Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 121894 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nur Widyastanti
"Indonesian women representation in parliament is indeed a dilemma that has lasted a long time. The number of members elected legislature since the 1995 election until the 2009 election has not even produce a legislative member of the women in large numbers."
Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2011
342 JK 2:1 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Rizky Adhitya Maulana
"Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana khalayak dewasa muda non-heteroseksual mengidentifikasi dan memaknai ikon non-heteroseksual di media arus utama. Representasi komunitas non-heteroseksual semakin berkembang di media seiring perkembangan industri budaya populer (Levina et al., 2000; Milone, 2016). Peneliti menggunakan teori representasi dan simbol Stuart Hall (1997) untuk memahami bagaimana khalayak khalayak dewasa muda non-heteroseksual mengidentifikasi representasi non-heteroseksual di media Hollywood. Selain itu, penelitian ini juga mengeksplorasi bagaimana mereka memaknai ikon representasi. Peneliti mewawancarai secara mendalam lima non-heteroseksual dalam rentang usia awal 20an (20-24 tahun), atau dewasa muda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa khalayak dewasa muda non-heteroseksual mengidentifikasi representasi non-heteroseksual sebagai anggota komunitas non-heteroseksual. Mereka menyeleksi representasi Hollywood berdasarkan penilaian mereka terhadap akurasi dan kredibilitas dari penggambaran komunitas non-heteroseksual yang ada di media. Kesimpulan dari penelitian ini adalah khalayak dewasa muda non-heteroseksual mengapresiasi adanya representasi non-heteroseksual di media Hollywood, karena meningkatkan inklusivitas representasi anggota komunitas non-heteroseksual. Namun, khalayak dewasa muda non-heteroseksual menganggap Hollywood masih perlu menyediakan gambaran sosok non-heteroseksual yang lebih positif, menyeluruh, beragam, dan tidak unidimensional. Untuk melakukannya, maka Hollywood perlu melakukan heterogenisasi representasi non-heteroseksual.

This study aims to understand how non-heterosexual young adults identify and interpret non-heterosexual icons in mainstream media. The representation of the non-heterosexual community is growing in the media along with the development of the popular culture industry (Levina et al., 2000; Milone, 2016). The researcher uses Stuart Hall's (1997) representation and symbol theory to understand how non-heterosexual young adult audiences identify non-heterosexual representations in Hollywood media. In addition, this study also explores how they interpret the icon representation. Researchers interviewed in-depth five non-heterosexuals in their early 20s (20-24 years old), or young adults. The results of this study indicate that non-heterosexual young adults identify non-heterosexual representations as members of the non-heterosexual community. They select Hollywood representations based on their assessment of the accuracy and credibility of the portrayal of the non-heterosexual community in the media. The conclusion of this study is that non-heterosexual young adults appreciate the existence of non-heterosexual representation in Hollywood media, because it increases the inclusiveness of representation of members of the non-heterosexual community. However, the non-heterosexual young adult audience believes that Hollywood still needs to provide a more positive, holistic, diverse, and non-unidimensional picture of non-heterosexual figures. To do so, Hollywood needs to heterogenize non-heterosexual representation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maunah
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang rekonstruksi representasi perempuan Arab di tahun 1980-an dalam novel remaja yang berjudul Faten karya Fatima Sharafeddine. Landasan teori yang digunakan adalah teori ginokritik Elaine Showalter yang menekankan pada tulisan perempuan yang berbicara tentang perempuan. Permasalahan yang diangkat di dalam penelitian ini adalah representasi perempuan Arab di tengah kultur masyarakat Arab yang patriarkal yang menempatkan perempuan Arab pada posisi yang tidak menguntungkan. Para perempuan, baik remaja maupun dewasa dituntut secara budaya untuk tunduk pada kekuasaan laki-laki. Hal ini yang dipotret oleh Fatima Sharafeddine dalam novelnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat rekonstruksi representasi perempuan yang diwakili oleh para tokoh remaja perempuan di dalam novel. Remaja perempuan sanggup memenangkan cita-cita dan keinginannya yang bertentangan dengan konstruksi budaya patriarkal melalui berbagai strategi. Di samping itu, berdasarkan penelitian ini, remaja perempuan di dalam novel juga mampu menjadi diri mereka (self) dan menemukan dunia mereka sendiri.

