Ditemukan 153672 dokumen yang sesuai dengan query
Ayinun Mardiyah
"Desa Adat Kubutambahan melakukan perjanjian sewa menyewa tanah adat dengan PT Pinang Propertindo, dalam rapat Paruman Krama Desa Negak telah bersepakat mengadakan sewa menyewa dan ditandatangani oleh Bandesa Adat. Perjanjian tersebut terdapat klausul-klausul yang tidak sesuai. Penelitian ini menelaah pelaksanaan sewa menyewa di Desa Kubutambahan dan keabasahan Perjanjian Sewa Menyewa Nomor 03 dan Tambahan Nomor 209 antara Desa Adat Kubutambahan dengan PT Pinang Propertindo yang ditandatangani Bandesa Adat. Penelitian ini menggunakan Penelitian Normatif, dengan pendekatan Perbandingan hukum perdata barat dan hukum adat. Pelaksanaan perjanjian sewa menyewa tanah adat di Desa Kubutambahan harus memberitahukan kepada bandesa adat, setelah itu akan dilakukan Rapat Paruman untuk mendapat persetujuan krama desa. Keputusan Pararem dijadikan dasar dibuatkan Akta Perjanjian secara notaril. Langkah terakhir ialah penyerahan objek sewa diberikan secara bersamaan dengan dibayarkannya uang sewa. Perjanjian sewa menyewa nomor 03 dan tambahan nomor 209 telah memenuhi unsur syarat sahnya perjanjian yaitu sepakat mengikat, cakap, hal terntentu dan sebab yang halal dikarenakan berdasarkan kesepakatan rapat paruman dan para pihak tidak ada yang keberatan. Bandesa adat sah untuk menandatangani perjanjian sewa menyewa Nomor 03 dan Tambahan 209 berdasarkan kuasa yang diberikan krama desa pada Keputusan Paruman dan sewa menyewa tidak harus diwakili oleh pemilik tanah, namun dapat dikuaskan kepada pihak lain, karena perbuatan yang dilakukan bukan pengahlihan sebagaimana Pasal 1548 KUHPER.
Kubutambahan Traditional Village entered into a lease agreement for customary land with PT Pinang Propertindo, in the Paruman Krama meeting, Negak Village agreed to hold a lease and was signed by the Bandesa Adat. The agreement contains clauses that are not appropriate. This study examines the implementation of the lease in Kubutambahan Village and the validity of the Lease Agreement Number 03 and Supplement Number 209 between the Kubutambahan Traditional Village and PT Pinang Propertindo which was signed by Bandesa Adat. This research uses normative research, with a comparative approach to western civil law and customary law. The implementation of the customary land lease agreement in Kubutambahan Village must notify the customary village council, after which a Paruman Meeting will be held to obtain the approval of village manners. Pararem's decision is used as the basis for a notarial deed of agreement. The final step is that the delivery of the object of the lease is given simultaneously with the payment of the rent. The lease agreement number 03 and additional number 209 have fulfilled the elements of the legal requirements of the agreement, namely agreeing to be binding, competent, certain things and lawful reasons because based on the agreement of the Paruman meeting and the parties have no objections. Bandesa adat is legal to sign a lease agreement Number 03 and Supplement 209 based on the power given by krama desa in the Paruman Decree and the lease does not have to be represented by the land owner, but can be delegated to another party, because the act committed is not a transfer as referred to in Article 1548 of the KUHPER."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
H. Hilman Hadikusuma
Bandung: Alumni, 1978
340.509 598 HIL s
Buku Teks Universitas Indonesia Library
R. Soepomo
Jakarta: Djambatan, 1954
340.570 9 SUP s
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Vollenhoven, Cornelis van, 1874-1933
Jakarta: Djambatan, 1987
340.57 VOL pt
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Amier Syariffudin
Ujung Pandang: Vita Study Club FH-UNHAS, 1974
340.57 AMI p
Buku Teks Universitas Indonesia Library
R. Soerojo Wignjodipoero
Jakarta: Gunung Agung, 1983
340.57 SOE k
Buku Teks Universitas Indonesia Library
R. Soepomo
Jakarta: Djambatan, 1955
340.570.9 SUP s
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Putu Maharaja Segara Putra
