Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 186296 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ayu Rahmawati
"Peran perempuan dalam dunia politik di Indonesia kerap kali masih menemui berbagai hambatan jika dikaji dalam beberapa aspek. Untuk itu, tulisan ini akan membahas bagaimana perempuan yang duduk di ranah legislatif mengkonstruksikan dirinya dan menjalankan peran politisnya secara konkret. Agar penelitian ini menjadi lebih terarah, studi akan berfokus mengenai bagaimana peran legislator perempuan dalam memperjuangkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang dianggap mewakili suara dan kegelisahan perempuan di Indonesia. Tulisan ini menggunakan strategi penelitian fenomenologi dengan paradigma konstruktivis. Kemudian tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran bagaimana konstruksi peran perempuan di lembaga legislatif Indonesia melalui teori konstruksi sosial realitas milik Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Melalui teori konstruksi sosial realitas, tulisan ini akan membahas konstruksi peran perempuan melalui tiga dimensi yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa kesenjangan antara laki-laki dan perempuan yang terjadi di parlemen nyata adanya. Kesenjangan tersebut menghalangi peran perempuan untuk memaksimalkan peran politisnya. Akibatnya, perempuan harus bekerja dan berusaha lebih keras untuk membuktikan kualitas dirinya.

The role of women in the political field in Indonesia still encounters various obstacles when examined in several aspects. For this reason, this paper discussed how women who has a role as a legislator built their social construct and carry out their political roles in a concrete way. To make this research more focused, the study will elaborate the role of women legislators in Submission of legislation draft on the Elimination of Sexual Violence (RUU PKS) which is considered to represent concerns of most women in Indonesia. This paper used a fenomenology research strategy with a constructivist paradigm. Moreover, the purpose of this study is to provide a perspective of how the construction of the role of women in Indonesian legislature through the theory of social construction of reality belonging to Peter L. Berger and Thomas Luckmann. Through the theory of social construction of reality, this paper will dissect the construction of women's roles through three dimensions, namely externalization, objectivation and internalization. The results of this study indicate that the gap between men and women in parliament is real. This gap holds back the role of women to maximize their political role. As a result, women have to work and try harder to prove themselves."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andry Jatmi Memed
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Provinsi Maluku. Dewasa ini, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak selalu terjadi. Kita melihat di berita-berita, baik itu berita online, surat kabar maupun di sosial media, maraknya kasus kekerasan yang terjadi selalu melibatkan perempuan dan anak sebagai korban. Sementara itu, di Provinsi Maluku, kasus kekerasan boleh dikatakan selalu naik tiap tahunnya meskipun Perda Perlindungan Perempuan Dan Anak telah disahkan, yaitu pada tahun 2012. Perda yang disahkan pada 4 (empat) tahun lalu itu ternyata masih jauh dari harapan. Sebab, kebijakan yang dirasa mampu menjawab permasalahan perempuan dan anak ternyata tidak berdampak apa-apa. Hal ini tentu berkaitan erat dengan peran yang dimainkan oleh setiap anggota legislatif (terkhususnya perempuan) yang tergabung di dalam tim pembuat kebijakan.
Sebagai landasan teoritis, penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual peran untuk melihat sikap politik anggota legslatif perempuan di dalam pembuatan perda; serta menggunakan pendekatan teoritis gender yang di dalamnya terdapat konsepsi gender dan demokrasi dalam melihat perempuan di dalam parlemen. Di dalam penelitian ini juga terdapat posisi tawar anggota legislatif perempuan di dalam tim pembuat kebijakan. Hal ini cukup direpotkan dengan hambatan-hambatan partai politik serta budaya patriarki yang masih sangat kuat di dalam parlemen bahkan hingga masuk ke tim pembuat kebijakan.
Dengan menggunakan metode kualitatif, hasil yang diperoleh yaitu anggota legislatif perempuan belum maksimal menjalankan perannya dalam pembuatan Perda Penyelengaraan Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan Di Maluku.. Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota legislatif perempuan dan jumlah aktor kritis yang sedikit di dalam tim pembuat Perda tersebut. Kedua, fokus keterwakilan anggota legislatif lebih banyak ke partai politik. Ketiga, dalam pembuatan perda tersebut anggota legislatif perempuan lebih bersifat delegasi (utusan dari partai politik) ketimbang mewakili konstituennya. Keempat, isu keterwakilan perempuan belum menjadi bagian kepemilikan isu oleh partai politik. Dan kelima, komunikasi oleh sesama anggota legislatif perempuan dan kelompok kepentingan (LSM) kurang begitu baik.

