media digital melalui budaya partisipatoris. Keluaran dari fenomena tersebut ialah kehadiran content creator sebagai penyalur informasi baru di era Web 2.0 pada platform media sosial. Penelitian ini memadukan digital citizenship sebagai landasan etika dalam menjalankan budaya partisipatoris di dunia digital. Sehingga, peran warganet sebagai aktor budaya pengawasan diperlukan untuk menjaga batasan atau pelanggaran content creator yang berpotensi terjadi di dunia digital. Begitu pula bagi warganet sebagai bagian dari berjalannya budaya partisipatoris di media sosial. Penelitian ini berfokus untuk menganalisis budaya partisipatif content creator yang terbilang masih sangat bebas dengan disertai budaya pengawasan dari warganet agar tidak terjadi pelanggaran etika. Hasilnya, pengguna media sosial baik content creator maupun warganet memiliki kesadaran untuk menjaga etika di dunia digital. Namun, tak jarang ditemui ragam perilaku warganet lain yang melewati batas etika. Bentuk-bentuk budaya partisipatoris seperti afiliasi, ekspresi, pemecahan masalah kolaboratif, dan sirkulasi merupakan hasil implementasi yang dilakukan content creator. Sementara, warganet memiliki cara sendiri untuk menjalankan fungsi pengawasan persebaran konten di dunia digital melalui komentar.
The digital era is growing rapidly, marked by the increasing number of platforms on the internet to support information dissemination activities. Web 2.0 as a form of new innovation on the internet with the aim of providing freedom for users to be able to participate as producers and consumers of information in digital media through participatory culture. The output of this phenomenon is the presence of content creators as distributors of new information in the Web 2.0 era on social media platforms. This study combines digital citizenship as an ethical basis for implementing participatory culture in the digital world. Thus, the role of netizens as actors of supervisory culture is needed to maintain the boundaries or violations of content creators that have the potential to occur in the digital world. Likewise for netizens as part of the implementation of participatory culture on social media. This study focuses on analyzing the participatory culture of content creators which is still relatively free accompanied by a culture of supervision from netizens so that ethical violations do not occur. As a result, social media users, both content creators and netizens, have an awareness to maintain ethics in the digital world. However, it is not uncommon to find various other netizen behaviors that cross ethical boundaries. Forms of participatory culture such as affiliation, expression, collaborative problem solving, and circulation are the results of implementation carried out by content creators. Meanwhile, netizens have their own way to carry out the function of monitoring the distribution of content in the digital world through comments."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Khalisya Zahwa Rachmadina
"Indonesia dan Belanda dikenal memiliki banyak keterkaitan karena adanya kontak secara terus-menerus pada masa lampau sehingga terdapat berbagai dampak dalam berbagai aspek. Salah satu aspek yang terdampak hingga saat ini adalah budaya, seperti pada restoran-restoran Belanda di Indonesia yang melakukan akulturasi budaya. Penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui upaya penyesuaian budaya dalam bentuk akulturasi apa yang telah dilakukan oleh Restoran H.E.M.A. TIS Square Tebet dan bagaimana respon dari para pengunjung terhadap akulturasi yang dilakukan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teori akulturasi oleh Redfield, Linton, dan Herskovits melalui pendekatan studi kasus yaitu mengumpulkan data dengan mengobservasi objek yang diteliti melalui wawancara dengan pemilik dan pengunjung restoran H.E.M.A. dan survei langsung ke restoran. Hasil dari penelitian ini yaitu Restoran H.E.M.A. TIS Square Tebet melakukan akulturasi dalam bentuk bahasa, makanan, pakaian, dan juga arsitektur bangunan sebagai upaya untuk menyesuaikan budaya Belanda di Indonesia. Upaya akulturasi budaya Belanda dan Indonesia yang dilakukan oleh Restoran H.E.M.A. ini berhasil menarik perhatian para pengunjung karena dapat menambah pengetahuan budaya Belanda dan Indonesia.
Indonesia and the Netherlands are known to have many connections because there was continuous contact in the past so that there were various impacts in various aspects. One aspect that has been affected to this day is culture, as in Dutch restaurants in Indonesia which carry out cultural acculturation. This research was made with the aim of knowing what cultural adjustment efforts in the form of acculturation have been carried out by the H.E.M.A. Restaurant. TIS Square Tebet and how the response from visitors to the acculturation carried out. This study uses a qualitative method with the theory of acculturation by Redfield, Linton, and Herskovits through a case study approach, namely collecting data by observing the object under study through interviews with H.E.M.A. restaurant owners and visitors. then survey directly to the restaurant. The results of this study are the H.E.M.A. Restaurant. TIS Square Tebet acculturates in the form of language, food, clothing, and also building architecture as an effort to adapt Dutch culture in Indonesia. Efforts to acculturate Dutch and Indonesian culture carried out by the H.E.M.A. Restaurant This succeeded in attracting the attention of the visitors because it could increase knowledge of Dutch and Indonesian culture."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Yogyakarta: Jalasutra, 2011
306.4 STU ct
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library