"Keberadaan seorang atau beberapa anak merupakan sebuah anugerah terindah dari Tuhan yang tidak dapat tergantikan oleh apa pun. Keberadaan seorang atau beberapa anak merupakan dambaan bagi pasangan suami istri maupun seorang yang tidak memiliki pasangan. Hukum Perdata Barat mengenal sebuah lembaga untuk mewujudkan dambaan tersebut, yaitu adopsi. Namun, sebagaimana diketahui bahwa Indonesia menganut pluralisme di dalam sistem hukumnya yang menempatkan Hukum Perdata Barat, Hukum Islam, dan Hukum Adat sebagai sistem-sistem hukum yang sejajar dan dipergunakan dalam kehidupan bermasyarakat. Lalu, timbul pertanyaan mengenai bagaimana Hukum Adat mengatur mengenai lembaga adopsi yang dikenal di dalam Hukum Perdata Barat, bagaimana Hukum Adat mengatur mengenai adopsi yang dilakukan oleh orang tua tunggal (single parent), bagaimana akibat hukum kekeluargaan dan kewarisan terhadapnya, dan bagaimana kedudukan anak perempuan dalam lembaga adopsi serta akibat-akibat hukumnya. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Penulis menggunakan metode penelitian berupa penelitian kepustakaan, serta melakukan wawancara terhadap Kepala Adat dan Pemuka Agama yang dalam hal ini difokuskan pada pengaturan Hukum Adat Bali. Pengaturan mengenai adopsi pada Hukum Adat Bali bersumber pada Kitab Suci Veda dan kebijakan-kebijakan lokal yang tidak tertulis. Adopsi di dalam Hukum Adat Bali lebih dikenal dengan istilah “Memeras Pianak” yang bertujuan untuk meneruskan garis keturunan, sehingga memiliki akibat hukum berupa putusnya hubungan kekeluargaan antara anak angkat dengan orang tua kandung. Persyaratan utama dari pengangkatan anak yang dilakukan menurut Hukum Adat Bali adalah dilakukan terhadap anak yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan orang tua yang hendak mengangkatnya, dalam artian anak yang hendak diangkat tidak boleh dilakukan terhadap anak yang tidak diketahui asal-usulnya. Pengangkatan anak yang dilakukan menurut Hukum Adat Bali juga harus melalui suatu prosedur yang dinamakan sebagai upacara “Pemerasan” sebagai perwujudan asas terang dan tunai dalam Hukum Adat. Mengenai pengangkatan anak oleh orang tua tunggal pada Hukum Adat Bali diperbolehkan dan memiliki akibat hukum yang sama dengan pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua berpasangan, baik secara kekeluargaan maupun kewarisan. Hal menarik yang lain kemudian adalah pengangkatan anak bisa dilakukan terhadap anak perempuan yang kemudian memiliki akibat hukum yang tidak sama dengan pengangkatan anak terhadap anak laki-laki. Pengangkatan anak yang dilakukan terhadap anak perempuan bisa melalui “Nyentane” maupun “Pemerasan” yang memiliki konsekuensi hukum yang berbeda.
The existence of one or several children is the most beautiful gift from God that cannot be replaced by anything. The existence of one or several children is a dream for a husband or a single partner. Western Civil Law recognizes an institution to realize this dream, namely adoption. However, it is known that Indonesia adheres to pluralism in its legal system which places Western Civil Law, Islamic Law and Customary Law as parallel legal systems and is used in social life. Then, the question arises about how the Adat Law regulates regarding adoption institutions known in the Western Civil Law, how the Adat Law regulates regarding adoption by single parents, what is the effect of kinship and inheritance law on it, and how Adat Law positions girls in adoption institutions and its legal consequences. To answer these questions, the author uses research methods in the form of library research, as well as conducting interviews with traditional heads and religious leaders, which in this case focuses on regulating Balinese Customary Law. Regulations regarding the adoption of Balinese Customary Law are based on the Vedic Scriptures and unwritten local policies. Adoption in Balinese Customary Law is better known as "Memeras Pianak" which aims to lineage, so it has legal consequences in the form of breaking the kinship between adopted children and biological parents. The main requirement for adoption carried out according to Balinese Customary Law is that it is carried out on children who are still related to their parents, in the sense that the adopted children cannot be against children whose origins are unknown. Adoption of children carried out according to Balinese Customary Law must also go through a procedure known as the "Pemerasan" ceremony as the embodiment of the principle of clear and cash in Customary Law. Regarding adoption by a single parent in Balinese Customary Law, it has the same legal consequences as adoption by paired parents, both by family and inheritance. The interesting thing then is the adoption of children that can be carried out against girls, which has a legal consequence that is not the same as adoption of children for boys. Adoption of children for girls can be done through “Nyentane” or “Pemerasan” which has different legal consequences."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
R. Soepomo
Jakarta: Pradnya Paramita, 1982
340.570 9 SUP s
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Soekanto
Bandung: Alumni, 1979
340.57 SOE p
Buku Teks Universitas Indonesia Library