This research is motivated by cases of violence against women and children that occurred in the province of Maluku. Today, cases of violence against women and children is always happening. We see in the news, either online news, newspapers and on social media, many cases of violence always involves women and children as victims. Meanwhile, in the province of Maluku, violence is virtually always go up every year even though Regulation Women And Children Protection has been ratified, ie in 2012. The recent legislation passed in 4 (four) years ago it was still far from expectations. Therefore, policies that felt able to answer the problems of women and children did not affect anything. This is of course closely related to the role played by each member of the legislature (terkhususnya female) is incorporated in the policy making team.
As a theoretical foundation, this study uses a conceptual approach to the role of political attitudes member legslatif see women in the making of regulations; and using a theoretical approach to gender in which there are conceptions of gender and democracy in view of women in parliament. In this study there is also a legislative bargaining position of women in policy making team. It is quite bothered by the constraints of political parties as well as a patriarchal culture that is still very strong in the parliament even to get into the team policymakers.
By using qualitative methods, the results obtained by the women legislators have not been up to perform its role in the formulation of regulations Implementation of the Protection of Women and Children Victims of Violence in Maluku .. It is caused by a number of female legislators and the number of actors are a bit critical in the regulation making team , Second, focus more legislative representation to political parties. Third, in the manufacture of these regulations are more women legislators delegates (delegates of political parties) rather than to represent their constituents. Fourth, the issue of women's representation has not become part of the ownership issue by political parties. And fifth, the communication by fellow female legislators and interest groups (NGOs) not so good.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T46122
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Imaduddin Abdali
"Penelitian ini membahas mengenai seleksi kandidat perempuan dalam pencalonan anggota DPR RI pada Pemilu 2014 di PPP, PKS, dan PDI Perjuangan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan instrumen wawancara mendalam, studi literatur, dan dokumen sebagai metode dalam pengumpulan data. Asumsi dari penelitian ini adalah PPP memiliki seleksi kandidat perempuan yang cenderung berorientasi birokratik karena terjadi peningkatan keterwakilan politik perempuan di DPR RI pada Pemilu 2014, PKS memiliki seleksi kandidat perempuan yang berorientasi patronase karena terjadi penurunan keterwakilan politik perempuan di DPR RI pada Pemilu 2014, dan PDI Perjuangan memiliki seleksi kandidat perempuan yang cenderung berorientasi patronase karena terjadi stagnansi keterwakilan politik perempuan di DPR RI pada Pemilu 2014 dengan menggunakan kerangka Matland. Temuan pertama dari penelitian ini adalah seleksi kandidat perempuan dalam pencalonan anggota DPR RI di PPP pada Pemilu 2014 memiliki sistem yang berorientasi patronase. Temuan kedua dari penelitian ini adalah seleksi kandidat perempuan dalam pencalonan anggota DPR RI di PKS pada Pemilu 2014 memiliki sistem yang cenderung berorientasi birokratik. Temuan ketiga adalah seleksi kandidat perempuan dalam pencalonan anggota DPR RI di PDI Perjuangan pada Pemilu 2014 memiliki sistem yang cenderung beorientasi patronase. Dalam penelitian ini, seleksi kandidat perempuan yang berorientase patronase dapat meningkatkan keterwakilan politik perempuan di arena politik formal, khususnya DPR RI.