This thesis is a research about the reconstruction of Arabic women representation in young adult literature that the titled Faten by Fatima Sharafeddine. The researcher will apply gynocritic theory by Elaine Showalter that focus on women?s writing that speak about women. The problem in this research is about Arabic women representation in the pathriarchal culture. Almost all of Arabic women still in the marginal position.
From this study, the researcher find the reconstruction of women representation that showed by adolescent in this novel. Women adolescent can reach their dreams which are contrary to the construction of pathriarchal culture by any strategy. Moreover, based on the research, woman adolescents in this novel can be themselves & find their own world in their lives.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
T30799
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Raissa Lestari
"Penelitian ini bertujuan untuk membahas representasi perempuan dalam film Tsuda Umeko: Osatsu ni Natta Ryuugakusei serta menganalisis masalah yang dihadapi oleh Tsuda Umeko dalam film tersebut. Penelitian ini menggunakan dua teori sebagai kerangka analisis, yaitu feminisme liberal oleh Rosemarie Tong (2006, 2007) dan teori kode televisi John Fiske (2001) yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu realitas, representasi, dan ideologi. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis teks dan analisis visual. Dalam analisis tersebut, data yang ditemukan dibagi menjadi dua kategori, yaitu representasi perempuan tradisional yang mengikuti nilai budaya patriarki dan konsep ryousai kenbo, serta representasi perempuan baru yang dipengaruhi oleh feminisme. Ditemukan tujuh data yang menggambarkan representasi perempuan tradisional dan dua belas data yang menggambarkan representasi perempuan baru. Representasi perempuan tradisional menunjukkan perempuan yang bersikap pasif, patuh, tidak berbicara dengan tegas, dan bergantung pada pernikahannya. Sementara itu, representasi perempuan baru menampilkan sikap yang lebih gigih, berani mengutarakan pendapat, dan mengutamakan pendidikan dan karir. Temuan ini, bersama dengan masalah yang dihadapi oleh Tsuda Umeko dalam film, menunjukkan adanya dua ideologi yang bertentangan. Meskipun terdapat nilai-nilai yang sesuai dengan feminisme liberal, dominasi patriarki dalam masyarakat Jepang pada era Meiji masih sangat kuat. Budaya patriarki telah terinternalisasi baik pada laki-laki maupun perempuan, sehingga sulit untuk melakukan perubahan yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.

This study aims to discuss the representation of women in the film Tsuda Umeko: Osatsu ni Natta Ryuugakusei and analyze the problems faced by Tsuda Umeko in the film. This research uses two theories as an analytical framework, namely liberal feminism by Rosemarie Tong (2006, 2007) and John Fiske's television code theory (2001) that consists of three levels, which is reality, representation, and ideology. The research method used is text analysis and visual analysis. In the analysis, the data found were divided into two categories, the representation of traditional women who follow patriarchal cultural values and the concept of ryousai kenbo, and the representation of new women who are influenced by feminism. Seven data were found describing the representation of traditional women and twelve data describing the representation of new women. The traditional female representation shows a woman who is passive, obedient, does not speak assertively, and is dependent on her marriage. Meanwhile, new female representations show a more persistent attitude, daring to express opinions, and prioritizing education and careers. These findings, along with the problems faced by Tsuda Umeko in the movie, suggest the existence of two conflicting ideologies. Although there are values that are in line with liberal feminism, the dominance of patriarchy in Japanese society during the Meiji era was still very strong. Patriarchal culture has been internalized in both men and women, making it difficult to make changes that contradict these values."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Anindya Artanti
"Film (色,戒) Sè, Jiè karya Ang Lee dirilis pada tahun 2007 , mengisahkan tentang perjalanan seorang wanita bernama Wang Jiazhi yang bekerja sebagai mata-mata. Film ini diangkat dari novela dengan judul yang sama karya penulis wanita ternama di Cina, Eileen Chang. Berlatarkan Hongkong di tahun 1938 dan Shanghai di tahun 1942 pada saat perang Sino-Jepang kedua. Film ini mengisahkan bagaimana sosok Wang Jiazhi, seorang mahasiswi tahun pertama Universitas Lingnan, menjadi seorang mata-mata yang menargetkan kolabolator Jepang bernama Yi Mocheng. Melalui analisis tokoh Wang Jiazhi, pada makalah ini penulis ingin membahas apa saja strategi yang dilakukan selama ia menjadi mata-mata, dan apakah tokoh Wang Jiazhi mampu merepresentasikan narasi mata-mata penggoda atau seductress spy yang berkembang pada masa Republik Tiongkok (1911-1949).

Sè, Jiè (色,戒) is a movie directed by Ang Lee and was released in 2007. The movie tells about a long journey of a young woman named Wang Jiazhi that works as a spy. This movie made based on a same-titled novella written by the most famous female writer in China, Eileen Chang. The story is set in Hong Kong in 1938 and Shanghai in 1942, during the Sino-Japanese war. It depicts how a Lingnan University freshman, Wang Jiazhi, became a spy and targeted a Japanese collaborator named Yi Mocheng. Through the character analysis of Wang Jiazhi, this paper will discuss what kind of strategy that Jiazhi use to get into Yi Mocheng and did the character of Wang Jiazhi represented the narration of seductress-spy that is familiar during the Republic of China period (1911-1949)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kyung-Eun Yang
"ABSTRAK
This study examined factors that determine immigrant womens service usage, using Gelberg-Andersens Behavioral Model for Vulnerable Populations as a conceptual framework. Considering that the degree to which female marriage migrants take advantage of support services varies considerably within the group, special analytic attention was given to possible differences in service utilization patterns depending on their employment status. The study utilized National Survey on Multicultural Family data set from 2009. Among the total 154,333 individuals, the study used a sub-sample of 53,155 female marriage migrants. Structural equation modeling (SEM) was used to examine possible differences in service utilization in relations to employment status. The relationship between the two support services (adjustment assistance services and family care services) was examined. In addition, the three domains of factors that jointly explain the use of services among female marriage migrants were explored. The study found that female marriage migrants have different needs depending on their employment status. In terms of adjustment assistance service use determinants, the strongest predictor was having Joseonjok (Korean-Chinese) ethnicity for both the employed and unemployed group. When predicting the family care service use, number of children turned out to be the strongest predictor for the employed group, whereas perceived needs turned out as the strongest predictor for the unemployed group. Findings from the study may provide useful implications for the development of social work services and/or service delivery systems that are tailored to the different needs of immigrant women based on their positions within the labor market."
Seoul: Sookmyung Institute for Multicultural Studies, 2018
350 OMNES 8:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Danny Susanto
"Disertasi ini membahas representasi Islam di media massa Spanyol dipandang dari Cultural Studies. Tujuannya adalah untuk melihat apakah ideologi orientalis direproduksi, ditentang atau ditolak oleh media massa yang diteliti melalui strategi-strategi wacana yang dikembangkan. Selanjutnya, diteliti pula kondisi sosio historis yang melatar belakangi representasi Islam dalam media massa Spanyol. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggunakan metodologi semiotik dan analisis wacana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perang makna (struggle for meaning) di antara media-media massa yang diteliti dan bahwa berkat kemajuan dalam teknologi informasi dan demokratisasi wacana-wacana yang diproduksi yang berkaitan dengan Islam tidak selalu mencerminkan ideologi yang diusung oleh media massa. Wacana-wacana orientalis yang dijumpai dalam kasus Spanyol dipengaruhi juga oleh ideologi lainnya yang bahkan lebih dominan, yakni ideologi la Reconquista.