This thesis discussed the political party PPP, PKS, and PDI Perjuangan?s selection of women candidates in the nomination of the prospective members of The House of Representatives of Republic of Indonesia (DPR RI) during the General Elections of 2014. This research used qualitative method with the instruments of in-depth interviews, literature studies, and document studies to gather the data. Using the framework of Matland, the author formulated assumptions as follows: the first assumption of the research was the PPP tended to be a bureaucraticoriented selection system since there was an increasing number of its women?s political representation in the council, the PKS had a patronage-oriented selection system since there was a decreasing number of its representation, and the PDI Perjuangan tended to be patronage-oriented system since there was a stagnation in the representation. The first finding of the research revealed that the selection in PPP had a patronage-oriented system. Another finding showed that the selection in PKS had the tendency to have a bureaucratic-oriented system. The selection system in PDI Perjuangan, on the other hand, tended to be patronage-oriented. The research showed that the selection of women candidates with patronageoriented system could increase the women?s political representation in the formal political arena, in particular DPR RI."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S61993
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dessy Saummarliaty
"Tesis ini membahas Peran Perempuan Parlemen Dalam mendorong Kesetaraan Gender : Studi Kasus Pada Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia Periode 2004-2009. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisa peran dan strategi perempuan parlemen dalam mendorong kesetaraan gender, kebijakan apa yang sudah dihasilkan serta kaitannya dengan Ketahanan Nasional. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa KPPRI memperjuangkan peningkatan peran perempuan dalam menyusun produk legislasi yang berpihak pada kepentingan perempuan. Dalam perspektif Ketahanan Nasional, kaum perempuan memiliki peranan penting dan strategis dalam mewujudkan Ketahanan Nasional bangsa yang tangguh dan solid.

This thesis discusses the Role of Women in Parliament encourage Gender Equality: Case Studies on Women's Caucus of Parliamentary of the Republic of Indonesia during 2004-2009. The purpose of this study was to identify and analyze the roles and strategies of women parliamentarians in promoting gender equality, what policy has been produced and its relation to the National resilience. This research is a qualitative descriptive design.
The results showed that KPPRI fight increasing women's role in preparing the product of legislation that favors the interests of women. In the perspective of National Resilience, women have an important and strategic role in realizing the nation's National Resilience tough and solid."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafina
"Skripsi ini membahas mengenai peran Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG) sebagai organisasi sayap Partai Golkar dalam pencalonan perempuan sebagai anggota DPR RI pada Pemilu tahun 2019. Partai Golkar menggunakan tiga strategi untuk meningkatkan representasi perempuan yaitu diskriminasi positif, rhetorical strategy, dan affirmative action dengan mendirikan KPPG sebagai sumber utama rekrutmen kader perempuan. KPPG berperan dalam proses rekrutmen, kaderisasi hingga pencalonan perempuan sebagai anggota legislatif pada pemilu, yang disebut dengan kebijakan One Gate Policy. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui wawancara mendalam. Teori yang digunakan adalah Teori Gender dan Partai Politik, dan Model Interaksi Supply dan Demand dari Joni Lovenduski dan Pippa Norris. Temuan dari penelitian ini menunjukan bahwa KPPG yang hadir sebagai strategi affirmative action Partai Golkar bertanggung jawab sebagai supply side yang melakukan penawaran atas kandidat caleg perempuan yang ingin dicalonkan sebagai anggota legislatif dalam menjawab keinginan dari demand side yang merupakan permintaan dari gatekeeper yaitu Partai Golitik sebagai aktor yang menyeleksi kelayakan kandidat yang ingin mencalonkan dirinya melalui partai politik. Namun, pada implementasinya peran dari KPPG belum dapat memberikan hasil yang signifikan dalam rangka meningkatkan keterwakilan dan partisipasi perempuan. Hal tersebut disebabkan oleh hambatan terhadap peran yang berusaha dijalankan oleh KPPG.

This thesis discusses the role of KPPG as a women wing organization of The Golkar Party in the nomination of women as members of the Indonesian Parlament in the 2019 legislative elections. The Golkar Party uses three strategies to increase women's representation, namely positive discrimination, rhetorical strategy, and affirmative action by establishing KPPG as the main source of recruitment of female candidates. KPPG plays a role in the process of recruitment, regeneration, qualification and the nomination of women as legislative members in elections, which is called the One Gate Policy. This research uses a qualitative approach with data collection methods through in-depth interviews. The theories used are Gender and Political Parties Theory, and Supply and Demand Interaction Models from Joni Lovenduski and Pippa Norris.The findings of this study indicate that the KPPG which is present as an affirmative action strategy of the Golkar Party is responsible as the supply side for bidding on female candidates who want to be nominated as members of the legislatives in response to the demands of the demand side which are requests from the gatekeeper namely The Golkar Party as an actor selecting the eligibility of candidates who want to nominate themselves through political parties. However, in its implementation the role of the KPPG has not been able to produce significant results in the context of increasing women's representation and participation. This is caused by obstacles to the role the KPPG is trying to carry out."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halida Nabilla Salfa
"Teori Peran sosial menjelaskan bahwa setiap perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan adalah hasil dari stereotype budaya tentang gender. Perempuan diharapkan untuk berperilaku sesuai dengan gendernya, sehingga hal ini menyebabkan perbedaan tugas yang diberikan pada mereka oleh masyarakat. Perbedaan tugas ini mencolok di pekerjaan yang didominasi oleh perempuan, seperti pekerja kesehatan, guru playgroup dan guru Taman Kanak-Kanak, apabila disandingkan dengan pekerjaan yang didominasi laki-laki, seperti pekerja bangunan, montir atau tukang listrik. Dewasa ini, perbedaan tersebut juga dapat ditemui di komisi-komisi legislatif Indonesia. Komisi yang terkait dengan subjek kesehatan, kegiatan sosial, atau komisi-komisi dengan nuansa soft politics, tampak memiliki keterlibatan perempuan yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan komisi-komisi yang terkait dengan urusan militer, dalam negeri, atau komisi-komisi lain dengan nuansa hard politics. Sehingga, riset mengenai perbedaan proposi gender antar komisi perlu untuk dilakukan untuk melihat dampak peran sosial kepada pembagian tugas di DPR RI. Menggunakan data yang dikumpulkan melalui proses wawancara dan studi literatur, riset ini menemukan bahwa peran sosial tidak mempengaruhi institusi legislatif secara system, tetapi lebih berakar pada pengaruh budaya yang membuat perempuan sulit untuk ikut terlibat dalam institusi legislatif. Walaupun masalah ini terus coba untuk diselesaikan oleh pemerintah, perempuan masih mengalami berbagai halangan untuk bergabung dalam institusi legislatif, karena mereka harus memiliki kemauan, kemampuan finansial, dan izin dari keluarga. Halangan-halangan ini tidak terjadi pada laki-laki karena peran laki-laki dalam keluarga masih diharapkan untuk menjadi pencari uang, memimpin, dan tergabung dalam pemerintahan. Sedangkan, perempuan masih diharapkan untuk mengambil peran sosial sebagai pengurus keluarga. Sehingga, peran sosial masih mempengaruhi perempuan untuk tergabung dalam institusi legislatif yang akhirnya membuat jumlah perempuan secara supply lebih sedikit dan tugas komisi yang mereka pilih juga masih dipengaruhi oleh peran sosial sebagai perempuan dalam keluarga.

Social role suggests that almost all behavioral differences between male and females are the result from cultural stereotypes about gender. For women is expected to behave differently, task assigned to them in working space is also different. This differentiation in task assigned is stark in women dominated jobs, such as healthcare assistant, preschool and kindergarten teacher, compared to men dominated jobs, such as construction worker, mechanics and electrician. It has recently observed that the extension of gender- dominated jobfield might have extension to legislatif commission in Indonesia. Commission that deals with health issue, social work, and anything related to soft politics are high in women’s involevement, but not in commission that related to military, internal affairs, or anything that relates to hard politics. Thus, a study regarding the disproportional gender ratio between certain commission is required to examine the impact of social role to the job division among women in Indonesian legislatif. Using data gathered from interview and literature review, this research concludes that the social role does not affect the legislatif institutions by system, but it rather stems from cultural perspectives that stem from lack supply of women-gendered legislatif member. Although this problem is constantly being addressed by the government, women are still under various hindrace from joining the legislatif as they are limited by willingness, financial capability and approval from the family. These hindrances are virtually nonexistent to male, as they are expected to lead and get involved in the government as breadwinner, while women are still expected to take caretaking role of the family. Therefore, although the women are not systematically oppressed, the social role is still affecting their involvement in the legislatif process as they are naturally few in number by supply and has internal willingness to take task that is close to their social role as a woman in the family."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Febriva Asri
"Tulisan ini membahas salah satu faktor yang membuat pengesahan Women’s Reservation Bill, rancangan kebijakan menyediakan sepertiga kursi untuk perempuan di Lok Sabha India, terhambat pengesahannya. Salah satu faktor tersebut adalah keterwakilan perempuan di parlemen India yang sangat rendah, dengan rata-rata hanya 7% dari pemilihan umum yang pertama kali di laksanakan di India. Riset ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berdasarkan studi literatur. Guna membahas permasalahan penelitian, digunakan teori Supply-Demand untuk menjelaskan sisi supply dan demand yang berpengaruh terhadap rendahnya keterwakilan perempuan di Lok Sabha India, yang menjadi salah satu alasan tidak disahkannya Women’s Reservation Bill. Teori ini dikemukakan Pippa Norris dan Joni Lovenduski di tahun 1995. Temuan penelitian ini memperlihatkan bahwa sisi supply, yang diuraikan menjadi sumber daya (waktu, uang, dan pengalaman) dan motivasi (dorongan, ambisi, dan minat dalam politik) lebih berfokus kepada ketersediaan perempuan untuk mendaftarkan diri menjadi kandidat di dalam pemilihan umum. Sementara sisi demand memperlihatkan bahwa partai politik atau elit partai memilih calon-calon kandidat berdasarkan diskriminasi dan prasangka yang dilihat dari kemampuan, kualifikasi, dan pengalaman dari masing-masing kandidat. Hal ini yang menyebabkan rendahnya representasi perempuan dan menjadi alasan Women’s Reservation Bill terhambat hingga saat ini.