This dissertation discusses representation of Islam by Spanish media from Cultural Studies perspective. The goal is to see whether Orientalist ideology is reproduced, rejected or challenged through discourse strategies. Furthermore, socio historical background of the mass media representations of Islam in Spain is also examined. This qualitative research adopts semiotic and discourse analysis methodology. The results suggest that there is struggle for meaning in Spanish media's articles and that thanks to advances of information technology and democratization, discourses regarding Islam do not necessarily reflect media's ideology. Orientalist discourses found in the case of Spain is influenced also by other ideology which is even more dominant: la Reconquista ideology."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
D1390
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Mulia
"Makalah ini membahas hubungan antara game Dragon Age: Origins yang diciptakan oleh Bioware dengan dunia nyata, khususnya tentang bagaimana perempuan dipresentasikan di dalam dunia game ini. Gender adalah salah satu masalah yang sering muncul di dalam video game. Hasil-hasil penelitian sebelumnya yang meneliti perbedaan gender di dalam video game telah menghasilkan perbedaan yang kontras pada video game jaman dulu. Makalah ini lalu melihat apakah representasi gender yang tidak seimbang ini masih tetap ada di video game sekarang. Dragon Age: Origins yang bertempatkan di dunia fantasi tetap mempunyai kualitas norma-norma yang berlaku di dunia nyata. Sebagian tempat yang ada di game ini masi menunjukan perempuan yang masih lemah tetapi ada juga beberapa tempat yang menunjukan perempuan yang sudah memiliki kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari kemunculan karakter-karakter perempuan yang kuat. Walaupun kemunculan karakter ini jarang, tetapi mereka masih tetap hadir di dalam dunia Dragon Age: Origins.

This paper examines the game Dragon Age: Origins that was created by Bioware and its relation to the real world. This paper also examines how female was presented in the game. Ever since the creation of video games, the theme about gender is always coming up. Previous studies that investigate the gender differences in video games have resulted in a contrast image between genders. This paper also try to see if this unbalanced gender representation still exists in today’s game. Dragon Age: Origins which took place in a fantasy world still represent the quality of norms that happen in the real life. Some parts in the game still undermine the power of female characters yet there are other parts that show females that have gained power. This can be seen from the appearance of strong major female characters. Although the appearances of these women are still rare, they do exist in the world of Dragon Age: Origins.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Umaimah Wahid
"Marjinalisasi terhadap kaum perempuan sudah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. bahkan jika memahami konteks sejarah keberadaan manusia dari sudut pandang agama, maka hakekatnya marjinalisasi terhadap perempuan sudah terjadi ketika manusia pertama ada dimuka bumi. Perkembangan sejarah kemudian mencatat bahwa marjinalisasi itu tidak semakin berkurang melainkan justru meningkat dan mengakar dalam bentuk budaya dan nilai-nilai estetika yang diyakini kebenaran dan keabsahannya oleh sebagan besar manusia, bahkan terkadang termasuk perempuan itu sendiri. SItuasi ini lalu melahirkan sistem budaya patriarkhis yang sangat merugikan kaum perempuan. Sistem budaya patriarkhis ini semakin kuat berakar dan seakan memiliki legalitas kebenaran ketika Negara, sebagai struktur dominan dalam masyarakat, ikut memelihara dan melakukan pembiaran terhadap nilai-nilai yang terjadi dan merugikan kaum perempuan.
Pentingnya mempengaruhi keijakan negara agar kebih berpihak kepada kaum perempuan sudah banyak dipahami oleh kaum perempuan itu sendiri. Akan tetapi Negara sendiri seringkali membutuhkan pressure guna melahirkan kebijakan-kebijakan tertentu. Dan pressure terhadap Negara hanya dapat dilakukan oleh kaum perempuan jika mereka memiliki posisi tawar (Bargaining position) yang seimbang atau lebih kuat dengan negara.
Dalam konsep Gramscy, keseimbangan posisi tawar antara gerakan peempuan, yang lalu direpresentasikan sebagai masyarakat sipil, dengan negara, yang lalu disebut sebagai masyarakat politik, akan melahirkan pertarungan ide antara keduanya. Hegemoni negara bisa saja kalah dan pertarungan ide dapat dimenangkan oleh kaum perempuan sehingga akan muncul nilai-nilai baru yang lebih berpihak kepada kaum perempuan. Pada fase ini Gramscy menyebutnya sebagai gerakan 'counter hegemoni' dimana kaum perempuan mampu tampil dan melahirkan hegemoni baru setelah memenangkan pertarungan ide melawan hegemoni lama.
Dalam upaya melakukan counter hegemoni, kaum perempuan, sebagaimana disebutkan diatas, harus memiliki posisi tawa (bargaining position) yang tinggi. Posisi tawar yang tinggi sangat dipengaruhi oleh banyak instrumen pendukung yang salah satunya adalah Media. Kebutuhan akan dukungan media industri menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan Media Industri memiliki gaung yang lebih luas dan cenderung lebih dapat diterima oleh publik dibanding media komunitas. Disamping itu media industri juga mampu menempatkan dirinya sebagai instrumen yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh hubungan saling ketergantungan yang kuat anatara media industri dengan masyarakat itu sendiri.
Marjinalisasi terhadap kaum perempuan sudah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. bahkan jika memahami konteks sejarah keberadaan manusia dari sudut pandang agama, maka hakekatnya marjinalisasi terhadap perempuan sudah terjadi ketika manusia pertama ada dimuka bumi. Perkembangan sejarah kemudian mencatat bahwa marjinalisasi itu tidak semakin berkurang melainkan justru meningkat dan mengakar dalam bentuk budaya dan nilai-nilai estetika yang diyakini kebenaran dan keabsahannya oleh sebagan besar manusia, bahkan terkadang termasuk perempuan itu sendiri. SItuasi ini lalu melahirkan sistem budaya patriarkhis yang sangat merugikan kaum perempuan. Sistem budaya patriarkhis ini semakin kuat berakar dan seakan memiliki legalitas kebenaran ketika Negara, sebagai struktur dominan dalam masyarakat, ikut memelihara dan melakukan pembiaran terhadap nilai-nilai yang terjadi dan merugikan kaum perempuan.
Pentingnya mempengaruhi keijakan negara agar kebih berpihak kepada kaum perempuan sudah banyak dipahami oleh kaum perempuan itu sendiri. Akan tetapi Negara sendiri seringkali membutuhkan pressure guna melahirkan kebijakan-kebijakan tertentu. Dan pressure terhadap Negara hanya dapat dilakukan oleh kaum perempuan jika mereka memiliki posisi tawar (Bargaining position) yang seimbang atau lebih kuat dengan negara.
Dalam konsep Gramscy, keseimbangan posisi tawar antara gerakan peempuan, yang lalu direpresentasikan sebagai masyarakat sipil, dengan negara, yang lalu disebut sebagai masyarakat politik, akan melahirkan pertarungan ide antara keduanya. Hegemoni negara bisa saja kalah dan pertarungan ide dapat dimenangkan oleh kaum perempuan sehingga akan muncul nilai-nilai baru yang lebih berpihak kepada kaum perempuan. Pada fase ini Gramscy menyebutnya sebagai gerakan 'counter hegemoni' dimana kaum perempuan mampu tampil dan melahirkan hegemoni baru setelah memenangkan pertarungan ide melawan hegemoni lama.
Dalam upaya melakukan counter hegemoni, kaum perempuan, sebagaimana disebutkan diatas, harus memiliki posisi tawa (bargaining position) yang tinggi. Posisi tawar yang tinggi sangat dipengaruhi oleh banyak instrumen pendukung yang salah satunya adalah Media. Kebutuhan akan dukungan media industri menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan Media Industri memiliki gaung yang lebih luas dan cenderung lebih dapat diterima oleh publik dibanding media komunitas. Disamping itu media industri juga mampu menempatkan dirinya sebagai instrumen yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh hubungan saling ketergantungan yang kuat anatara media industri dengan masyarakat itu sendiri.
Yang menjadi masalah adalah ketika Media Industri, sebagai elemen penting untuk mengenalkan posisi tawar kaum perempuan terhadap negara,justru berperan sebagai pendukung budaya patrlarkhis yang berlaku ditengah masyarakat. Situasi menjadi semakin tidak menguntungkan bagi gerakan kaum perempuan ketika negara, yang juga memiliki kepentingan dengan media industri, memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan perselingkugan social (social conspiration) dengan media industri. Social conspiration antara negara dengan media Industri sangat mungkin terjadi terutama jika para pemilik media Industri itu adalah bagian dari masyarakat politik atau memiliki kepentingan dengan masyarakat politik yang berkuasa.