This paper discusses one of the factors that prevented the ratification of the Women's Reservation Bill, a policy draft to provide one-third of the seats for women in India's Lok Sabha. One of these factors is the very low representation of women in the Indian parliament, with an average of only 7% of the first general elections held in India. This research uses qualitative research methods with data collection techniques based on literature studies. To discuss research problems, the Supply-Demand theory is used to explain the supply and demand sides that affect the low representation of women in Lok Sabha India, which is one of the reasons the Women's Reservation Bill was not ratified. This theory was put forward by Pippa Norris and Joni Lovenduski in 1995. The findings of this study show that the supply side, which is broken down into resources (time, money, and experience) and motivation (drive, ambition, and interest in politics), focuses more on the availability of women to register as candidates in the general election. Meanwhile, the demand side shows that political parties or party elites assess candidate candidates based on discrimination and selection based on the ability, qualifications, and experience of each candidate. This causes the low representation of women and is why the Women's Reservation Bill has been hampered to date."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Sevatita
"Pemerintah menetapkan kebijakan kuota pencalonan perempuan di parlemen atas kesadaran bahwa perempuan masih sering mengalami banyak tantangan ketika ingin memasuki area politik. Kebijakan kuota perempuan pada dasarnya baik untuk mendorong partisipasi perempuan di parlemen, tetapi pertanyaan penting yang mesti diangkat adalah apakah perempuan di parlemen saat ini telah mampu membawa perubahan pada lingkungan parlemen yang didominasi oleh laki-laki. Pada studi ini, penulis menguji apakah perempuan di parlemen memiliki pengaruh pada level korupsi dan anggaran untuk bantuan sosial, menggunakan data panel sebanyak 363 kabupaten/kota tahun 2009-2017 and menggunakan metode fixed effects dan model logit.
Studi sebelumnya pada umumnya menemukan hasil yang tidak konsisten dan lebih banyak menggunakan unit analisis antar-negara. Secara umum, penulis menemukan bahwa di Indonesia proporsi perempuan di parlemen tidak memiki pengaruh pada korupsi, tetapi perempuan memiliki pengaruh secara positif pada anggaran untuk bantuan sosial di pulau non-Jawa. Apabila dilihat secara komposisi berdasarkan jenis partai dan pulau, ditemukan hasil yang berbeda. kabupaten/kota dengan alokasi kursi untuk partai Islam yang lebih besar di parlemen mengalami korupsi anggaran yang lebih sedikit, sementara hal yang sebaliknya terjadi pada kabupaten/kota dengan alokasi kursi yang lebih banyak untuk partai nasionalis.

The gender quota in parliament was implemented in response to the realization that women have often experienced inclusion from formal political processes. While the gender quota is in itself a good policy, one question that must be raised is whether women in parliament can make a substantive difference in a male-dominated network in a legislative body. In this study, I investigate whether the ratio of female in parliament is related with lower corruption and bigger spending on social assistance, utilizing panel data of about 363 districts/cities from 2009-2017 and employing fixed effects method and logit model.