Media Industri, sebagai sebuah lnstitusi yang memiliki Ideology kapital, memang bukan tidak mungkin dimanfaatkan oleh gerakan kaum perempuan untuk memperjuangkan ide ide nya, terutama jlka mengingat bahwa Ideology kapilalis sangat menekankan pada orientasi financial (profit oriented). Orientasi financial ltu sendiri sangat dipengaruhi oleh seberapa banyak sebuah media Industri mampu meraih peminat dikalangan masyarakat. Masyarakat sendiri, meski dengan pola budaya patriarkhis yang mereka miliki, sangat memiliki kepentingan akan pengetahuan yang sebagian besar dapat mereka peroleh melalui media Industri.
Rasa keingintahuan masyarakat terhadap hal hal baru maupun situasi yang sedang berkembang ditengah mereka merupakan celah yang dapat dimanfaatkan oleh gerakan kaum perempuan untuk ?memaksa' media Industri berperan sebagai sarana sosialisasi perjuangan mereka. Diperlukan upaya yang cerdas dan konsisten dari kaum perempuan untuk terus mengangkat lsu lsu perjuangan agar mampu bermain dalam ?arena pasar? yang laku jual agar dapat terus memaksa media Industri berperan sebagai sarana sosialisasi mereka sehingga pada akhimya dapat tercipta opini publik yang lebih mendukung Ide Ide yang mereka perjuangkan. Opini publik inilah yang lalu akan menjadi salah satu instrumen penting untuk menalkan posisi tawar mereka terhadap negara.
Perjuangan counter hegemoni kaum perempuan sangat sulit dilakukan jika perjuangan dilakukan secara parsial / terpecah. Sejarah Indonesia mencatat bahwa spirit individual Kartini maupun "fighting movement" seorang Dewi sartika ternyata tidak memiliki posisi tawar signifikan untuk mengubah nilai budaya yang ada bahkan pada tataran "melintas tembok" sekalipun. Pada konsep ini jelas bahwa ?ideologi pembebasan' ternyata tidak cukup ampuh untuk menambah daya gerakan melainkan sebuah kebersamaan visi dan misi dari seluruh elemen perjuangan yang akan mampu melahirkan energi besar kaum perempuan untuk mencapai tujuan. Dan energi besar itu adalah ?collective will' dari kaum perempuan Itu sendiri. Dari sini jelas bahwa menjadlkan "collectlve will" sebagal sebuah ideologi perjuangan merupakan sebuah keharusan agar ide ide perjuangan kaum perempuan Itu memiliki energi yang konstant dan Signifikan.
Disertasi ini menggunakan metode Analisis isi Kualitatif untuk menemukan tema-tema utama yang dikandung dalam teks Kompas dan Media Indonesia yang berhubungan dengan proses perjuangan kaum perempuan meraih kuota 30 persen di Parlemen.. Untuk memahami dan mengangkat realitas dlbalik realitas yang muncul, termasuk dalam menganalisis isi kedua Media tersebut, dl pakai paradigma kritikal dengan menggunakan teori Marxist Humanist Antonio Gramsci sepertl konsep hegemonl-counter hegemonl antara masyarakat sipll dan masyarakat politlk dengan menyimak peran media massa diantara keduanya.
Beberapa temuan yang dapat disimpulkan diantaranya :
1. Sistem budaya patriarki masih berlangsung di masyarakat dan didukung oleh negara bahkan oleh sebagian perempuan itu sendiri sehingga menciptakan realitas yang merugikan kaum perempuan.
2. Kaum Perempuan butuh Ideologl yang komunal untuk menjamin kontinultas perjuangan yang memang belum selesal, dan Ideology yang dltawarkan adalah "collective wiIl", sementara kesetaraan dan keadilan gender serta ?pembebasan' Iebih merupakan tujuan.
3. Butuh upaya cerdas dan kompromis dengan nilal nilal kapitalis Industri media untuk dapat meraih dukungan media massa bagi gerakan perjuangan kaum perempuan guna menaikan posisi tawar mereka terhadap Ideology dominan negara.
4. Perjuangan kaum perempuan belum selesai. Quota 30 % hanya merupakan affirmative action menuju situasi yang Ieblh ideal bagi kaum perempuan. Gerakan counter hegemoni kaum perempuan Indonesia baru berada pada fase awal."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D812
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>