Previous studies results are generally mixed, not universal, and mostly employ cross-country level. In general, I find that in Indonesia the share of women in parliament is not associated with less corruption, but in terms of social assistance spending, their participation can influence government spending to allocate the budget more for social assistance in non-Java island. Breaking down the result to women from Islamic parties, Java and non-Java, the pattern yields interesting result. Localities with greater votes for Islamic parties in local parliament experience lower budget corruptions, while the reverse is the case for nationalist secular parties.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Diskriminasi terhadap perempuan merupakan salah satu isu yang melatarbelakangi pentingnya keterwakilan perempuan dalam badan legislatif. Tujuannya adalah untuk memperjuangkan kesetaraan gender dan kepentingan perempuan. Salah satu satu bentuk ketidakadilan gender yang sangat berdampak kepada perempuan adalah subordinasi, yakni perempuan diposisikan sebagai warga kelas dua, sehingga tidak punya akses terhadap pengambilan keputusan. Perjuangan kaum perempuan untuk memperjuangkan kepentingan perempuan di dalam politik untuk dapat mencurahkan kecemasan mereka. Oleh karena itu, perempuan juga berhak mendapat tempat di panggung politik. Namun, budaya, sistem sosial, sistem politik, hingga masalah kemiskinan, masih menjadi tembok penghalang yang kokoh dalam partisipasi politik perempuan. Perempuan memiliki kelebihan yang diharapkan akan membawa warna dan nuansa baru yang lebih baik di parlemen.
"
IKI 5 : 28 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Cahya Eka Putri
"Skripsi ini membahas mengenai strategi Australian Labor Party (ALP) mendorong peningkatan representasi perempuan di parlemen Australia tahun 2016 melalui kuota gender sebagai “fast track” dan didukung oleh NLWN bersama EMILY’s List sebagai “incremental track” yang diterapkan oleh ALP untuk yang memperjuangkan keterwakilan perempuan ALP di Parlemen Australia. Ketimpangan gender dalam politik di Australia mendorong pemerintah Australia mengesahkan kebijakan tindakan afirmatif untuk kelompok minoritas termasuk di dalamnya perempuan. Di sisi lain, keterwakilan perempuan di parlemen diserahkan kepada partai politik. Namun, partai politik sering kali tidak cukup mampu untuk menerapkan kebijakan kuota gender 30 persen secara murni tanpa adanya agenda politik di dalamnya. Berangkat dari hal tersebut, ALP hadir sebagai salah satu partai politik terbesar di Australia berperan aktif dalam mengimplementasikan tindakan afirmatif melalui kuota gender dan NLWN. Untuk memahami topik ini, penulis menggunakan teori Perempuan, Kuota, dan Politik yang dipopulerkan oleh Drude Dahlerup dalam memahami aspek yang dapat diwujudkan partai politik untuk mendorong keterwakilan perempuan di Australia. Skripsi ini menemukan ALP menggunakan dua model untuk mendorong keterwakilan perempuan di parlemen, yakni model fast track dalam bentuk kuota gender dan model incremental track dalam bentuk pelatihan, mentoring, dan bantuan keuangan yang dilakukan oleh NLWN dan EMILY’s List.

This thesis discusses the efforts of the Australian Labor Party (ALP) to encourage increased representation of women in the Australian Parliament in 2016 through a gender quota as a “fast track” and supported by NLWN together with EMILY's List as an “incremental track” implemented by ALP for those who fight for ALP women's representation in the Australian Parliament. Gender inequality in politics in Australia prompted the Australian government to adopt an affirmative action policy for minority groups including women. Meanwhile, specifically, the affairs of women's representation in parliament are left to political parties. However, political parties are often not capable enough to implement a 30 percent gender quota policy purely without a political agenda in it. Departing from this, ALP is present as one of the largest political parties in Australia, plays an active role in implementing affirmative action through gender quotas and NLWN. To understand this topic, the author also uses the Women, Quota, and Politics theory popularized by Drude Dahlerup in understanding aspects that can be realized by political parties to encourage women's representation in Australia. This thesis found that ALP uses two models to encourage women’s representations in parliament, namely the fast track model in the form of a gender quota and the incremental track form of training, mentoring, and financial assistance conducted by NLWN and EMILY’s List."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>